Akhirnya dia berhenti merokok, dan tidak hanya berhenti sendirian, tapi juga mengajak satu Sangha untuk berhenti bersama dia.
Setelah Ajahn Chah mendengarkan desana dari Ajahn Pannananda, dia jadi sadar bahwa bila kemelekatan sekecil ini pun dia tak bisa hilangkan, bagaimana mau bebas dari yang besar? Selain itu, masyarakat juga tak perlu terbebani untuk memberi rokok buat bhikkhu (waktu itu rokok harus melinting sendiri, dan susah carinya). Bahkan sebagian bhikkhu dan samanera (oknum nih!) yang sampai minta-minta pada umat, padahal meminta kan melanggar Vinaya.
Setelah itu Ajahn Chah mengajak meeting dan diskusi dengan anggota Sangha lain, dan akhirnya semua setuju berhenti merokok.
(Ngambil dari sini:
http://www.amaravati.org/fsn/html/19/jun2.htm)
Saya sendiri juga waktu itu setelah lihat foto Ajahn Chah merokok jadi mikir "Kok....?". Tapi setelah ketemu artikel yang saya kutip di atas, malah jadi kagum. Ajahn Chah
menyadari belenggu kemelekatan diri sendiri,
memikirkan kesusahan umatnya yang harus nyumbang rokok , memikirkan dampak kecanduan rokok terhadap anggota Sangha yang lainnya, lalu mengambil
tindakan nyata mengajak semua untuk berhenti. Contoh kecil dan sederhana, tapi indah sekali.
(Omong-omong, fotonya bagus sekali ya, warna tanah lagi, seperti foto komersil untuk pabrik rokok hehe)
Sorry OOT.
Yang lebih dekat topik, mungkin bhikkhu yang kita bahas di sini (atau "biku", tapi kasihan juga lah ... jangan jaat-jaat lah, ntar nangis) bisa menempuh jalan yang sama:
menyadari hobby gaulnya kurang sesuai dengan statusnya sebagai bhikkhu,
memikirkan dampak hobby itu terhadap diri sendiri dan umat, lalu ambil
tindakan nyata coba melatih diri biar bisa jadi bhikkhu yang lebih sesuai harapan masyarakat.