//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - seniya

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9 10 11 12 ... 228
61
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:38:54 PM »
95. Kotbah tentang Mempertahankan [Keadaan-Keadaan] Bermanfaat<188>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Aku akan menjelaskan apakah mundur di dalam keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mempertahankan maupun meningkatkannya; aku akan menjelaskan apakah mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun meningkatkannya; dan aku akan menjelaskan apakah meningkatkan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun [hanya] mempertahankannya.<189>

Apakah mundur di dalam keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mempertahankannya maupun meningkatkannya? Para bhikkhu, jika, sehubungan dengan memiliki keyakinan yang kokoh, pengendalian diri melalui aturan-aturan latihan, pembelajaran yang luas, kedermawanan, kebijaksanaan, kelancaran berbicara, serta [mengetahui] Āgama-Āgama dan manfaat-manfaatnya, seseorang mundur sehubungan dengan keadaan-keadaan ini, tidak mempertahankan maupun meningkatkannya, maka ini adalah apa yang disebut mundur di dalam keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mempertahankannya maupun meningkatkannya.<190>

Apakah mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun meningkatkannya? Para bhikkhu, sehubungan dengan memiliki keyakinan yang kokoh, pengendalian diri melalui aturan-aturan latihan, pembelajaran yang luas, kedermawanan, kebijaksanaan, kelancaran berbicara, serta [mengetahui] Āgama-Āgama dan manfaat-manfaatnya, seseorang mempertahankan keadaan-keadaan ini, tidak mundur di dalamnya dan tidak meningkatkannya. Ini adalah apa yang disebut mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun meningkatkannya.

Apakah meningkatkan keadaan-keadaan bermanfaat, tidak mundur di dalamnya maupun [hanya] mempertahankannya? Para bhikkhu, sehubungan dengan memiliki keyakinan yang kokoh, pengendalian diri melalui aturan-aturan latihan, pembelajaran yang luas, kedermawanan, kebijaksanaan, kelancaran berbicara, serta [mengetahui] Āgama-Āgama dan manfaat-manfaatnya, di sini seseorang meningkat sehubungan dengan keadaan-keadaan ini, tidak mundur di dalamnya maupun [hanya] mempertahankannya.

Seorang bhikkhu akan memastikan banyak manfaat bagi dirinya jika ia merenungkan seperti ini:<191> “Apakah aku sering berkecenderungan pada ketamakan, atau apakah aku sering bebas dari ketamakan? Apakah aku sering berkecenderungan pada kebencian, atau apakah aku sering bebas dari kebencian? Apakah aku sering berkecenderungan pada kelambanan dan ketumpulan, atau apakah aku sering bebas dari kelambanan dan ketumpulan? Apakah aku sering berkecenderungan pada kegelisahan dan kesombongan, atau apakah aku sering bebas dari kegelisahan dan kesombongan? Apakah aku sering berkecenderungan pada keragu-raguan, atau apakah aku sering bebas dari keragu-raguan? Apakah aku sering menyebabkan perselisihan, atau apakah aku sering tidak menyebabkan perselisihan? Apakah aku sering memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, atau apakah aku sering tidak memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda?

“Apakah aku sering memiliki keyakinan, atau apakah aku sering tidak memiliki keyakinan? Apakah aku sering memiliki semangat, atau apakah aku sering berkecenderungan pada kemalasan? Apakah aku sering memiliki perhatian penuh, atau apakah aku sering tidak memiliki perhatian penuh? Apakah aku sering memiliki konsentrasi, atau apakah aku sering tidak memiliki konsentrasi? Apakah aku sering memiliki kebijaksanaan yang cacat, atau apakah aku sering bebas dari kebijaksanaan yang cacat?”

Seumpamanya seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku sering berkecenderungan pada ketamakan, ... kebencian, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan dan kesombongan, ... keragu-raguan, ... sifat suka berselisih, ... pikiran yang terkotori dan ternoda, ... tidak memiliki keyakinan, ... kemalasan, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... kebijaksanaan yang cacat.”

Bhikkhu itu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, akan mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Seperti halnya seseorang yang kepalanya terbakar atau pakaiannya terbakar akan dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan kepala dan menyelamatkan pakaiannya. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Seumpamanya seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku sering bebas dari ketamakan, ... bebas dari kebencian, ... bebas dari kelambanan dan ketumpulan, ... bebas dari kegelisahan dan kesombongan, ... bebas dari keragu-raguan, ... bebas dari sifat suka berselisih, ... dan bebas dari pikiran yang terkotori dan ternoda; ... Aku memiliki keyakinan, ... memiliki semangat, ... memiliki perhatian penuh, ... dan memiliki konsentrasi; ... dan aku sering berdiam bebas dari kebijaksanaan yang cacat.”

Kemudian bhikkhu itu, yang berharap untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat ini, berharap untuk tidak kehilangannya, untuk tidak mundur, tetapi untuk mengembangkannya lebih jauh, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.<192>

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

62
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:36:15 PM »
94. Kotbah tentang Bhikkhu Kālaka<185>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Taman Timur, di Aula Ibu Migāra.

Pada saat ini bhikkhu Kālaka, putra ibu Migāra, yang selalu menyukai perselisihan, mendekati Sang Buddha. Melihat bhikkhu Kālaka mendekat dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sehubungan dengan bhikkhu Kālaka:<186>

Seumpamanya seseorang selalu menyukai perselisihan dan tidak memuji akhir perselisihan. Jika seseorang selalu menyukai perselisihan dan tidak memuji akhir perselisihan, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.<187>

Seumpamanya seseorang memiliki keinginan jahat dan tidak memuji akhir keinginan jahat. Jika seseorang memiliki keinginan jahat dan tidak memuji akhir keinginan jahat, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang melanggar aturan-aturan latihan, menyalahi aturan-aturan latihan; aturan-aturan latihannya tidak sempurna, aturan-aturan latihannya terkoyak-koyak, aturan-aturan latihannya rusak, dan ia tidak memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan. Jika seseorang melanggar aturan-aturan latihan, menyalahi aturan-aturan latihan; jika aturan-aturan latihannya tidak sempurna, jika aturan-aturan latihannya terkoyak-koyak, jika aturan-aturan latihannya rusak, dan ia tidak memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang berkecenderungan pada permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki ras malu dan takut serta tidak memuji rasa malu dan takut. Jika seseorang berkecenderungan pada permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki ras malu dan takut serta tidak memuji rasa malu dan takut, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan tidak memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Jika seseorang tidak menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan tidak memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak merenungkan ajaran-ajaran dan tidak memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran. Jika seseorang tidak merenungkan ajaran-ajaran dan tidak memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak duduk bermeditasi dan tidak memuji duduk bermeditasi. Jika seseorang tidak duduk bermeditasi dan tidak memuji duduk bermeditasi, maka keadaan ini tidak menyenangkan, tidak menggembirakan, tidak dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, tidak dapat dihormati. Ini tidak kondusif bagi pelatihan, tidak kondusif bagi pengendalian diri, tidak kondusif untuk menjadi seorang pertapa, tidak kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, tidak kondusif untuk mencapai nirvana.

Walaupun orang itu mungkin berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!”, teman-temannya dalam kehidupan suci tetap tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya. Mengapakah demikian? Orang tersebut memiliki tak terhitung kualitas jahat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas jahat ini, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya.

Seumpamanya bahwa seekor kuda yang bertabiat buruk ditambatkan di sebuah kandang kuda untuk diberi makan. Walaupun ia mungkin berpikir, “Semoga orang-orang menambatkanku di suatu tempat yang nyaman, memberikanku air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharaku dengan baik!” orang-orang tetap tidak menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberikannya air dan makanan ternak yang baik, atau memeliharanya dengan baik. Mengapakah demikian? Karena kuda itu memiliki tabiat yang buruk, ia sangat kasar dan tidak patuh, tidak mudah dilatih dan [tidak] berperilaku baik serta ini menyebabkan orang-orang tidak menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberikannya air dan makanan ternak yang baik, atau memeliharanya dengan baik.

Dengan cara yang sama, walaupun seseorang berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!” teman-temannya dalam kehidupan suci tetap tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya. Mengapakah demikian? Orang itu memiliki tak terhitung kualitas jahat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas jahat ini, ini menyebabkan teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menyokongnya, menghormatinya, atau menghargainya.

[Berlawanan dengan hal ini,] seumpamanya seseorang tidak menyukai perselisihan dan memuji akhir perselisihan. Jika seseorang tidak menyukai perselisihan dan memuji akhir perselisihan, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak memiliki keinginan jahat dan memuji akhir keinginan jahat. Jika seseorang tidak memiliki keinginan jahat dan memuji akhir keinginan jahat, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak melanggar aturan-aturan latihan, tidak menyalahi aturan-aturan latihan; aturan-aturan latihannya sempurna, aturan-aturan latihannya tidak terkoyak-koyak, aturan-aturan latihannya tidak rusak, dan ia memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan. Jika seseorang tidak melanggar aturan-aturan latihan, tidak menyalahi aturan-aturan latihan; jika aturan-aturan latihannya sempurna, jika aturan-aturan latihannya tidak terkoyak-koyak, jika aturan-aturan latihannya tidak rusak, dan jika ia memuji pelaksanaan aturan-aturan latihan, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang tidak berkecenderungan pada permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, serta memuji dimilikinya rasa malu dan takut, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Jika seseorang menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci dan memuji menunjukkan sokongan terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang merenungkan ajaran-ajaran dan memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran. Jika seseorang merenungkan ajaran-ajaran dan memuji perenungan terhadap ajaran-ajaran, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Seumpamanya seseorang duduk bermeditasi dan memuji duduk bermeditasi. Jika seseorang duduk bermeditasi dan memuji duduk bermeditasi, maka keadaan ini adalah menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dapat dipikirkan dengan penuh kasih sayang, dapat dihormati. Ini adalah kondusif pada pelatihan, kondusif pada pengendalian diri, kondusif untuk menjadi seorang pertapa, kondusif untuk mencapai keterpusatan pikiran, kondusif untuk mencapai nirvana.

Walaupun orang ini mungkin tidak berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!” tetapi teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghormatinya. Mengapakah demikian? Orang itu memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghargainya.

Seumpamanya seekor kuda yang sangat bagus ditambatkan di sebuah kandang kuda untuk diberi makan. Walaupun ia mungkin tidak berpikir, “Semoga orang-orang menambatkanku di suatu tempat yang nyaman, memberiku air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharaku dengan baik!” tetapi orang-orang menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberinya air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharanya dengan baik. Mengapakah demikian? Karena kuda itu memiliki tabiat yang baik, mudah dilatih dan patuh, sangat lembut, dan berperilaku baik; ini menyebabkan orang-orang menambatkannya di suatu tempat yang nyaman, memberinya air dan makanan ternak yang baik, dan memeliharanya dengan baik.

Dengan cara yang sama, walaupun orang ini mungkin tidak berpikir, “Semoga teman-temanku dalam kehidupan suci menyokongku, menghormatiku, dan menghargaiku!” tetapi teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghargainya. [Mengapakah demikian? Orang itu memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini. Karena ia memiliki tak terhitung kualitas bermanfaat ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menyokongnya, menghormatinya, dan menghargainya.]

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang Sang Buddha katakan, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

63
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:30:19 PM »
93. Kotbah tentang Seorang Brahmana [Praktisi] Pemurnian dengan Mandi<177>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha baru saja mencapai pencerahan,<178> beliau sedang berdiam di bawah sebatang pohon ajapāla-nigrodha di Uruvelā, di dekat tepi Sungai Neranjarā.

Pada waktu itu terdapat seorang brahmana [praktisi] pemurnian dengan mandi yang, ketika sedang berjalan-jalan di sore hari, mendekati Sang Buddha. Melihat brahmana [praktisi] pemurnian dengan mandi itu datang dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sehubungan dengan brahmana itu:<179>

Jika pikiran seseorang dikotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi menuju alam yang buruk, terlahir di alam neraka.<180> Apakah dua puluh satu kekotoran itu?

Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], maka ia pasti akan pergi menuju alam yang buruk, dengan terlahir di alam neraka.

Seumpamanya bahwa sehelai kain kotor dan bernoda diberikan kepada seorang tukang celup [untuk diwarnai]. Setelah menerimanya, tukang celup itu mencuci kain tersebut sepenuhnya dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk melenyapkan kotoran dan noda-noda darinya. Tetapi walaupun tukang celup itu mencuci kain tersebut sepenuhnya dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk membuatnya bersih, kain kotor itu masih tetap kotor dan bernoda.<181>

Dengan cara yang sama, jika pikiran seseorang terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi ke alam yang buruk, terlahir di alam neraka. Apakah dua puluh satu kekotoran itu? Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], maka ia pasti akan pergi menuju alam yang buruk, terlahir di alam neraka.

Jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga. Apakah dua puluh satu kekotoran itu? Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], maka ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga.

Seumpamanya bahwa sehelai kain putih Benares yang bersih diberikan kepada seorang tukang celup [untuk diwarnai]. Setelah menerimanya, tukang celup itu mencuci kain tersebut sepenuhnya dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk membersihkannya. Ketika tukang cuci itu sepenuhnya mencuci kain putih Benares yang bersih ini dengan abu, kacang sabun, atau tanah liat untuk membersihkannya, kain putih Benares yang bersih ini yang sudah bersih menjadi lebih bersih lagi.<182>

Dengan cara yang sama, jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran, maka ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga. Apakah dua puluh satu kekotoran itu? Pandangan salah adalah suatu kekotoran batin; keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin; ketamakan adalah suatu kekotoran batin; [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin; keserakahan adalah suatu kekotoran batin; kemarahan adalah suatu kekotoran batin; kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin; kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin; keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin; permusuhan adalah suatu kekotoran batin; sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin; kekikiran adalah suatu kekotoran batin; keirihatian adalah suatu kekotoran batin; tipu daya adalah suatu kekotoran batin; sanjungan adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin; tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin; keangkuhan adalah suatu kekotoran batin; kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin; kesombongan adalah suatu kekotoran batin; kelalaian adalah suatu kekotoran batin. Jika pikiran seseorang tidak terkotori oleh [salah satu dari] dua puluh satu kekotoran [ini], ia pasti akan pergi menuju alam yang baik, terlahir di alam surga.

Jika seseorang mengetahui pandangan salah adalah suatu kekotoran batin, maka, setelah mengetahui hal ini, ia seharusnya meninggalkannya. Dengan cara yang sama, jika seseorang mengetahui keinginan yang bertentangan dengan Dharma adalah suatu kekotoran batin, ... ketamakan adalah suatu kekotoran batin, ... [menganut] ajaran salah adalah suatu kekotoran batin, ... keserakahan adalah suatu kekotoran batin, ... kemarahan adalah suatu kekotoran batin, ... kelambanan dan ketumpulan adalah suatu kekotoran batin, ... kegelisahan dan kekhawatiran adalah suatu kekotoran batin, ... keragu-raguan adalah suatu kekotoran batin, ... permusuhan adalah suatu kekotoran batin, ... sifat tidak komunikatif adalah suatu kekotoran batin, ... kekikiran adalah suatu kekotoran batin, ... keirihatian adalah suatu kekotoran batin, ... tipu daya adalah suatu kekotoran batin, ... sanjungan adalah suatu kekotoran batin, ... tidak memiliki rasa malu adalah suatu kekotoran batin, ... tidak memiliki rasa takut adalah suatu kekotoran batin, ... keangkuhan adalah suatu kekotoran batin, ... kebanggaan yang berlebihan adalah suatu kekotoran batin, ... kesombongan adalah suatu kekotoran batin, ... kelalaian adalah suatu kekotoran batin, maka, setelah mengetahui hal ini, ia seharusnya meninggalkannya.

Ia memenuhi pikiran dengan cinta kasih, secara batin meliputi satu arah [dengan cinta kasih], seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, empat arah di antaranya, dan juga atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, ia berdiam setelah meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Dengan cara yang sama, ia memenuhi pikiran dengan belas kasih, ... dengan kegembiraan empatik, ... dengan keseimbangan, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan; ia berdiam setelah meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang telah menjadi tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik.<183>

Brahmana, ini adalah apa yang disebut mandi pikiran secara internal alih-alih mandi jasmani secara eksternal.

Kemudian brahmana itu berkata kepada Sang Bhagavā, “Gotama, engkau seharusnya pergi ke Sungai Bāhukā untuk mandi.”

Sang Bhagavā bertanya, “Brahmana, apakah yang orang-orang peroleh dari mandi di Sungai Bāhukā?”

Brahmana itu menjawab:

Gotama, mandi di Sungai Bāhukā adalah tanda pemurnian religius di dunia, tanda pembebasan, tanda jasa kebajikan. Gotama, seseorang yang mandi di Sunga Bāhukā dengan demikian dimurnikan dan melenyapkan semua kejahatan.

Sang Bhagavā kemudian mengucapkan syair kepada brahmana itu:

Brahmana Sundarika,
Memasuki Sungai Bāhukā
Adalah suatu rekreasi umum orang-orang bodoh,
Yang tidak dapat memurnikan perbuatan-perbuatan gelap.

Sundarika, apakah gunanya pergi ke mata air?
Apakah manfaatnya Sungai Bāhukā?
Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat,
Kebaikan apakah yang dilakukan air bersih kepadanya?

Seseorang yang murni tidak memiliki noda-noda dan kekotoran;
Seseorang yang murni selalu mengatakan tentang moralitas.
Perbuatan cemerlang dan bersih seseorang yang murni
Selalu membawa pada perilaku yang murni.

Jika engkau tidak membunuh makhluk-makhluk hidup,
Selalu menghindari diri dari mengambil apa yang tidak diberikan,
Mengatakan kebenaran, tidak berkata bohong,
Selalu memiliki perhatian benar dan pemahaman benar,
Maka, brahmana, berlatih dengan cara ini,
Semua makhluk hidup dalam kedamaian.

Brahmana, mengapa pulang ke rumah [untuk mandi]?
Mata air di rumah tidak memurnikan siapa pun.
Brahmana, engkau seharusnya berlatih
Dalam pemurnian melalui ajaran-ajaran bermanfaat.
Apa perlunya engkau dari air yang rendah,
Yang hanya melenyapkan kotoran jasmani?

Brahmana itu berkata kepada Sang Buddha, “Aku juga berpikir dengan cara ini. Aku akan memurnika diriku melalui ajaran-ajaran bermanfaat. Apa perlunya diriku dari air yang rendah?”

Mendengar apa yang diajarkan Sang Buddha, brahmana itu sangat bergembira dalam pikiran. Ia memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Brahmana itu berkata:

Sang Bhagavā, aku telah memahami. Sang Sugata, aku telah mengerti. Aku sekarang secara pribadi mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagavā menerimaku sebagai umat awam pria sejak hari ini sampai akhir kehidupan. Aku secara pribadi mengambil perlindungan sepanjang hidupku.<184>

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, brahmana Sundarika [yang menjalankan] pemurnian melalui mandi dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

64
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:26:53 PM »
92. Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Terdapat keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh jasmani dan tidak dipadamkan oleh ucapan. Terdapat keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh ucapan dan tidak dipadamkan oleh jasmani. Dan terdapat keadaan-keadaan yang tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan.

Apakah keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh jasmani dan tidak dipadamkan oleh ucapan? Di sini seorang bhikkhu dipenuhi oleh perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya, mengikutinya secara jasmani. Setelah melihat hal ini, para bhikkhu lain menegur bhikkhu itu, “Teman yang mulia, engkau dipenuhi dengan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya. Mengapakah engkau mengikutinya secara jasmani? Teman yang mulia, engkau seharusnya meninggalkan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat dan mengembangkan perbuatan jasmani yang bermanfaat.” Pada waktu belakangan orang itu meninggalkan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat dan mengembangkan perbuatan jasmani yang bermanfaat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan yag dipadamkan oleh jasmani dan tidak dipadamkan oleh ucapan.

Apakah keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh ucapan dan tidak dipadamkan oleh jasmani? Di sini seorang bhikkhu dipenuhi dengan perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya, mengikutinya secara ucapan. Melihat hal ini, para bhikkhu lain menegur bhikkhu itu demikian, “Teman yang mulia, engkau dipenuhi dengan perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat, memilikinya dan mempertahankannya. Mengapakah engkau mengikutinya secara ucapan? Teman yang mulia, engkau seharusnya meninggalkan perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat dan mengembangkan perbuatan ucapan yang bermanfaat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan yang dipadamkan oleh ucapan dan tidak dipadamkan oleh jasmani.

Apakah keadaan-keadaan yang tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan? Ketamakan tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... keinginan jahat dan pandangan jahat tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan. Ini adalah apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan yang tidak dipadamkan oleh jasmani atau oleh ucapan, tetapi dipadamkan hanya oleh kebijaksanaan dan penglihatan.

Sang Tathāgata kadang kala melakukan penyelidikan, untuk menyelidiki pikiran orang lain. Beliau mengetahui bahwa orang ini tidak sedang mengembangkan jasmani, mengembangkan moralitas, mengembangkan pikirannya, dan mengembangkan kebijaksanaan dengan cara sedemikian sehingga melalui pengembangan jasmani, pengembangan moralitas, pengembangan pikiran, dan pengembangan kebijaksanaan ia dapat memadamkan ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang itu [keadaan-keadaan] jahat dari ketamakan sedang muncul dan menetap.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... ia dapat memadamkan keinginan jahat dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang itu keinginan jahat dan pandangan jahat sedang muncul dan menetap.

[Sang Tathāgata kadang kala] mengetahui bahwa orang [lain] ini sedang mengembangkan jasmani, mengembangkan moralitas, mengembangkan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan dengan cara sedemikian sehingga melalui pengembangan jasmani, pengembangan moralitas, pengembangan pikiran, dan pengembangan kebijaksanaan, ia dapat memadamkan ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang ini [keadaan-keadaan] jahat [dari] ketamakan tidak sedang muncul dan menetap.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... ia dapat memadamkan keinginan jahat dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran orang itu keinginan jahat dan pandangan jahat tidak sedang muncul dan menetap.

Seperti halnya ketika sekuntum seroja biru, atau merah, merah tua, atau seroja putih lahir dalam air dan tumbuh dalam air, tetapi muncul di atas air dan tidak melekat pada air. Dengan cara yang sama, seorang Tathāgata lahir di dunia dan tumbuh dewasa di dunia, tetapi muncul di atas perilaku duniawi dan tidak melekat pada keadaan-keadaan duniawi. Mengapakah demikian? [Karena] seorang Tathāgata bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, setelah muncul di atas semua yang bersifat duniawi.

Pada waktu itu, Yang Mulia Ānanda sedang memegang kipas dan melayani Sang Buddha. Kemudian, merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, apakah nama kotbah ini? Bagaimanakah kami seharusnya mengingatnya?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, kotbah ini disebut ‘Perumpamaan Seroja Biru dan Putih.’ Ini adalah bagaimana kalian seharusnya mengingat dan mengulanginya.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada semua bhikkhu:

Kalian seharusnya bersama-sama mengingat “Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih” ini, mengulanginya, dan menyimpannya dalam ingatan. Mengapakah demikian? “Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih” ini sesuai dengan Dharma dan kondusif bagi manfaat. Ini adalah landasan bagi kehidupan suci, yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Para anggota keluarga yang mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan demi keyakinan meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk memasuki keadaan tanpa rumah dan berlatih dalam sang jalan seharusnya mengingat “Kotbah tentang Perumpamaan Seroja Biru dan Putih” ini, mengulanginya dan mempertahankannya dengan baik.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.

65
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:24:58 PM »
91. Kotbah tentang Pertanyaan Cunda tentang Pandangan-Pandangan<174>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.

Pada waktu itu, pada sore hari, Yang Mulia Mahācunda bangkit dari duduk bermeditasi dan mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, ia mengundurkan diri, duduk pada satu sisi, dan berkata:

Sang Bhagavā, sehubungan dengan berbagai pandangan yang terus-menerus muncul di dunia – spekulasi-spekulasi tentang keberadaan diri, makhluk hidup, manusia, jiwa, landasan kehidupan, dan dunia – Sang Bhagavā, dengan cara apakah seseorang seharusnya mengetahui dan dengan cara apakah seseorang seharusnya melihat sehingga pandangan-pandangan ini dilenyapkan dan ditinggalkan, dan pandangan-pandangan lain tidak berlanjut dan dilekati?

Sang Bhagavā berkata:

Cunda, sehubungan dengan berbagai pandangan yang terus-terus muncul di dunia – spekulasi-spekulasi tentang keberadaan diri, makhluk hidup, manusia, jiwa, landasan kehidupan, dan dunia – jika, Cunda, [seseorang merealisasi] lenyapnya tanpa sisa semua fenomena, [maka] dengan mengetahui seperti ini dan melihat seperti ini, pandangan-pandangan ini dilenyapkan dan ditinggalkan, dan pandangan-pandangan lainnya tidak berlanjut dan dilekati. [Untuk tujuan ini] seseorang seharusnya melatih penghapusan.

Cunda, apakah yang merupakan “penghapusan” dalam Dharma dan disiplin mulia? Di sini seorang bhikkhu, terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat, dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan] ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Ia mungkin berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.”

Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin mulia empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini masih bukan merupakan “penghapusan”. Mereka adalah “kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.” Ketika seorang praktisi keluar dari [jhāna-jhāna ini] dan memasukinya lagi, ia [mungkin] berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.” Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin mulia hal-hal ini masih bukan merupakan “penghapusan”.

Seorang bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk ... sampai dengan ... memasuki dan berdiam dalam landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Ia mungkin berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.” Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin mulia empat pembebasan yang damai ini, yang melampaui bentuk, setelah mencapai yang tanpa bentuk, masih bukan merupakan “penghapusan”. Ketika keluar darinya, seorang praktisi mungkin menyatakan kepada orang lain atau berpikir, “Aku sedang berdiam dalam penghapusan.” Tetapi, Cunda, dalam Dharma dan disiplin hal-hal ini masih bukan merupakan “penghapusan”.

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keingina jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]; aku tidak akan memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian].”<175> Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan; aku tidak akan memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan; aku tidak akan memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan.”

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... tidak [hidup] selibat; aku akan [hidup] selibat.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] dikuasai oleh ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan; aku tidak akan dikuasai oleh keragu-raguan.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terbelenggu oleh permusuhan, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki rasa malu dan takut; aku akan memiliki rasa malu dan takut.”

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keangkuhan; aku tidak akan memiliki keangkuhan.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki kebanggaan yang berlebihan; aku tidak akan memiliki kebanggaan yang berlebihan.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] sedikit belajar; aku akan banyak belajar.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat; aku akan merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat.”

Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlihat dalam perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma; aku akan terlibat dalam perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlibat dalam ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat; aku tidak akan terlibat dalam perbuatan jahat.” Cunda, seseorang seharusnya melatih penghapusan [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat; aku tidak akan memiliki kebijaksanaan yang cacat.”

Cunda, bahkan hanya mencondongkan pikiran pada keadaan-keadaan bermanfaat dan berkeinginan untuk berlatih di dalamnya akan memiliki banyak manfaat; apalagi jika seseorang melatih keadaan-keadaan bermanfaat dalam perbuatan jasmani dan ucapannya!

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]; aku tidak akan memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian].” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan; aku tidak akan memiliki kehendak menyakiti dan kemarahan.”

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... dan tidak [hidup] selibat; aku akan [hidup] selibat.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] dikuasai oleh ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... dan keragu-raguan; aku tidak akan [dikuasai oleh] keragu-raguan.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] dibelenggu oleh permusuhan, ... sanjungan, ... tipu daya, ... tidak memiliki rasa malu dan takut; aku akan memiliki rasa malu dan takut.”

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki keangkuhan; aku tidak akan memiliki keangkuhan.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] memiliki kebanggaan yang berlebihan; aku tidak akan memiliki kebanggaan yang berlebihan.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] sedikit belajar; aku akan banyak belajar.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat; aku akan merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat.”

Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlibat dalam perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma; aku akan terlibat dalam perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] terlibat dalam ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat; aku tidak akan terlibat dalam perbuatan jahat.” Cunda, seseorang seharusnya mencondongkan pikiran [seperti ini]: “Orang lain [mungkin] tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... dan memiliki kebijaksanaan yang cacat; aku tidak akan memiliki kebijaksanaan yang cacat.”

Cunda, seperti halnya jalan yang salah memiliki jalan yang benar sebagai lawannya, dan seperti halnya penyeberangan sungai yang tidak rata memiliki penyeberangan sungai yang rata sebagai lawannya, dengan cara yang sama, Cunda, keinginan jahat memiliki ketiadaan keinginan jahat sebagai lawannya. Kehendak menyakiti dan kemarahan memiliki ketiadaan kehendak menyakiti dan kemarahan sebagai lawannya.

Membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberika, ... tidak [hidup] selibat memiliki [hidup] selibat sebagai lawannya. Ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan memiliki ketiadaan keragu-raguan sebagai lawannya. Belenggu permusuhan, ... sanjungan, ... tipu daya, ... ketiadaan rasa malu dan takut memiliki adanya rasa malu dan takut sebagai lawannya.

Keangkuhan memiliki ketiadaan keangkuhan sebagai lawannya. Kebanggaan yang berlebihan memiliki ketiadaan kebanggaan yang berlebihan sebagai lawannya. Sedikit pembelajaran memiliki banyak pembelajaran sebagai lawannya. Tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat memiliki merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat sebagai lawannya.
Perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma memiliki perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma sebagai lawannya. Ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... dan perbuatan jahat memiliki menghindari perbuatan jahat sebagai lawannya. Tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat memiliki kebijaksanaan yang bermanfaat sebagai lawannya.

Cunda, terdapat keadaan-keadaan gelap yang menghasilkan akibat-akibat gelap dan mengarah [ke bawah menuju] alam-alam kehidupan yang buruk; dan terdapat keadaan-keadaan cerah yang menghasilkan akibat-akibat cerah dan mengarah ke atas. Demikianlah, Cunda, seseorang yang berkecenderungan pada keinginan jahat diarahkan ke atas oleh ketiadaan keinginan jahat. Seseorang yang berkecenderungan pada kehendak menyakiti dan kemarahan diarahkan ke atas oleh ketiadaan kehendak menyakiti dan kemarahan.

Seseorang yang berkecenderungan untuk membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... tidak [hidup] selibat diarahkan ke atas oleh [hidup] selibat. Seseorang yang berkecenderungan pada ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan diarahkan ke atas oleh ketiadaan keragu-raguan. Seseorang yang berkecenderungan pada belenggu permusuhan, ... pada sanjungan, ... pada tipu daya, ... pada ketiadaan rasa malu dan takut diarahkan ke atas oleh adanya rasa malu dan takut.

Seseorang yang berkecenderungan pada keangkuhan diarahkan ke atas oleh ketiadaan keangkuhan. Seseorang yang berkecenderungan pada kebanggaan yang berlebihan diarahkan ke atas oleh ketiadaan kebanggaan yang berlebihan. Seseorang dengan sedikit pembelajaran diarahkan ke atas oleh banyak pembelajaran. Seseorang yang berkecenderungan tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat diarahkan ke atas oleh perenungan keadaan-keadaan bermanfaat.
Seseorang yang berkecenderungan pada perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma diarahkan ke atas oleh perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma. Seseorang yang berkecenderungan pada ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat diarahkan ke atas oleh penghindaran diri dari perbuatan jahat. Seseorang yang tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat diarahkan ke atas oleh kebijaksanaan yang bermanfaat.

Cunda, jika seseorang tidak menjinakkan dirinya sendiri, adalah tidak mungkin untuk menjinakkan orang lain yang tidak jinak. Jika seseorang yang ia sendiri tenggelam, adalah tidak mungkin untuk menyelamatkan orang lain yang tenggelam. Jika seseorang belum memadamkan [kekotoran-kekotoran]nya sendiri, adalah tidak mungkin untuk menyebabkan orang lain yang belum memadamkan [kekotoran-kekotoran] untuk memadamkannya.<176>

Cunda, jika seseorang menjinakkan dirinya sendiri, adalah mungkin untuk menjinakkan orang lain yang tidak jinak. Jika seseorang yang ia sendiri tidak tenggelam, adalah mungkin untuk menyelamatkan orang lain yang tenggelam. Jika seseorang telah memadamkan [kekotoran-kekotoran]nya sendiri, adalah mungkin untuk menyebabkan orang lain yang belum memadamkan [kekotoran-kekotoran] untuk memadamkannya.

Dengan cara ini, Cunda, seseorang yang berkecenderungan pada keinginan jahat dapat memadamkannya melalui ketiadaan keinginan jahat. Seseorang yang berkecenderungan pada kehendak menyakiti dan kemarahan dapat memadamkannya melalui ketiadaan kehendak menyakiti dan kemarahan.

Seseorang yang berkecenderungan untuk membunuh makhluk hidup, ... mengambil apa yang tidak diberikan, ... tidak [hidup] selibat dapat memadamkannya melalui [hidup] selibat. Seseorang yang berkecenderungan pada ketamakan, ... sifat suka berselisih, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan, ... kesombongan, ... keragu-raguan dapat memadamkannya melalui ketiadaan keragu-raguan. Seseorang yang berkecenderungan pada belenggu permusuhan, ... pada sanjungan, ... pada tipu daya, ... pada ketiadaan rasa malu dan takut dapat memadamkannya melalui memiliki rasa malu dan takut.

Seseorang yang berkecenderungan pada keangkuhan dapat memadamkannya melalui tanpa keangkuhan. Seseorang yang berkecenderungan pada kebanggaan yang berlebihan dapat memadamkannya melalui tanpa kebanggaan yang berlebihan. Seseorang dengan sedikit pembelajaran dapat memadamkannya melalui banyak pembelajaran. Seseorang yang berkecenderungan tidak merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat dapat memadamkannya melalui merenungkan keadaan-keadaan bermanfaat.

Seseorang yang berkecenderungan pada perilaku jahat yang bertentangan dengan Dharma dapat memadamkannya melalui perilaku luhur yang sesuai dengan Dharma. Seseorang yang berkecenderungan pada ucapan salah, ... ucapan yang memecah belah, ... ucapan kasar, ... ucapan omong kosong, ... perbuatan jahat dapat memadamkannya melalui menghindari diri dari perbuatan jahat. Seseorang yang tidak memiliki keyakinan, ... lalai, ... tidak memiliki perhatian penuh, ... tidak memiliki konsentrasi, ... memiliki kebijaksanaan yang cacat dapat memadamkannya melalui memiliki kebijaksanaan yang bermanfaat.

Dengan cara ini, Cunda, aku telah mengajarkan kepadamu jalan penghapusan. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan mencondongkan pikiran. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan yang berlawanan. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan yang mengarah ke atas. Aku telah mengajarkan kepadamu jalan menuju pemadaman.

Apa yang seharusnya dilakukan seorang guru untuk para siswanya demi belas kasih agung, kebaikan, simpati, dan perhatian, , dengan mencari manfaat dan kesejahteraan mereka, mencari keamanan dan kebahagian mereka – itu telah kulakukan sekarang. Kalian juga seharusnya melakukan tugas kalian. Pergilah dan duduk bermeditasi dan merenung di suatu tempat yang terpencil, di gunung, di dalam hutan, di bawah sebatang pohon, di tempat yang kosong dan tenang.

Janganlah lalai. Lakukanlah usaha yang tekun, agar kalian tidak menyesal kelak. Inilah instruksiku, inilah pengajaranku.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Mahācunda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.

66
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:17:31 PM »
90. Kotbah tentang Pengetahuan Dharma<169>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.

Pada waktu itu Yang Mulia Cunda berkata kepada para bhikkhu:

Seumpamanya bahwa seorang bhikkhu membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan”;<170> tetapi dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan muncul dan menetap. Dengan cara yang sama untuk sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... keinginan <jahat> dan pandangan jahat;<171> tetapi dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat muncul dan menetap.<172>

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu sebagai seorang yang tidak mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang tidak bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu ketamakan muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat muncul dan menetap.

Teman-teman yang mulia, ia bagaikan seseorang yang tidak kaya tetapi menyatakan sebagai kaya, tidak memiliki tanah feodal tetapi menyatakan memiliki tanah feodal, tidak memiliki hewan ternak tetapi menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba ia tidak memiliki emas, perak, mutiara, beril, kristal, atau ambar, tidak memiliki hewan ternak, padi-padian, atau para pelayan [yang dapat ia gunakan].

Sanak keluarga dan teman-temannya mendekatinya dan berkata, “Engkau sebenarnya tidak kaya tetapi menyatakan sebagai kaya. Engkau tidak memiliki tanah feodal tetapi menyatakan memiliki tanah feodal. Engkau tidak memiliki hewan ternak tetapi menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba engkau tidak memiliki emas, perak, mutiara, beril, kristal, atau ambar, engkau tidak memiliki hewan ternak, padi-padian, atau para pelayan [yang dapat engkau gunakan].”<173>

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan”, tetapi dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat; tetapi dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat muncul dan menetap.

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu adalah seorang yang tidak mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang tidak bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu tidak cenderung pada lenyapnya ketamakan dan pada nirvana tanpa sisa.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu tidak cenderung pada lenyapnya pandangan jahat dan pada nirvana tanpa sisa.

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu tidak membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan”; tetapi dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan tidak muncul dan menetap.

Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat; tetapi dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat tidak muncul dan menetap.

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu sebagai seorang yang benar-benar mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu ketamakan tidak muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan jahat tidak muncul dan menetap.

Teman-teman yang mulia, seumpamanya seseorang yang sangat kaya tetapi tidak menyatakan sebagai kaya, memiliki tanah feodal tetapi tidak menyatakan memiliki tanah feodal, memiliki hewan ternak tetapi tidak menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba ia memiliki emas, perak, mutiara, beril, kristal, ambar, hewan ternak, padi-padian, dan para pelayan [yang dapat ia gunakan].

Sanak keluarga dan teman-temannya mendekatinya dan berkata, “Engkau sebenarnya sangat kaya tetapi tidak menyatakan sebagai kaya. Engkau memiliki tanah feodal tetapi tidak menyatakan memiliki tanah feodal. Engkau memiliki hewan ternak tetapi tidak menyatakan memiliki hewan ternak. Ketika waktu kebutuhan tiba engkau memiliki emas, perak, beril, kristal, dan ambar, engkau memiliki hewan ternak, padi-padian, dan para pelayan [yang dapat engkau gunakan].”

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seumpamanya seorang bhikkhu tidak membuat pernyataan ini: “Aku mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan aku bebas dari ketamakan,” dan dalam pikiran yang mulia itu keadaan jahat dari ketamakan tidak muncul dan menetap. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... keinginan <jahat> dan pandangan jahat; dan dalam pikiran yang mulia itu keinginan jahat dan pandangan salah tidak muncul dan menetap.

Teman-temannya dalam kehidupan suci akan mengetahui yang mulia itu sebagai seorang yang [benar-benar] mengetahui semua ajaran dan apa yang dapat diketahui tentang ajaran, dan yang bebas dari ketamakan. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu cenderung pada lenyapnya ketamakan dan pada nirvana tanpa sisa. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu cenderung pada lenyapnya ketamakan dan pada nirvana tanpa sisa. Dengan cara yang sama, sifat suka berselisih, ... kemarahan, ... permusuhan, ... sifat tidak komunikatif, ... kekikiran, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... serta keinginan <jahat> dan pandangan jahat. Mengapakah demikian? Karena pikiran yang mulia itu cenderung pada lenyapnya pandangan jahat dan pada nirvana tanpa sisa.

Demikian yang diucapkan Yang Mulia Cunda. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Cunda, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

67
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:11:48 PM »
89. Kotbah tentang Permohonan Seorang Bhikkhu<163>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, di Tempat Perlindungan Tupai, di mana beliau sedang menjalankan pengasingan musim hujan dengan sekumpulan besar bhikkhu.<164>

Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, mungkin bahwa seorang bhikkhu memohon para bhikkhu lain, “Teman-teman yang mulia, mohon nasihatilah diriku, ajarkanlah diriku, dan tegurlah diriku. Janganlah [menganggap]ku sebagai seseorang yang menyulitkan.”

Mengapakah demikian? Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu sulit untuk ditegur, dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk ditegur. Karena orang itu memiliki kualitas-kualitas yang membuatya sulit untuk ditegur, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menasihati, mengajarkan, atau menegurnya, tetapi [mereka menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan.

Teman-teman yang mulia, apakah kualitas-kualitas yang membuat seseorang sulit untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk ditegur ini, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menasihati, mengajarkan, atau menegurnya tetapi [mereka menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Teman-teman yang mulia, memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian] adalah suatu kualitas yang membuat orang ini sulit ditegur. Dengan cara yang sama, memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak berbicara dan tidak komunikatif, ... penuh tipu daya dan suka menyanjung, ... kikir dan iri hati, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... menyimpan permusuhan dan kedengkian, ... menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... menegur bhikkhu yang menegurnya, ... memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara, ... menjadi marah dan terbakar dengan kebencian, ... [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih.<165>

Teman-teman yang mulia, tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih adalah suatu kualitas yang membuat orang ini sulit untuk ditegur. Teman-teman yang mulia, ini adalah kualitas-kualitas yang membuat seseorang sulit untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk ditegur, teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menasihati, mengajarkan, atau menegurnya tetapi [mereka menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan. Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu seharusnya merenungkan kualitas-kualitas demikian dalam dirinya sendiri.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], aku tidak akan seperti orang itu. Jika aku memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], orang lain juga tidak akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu tidak memelihara keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.<166>

Dengan cara yang sama, memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak berbicara dan tidak komunikatif, ... penuh tipu daya dan suka menyanjung, ... kikir dan iri hati, ... tidak memiliki rasa malu dan takut, ... menyimpan permusuhan dan kedengkian, ... menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... menegur bhikkhu yang menegurnya, ... memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara, ... menjadi marah dan terbakar dengan kebencian, ... [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, aku tidak akan seperti orang itu. Jika aku tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, orang lain juga tidak akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu tidak memelihara ketiadaan rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.

Teman-teman yang mulia, mungkin bahwa seorang bhikkhu tidak memohon bhikkhu lain, “Teman-teman yang mulia, mohon nasihatilah diriku, ajarkanlah diriku, dan tegurlah diriku, serta janganlah [menganggap]ku sebagai seseorang yang menyulitkan.” Mengapakah demikian?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu mudah untuk ditegur, dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur. Karena orang itu memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihatinya dengan baik, mengajarkannya dengan baik, dan menegurnya dengan baik, serta tidak [menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan.

Teman-teman yang mulia, apakah kualitas-kualitas yang membuat seseorang mudah untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihatinya dengan baik, mengajarkannya dengan baik, dan menegurnya dengan baik, serta tidak [menganggap]nya sebagai seseorang yang menyulitkan?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang tertentu tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Teman-teman yang mulia, tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian] adalah suatu kualitas yang membuat orang ini mudah untuk ditegur.

Dengan cara yang sama, tidak memiliki kekotoran batin atau perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak menolak berbicara atau tidak komunikatif, ... tidak penuh tipu daya atau suka menyanjung, ... tidak tamak atau iri hati, ... memiliki rasa malu atau takut, ... tidak menyimpan kebencian atau kedengkian, ... tidak menjadi marah atau mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... tidak menegur bhikkhu yang menegurnya, ... tidak memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengelak dengan mengalihkan pembicaraan atau menolak berbicara, ... tidak menjadi marah atau terbakar dengan kebencian, ... tidak [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... memiliki rasa terima kasih atau tahu berterima kasih.

Teman-teman yang mulia, memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih adalah suatu kualitas yang membuat seseorang demikian mudah untuk ditegur. Teman-teman yang mulia, ini adalah kualitas-kualitas yang membuat seseorang mudah untuk ditegur, sedemikian sehingga jika seseorang memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah untuk ditegur ini, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihatinya dengan baik, mengajarkannya dengan baik, dan menegurnya dengan baik, serta tidak [menganggap]nya sebaga seseorang yang menyulitkan. Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu seharusnya merenungkan [kualitas-kualitas demikian] dalam dirinya sendiri.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], aku akan seperti orang itu. Jika aku tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka orang lain akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu tidak memelihara keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.<167>

Dengan cara yang sama, tidak memiliki kekotoran batin atau perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], ... tidak menolak berbicara atau tidak komunikatif, ... tidak penuh tipu daya atau suka menyanjung, ... tidak tamak atau iri hati, ... memiliki rasa malu atau takut, ... tidak menyimpan kebencian atau kedengkian, ... tidak menjadi marah atau mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, ... tidak menegur bhikkhu yang menegurnya, ... tidak memandang rendah bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurnya, ... tidak mengelak dengan mengalihkan pembicaraan atau menolak berbicara, ... tidak menjadi marah atau terbakar dengan kebencian, ... tidak [bergaul dengan] teman-teman dan sahabat yang buruk, ... memiliki rasa terima kasih atau tahu berterima kasih.

Teman-teman yang mulia, [seseorang seharusnya merenungkan]: “Jika seseorang memiliki rasa terima kasih tetapi tahu berterima kasih, aku akan seperti orang itu. Jika aku memiliki rasa terima kasih tetapi tahu berterima kasih, orang lain juga akan seperti diriku.” Merenungkan seperti ini, seorang bhikkhu memiliki rasa terima kasih tetapi tahu berterima kasih. Ini adalah bagaimana seseorang seharusnya berlatih.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu akan memastikan banyak manfaat bagi dirinya sendiri jika ia merenungkan seperti ini: “Apakah aku memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], atau apakah aku tidak memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian]?” Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkannya.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki keinginan jahat atau pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihannya dalam Dharma yang mengagumkan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang dengan penglihatan [yang baik] dapat melihat dirinya sendiri pada sebuah cermin untuk melihat apakah wajahnya bersih atau tidak. Teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa terdapat kotoran pada wajahnya, maka ia tidak bergembira dan berusaha membersihkannya. Teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa tidak ada kotoran pada wajahnya, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Wajahku bersih,” dan bergembira karena hal ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkannya. Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki keinginan jahat dan pemikiran [berdasarkan] keinginan [demikian], maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihan dalam Dharma yang mengagumkan.

Dengan cara yang sama [bhikkhu itu merenungkan seperti ini]: “Apakah aku memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian], atau apakah aku tidak memiliki kekotoran batin dan perilaku [berdasarkan] kekotoran [demikian]? Apakah aku menolak berbicara dan tetap tidak komunikatif, atau apakah aku berbicara dan tetap komunikatif? Apakah aku penuh tipu daya dan suka menyanjung, atau apakah aku tidak penuh tipu daya dan suka menyanjung? Apakah aku kikir dan iri hati, atau apakah aku tidak kikir dan iri hati? Apakah aku tidak memiliki rasa malu dan takut, atau apakah aku memiliki rasa malu dan takut? Apakah aku menyimpan permusuhan dan kedengkian, atau apakah aku tidak menyimpan permusuhan dan kedengkian? Apakah aku menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan, atau apakah aku tidak menjadi marah dan mengucapkan kata-kata penuh kemarahan? Apakah aku menegur bhikkhu yang menegurku, atau apakah aku tidak menegur bhikkhu yang menegurku? Apakah aku memandang rendah bhikkhu yang menegurku, atau apakah aku tidak memandang rendah bhikkhu yang menegurku? Apakah aku mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurku, atau apakah aku tidak mengungkapkan pelanggaran bhikkhu yang menegurku? Apakah aku mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara, atau apakah aku tidak mengelak dengan mengalihkan pembicaraan dan menolak berbicara? Apakah aku menjadi marah dan terbakar dengan kebencian, atau apakah aku tidak menjadi marah dan terbakar dengan kebencian? Apakah aku tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, atau apakah aku memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih?”

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki rasa terima dan tidak tahu berterima kasih, maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkan [keadaan] ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihannya dalam Dharma yang mengagumkan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang dengan penglihatan [yang baik] dapat melihat dirinya sendiri pada sebuah cermin untuk melihat apakah wajahnya bersih atau tidak. Teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa terdapat kotoran pada wajahnya, maka ia tidak bergembira dan berusaha membersihkannya. [Tetapi] teman-teman yang mulia, jika orang dengan penglihatan [yang baik] itu melihat bahwa tidak ada kotoran pada wajahnya, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Wajahku bersih,” dan bergembira karena hal ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia tidak memiliki rasa terima kasih dan tidak tahu berterima kasih, maka ia tidak bergembira dan berusaha meninggalkan [keadaan] ini.

Teman-teman yang mulia, ketika merenungkan [seperti ini], jika seorang bhikkhu menemukan bahwa ia memiliki rasa terima kasih dan tahu berterima kasih, maka ia bergembira, [dengan berpikir,] “Aku murni [sehubungan dengan keadaan-keadaan ini]” dan bergembira karena hal ini, ia [terus-menerus] menjalankan pelatihannya dalam Dharma yang mengagumkan.<168>
Karena bergembira, ia mencapai sukacita. Karena mencapai sukacita, jasmaninya menjadi tenang. Karena jasmaninya tenang, ia mengalami kebahagiaan. Karena mengalami kebahagiaan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

Teman-teman yang mulia, karena pikirannya menjadi terkonsentrasi, seorang siswa mulia yang terpelajar melihat dan mengetahui sebagaimana adanya. Karena melihat dan mengetahui sebagaimana adanya, ia mengalami kekecewaan. Karena kekecewaan, ia mengalami kebosanan.

Karena kebosanan, ia mencapai pembebasan. Karena terbebaskan, ia mencapai pengetahuan karena terbebaskan, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Mahāmoggallāna. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Mahāmoggallāna, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

68
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:01:54 PM »
88. Kotbah tentang Pencarian terhadap Dharma<155>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kosala dengan sekumpulan besar bhikkhu. Beliau pergi ke sebuah hutan kayu keras di sebelah utara desa Pancasāla, bersama-sama dengan berbagai sesepuh yang terkemuka dan sangat dihormati, para siswa utama seperti Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahāmoggalāna, Yang Mulia Kassapa, Yang Maha Mahākaccāna, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, dan Yang Mulia Ānanda. Para sesepuh yang terkemuka dan sangat dihormati demikian, para siswa utama demikian sedang berdiam di samping gubuk jerami Sang Buddha [di sebelah utara] desa Pancasāla.<156>

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kalian seharusnya melakukan pencarian terhadap Dharma, bukan pencarian terhadap makanan dan minuman.<157> Mengapakah demikian? Demi cinta kasih dan belas kasih bagi para siswaku, aku berharap kalian melakukan pencarian terhadap Dharma, bukan pencarian terhadap makanan dan minuman.

Jika kalian tidak melakukan pencarian terhadap Dharma dan melakukan pencarian terhadap makanan dan minuman, maka kalian akan mencemari diri kalian sendiri dan [sebagai guru kalian] aku juga tidak akan memiliki nama yang baik. Jika kalian melakukan pencarian terhadap Dharma dan bukan melakukan pencarian terhadap makanan dan minuman, maka kalian akan memuliakan diri kalian sendiri dan [sebagai guru kalian] aku juga akan memiliki nama yang baik.

Bagaimanakah para siswa yang berlatih di bawah Sang Buddha melakukan pencarian terhadap makanan dan bukan pencarian terhadap Dharma? Seumpamanya bahwa aku sudah kenyang, setelah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Kemudian dua orang bhikkhu datang, yang lapar dan lemah, dan aku berkata kepada mereka, “Aku sudah kenyang, setelah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Ambillah makanan itu jika kalian ingin makan. Jika kalian tidak mengambilnya, maka aku akan membuangnya [ke tempat] di mana tidak ada tumbuhan hijau atau menjatuhkannya ke dalam air di mana tidak ada kehidupan.”

Kemudian yang pertama dari dua orang bhikkhu itu berpikir, “Sang Bhagavā sudah kenyang, setelah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Jika aku tidak mengambilnya, Sang Bhagavā pasti akan membuangnya [ke tempat] di mana tidak ada tumbuhan hijau atau menjatuhkannya ke dalam air di mana tidak ada kehidupan. Aku sekarang lebih baik mengambil dan memakannya.” Ia kemudian mengambil makanan tersebut.

Walaupun bhikkhu itu, setelah mengambil makanan tersebut, melewati siang dan malam dengan nyaman dan telah memperoleh kenyamanan dan kesejahteraan, tetapi dengan mengambil makanan itu bhikkhu tersebut tidak menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha.

Mengapakah demikian? Karena dengan mengambil makanan itu bhikkhu tersebut tidak mencapai dimilikinya sedikit keinginan, tidak mengetahui kepuasan, tidak mudah disokong, tidak mudah terpuaskan, tidak mengetahui waktu [yang tepat], tidak mengetahui pengendalian, tidak memperoleh semangat, tidak mencapai meditasi duduk, tidak mencapai kemurnian perilaku, tidak mencapai keterasingan, tidak mencapai keterpusatan pikiran, tidak mencapai ketekunan, dan tidak mencapai nirvana.

Demikianlah, dengan mengambil makanan itu, bhikkhu tersebut tidak menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha. Ini adalah bagaimana para siswa yang berlatih di bawah Sang Buddha melakukan pencarian terhadap makanan dan minuman dan bukan pencarian terhadap Dharma.

Bagaimanakah para siswa melakukan pencarian terhadap Dharma dan bukan pencarian terhadap makanan dan minuman? Dari dua orang bhikkhu itu, yang kedua berpikir, “Sang Bhagavā sudah kenyang, telah selesai makan, dan masih ada suatu makanan tersisa. Jika aku tidak mengambilnya, Sang Bhagavā pasti akan membuangnya [ke tempat] di mana tidak ada tumbuhan hijau atau menjatuhkannya ke dalam air di mana tidak ada kehidupan. Selanjutnya, Sang Bhagavā telah mengatakan bahwa di antara [jenis-jenis] makanan, ini adalah yang paling rendah, yaitu sisa-sisa makanan. Aku sekarang lebih baik tidak mengambil makanan ini.” Berpikir demikian, ia tidak mengambilnya.

Walaupun bhikkhu itu, karena tidak mengambil makanan tersebut, melewati siang dan malam dalam penderitaan, tidak memperoleh kenyamanan dan kesejahteraan, tetapi dengan tidak mengambil makanan tersebut, bhikkhu itu menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha. Mengapakah demikian?

Dengan tidak mengambil makanan itu bhikkhu tersebut mencapai dimilikinya sedikit keinginan, mengetahui kepuasan, mudah disokong, mudah terpuaskan, mengetahui waktu [yang tepat], mengetahui pengendalian, memperoleh semangat, mencapai meditasi duduk, mencapai kemurnian perilaku, mencapai keterasingan, mencapai keterpusatan pikiran, mencapai ketekunan, dan mencapai nirvana. Demikianlah, dengan tidak mengambil makanan itu, bhikkhu tersebut menyesuaikan diri dengan maksud Sang Buddha. Ini adalah bagaimana para siswa yang berlatih di bawah Sang Buddha melakukan pencarian terhadap Dharma dan bukan pencarian terhadap makanan dan minuman.

Kemudian Sang Buddha berkata kepada para siswa:

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak kondusif bagi kesejahteraan banyak orang atau kebahagiaan banyak orang. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.<158>

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak akan kondusif bagi kesejahteraan orang banyak atau kebahagiaan orang banyak. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

[Sebaliknya,] jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta hadir di antara perkumpulan itu. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

Sāriputta, demi kepentingan para bhikkhu, sampaikanlah sebuah kotbah tentang Dharma yang sesuai dengan Dharma. Aku menderita sakit punggung dan ingin beristirahat sejenak.<159>

Yang Mulia Sāriputta menerima instruksi Sang Buddha: “Baik, Sang Bhagavā.”

Kemudian Sang Bhagavā melipat jubah luarnya menjadi empat untuk digunakan sebagai tempat tidur, menggulung jubah utamanya menjadi bantal, dan berbaring pada sisi kanan beliau dengan satu kaki di atas yang lain, dengan mempertahankan persepsi cahaya, penuh perhatian dan kewaspadaan, dan selalu mengingat kehendak untuk bangkit kembali.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, kalian seharusnya mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah memberikan ajaran ini secara singkat: “Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang atau kebahagiaan banyak orang. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disiplin ini tidak akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang atau kebahagiaan banyak orang. Ini bukan [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia, maupun demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“[Sebaliknya,] jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disipin ini akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka Dharma dan disipin ini akan kondusif bagi kesejahteraan banyak orang dan kebahagiaan banyak orang. Ini [dilatih] demi belas kasih dan simpati terhadap dunia serta demi manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

Sehubungan dengan ajaran yang diberikan demikian singkat oleh Sang Bhagavā ini, bagaimanakah kalian memahami maknanya? Bagaimanakah kalian menguraikannya dan menganalisisnya?<160>

Kemudian seorang bhikkhu dalam perkumpulan itu berkata:

Yang Mulia Sāriputta, di sini seorang sesepuh yang sangat dihormati menyatakan tentang dirinya sendiri, “Aku telah mencapai pengetahuan akhir: Kelahiran telah diakhiri bagiku, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain; aku mengetahui hal ini sebagaimana adanya.” Ketika mendengar penyataan diri bhikkhu itu atas pencapaian pengetahuan akhirnya, teman-temannya dalam kehidupan suci dipenuhi dengan kegembiraan.

Bhikkhu lain berkata:

Yang Mulia Sāriputta, ketika para siswa menengah dan baru melakukan pencarian terhadap nirvana yang tiada bandingnya dan bertekad padanya, teman-teman mereka dalam kehidupan suci bergembira ketika melihat hal itu.

Dengan cara-cara ini para bhikkhu tersebut menjelaskan maknanya, tetapi ini tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Yang Mulia Sāriputta.

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, dengarkanlah apa yang akan kukatakan kepada kalian. Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dicela karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak berlatih dalam <keterasingan>,<161> maka para siswa seniornya dicela karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan [batin] tertentu tetapi para siswa seniornya tidak berlatih dalam meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa seniornya dicela karena hal ini. [Jika] para siswa seniornya meninggalkan pengerahan usaha untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa seniornya dicela karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa seniornya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dicela karena tiga alasan ini.

Teman-teman yang mulia, jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak berlatih dalam <keterasingan>, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan [batin] tertentu tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak berlatih dalam meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena hal ini. [Jika] para siswa menengahnya ... barunya meninggalkan pengerahan usaha untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan tetapi para siswa menengahnya ... barunya tidak menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dicela karena tiga alasan ini.
[Sebaliknya,] teman-teman yang mulia, jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dipuji karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan dan para siswa seniornya juga berlatih dalam <keterasingan>, maka para siswa seniornya dipuji karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan [batin] tertentu dan para siswa seniornya juga berlatih dalam meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa seniornya dipuji karena hal ini. [Jika] para siswa seniornya tidak meninggalkan pengerahan usaha tetapi berlatih dengan tekun untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa seniornya dipuji karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan dan para siswa seniornya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa seniornya dipuji karena tiga alasan ini.

Teman-teman yang mulia, jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena tiga alasan. Apakah tiga hal itu?

[Jika] sang guru menyenangi keterasingan dan para siswa menengahnya ... barunya juga berlatih dalam <keterasingan>, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena hal ini. Jika sang guru mengajarkan ditinggalkannya keadaan-keadaan tertentu dan para siswa menengahnya ... barunya juga berlatih meninggalkan keadaan-keadaan itu, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena hal ini. [Jika] para siswa menengahnya ... barunya tidak meninggalkan pengerahan usaha tetapi berlatih dengan tekun untuk hal itu yang dapat dialami dan direalisasikan, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena hal ini.

Jika seorang guru Dharma dan disiplin menyenangi berdiam dalam keterasingan, dan para siswa menengahnya ... barunya juga menyenangi berdiam dalam keterasingan, maka para siswa menengahnya ... barunya dipuji karena tiga alasan ini.

Yang Mulia Sāriputta berkata lebih lanjut kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, terdapat suatu jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma, dan menurut Dharma, serta yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Teman-teman yang mulia, apakah jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma dan menurut Dharma, serta yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana?

Teman-teman yang mulia, pikiran dengan keinginan indria adalah jahat, dan perilaku buruk dari pikiran dengan keinginan indria juga adalah jahat. Seseorang [seharusnya] meninggalkan pikiran dengan keinginan indria dan perilaku buruk dari pikiran dengan keinginan indria. Demikian juga dengan permusuhan, ... kebencian, ... keirihatian, ... tipu daya, ... sanjungan, ... ketiadaan rasa malu, ... ketiadaan rasa takut, ... keangkuhan, ... kebanggaan yang berlebihan, ... kesombongan, ... kelalaian, ... kemewahan, ... kemarahan, ... sifat suka berselisih....

Teman-teman yang mulia, ketagihan adalah jahat, kemelekatan juga adalah jahat. Seseorang [seharusnya] meninggalkan ketagihan dan kemelekatan. Teman-teman yang mulia, ini adalah jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma dan menurut Dharma, serta membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, terdapat jalan tengah ini untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma, menurut Dharma, dan membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana. Dan apakah, teman-teman yang mulia, jalan tengah ini untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma, menurut Dharma, dan membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana?

Ini adalah jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar ... sampai dengan ... konsentrasi benar; ini adalah delapan hal itu. Teman-teman yang mulia, ini adalah jalan tengah untuk pencapaian kemantapan pikiran, pencapaian konsentrasi, dan pencapaian kegembiraan, yang sesuai dengan Dharma dan menurut Dharma, serta membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana.

Pada saat itu rasa sakit yang diderita Sang Bhagavā telah lenyap dan beliau dalam kenyamanan dan merasa lebih baik.<162> Bangkit dari posisi berbaringnya, beliau duduk bersila dan memuji Yang Mulia Sāriputta:

Bagus, bagus, Sāriputta, engkau telah menyampaikan kepada para bhikkhu sebuah kotbah tentang Dharma yang sesuai dengan Dharma. Sāriputta, engkau seharusnya berlanjut menjelaskan kepada para bhikkhu Dharma yang sesuai dengan Dharma. Sāriputta, engkau seharusnya sering menjelaskan kepada para bhikkhu Dharma yang sesuai dengan Dharma.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kalian semua seharusnya mengingat [kotbah tentang] Dharma yang sesuai dengan Dharma [ini], mengulanginya dan menyimpannya dalam ingatan. Mengapakah demikian?

[Kotbah tentang] Dharma [ini] sesuai dengan Dharma; ia mengandung Dharma dan penuh makna; ia adalah landasan kehidupan suci, yang membawa pada penembusan, pencerahan, dan nirvana. Sebagai anggota keluarga yang telah mencukur rambut dan janggut kalian, mengenakan jubah kuning, dan demi keyakinan meninggalkan kehidupan berumah tangga, setelah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan, kalian seharusnya mengingat dengan baik Dharma yang sesuai dengan Dharma ini.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.

69
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 07:54:38 PM »
Teman yang mulia, seharusnya diketahui bahwa seseorang yang demikian adalah untuk dipergauli dan dihormati. Jika para bhikkhu bergaul dengan seseorang yang seharusnya dipergauli, atau menghormati seseorang yang seharusnya dihormati, maka mereka selama waktu yang lama akan dapat mencapai keuntungan dan manfaat, dan akan mengamankan kesejahteraan mereka sendiri. Mereka akan menemukan keamanan dan kebahagiaan, dan bebas dari penderitaan, kesedihan, dan dukacita.

Pada waktu itu, Yang Mulia Mahāmoggallāna berada di dalam perkumpulan itu. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata, “Yang Mulia Sāriputta, aku ingin mengatakan suatu perumpamaan sehubungan dengan topik ini. Apakah aku diizinkan untuk mengatakannya?”

Yang Mulia Sāriputta berkata, “Yang Mulia Mahāmoggallāna, silakan katakanlah perumpamaan yang ingin engkau katakan.”

Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata:

Yang Mulia Sāriputta, aku mengingat bahwa pada suatu ketika aku sedang berdiam di Gunung Puncak Burung Bangkai di Rājagaha. Pada waktu itu, ketika malam telah berlalu, menuju fajar, aku mengenakan jubahku, membawa mangkukku, memasuki Rājagaha, dan pergi untuk mengumpulkan dana makanan. Aku mendekati rumah pertapa telanjang Puṇṇaputta, seorang mantan pembuat kereta.<152>

Pada waktu itu, di sebuah rumah yang berdekatan, seorang pembuat kereta lain sedang mengetam pelek untuk sebuah kereta. Saat itu pertapa telanjang Puṇṇaputta, mantan pembuat kereta, tiba di rumah itu. Melihat bahwa [pembuat kereta lain] sedang mengetam pelek, pertapa telanjang Puṇṇaputta, mantan pembuat kereta, berpikir: “Jika pembuat kereta ini menggunakan kapak untuk mengetam pelek itu dengan memotong kecacatan ini dan itu, dengan cara ini pelek itu akan menjadi sangat bagus.”

Kemudian, seakan-akan ia mengetahui pemikiran dalam pikiran pertapa telanjang Puṇṇaputta, pembuat kereta itu mengambil kapaknya dan memotong kecacatan ini dan itu. Kemudian pertapa telanjang Puṇṇaputta sangat bergembira dan berkata, “Pembuat kereta, ini seakan-akan engkau mengetahui pikiranku dengan pikiranmu. Mengapakah demikian? Karena engkau menggunakan kapakmu untuk mengetam pelek itu dengan memotong kecacatan ini dan itu, seperti halnya yang kupikir engkau dapat [melakukannya].”

Dengan cara yang sama, Yang Mulia Sāriputta, seumpamanya terdapat mereka yang suka menyanjung, penuh tipu daya, iri hati, tidak memiliki keyakinan, lalai, tidak memiliki perhatian benar dan pemahaman benar, tidak memiliki konsentrasi, tidak memiliki kebijaksanaan, angkuh, terdelusi, tidak menjaga indria-indria, tidak berlatih dalam <keterasingan>,<153> dan tidak memiliki kearifan – karena mengetahui pikiran mereka dengan pikirannya, Yang Mulia Sāriputta telah memberikan pengajaran ini.

Yang Mulia Sāriputta, terdapat mereka yang tidak suka menyanjung, tidak penuh tipu daya, tidak iri hati, yang memiliki keyakinan, tekun dan tanpa kelambanan, memiliki perhatian benar dan pemahaman benar, yang mengembangkan konsentrasi dan mengembangkan kebijaksanaan, tidak angkuh atau terdelusi, menjaga indria-indria, berlatih secara menyeluruh dalam <keterasingan>, dan memahami secara terampil. Ketika mereka mendengar Dharma yang diajarkan oleh Yang Mulia Sāriputta, maka bagaikan makanan bagi yang lapar dan minuman bagi yang haus, [apa yang berasal dari] mulut[nya] masuk ke pikiran mereka.

Yang Mulia Sāriputta, seumpamanya seorang gadis dari kasta ksatria, kastra brahmana, kasta saudagar, atau kasta pekerja, yang cantik dan menarik, telah membersihkan diri dengan baik, meminyaki tubuhnya dengan wewangian, mengenakan pakaian cemerlang dan bersih, dan menghiasi dirinya dengan berbagai permata.<154>

Sekarang, seumpamanya seorang pria yang berpikir [dengan baik] tentang gadis itu, dengan mencari manfaat, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan, mengambil sebuah kalungan bunga yang terbuat dari seroja, kalungan bunga dari bunga champak, kalungan bunga dari melati berbunga besar (sumanā), kalungan bunga dari melati Arab (vassikā), atau kalungan bunga mawar dan memberikannya kepada gadis itu. Gadis itu akan dengan gembira menerima [kalungan bunga itu] dengan kedua tangannya dan menaruhnya pada kepalanya.

Hal yang sama, Yang Mulia Sāriputta, dengan mereka yang tidak suka menyanjung, tidak penuh tipu daya, tidak iri hati, yang memiliki keyakinan, tekun dan tanpa kelambanan, memiliki perhatian benar dan pemahaman benar, yang mengembangkan konsentrasi dan mengembangkan kebijaksanaan, tidak angkuh atau terdelusi, menjaga indria-indria, berlatih secara menyeluruh dalam <keterasingan>, dan memahami secara terampil.

Ketika mereka mendengar Dharma yang diajarkan Yang Mulia Sāriputta, maka bagaikan makanan bagi yang lapar dan minuman bagi yang haus, [apa yang berasal dari] mulut[nya] masuk ke pikiran mereka.

Yang Mulia Sāriputta, adalah luar biasa, adalah mengagumkan! Yang Mulia Sāriputta begitu sering membangkitkan semangat dan menyokong teman-temannya dalam kehidupan suci dengan membantu mereka meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan menegakkan mereka dalam apa yang bermanfaat.

Setelah memuji satu sama lain seperti ini, dua orang yang mulia bangkit dari tempat duduk mereka dan pergi.

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Sāriputta. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahāmoggallāna dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.

70
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 07:52:40 PM »
Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu; dan bahwa karena bhikkhu lain itu dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita! Janganlah bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita!”<146>

Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita; dan bahwa karena bhikkhu lain itu dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]! Janganlah bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]!”<147>

Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]; dan bahwa karena bhikkhu lain itu memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik], pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] bukan seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai memiliki pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

[Tetapi,] teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang bukan seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.<148>

Teman yang mulia, seumpamanya seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu dengan penutup. Ia mengisinya dengan kotoran dan meletakkan penutupnya.<149> Kemudian ia membawanya melewati pasar, dekat di mana keramaian orang sedang berjalan.

Semua orang itu yang melihat [piring itu] ingin makan [makanan yang mereka anggap terkandung di dalamnya]. Mereka merasakan selera yang besar. Mereka tidak memiliki kejijikan terhadapnya, karena persepsi kemurnian telah muncul dalam diri mereka. Setelah membawa [piring itu] ke tempat tertentu, ia mengangkat penutupnya dan memperlihatkan [isinya].
Ketika orang-orang melihat apa yang berada di dalamnya, tidak ada dari mereka yang memiliki keinginan untuk memakannya. Mereka tidak lagi merasakan selera, [dan sebaliknya merasakan] kejijikan besar, karena persepsi kejijikan telah muncul dalam diri mereka. Bahkan mereka yang lapar tidak lagi menginginkannya, apalagi mereka yang tidak lapar.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] bukan seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai memiliki pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin yang jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang bukan seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Bukan seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. Tidak [memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. Tidak [memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Tidak dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.

Teman yang mulia, seharusnya diketahui bahwa seseorang yang demikian tidak untuk dipergauli, tidak untuk dihormati dan dimuliakan. Jika para bhikkhu bergaul dengan seseorang yang tidak seharusnya dipergauli, atau menghormati seseorang yang tidak seharusnya dihormati, maka mereka selama waktu yang lama tidak akan dapat mencapai keuntungan dan manfaat, dan tidak akan mengamankan kesejahteraan mereka sendiri. Mereka tidak akan menemukan keamanan dan kebahagiaan melainkan akan memunculkan penderitaan, kesedihan, dan dukacita.<150>

[Berlawanan dengan hal ini,] teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan!” Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain mengetahui tentang pelanggaran aturan latihan orang itu, tetapi bahwa walaupun pelanggaran aturan latihannya diketahui oleh orang lain pikirannya tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain menegurku secara pribadi; biarlah mereka tidak menegurku di tengah-tengah sangha sehubungan dengan pelanggaran aturan latihanku!” Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain menegur orang itu di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi, tetapi bahwa walaupun ditegur di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi, pikirannya tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah seseorang yang lebih tinggi dariku menegurku; jangalah seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada diriku menegurku tentang pelanggaran aturan latihanku!” Teman yang mulia, mungkin bahwa seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya menegurnya tentang pelanggaran aturan latihannya, alih-alih seseorang yang lebih tinggi darinya, tetapi walaupun ditegur oleh seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya alih-alih oleh seseorang yang lebih tinggi darinya, pikirannya tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu! Janganlah bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu memasuki [desa untuk mengumpulkan dana makanan], biarlah aku berada pada kepala [barisan para bhikkhu], dengan semua bhikkhu [sisanya] mengikutiku seraya kami masuk! Ketika para bhikkhu memasuki [desa itu], janganlah bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut], dengan semua bhikkhu sisanya mengikutinya seraya kami masuk!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu masuk, bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut] dan semua [bhikkhu sisanya] mengikutinya ketika mereka masuk, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang berada pada kepala [barisan itu] dengan yang lain mengikutinya ketika mereka masuk, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], biarlah aku mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan! Ketika para bhikkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], janganlah bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang mendapatkan tempat duduk terbaik ketika para bhkkhu telah memasuki [tempat perjamuan makan], adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], biarlah aku menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka! Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], bhikkhu lain memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka, tetapi walaupun bhikkhu lain itu, ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para perumah tangga mendekati vihara, biarlah aku menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka! Ketika para perumah tangga mendekati vihara, janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka!” Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para perumah tangga mendekati vihara, bhikkhu lain bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang bertemu dan menemani para perumah tangga ketika mereka mendekati vihara, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri ini! Janganlah bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri ini!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu, tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri itu, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita! Janganlah bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita; tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang dihormati oleh para anggota empat perkumpulan: para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, dan umat awam wanita, pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang tidak memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]! Janganlah bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik]!” Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik], tetapi walaupun bhikkhu lain itu yang memperoleh jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, obat-obatan, semua kebutuhan hidup [yang sangat baik], pikiran [orang itu] tidak memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. Ketiadaan [pemikiran-pemikiran] jahat itu dan ketiadaan keinginan dalam pikirannya itu keduanya adalah [keadaan-keadaan] bermanfaat.

Teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.

[Tetapi,] teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang adalah seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu dengan penutup. Ia mengisinya dengan berbagai makanan dan minuman yang menarik dan lezat serta meletakkan penutupnya. Kemudian ia membawanya melewati toko-toko, dekat di mana keramaian orang sedang berjalan.
Semua orang yang melihat [piring itu] tidak memiliki keinginan untuk makan [darinya]. Mereka tidak merasakan keinginan atau selera. Mereka memiliki kejijikan terhadapnya, karena persepsi kejijikan telah muncul dalam diri mereka. Mereka berkata, “Bawalah pergi kotoran itu! Bawalah pergi kotoran itu!”<151> Orang itu, setelah membawa mangkuk itu ke tempat tertentu, mengangkat penutupnya dan memperlihatkan [isinya]. Ketika orang-orang melihat apa yang berada di dalamnya, semuanya memiliki keinginan untuk memakannya. Mereka merasakan keinginan dan selera. Mereka tidak lagi mengalami kejijikan terhadapnya, karena persepsi kemurnian muncul dalam diri mereka. Bahkan mereka yang tidak lapar ingin memakannya, apalagi mereka yang lapar.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, sepanjang teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci tidak mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, [walaupun] seorang pertapa, dilihat sebagai bukan seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana ia dilihat sebagai bukan seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai tidak [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai tidak dimurnikan.

[Tetapi,] teman yang mulia, ketika teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci mengetahui tak terhitung tekad batin bermanfaat yang muncul dalam dirinya dengan cara ini, orang itu, yang adalah seorang pertapa, dilihat sebagai seorang pertapa. Seorang pertapa bijaksana, ia dilihat sebagai seorang pertapa bijaksana. [Memiliki] pemahaman benar, ia dilihat sebagai [memiliki] pemahaman benar. [Memiliki] perhatian benar, ia dilihat sebagai [memiliki] perhatian benar. Dimurnikan, ia dilihat sebagai dimurnikan.

71
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 07:41:27 PM »
Bagian 8
Noda-Noda

87. Kotbah tentang Kekotoran-Kekotoran
<141>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Taman Rusa dalam Hutan Bhesakalā di Suṃsumāragiri di negeri Bhagga.

Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat [hal itu]? Di sini seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya; ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya. Di sini seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya; ia memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya. Di sini seseorang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya; ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya. Di sini seseorang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya; ia memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya.

Teman-teman yang mulia, sehubungan dengan orang yang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah rendah di antara orang-orang [dengan kekotoran]. Sehubungan dengan orang yang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya, yang memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah unggul di antara orang-orang [dengan kekotoran]. Sehubungan dengan orang yang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah rendah di antara orang-orang [tanpa kekotoran]. Sehubungan dengan orang yang sesungguhnya tidak memiliki kekotoran dalam dirinya dan mengetahuinya, yang memahami sebagaimana adanya bahwa ia tidak memiliki kekotoran dalam dirinya: ia adalah unggul di antara orang-orang [tanpa kekotoran].

Kemudian seorang bhikkhu tertentu bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, merentangkan tangannya dengan telapak tangan yang disatukan terhadap Yang Mulia Sāriputta, dan berkata:<142>

Yang Mulia Sāriputta, apakah sebabnya, apakah kondisi untuk mengatakan bahwa, dari dua orang pertama dengan kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul? Selanjutnya, apakah sebabnya, apakah kondisi untuk mengatakan bahwa, dari dua orang berikutnya tanpa kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul?

Kemudian Yang Mulia Sāriputta menjawab bhikkhu itu:

Teman yang mulia, jika seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya, maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia tidak akan mengerahkan usaha atau dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori. Karena meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, orang itu mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk.<143> Mengapakah demikian? Karena ia meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang kotor dan bernoda. Setelah membawa pulang piring itu, ia tidak sering mencuci kotoran itu, tidak sering mengusapnya, tidak menjemurnya di bawah cahaya matahari, tetapi menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu bahkan menjadi lebih kotor dan bernoda.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang sesungguhnya memiliki kekotoran dalam dirinya tetapi tidak mengetahuinya, tidak memahami sebagaimana adanya bahwa ia memiliki kekotoran dalam dirinya, maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia tidak akan mengerahkan usaha atau dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori; ia akan mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk. Mengapakah demikian? Adalah karena meninggal dengan kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa orang ini akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia akan mengerahkan usaha dan dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Karena meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, orang itu mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena ia tanpa kekotoran-kekotoran, ia meninggal dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang kotor dan bernoda. Setelah membawa pulang piring itu, ia sering mencuci kotoran itu, sering mengusapnya, sering menjemurnya di bawah cahaya matahari, dan tidak menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu menjadi sangat bersih.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku memiliki kekotoran dalam diriku, aku seseungguhnya memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa orang ini akan terdorong untuk meninggalkan kekotoran itu. Ia akan mengerahkan usaha dan dengan tekun berlatih [untuk tujuan itu], dan ia akan meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Ia mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena meninggal tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, jika seseorang tidak mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga. Sebagai akibat tidak menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga, pikirannya akan dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori. Karena meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, orang itu mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang bersih dan tanpa noda-noda. Setelah membawa pulang piring itu, ia tidak sering mencuci kotoran apa pun, tidak sering mengusapnya, dan tidak sering menjemurnya di bawah cahaya matahari, tetapi menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu pasti akan menjadi kotor dan bernoda.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang tidak mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia tidak akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata dan telinga. Sebagai akibat tidak menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata dan telinga, pikirannya akan dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori. Karena meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, orang itu mengalami kematian yang tidak menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal dengan nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang terkotori.

Teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga. Sebagai akibat menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga, pikirannya tidak dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, orang itu mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, seumpamanya seseorang membeli, dari toko atau tempat kerja pandai besi, sebuah piring perunggu yang bersih dan tanpa noda-noda. Setelah membawa pulang piring itu, ia sering mencuci kotoran apa pun, sering mengusapnya, sering menjemurnya di bawah cahaya matahari, dan tidak menyimpannya dalam tempat yang berdebu. Sebagai akibatnya, piring perunggu itu menjadi sangat bersih.

Dengan cara yang sama, teman yang mulia, jika seseorang mengetahui sebagaimana adanya: “Aku tidak memiliki kekotoran dalam diriku, aku sesungguhnya tidak memiliki kekotoran ini dalam diriku,” maka seharusnya diketahui bahwa ia akan menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga. Sebagai akibat menjaga [pikirannya] terhadap hal-hal [menarik] yang dikenali oleh mata atau telinga, pikirannya tidak dipenuhi oleh nafsu-nafsu dan ia akan meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori. Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, orang itu mengalami kematian yang menguntungkan dan akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baik. Mengapakah demikian? Karena ia meninggal tanpa nafsu-nafsu, tanpa kekotoran-kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori.

Teman yang mulia, ini adalah sebabnya, ini adalah kondisi untuk mengatakan bahwa dari dua orang sebelumnya dengan kekotoran, dengan pikiran yang terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul. Ini adalah sebabnya, ini adalah kondisi untuk mengatakan dari dua orang berikutnya tanpa kekotoran, dengan pikiran yang tidak terkotori, seseorang adalah rendah dan seseorang adalah unggul.

Terhadap hal ini seorang bhikkhu lain bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Yang Mulia Sāriputta, dan berkata, “Yang Mulia Sāriputta, seseorang mengatakan tentang ‘kekotoran-kekotoran.’ Apakah ‘kekotoran-kekotoran’ itu?”

Yang Mulia Sāriputta menjawab bhikkhu itu:

Teman yang mulia, tak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat yang muncul dari nafsu-nafsu; inilah disebut “kekotoran-kekotoran.” Mengapakah demikian? Seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain mengetahui pelanggaran aturan latihannya; dan karena pelanggaran aturan latihannya diketahui oleh orang lain pikirannya memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah orang lain menegurku secara pribadi; biarlah mereka tidak menegurku di tengah-tengah sangha sehubungan dengan pelanggaran aturan latihanku!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa orang lain menegur orang itu di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi; dan bahwa karena ia ditegur oleh orang lain di tengah-tengah sangha alih-alih secara pribadi pikirannya memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Aku telah melakukan pelanggaran aturan latihan. Biarlah seseorang yang lebih tinggi dariku menegurku; janganlah seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada diriku menegurku tentang pelanggaran aturan latihanku!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya menegurnya tentang pelanggaran aturan latihannya, alih-alih seseorang yang lebih tinggi darinya; dan karena ditegur oleh seseorang yang berkedudukan lebih rendah daripada dirinya alih-alih seseorang yang lebih tinggi darinya, pikirannya memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu! Jangalah bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa bhikkhu lain duduk di hadapan Sang Buddha dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu; dan karena bhikkhu lain itu duduk di hadapan Sang Budhda dan bertanya kepada beliau tentang Dharma, [di mana sebagai tanggapannya] Sang Bhagavā menjelaskannya kepada para bhikkhu, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu memasuki [desa untuk mengumpulkan dana makanan], biarlah aku berada pada kepala [barisan para bhikkhu], dengan semua bhikkhu [sisanya] mengikutiku ketika kami masuk! Ketika para bhikkhu memasuki [desa itu], janganlah bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut], dengan semua bhikkhu sisanya mengikutinya seraya kami masuk!”

Teman yang mulia, mungkin bawah ketika para bhikkhu memasuki [desa itu], bhikkhu lain berada pada kepala [barisan tersebut], dengan semua bhikkhu sisanya mengikutinya ketika mereka masuk; dan karena ketika para bhikkhu memasuki [desa itu] bhikkhu lain itu berada pada kepala dengan semua bhikkhu sisanya mengikutnya ketika mereka masuk, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], biarlah aku mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan! Ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], janganlah bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], bhikkhu lain mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan; dan karena ketika para bhikkhu memasuki [tempat perjamuan makan], bhikkhu lain itu mendapatkan tempat duduk terbaik, adalah yang pertama diberikan tempat duduk, yang pertama menerima air untuk mencuci [tangan], dan yang pertama disajikan makanan, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], biarlah aku menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka! Ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, dan mencuci [tangan mereka], janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka!”

Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, mencuci [tangan mereka], bhikkhu lain memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka; dan karena ketika para bhikkhu telah selesai makan, menyimpan mangkuk mereka, mencuci [tangan mereka], bhikkhu lain itu memberikan pengajaran kepada para perumah tangga, dengan menasihati dan menginspirasi mereka, sepenuhnya menggembirakan mereka, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Ketika para perumah tangga mendekati vihara, biarlah aku menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka, dan terlibat dalam diskusi dengan mereka! Ketika para perumah tangga mendekati vihara, janganlah bhikkhu lain menjadi orang yang bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka!”<144>

Teman yang mulia, mungkin bahwa ketika para perumah tangga mendekati vihara, bhikkhu lain bertemu dan menemani mereka, duduk bersama mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka; dan bahwa karena bhikkhu lain itu bertemu dan menemani para perumah tangga ketika mereka mendekati vihara, dengan duduk bersama mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka, pikiran [orang itu] memunculkan [pemikiran-pemikiran] jahat. [Pemikiran-pemikiran] jahat itu dan keinginan itu, jika mereka muncul dalam pikirannya, keduanya adalah [keadaan-keadaan] tidak bermanfaat.

Teman yang mulia, seumpamanya bahwa pikiran seseorang memunculkan keinginan seperti ini: “Biarlah aku dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, dan dihormati oleh orang-orang negeri ini! Janganlah bhikkhu lain dikenal oleh raja, para menteri senior, para brahmana, dan para perumah tangga, atau dihormati oleh orang-orang negeri ini!”<145>

72
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 07:32:02 PM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 8 yang terdiri dari kotbah 87-96.

74
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« on: 07 October 2020, 08:57:14 PM »
<101> Kāyagatāsati-sutta mendaftarkan hanya empat unsur tanah, air, api, dan udara.

<102> Kremasi atau penguburan tidak disebutkan dalam Kāyagatāsati-sutta.

<103> Dalam Kāyagatāsati-sutta penjelasan ini dan berikutnya sebaliknya tentang para bhikkhu yang telah atau tidak mengembangkan perhatian pada jasmani. Versi Pāli juga memiliki urutan yang berbeda: ia pertama-tama memiliki tiga perumpamaan melempar bola, kayu api, dan kendi air yang menggambarkan tidak mengembangkan perhatian pada jasmani, dan kemudian tiga pasangan mereka yang menggambarkan adanya perhatian pada jasmani.

<104> Mengambil varian 搏 alih-alih 闡.

<105> Kāyagatāsati-sutta memiliki tiga perumpamaan lagi, yang menggambarkan memiringkan kendi air yang penuh, melepaskan tanggul sebuah kolam yang penuh air, dan mengendarai kereta ke mana pun seseorang inginkan.

<106> Kāyagatāsati-sutta menjabarkan dan mendaftarkan sepuluh manfaat. Ia tidak menunjuk pada tidak terjebak dalam tiga pikiran yang tidak bermanfaat, ataupun mencapai pemasuk-arus, yang sekali-kembali, yang tidak-kembali, dan empat pencapaian tanpa bentuk.

<107> Mengambil varian yang tidak memiliki penunjukkan pada hal ini sebagai juga “kelima, keenam, dan ketujuh,” 五六七. Karena mengatasi tiga jenis pikiran yang tidak bermanfaat tidak dapat menghasilkan empat manfaat, penunjukan pada manfaat kelima, keenam, dan ketujuh pasti salah penempatan, mungkin milik item berikutnya dalam daftar itu.

<108> Mengambil varian yang menambahkan第五至.

<109> Mengambil varian yang mengatakan “tujuh” alih-alih “satu” kehidupan.

<110> Mengambil varian yang hanya menyebutkan manfaat kedua belas pada titik ini dan karenanya menghapus bacaan yang berlebihan tentang pelenyapan noda-noda.

<111> Padanan Pāli adalah Hatthisāriputta-sutta, AN 6.60 dalam AN III 392, yang memiliki Isipatana di Vārāṇasī sebagai lokasinya.

<112> Hatthisāriputta-sutta menyebutkan tidak hanya bergaul dengan para umat awam tetapi bergaul dengan para monastik, pengikut awam, raja, dan menteri, serta praktisi non-Buddhis dan para siswanya.

<113> Dalam Hatthisāriputta-sutta perumpamaan tidak lagi melihat hewan-hewan dalam sebuah danau menggambarkan akibat setelah mencapai jhāna kedua, sedangkan perumpamaan debu pada persimpangan jalan menjadi lumpur setelah hujan menggambarkan akibat jhāna pertama.

<114> Mengambil varian yang membaca 咸 alih-alih 滅.

<115> Dalam Hatthisāriputta-sutta perumpamaan danau tanpa gelombang menggambarkan akibat setelah mencapai jhāna keempat, sedangkan perumpamaan yang berhubungan dengan makanan menggambarkan jhāna ketiga.

<116> Perumpamaan dalam Hatthisāriputta-sutta menggambarkan seseorang yang baru saja selesai makan makanan yang lezat dan diberikan sisa makanan dari hari sebelumnya.

<117> Dalam Hatthisāriputta-sutta Mahākoṭṭhita menyatakan bahwa ia mengetahui pikiran Citta dan juga telah diberitahukan tentangnya oleh para dewa. Kotbah Pāli melanjutkan dengan menceritakan teman-teman Citta juga memberitahukan Sang Buddha tentang lepas jubahnya Citta, yang kemudian meramalkan bahwa Citta akan pergi meninggalkan keduniawian lagi. Ini benar-benar terjadi, Citta pergi meninggalkan keduniawian lagi dan akhirnya menjadi seorang arahant.

<118> Padanan Pāli adalah Pacalāyamāna-sutta, yang adalah bagian pertama dari AN 7.58 dalam AN IV 85; bagian kedua dari kotbah ini dalam edisi PTS, dimulai dalam AN IV 88, adalah kotbah yang berbeda yang sebaliknya adalah padanan pada MĀ 138.

<119> Alih-alih tiga cara yang berhubungan dengan ajaran – pengulangan, pengajaran orang lain, dan perenungan – Pacalāyamāna-sutta hanya menyarakan dua, perenungan dan pengulangan.

<120> Pacalāyamāna-sutta menggabungkan hal ini dan yang sebelumnya menjadi satu cara pencegahan dengan mencuci mata dengan air dan melihat pada konstelasi-konstelasi. Saran berikutnya dalam Pacalāyamāna-sutta adalah mengembangkan ālokasannā, “persepsi cahaya” (atau “kejernihan persepsi”?), suatu metode yang tidak disebutkan dalam MĀ 83.

<121> Pacalāyamāna-sutta tidak menyarakan melanjutkan kembali meditasi duduk setelah selesai meditasi berjalan. Menurut penyajiannya, jika setelah melakukan meditasi berjalan seseorang masih merasa lelah, ini adalah waktunya untuk berbaring dan beristirahat.

<122> Secara keseluruhan Pacalāyamāna-sutta mendaftarkan hanya delapan saran: menghindari persepsi yang membawa pada rasa kantuk, merenungkan ajaran-ajaran, mengulangi ajaran-ajaran, menarik cuping telinga, membilas mata dengan air dan melihat konstelasi-konstelasi, mengembangkan persepsi cahaya, berlatih meditasi berjalan, dan berbaring.

<123> Setelah daftar metode untuk mengatasi rasa kantuknya, Pacalāyamāna-sutta memperingatkan terhadap keangkuhan ketika mengumpulkan dana makanan, terlibat dalam pembicaraan yang menyebabkan perselisihan, dan terikat pada para monastik atau umat awam.

<124> Dalam Pacalāyamāna-sutta Sang Buddha mendahului pengajarannya dengan pernyataan bahwa “tidak ada di dunia yang layak dilekati.”

<125> Padanan Pāli adalah Kaṇṭaka-sutta, AN 10.72 at AN V 133, yang memiliki sebagai lokasinya Aula Beratap Lancip di Hutan Besar pada lokasi yang sama, Vesālī.

<126> Rekonstruksi dari empat yang terakhir dari enam nama ini hanyalah bersifat tentatif.

<127> Kaṇṭaka-sutta tidak menceritakan kunjungan oleh orang-orang Licchavi yang sebenarnya.

<128> Kaṇṭaka-sutta menyatakan dan kemudian menjelaskan sepuluh duri: bergaul sebagai duri bagi keterasingan, mengejar kecantikan (fisik) sebagai duri bagi pengembangan asubha, hiburan sebagai duri bagi pengendalian indria, teman wanita sebagai duri bagi kehidupan selibat (bagi pria), suara sebagai duri bagi jhāna pertama, vitakka-vicāra sebagai duri bagi jhāna kedua, sukacita sebagai duri bagi jhāna ketiga, napas masuk dan napas keluar sebagai duri bagi jhāna keempat, persepsi dan perasaan sebagai duri bagi pencapaian lenyapnya, dan terakhir nafsu (keinginan indria), kebencian (kemarahan), dan delusi (ketidaktahuan) sebagai duri secara umum.

<129> Padanan Pāli adalah Sappurisa-sutta, MN 113 dalam MN III 37; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 639–643.

<130> Sappurisa-sutta mengambil beberapa jenis keluarga yang terkemuka, yang dalam penyajiannya menjadi empat landasan yang berbeda bagi keangkuhan.

<131> Sappurisa-sutta tidak menyebutkan menawana dan menyenangkan sebagai landasan potensial bagi keangkuhan.

<132> Kualitas yang berkaitan dalam Sappurisa-sutta adalah menjadi seorang pengajar Dharma (dhammakathika).

<133> Sebagai tambahan pada kemasyhuran, yang dengan sama disorot dalam Sappurisa-sutta, landasan lain yang terkait bagi keangkuhan dalam penyajiannya adalah perolehan kebutuhan-kebutuhan, yang tidak disebutkan dalam MĀ 85.

<134> Sappurisa-sutta menyebutkan terpelajar dan berpengetahuan dalam Vinaya sebagai dua landasan potensial yang terpisah bagi keangkuhan; ia tidak menunjuk pada Abhidharma.

<135> Sappurisa-sutta hanya menyebutkan memakai jubah usang sebagai landasan potensial bagi keangkuhan.

<136> Sappurisa-sutta menyebutkan mengumpulkan dana makanan dan makan satu kali sebagai dua landasan potensial bagi keangkuhan.

<137> Landasan bagi keangkuhan yang berkaitan dalam Sappurisa-sutta adalah berdiam di dalam hutan, di bawah sebatang pohon, di tanah pekuburan, dan di luar di tempat terbuka; landasan tambahan bagi keangkuhan, yang tidak disebutkan dalam MĀ 85, adalah latihan tidak pernah berbaring untuk beristirahat dan menerima tempat tidur apa pun.

<138> Mengambil varian 受 alih-alih 愛. Dalam Sappurisa-sutta manusia sejati merenungkan bahwa Sang Buddha telah menyarankan non-identifikasi (atammayatā) dengan jhāna pertama; hal yang sama berlaku untuk jhāna-jhāna lainnya dan pencapaian tanpa bentuk.

<139> Sappurisa-sutta sebagai tambahan mengambil pencapaian lenyapnya, di mana ia secara implisit menunjukkan tidak lagi dalam jangkauan bukan manusia sejati.

<140> Kotbah ini bukan padanan dari Chachakka-sutta, MN 148 at MN III 280; cf. Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 838, catatan no. 96.

75
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« on: 07 October 2020, 08:54:50 PM »
Catatan Kaki:

<1> Padanan Pāli-nya adalah Upakkilesa-sutta, MN 128 dalam MN III 152 (lihat juga Mv 10.2 dalam Vin I 342); untuk studi perbandingan lihat Bhikkhu Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2011), hal. 731–741. Di sini dan tempat lain, informasi lebih lanjut tentang studi perbandingan yang diterbitkan sebelumnya dapat ditemukan dalam sumber ini.

<2> Dalam padanan Pāli, seorang bhikkhu memberitahukan Sang Buddha apa yang terjadi. Kisah raja Kosala yang berikutnya ditemukan hanya dalam Vinaya, bukan dalam Upakkilesa-sutta.

<3> Dalam versi Vinaya Pāli Raja Dīghīti dari Kosala segera melarikan diri ketika Raja Brahmadatta dari Kāsi menyerang untuk pertama kalinya, karena ia merasa tidak dapat menahan serangan itu.

<4> Versi Vinaya Pāli tidak menceritakan bahwa Raja Dīghīti dari Kosala melakukan pertunjukan musik dan dengan cara ini dapat tinggal bersama dengan brahmana penasihat.

<5> Dalam versi Vinaya Pāli Dīghīti secara langsung mendekati brahmana penasihat dan menceritakan permintaan istrinya.

<6> Versi Vinaya Pāli tidak menjelaskan pelatihan sang pangeran tetapi menceritakan bahwa ia dikirim untuk tinggal di luar kota, di luar kewaspadaan terhadap Raja Brahmadatta.

<7> Menurut versi Vinaya Pāli, tukang cukur Raja Dīghīti kebetulan melihat tuannya yang sebelumnya dan kemudian memberitahukan Raja Brahmadatta.

<8> Dalam versi Vinaya Pāli Raja Brahmadatta segera memerintahkan eksekusi Dīghīti dan istrinya. Putra mereka kebetulan mengunjungi kota tepat pada saat itu dan melihat mereka diarak di jalanan.

<9> Menurut versi Vinaya Pāli, Raja Dīghīti dan istrinya telah dieksekusi, dan adalah putra mereka yang mengurus sisa-sisa jenazah mereka.

<10> Dalam versi Vinaya Pāli, sang putra menemukan pekerjaan di kandang gajah. Ia tak sengaja terdengar oleh Raja Brahmadatta sedang bernyanyi dan memainkan kecapi di dalam kandang itu, dan raja kemudian memanggilnya.

<11> Dalam versi Vinaya Pāli pada titik ini Pangeran Kehidupan Panjang menarik lagi pedangnya, memegangnya pada leher Raja Brahmadatta dan menceritakan kemalangan yang dilakukan raja kepada orang tuanya.

<12> Dalam versi Vinaya Pāli mereka memberikan satu sama lain kehidupan mereka.

<13> Dalam Upakkilesa-sutta hanya seorang bhikkhu yang memberitahukan Sang Buddha tiga kali untuk menjauh dari perselisihan mereka.

<14> Sebuah bait dalam Upakkilesa-sutta alih-alih memiliki, sebelum baris tentang hidup sendiri bagaikan seekor gajah, sebuah baris yang menggambarkan seorang raja yang meninggalkan kerajaan yang telah ia taklukkan. Ini lebih sesuai dengan konteks dan menyatakan bahwa gagasan “memerintah dengan tegas” mungkin adalah akibat suatu kesalahan dalam penyebaran atau terjemahan.

<15> Dalam Upakkilesa-sutta Sang Buddha alih-alih pergi dengan berjalan menjauh.

<16> Upakkilesa-sutta tidak menggambarkan latihan Bhagu.

<17> Dalam Upakkilesa-sutta Bhagu melaporkan hanya bahwa ia tidak mengalami kesulitan memperoleh makanan.

<18> Persinggahan Sang Buddha di Hutan Rakkhitavana ditemani seekor gajah juga tercatat dalam Vin I 352, di mana menurut Vinaya Pāli ini terjadi setelah beliau telah mengunjungi Anuruddha dan teman-temannya.

<19> Penjelasan yang sebanding ditemukan dalam Upakkilesa-sutta, tetapi belakangan, sebagai laporan yang disampaikan Anuruddha kepada Sang Buddha.

<20> Penjelasan yang berhubungan dalam Upakkilesa-sutta tidak menunjuk pada latihan meditasi mereka, dan dalam kaitannya dengan pertemuan teratur mereka setiap lima hari menyebutkan bahwa mereka mendiskusikan Dharma, bukan bahwa mereka sebagai alternatifnya duduk bersama-sama dalam keheningan.

<21> Upakkilesa-sutta tidak menceritakan jawaban apa pun oleh Sang Buddha kepada sang penjaga; di sini Anuruddha menyela seketika.

<22> Mengambil varian 是, sesuai dengan pembacaan bacaan ini yang ditemukan dalam Abhidharmakośabhāṣya; lihat Prahlad Pradhan, Abhidharmakośabhāṣya of Vasubandhu (Patna: K. P. Jayaswal Research Institute, 1967), hal. 300: yat tat loka nāsti. Spesifikasi ini, yang tidak ditemukan dalam Upakkilesa-sutta, membantu menjelaskan mengapa keraguan dapat muncul, yaitu karena ketidakfamiliaran dengan pengalaman batin dari cahaya internal (sebagai hasil konsentrasi yang diperdalam).

<23> 身病, secara harfiah “penyakit jasmani”, yang mungkin menerjemahkan suatu bahasa India aslinya yang sebanding dengan bahasa Pāli kāyaduṭṭhulla, oleh sebab itu terjemahannya “kelembaman jasmani”.

<24> Upakkilesa-sutta menggambarkan semangat berlebihan, upakkilesa ketujuh dalam daftarnya, dengan contoh menggenggam seekor burung puyuh begitu kuat sehingga ia akan mati; perumpamaan yang sama, tetapi dengan menggenggam burung puyuh terlalu longgar, kemudian menggambarkan kurangnya semangat.

<25> Perumpamaan yang berhubungan dalam Upakkilesa-sutta menggambarkan pencarian atas satu jalan masuk ke suatu harta karun dan menemukan lima jalan masuk.

<26> Keangkuhan tidak disebutkan dalam Upakkilesa-sutta.

<27> Upakkilesa-sutta alih-alih mengatakan meditasi berlebihan terhadap bentuk-bentuk. Sedangkan sisa daftarnya, walaupun beberapa variasi dalam urutan, tampak secara keseluruhan sama, dalam hal item terakhir dalam kedua daftar, dua versi berlawanan secara langsung satu sama lain. Instruksi dalam MĀ 72 membuatnya tampak disarankan untuk merenungkan bentuk-bentuk, tetapi MN 128 memperingatkan perenungan bentuk-bentuk yang berlebihan.

<28> Tiga jenis konsentrasi ini muncul hanya pada akhir Upakkilesa-sutta sebagai bagian dari pernyataan ringkasan di mana Sang Buddha menjelaskan latihan konsentrasi beliau dengan vitakka dan vicāra, tanpa vittaka tetapi masih dengan vicāra, dan tanpa keduanya.

<29> Di sini dan di bawahnya, terjemahan didasarkan pada suatu perbaikan, yang diberikan dalam tanda kurung siku. Teks mengatakan alih-alih tentang “pengetahuan” bentuk-bentuk. Karena sebaliknya bacaan itu adalah tentang “penglihatan” bentuk-bentuk dan “pengetahuan” cahaya, tampaknya mungkin bahwa rumusan di sini adalah akibat suatu kesalahan tekstual.

<30> Alih-alih konsentrasi yang tersendiri, beranekaragam, terbatas, dan tanpa batas, Upakkilesa-sutta menyebutkan konsentrasi dengan dan tanpa sukacita, dengan kenikmatan, dan dengan keseimbangan.

<31> Padanan Pāli adalah Gayā-sutta, AN 8.64 dalam AN IV 302, yang memiliki Gayāsīsa di Gayā sebagai lokasinya.

<32> Menurutu Gayā-sutta, Sang Buddha melihat cahaya, tetapi tidak melihat bentuk-bentuk.

<33> Dalam Gayā-sutta item yang setelah dapat berbicara dengan para dewa adalah mengetahui dari kelompok (nikāya) mana para dewa berasal.

<34> Dalam Gayā-sutta mengetahui karma yang membawa para dewa pada kelahiran kembali mereka mendahului mengetahui kenikmatan atau kesakitan mereka dan mengetahui masa kehidupan mereka.

<35> Pengenalan para dewa individual tidak disebutkan dalam Gayā-sutta.

<36> Padanan Pāli adalah Anuruddha-sutta, AN 8.30 dalam AN IV 228.

<37> Alih-alih kemampuan untuk mengembara dengan bebas dalam empat arah, Anuruddha-sutta membandingkan obat yang terbuat dari air seni sapi yang difermentasi dengan berbagai pengobatan dari ghee, mentega, minyak, madu, dan sirup gula. Anuruddha-sutta juga tidak menceritakan prediksi apa pun tenang peningkatan dalam keadaan-keadaan bermanfaat atau pencapaian salah satu dari dua buah; alih-alih ia secara langsung melanjutkan dengan nasihat Sang Buddha bahwa Anuruddha seharusnya menghabiskan musim hujan di tempat yang sama.

<38> Dalam Anuruddha-sutta Sang Buddha berkotbah kepada para bhikkhu segera ketika beliau kembali tanpa meminta Ānanda mengumpulkan mereka.

<39> Anuruddha-sutta sebagai tambahan menyebutkan kepuasan terhadap tempat tinggal dan obat-obatan.

<40> Alih-alih keterasingan jasmani dan batin, Anuruddha-sutta menjelaskan suatu sikap tidak melekat terhadap orang-orang yang berkunjung.

<41> Alih-ali empat satipaṭṭhāna, Anuruddha-sutta hanya menyebutkan perhatian yang berjenis yang memungkinkan mengingat kembali apa yang telah dikatakan dan dilakukan pada waktu yang telah lama berlalu.

<42> Anuruddha-sutta hanya menyebutkan kecenderungan pikiran terhadap padamnya proliferasi.

<43> Anuruddha-sutta menyatakan bahwa Sang Buddha telah datang melalui tubuh ciptaan pikiran (manomayena kāyena).

<44> Dua bait berikutnya dalam MĀ 74 tidak ditemukan dalam Anuruddha-sutta; yang terakhir memiliki padanan dalam Th 919.

<45> Padanan Pāli adalah Ānenjasappāya-sutta, MN 106 dalam MN II 261; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 613–623; Madhyama-āgama Studies, (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2012), hal. 195–222.

<46> Alih-alih kenikmatan indria dan bentuk-bentuk materi, Ānenjasappāya-sutta mengambil kenikmatan indria dan persepsi indria.

<47> Sebagai tambahan pada bentuk-bentuk materi, Ānenjasappāya-sutta juga menyebutkan kenikmatan indria dan persepsi indria.

<48> Sebagai tambahan pada persepsi yang berhubungan, Ānenjasappāya-sutta juga menyebutkan kenikmatan indria dan bentuk-bentuk materi; dan ia berkomentar bahwa pelenyapan semua hal ini dipandang sebagai damai.

<49> Terjemahan didasarkan pada perbaikan teks. Untuk kata-kata yang diberikan dalam kurung sudut (<>) teks alih-alih memiliki, dalam setiap kasus, “ketanpa-gangguan”. Konteksnya menunjukkan bahwa ini pasti suatu kesalahan tekstual.

<50> Pendekatan kedua pada kekosongan dalam Ānenjasappāya-sutta adalah hanya tentang kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri, tanpa secara eksplisit menyebutkan kosong dari kekekalan.

<51> Dalam Ānenjasappāya-sutta pendekatan ketiga pada kekosongan adalah merenungkan: “Aku bukan apa pun yang dimiliki oleh siapa pun di mana pun,” dst.

<52> Menurut Ānenjasappāya-sutta, pelenyapan semua persepsi ini dipandang sebagai damai.

<53> Dalam Ānenjasappāya-sutta Ānanda menyoroti bahwa Sang Buddha mengajarkan penyeberangan banjir dengan bergantung pada dukungan satu sama lain.

<54> Padanan Pāli adalah Bhikkhu-sutta, SN 47.3 dalam SN V 142, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya, dan Saṅkhitta-sutta, AN 8.63 dalam AN IV 299, yang tidak menyebutkan lokasi.

<55> Dalam dua versi Pāli, Sang Buddha pertama-tama menolak dengan kasar bhikkhu itu sebelum memberikan pengajaran.

<56> Nasihat untuk menenangkan pikiran di dalam memiliki padanan dalam Saṅkhitta-sutta (di mana ini diikuti oleh pengajaran tentang brahmavihāra); latihan empat satipaṭṭhāna secara internal dan eksternal dijelaskan dalam Bhikkhu-sutta (di mana ini didahului dengan perlunya memurnikan moralitas dan memiliki pandangan lurus).

<57> Implikasi dari ungkapan ini adalah tidak jelas; mempertimbangkan dari padanan Pāli, ini mungkin suatu kesalahan tekstual.

<58> Saṅkhitta-sutta menyarankan mengembangkan konsentrasi dengan vitakka dan vicāra, tanpa vitakka tetapi dengan sisa vicāra, tanpa vitakka dan vicāra, dengan sukacita, tanpa sukacita, dengan kenikmatan, dan dengan keseimbangan.

<59> Saṅkhitta-sutta mengambil brahmavihāra pertama kali dan hanya setelah itu empat satipaṭṭhāna (yang tidak secara eksplisit ditunjukkan membutuhkan latihan internal dan eksternal), dan dalam hubungan pada keduanya ia menginstruksikan bahwa konsentrasi demikian seharusnya dengan vitakka dan vicāra, tanpa vitakka tetapi denga sisa vicāra, tanpa vitakka atau vicāra, dengan sukacita, tanpa sukacita, dengan kenikmatan, dan dengan keseimbangan. Hanya dalam hubungannya dengan empat satipaṭṭhāna Saṅkhitta-sutta menyebutkan kenyamanan dalam setiap posisi tubuh.

<60> Prediksi pencapaian demikian tidak ditemukan dalam dua padanan Pāli, walaupun keduanya menceritakan bahwa bhikkhu yang menerima instruksi masing-masing, setelah berlatih dalam keterasingan, menjadi seorang arahant.

<61> Padanan Pāli adalah Naḷakapāna-sutta, MN 68 dalam MN I 462, yang memiliki Naḷakapāna di negeri Kosala sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan, lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 370–373.

<62> Dalam Naḷakapāna-sutta Sang Buddha alih-alih bertanya apakah mereka berpikir beliau melatih pengendalian diri karena beliau belum melenyapkan noda-noda.

<63> Menurut Naḷakapāna-sutta, adalah karena Sang Buddha telah melenyapkan noda-noda sehingga beliau melatih pengendalian diri.

<64> Gaya hidup menyendiri Sang Buddha tidak dibahas dalam Naḷakapāna-sutta.

<65> Padanan Pāli adalah Brahmanimantaṇika-sutta, MN 49 dalam MN I 326; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 294–299.

<66> Menurut Brahmanimantaṇika-sutta, Māra sebenarnya telah merasuki salah satu anggota perkumpulan itu.

<67> Brahmanimantaṇika-sutta tidak menceritakan bahwa Māra menghilang.

<68> Dalam Brahmanimantaṇika-sutta Sang Buddha menambahkan bahwa Brahmā sebelumnya telah meninggal dari alam surga Ābhassarā dan pada waktu itu telah melupakannya.

<69> Dalam Brahmanimantaṇika-sutta Sang Buddha juga menunjuk pada kesadaran yang tidak berwujud atau tidak terlihat, anidassana vinnāṇa.

<70> Teks memberikan kesan bahwa Brahmā masih yang berbicara. Edisi Pāli berbeda-beda dan hanya beberapa menandai bagian yang berhubungan sebagai yang diucapkan oleh Sang Buddha; sebagai pembahasan lihat Anālayo, “The Luminous Mind in Theravāda and Dharmaguptaka Discourses”, Journal of the Oxford Centre for Buddhist Studies 13 (2017): 10–50.

<71> Menurut Brahmanimantaṇika-sutta, Sang Buddha mengucapkan bait tentang melihat ketakutan dalam penjelmaan selagi beliau membuat dirinya tidak terlihat.

<72> Penunjukan pada bergabung dalam perkumpulan “sampai tiga kali” tidak jelas. Menurut kisah sebelumnya ia telah pergi sekali, maka baginya kembali sekarang merupakan hanya kedua kalinya bergabung dengan perkumpulan.

<73> Alih-alih memberitahukan Māra untuk menjauh dari topik pengajaran Sang Buddha, dalam Brahmanimantaṇika-sutta Sang Buddha menegaskan pelenyapan noda-noda beliau, yang membandingkannya dengan sebatang pohon palem yang telah terpotong.

<74> Pandanan Pāli adalah Anuruddha-sutta, MN 127 dalam MN III 144; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 726–731.

<75> Protagonis dalam Anuruddha-sutta alih-alih adalah perumah tangga Pancakaṅga.

<76> Mengambil varian 料 alih-alih 斷.

<77> Dalam Anuruddha-sutta mereka yang telah mengajarnya alih-alih adalah para bhikkhu senior, therā bhikkhū. Sama halnya belakangan dalam penjelasan Anuruddha, mereka yang telah melatih pembebasan ini adalah para bhikkhu, bukan para pertapa dan brahmana.

<78> Anuruddha-sutta tidak menceritakan suatu tanya-jawab pada titik ini. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam bagian sebelumnya ia pertama-tama mengambil pembebasan pikiran yang tak terukur dan kemudian pembebasan pikiran yang luhur.

<79> Alih-alih tiga ini, Anuruddha-sutta membedakan empat jenis: para dewa bercahaya terbatas, bercahaya tak terukur, bercahaya ternoda, dan bercahaya murni.

<80> Perumpamaan lalat dalam Anuruddha-sutta, di mana lalat berada pada tongkat pemikul atau keranjang, menggambarkan bahwa para dewa tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai kekal.

<81> Dalam Anuruddha-sutta Kaccāna alih-alih bertanya apakah para dewa semuanya bercahaya terbatas atau apakah beberapa agak bercahaya tak terukur, dan belakangan ia bertanya pertanyaan yang sama untuk para dewa bercahaya ternoda dan murni.

<82> Anuruddha-sutta tidak memiliki penunjukan pada posisi Sang Buddha atas hal ini.

<83> Perumpamaan seroja tidak ditemukan dalam Anuruddha-sutta.

<84> Dalam Anuruddha-sutta perumpamaan pelita minyak yang tidak murni menggambarkan para dewa bercahaya ternoda.

<85> Dalam Anuruddha-sutta Kaccāna alih-alih berkata kepada Anuruddha, dan tampaknya dalam suatu cara yang tidak sopan.

<86> Anuruddha-sutta tidak menceritakan baik persembahan makanan maupun kegembiraan pendengarnya.

<87> Mengadopsi varian 墩 alih-alih 塹.

<88> Padanan Pāli adalah Kāyagatāsati-sutta, MN 119 dalam MN III 88, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 673–678.

<89> Urutan perenungan jasmani dalam Kāyagatāsati-sutta berbeda, berlanjut dari perhatian pada pernapasan menuju posisi tubuh, aktivitas tubuh, bagian-bagian anatomis, unsur-unsur, perenungan tanah pekuburan, dan empat jhāna.

<90> Kāyagatāsati-sutta tidak menyebutkan tidur atau bangun sebagai bagian dari perenungan posisi tubuh.

<91> Kāyagatāsati-sutta menyatakan bahwa ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga ditinggalkan dan pikiran menjadi terkonsentrasi.

<92> Kāyagatāsati-sutta juga menyebutkan makan, minum, mencerna makanan, mengecap, buang air besar, dan buang air kecil.

<93> Latihan ini dan berikutnya tidak disebutkan dalam Kāyagatāsati-sutta.

<94> Mengambil varian 絣 alih-alih 拼.

<95> Terjemahan didasarkan pada perbaikan apa yang dalam aslinya adalah penunjukan pada “aktivitias ucapan” ketika menghembuskan napas, jelas suatu kesalahan tekstual.

<96> Dalam setiap kasus dari empat jhāna, Kāyagatāsati-sutta juga menjelaskan pencapaian jhāna sebenarnya yang berhubungan sebelum menggambarkan bagaimana ia mempengaruhi jasmani.

<97> Kāyagatāsati-sutta tidak memberikan ukuran kain, di mana ia menggambarkannya sebagai berwarna putih.

<98> Latihan ini dan berikutnya tidak disebutkan dalam Kāyagatāsati-sutta.

<99> Guanxiang 觀相, yang mungkin sama dengan paccavekkhaṇanimitta.

<100> Daftar biji-bijian ini berbeda dari biji-bijian dalam perumpamaan yang sama dalam MĀ 98, padanan dari Satipaṭṭhāna-sutta.


Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9 10 11 12 ... 228
anything