//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - K.K.

Pages: 1 ... 6 7 8 9 10 11 12 [13] 14 15 16 17 18 19 20 ... 569
181
postingan yang spektakuler om...  :lotus:

tapi judulnya saya kurang kata2 yg mendetail sih, tapi maksudnya saya itu..

kebanyakan kasus seperti orangtua kita "dicampakkan" ke rumah jompo karena malas diurus jelas salah sekali secara moral
Iya, kalo alasannya hanya karena "malas mengurus" sih, menurut saya error.

Tapi balik lagi tentang hubungan antar manusia, kalo dari orang ke tiga, tentu kita tidak begitu tahu karena tidak mengetahui secara langsung kondisinya, yang walaupun adalah ortu-anak, tidak selalu baik2 saja. Baik ortu dan anak, ada yang memang keterlaluan perlakuannya, jadi kalau saya pribadi sih tidak terlalu mau 'menghakimi', tapi untuk masukan bagi diri kita sendiri saja.


182
ayo pendapatnya...  ;D
Kebanyakan orang masih berpendapat panti jompo = tempat buangan orangtua. Dari pola pikir ini maka muncul pandangan berbakti atau tidak adalah tergantung ortu dirawat di rumah (=berbakti) atau di panti jompo (=durhaka). Dengan begitu, walaupun memperlakukan ortu seperti binatang, asalkan dirawat di rumah, berarti berbakti, sementara walaupun ortu yang mau tinggal di panti jompo, tetap saja berarti anaknya durhaka.

Pantas atau tidaknya perlakuan terhadap ortu bukan ditentukan secara dangkal berdasarkan di mana ortu tinggal, tapi dilihat dari latar belakang dan motivasi perlakuan kita. Namun setiap masyarakat pasti punya pola pikir dan stigma masing-masing dan sulit mengubahnya. IMO urusan kita dengan ortu, yang penting ortu bahagia di jalan yang benar. Selama mampu dan positif, turuti aja maunya ortu, tidak perlu terlalu pusing dengan pendapat orang lain. Yang merasakan bakti/durhaka itu juga adalah ortu sendiri, bukan orang lain yang berkomentar itu.


183
Buddhisme Awal / Re: [ASK] TAMRAPARNIYA
« on: 22 January 2014, 10:24:43 AM »
Pembahasan yg menarik dari om KK. Jika sudah masuk dalam ranah studi ilmiah (ilmu sejarah), sekalipun "membuktikan" Buddha tidak pernah hidup di dunia ini, ini merupakan pernyataan yang kredibel dalam perspektif ilmu sejarah, yang tidak dapat diganggu gugat oleh argumen-argumen dari sisi yang bersifat iman, spiritualis, agamais, atau aspek-aspek padanannya.
Sama seperti ketika seseorang disantet, dunia kedokteran hanya bisa mendiagnosa dan memberikan penanganan dari ranah ilmu kedokteran. Mau menyanggah hasil diagnosa dokter berdasarkan sudut pandang ilmu santet sampai ke mana pun ya percuma. Sekalipun orang itu mati, kendati benar karena santet, dokter tetap mengeluarkan surat hasil diagnosa: Mati serangan jantung, misalnya.  :)

 
Betul, yang bersifat ilmiah pun sama sekali jauh dari sempurna, dan tidak bisa selalu menjelaskan segalanya. Studi ilmiah hanya bicara sejauh bukti konkret yang ada, lalu diambil kesimpulan berdasarkan logika. Jadi makin banyak bukti, makin luas dan dalam pengetahuan yang diperoleh, dan sebaliknya semakin sedikit bukti otomatis semakin kabur sempit dan dangkal pula pengetahuan yang didapat.

Jika tidak ada yang bisa diselidiki, yah tidak dibahas. Misalnya soal tahun berapa Sidharta Gotama lahir, mencapai Kebuddhaan, dan wafat tidak ada catatan atau bukti yang bisa diuji, maka secara ilmiah tidak ada buktinya. Tapi ini bukan berarti secara ilmiah Bodhisattva tidak ada, seperti salah kaprah yang umum terjadi. Posisinya hanyalah: ada atau tidak ada, tidak bisa ditinjau dari sudut ilmiah. Jadi seperti kasus santet itu, jika memang secara medis yang tercatat hanya sakit jantung, maka sebatas itulah yang dibahas. Apakah dijemput Anubis/Thanatos, disantet, nyawanya diculik jin, karma habis, dan segala macam asumsi atau klaim lainnya yang tidak bisa diobservasi dan diuji, itu tidak masuk dalam bahasan.

Jadi memang beginilah sudut pandang Buddhisme Awal dengan semua keterbatasannya. Silahkan bro chingik kalau ada bahasan, jangan ragu2. :)

184
Buddhisme Awal / Re: Abhidhamma/Abhidharma Pada Masa Buddhisme Awal
« on: 21 January 2014, 05:02:22 PM »
oh yah, ada catatan yang lebih tua lagi ?
Udah page 5, literatur hasil "konsili IV" adalah teks Buddhis paling tua?
Cpddd...

185
Buddhisme Awal / Re: Abhidhamma/Abhidharma Pada Masa Buddhisme Awal
« on: 21 January 2014, 02:39:54 PM »
Sudah 5 page tapi masih juga ada yang berpikir sumber literatur Buddhis satu-satunya di alam semesta cuma catatan sekte Mahavira, semua penelitian hanya seputar catatan Mahavira tersebut, sehingga kalau mau terima/tolak, harus terima/tolak satu paket 100%.

186
Buddhisme untuk Pemula / Re: Tanya ? Jawab untuk Pemula
« on: 21 January 2014, 10:56:30 AM »
itu saya sudah baca bro

intinya, apakah gunung meru itu kenyataan atau mitologi?
100 persen wilayah bumi sudah dipetakan sekarang, tidak ada deskripsi daerah seperti gunung meru... nah lo gimana itu.

kalau benar gunung meru itu di daerah utara india, kenapa disana tidak ada dewa-dewa atau hal-hal yang "wah" seperti deskripsi gunung meru di tipitaka... (apa deskripsi gunung meru itu di tipitaka bisa dilihat di link yang anda berikan)

saya melihat pola cerita "gunung meru" ini sama seperti cerita pengkultusan "kawah putih" oleh penganut sunda wiwitan di jaman kolonial dulu...
http://en.wikipedia.org/wiki/Kawah_Putih

mohon jawaban teman-teman DC

salam metta
allthingmustpass
Konsep Gunung Sineru/Mahameru ini menganut sistem bumi datar seperti piringan yang bawahnya cembung. Bukan Buddhisme, tapi ini warisan dari kosmologi yang berkembang pada masa itu. Kalau melihat dari sudut pandang iptek sekarang tentu kita tahu sistem begitu salah dan tidak ada Sineru tersebut. Tapi para umat fanatik memang tidak pernah kehabisan ide membuat doktrin baru maka dikenal gagasan "hanya yang tercerahkan yang bisa lihat Sineru".


187
Diskusi Umum / Re: [POLL] Buddhisme & Sains
« on: 21 January 2014, 10:42:28 AM »
non-buddhist bole vote n komen juga nda? :P
Boleh aja, kalau bisa beri komentar juga sedikit kenapa vote begitu.

188
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 20 January 2014, 11:56:26 AM »
The first supreme meaning or object to learn is citta. Before we come to citta, we want to emphasize and especially explain the Abhidhamma approach – as opposed to the Suttanta or Vinaya approach – is explaining the Dhammas in the sense of truth, as true object of perception, or true object of mind. Dhammas are that which have sabhava, or salakkhana, a very intriguing and complex word. It is, in a way, the understanding of what is sabhava, the self-nature. It is the root of all interpretation of the sabhava. Understanding sabhava is the root of all the different approaches we have in Buddhism as to the understanding of Dhamma and the way to liberation.

In the Hinayana school, or lesser vehicle school, as it is considered to be by the Mahayana scholars, the vehicle is the Arahant as opposed to the Mahayana where the vehicle is the Buddha. The criticism of the Mahayana – and in a way the whole structure of Mahayana – is based on the criticism of this concept of sabhava. But many Mahayana scholars criticize but have never studied Theravada, and thus, have a very serious misunderstanding of the Theravada Abhidhamma. They consider all the so-called Hinayana schools the same as Vaibhasika. The Mahayana scholars consider the idea of sabhava, the self-nature of entities, the same no matter whether it is from the Theravada or Sarvastivada school. In fact, there are some very important differences in the interpretation of how the sabhava is understood in the Theravada and in the Sarvastivada, or Vaibhasika, traditions. We will not go into detail on that.

What remains important to point out is that the paramatthas are the 4 supreme meanings or objects – Nibbana, citta, cetasika, and rupa. This, of course, is problematic, because there can be only one supreme meaning or object. It is very difficult to have many supremes. The relationship between the supreme of Nibbana and the supremes of citta, cetasika and rupa is not explained. Supreme object or meaning is understood in an ontological and epistemological sense, but what exactly the relation between the 4 different supremes and how we can have 4 different supremes is not mentioned.

What is understood is that when we understand these 4 supreme meanings and the 4 supreme objects, we can attain liberation. Some very important scholars have pointed out that the Abhidhamma approach, in a way, is a pluralistic approach. The Abhidhamma is linked to the Samkya philosophy, which is a similar approach. In Samkya, by understanding 25 tatvas (realities) we understand everything. In Abhidhamma, by understanding the 4 supreme objects or meanings we also understand everything.

We speak of two Nibbanas, one with the 5 aggregates of existence still remaining and one without the 5 aggregates of existence. But, Nibbana is only one. But, as we will see, the one citta (state of consciousness) becomes 89 or 121 cittas. This is the clarity of the Theravada Abhidhamma approach. Detailed analysis of the citta is based on very detailed analysis of the mind processes, of the cittavithis. This division of one citta into many cittas is not problematic, because a citta has only 1 characteristic differentiating the object, vijanati, so all these 81 or 121 cittas, states of consciousness, have only one characteristic of differentiating the object. But, when we come to the cetasikas (mental factors) we have 52 Dhammas, each with a different characteristic. A particularity of Theravada Abhidhamma, as opposed to the Sarvastivada Abhidhamma, is that all these Dhammas are not only discussed from the point of view of their own lakkhana (characeristic), but must also be understood from the view of rasa.

Rasa is a word very difficult to translated into English. This book translates it as function, but it means much more than just function. Literally, rasa means taste. And those who study Indian culture know the different types of music, medicine and experiences are classified into different rasas, different tastes. The function actually means the taste of the object, how one actually experiences it. This part of the analysis is also there in the Sarvastivada and Vaibhasika tradition. Even in the Yogacara tradition they discuss the Dhammas in the sense of lakkhana and rasa, characteristic and function, respectively.

What is particular about the Theravada approach is that this is not considered to be sufficient. There also has to be (proximate cause). Sorry, first I should say paccupatthana (manifestation), or how these Dhammas actually appear, how they establish themselves in our perception. Then, all of these Dhammas are everything that exists in the world, and everything only exists in interdependent origination. So, these salakkhanas, self-characteristics, according to the Theravada tradition, also only arise in interdependent origination, as opposed to the Sarvastivada tradition. The book is very emphatic on that fact. There are Theravadans who would agree salakkhanas are empty of interdependent nature, yet nevertheless, they have a lasting characteristic. Whether today, in the future, or in the past, the characteristic of earth remains hardness.

An intelligent man knows we can only experience hardness when we know softness, and without knowing hardness we cannot know softness. Similarly, heat being the self-characteristic of fire, every intelligent mans knows that we can only know heat when we know coolness. I know this book to be cool because my hand is warm. If I don’t know the hand being warm, I cannot know the coolness of this book. So, obviously, these salakkhanas (self-characteristics), the sabhava (self-natures) of these Dhammas are not meant as something existing independently in the three times, but only as it is understood in the Vaibhasika tradition, and as it is criticized by the Mahayana scholars. The Theravada tradition never committed itself to such an idea. So, as the Vissudhi Magga clearly explains, interdependent origination, their interdependent nature, is emptiness. In the ultimate sense, these Dhammas, even in the Theravada tradition, are considered empty, yet nevertheless have a real characteristic or self-nature, which is lasting.

To the students of Mahayana, the structure of these self-existing Dhammas, or self-existing characteristics, was smashed completely over hundreds of years and many endless disputes about which Dhamma has real characteristic and which does not, which is just a Dhamma of convenience and which really exists. This was a subject matter of endless discussion in the history of Dhamma. Each school of Buddhism had its own version of what was the real existing Dhamma and what was only a Dhamma of convenience.

Nagarjuna criticized and logically demolished the possibility of sabhava, self-existing nature. Logically, in the Buddhist sense, it is not tenable. In Mahayana Buddhism, there appeared disciples of Nagarjuna, like Chandrakirti and the Prasandrikas, who claimed that Dhammas have no nature whatsoever, that the nature of Dhammas is the nature of others, and whatever exists exists in the virtue of existence of others. So, this is the meaning of emptiness.

Some scholars, as you know, liked sabhava for convenience, merely for the sake of argument. Then, from the Yogacara school comes a very different interpretation: outer things have no nature at all, but that which has real nature is the mind and its mental factors. All that we understand in this world is just a manifestation of this mind.

Now, in the Theravada tradition we come to a middle position. The Theravada Abhidhamma is based on the analysis of these sabhava, real or existing or self natures, but these self-natures are definitely existing only in interdependence and cannot arise without the existence of other entities. So, this is an approach which is followed in our analysis, and with this understanding we come to the first supreme object or meaning in the world, citta.

http://www.phathue.com/buddhism/dharma-talks/abhidhamma-with-dhammadipa/
Aneh, di sini kok seolah-olah Vaibhasika/Sarvastivada tidak menganut interdependensi yah? Dan jika Theravada memang menganut interdependensi seperti yang dikemukakan Nagarjuna, mengapa masih mempertahankan ide sabhava itu sendiri? (Walaupun memang tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat dalam sekte Theravada sendiri seperti halnya Hadayavatthu.)


189
Buddhisme Awal / Re: Abhidhamma/Abhidharma Pada Masa Buddhisme Awal
« on: 20 January 2014, 11:37:56 AM »
Sekte lain malah mencatat konsili ke-3 bukan masa Asoka, tapi masa Raja Kanishka di Kashmir. Di buku Sejarah Buddhisme India karya Taranatha, penulis Tibet, tidak dicatat bahwa Asoka mengadakan konsili. Ada satu bab khusus tentang keajaiban dan dana-dana Asoka dst, mendirikan 80.000 stupa dalam semalam. Tapi tidak ada konsili.

Menurut Buddhisme Tibet, konsili hanya sampai ke-3, dan itu bukan masa Asoka tapi setelahnya, di Kashmir.
Ya, begitulah. Memang catatan Dipavamsa tidak sesuai dengan catatan sejarah lainnya. Yang di Kashmir memang konsili, tapi setelah masa sektarian, dilaksanakan sekte Sarvastivada. Jadi sama seperti konsili Theravada di Sri Lanka, sudah merupakan konsili sektarian, tidak seperti konsili I & II.

Nice info.

190
Diskusi Umum / Re: [POLL] Buddhisme & Sains
« on: 18 January 2014, 12:06:05 PM »
Pernah dengar Social Psychology?

Spoiler: ShowHide
Social psychology is a science that studies the influences of our situations, with special attention to how we view and affect one another. More precisely, it is the scientific study of how people think about, influence, and relate to one another.

Social psychology lies at psychology’s boundary with sociology. Compared with sociology (the study of people in groups and societies), social psychology focuses more on individuals and does more experimentation. Compared with personality psychology, social psychology focuses less on individuals’ differences and more on how individuals, in general, view and affect one another. Social psychology is still a young science.

The first social psychology experiments were reported barely more than a century ago, and the first social psychology texts did not appear until approximately 1900 (Smith, 2005). Not until the 1930s did social psychology assume its current form. Not until World War II did it begin to emerge as the vibrant field it is today. And not until the 1970s and beyond did social psychology enjoy accelerating growth in Asia—first in India, then in Hong Kong and Japan, and, recently, in China and Taiwan (Haslam & Kashima, 2010).

Social psychology studies our thinking, influences, and relationships by asking questions that have intrigued us all.


Buddhism tidak membahas detil teori psikologi, jadi sulit dibanding-bandingkan. Tapi dalam ruang lingkup sains, Buddhism lebih condong ke Psikologi.

Kalau dari spoiler di atas, orang yang mengembangkan perhatian, secara tidak langsung belajar juga Social Psychology. Saya rasa begitu..
Walaupun tidak saling terlepaskan, bukannya Buddhism lebih ke arah internal ketimbang eksternal (sosial) yah?

Poll ini emang ga detail sih, karena kalau terlalu detail takutnya lebih sedikit respondennya. Jadi boleh-boleh aja mendefinisikan Buddhism & Sains sesuai sudut pandang sendiri, lalu beri pendapat. Bebas.

191
Diskusi Umum / Re: [POLL] Buddhisme & Sains
« on: 18 January 2014, 11:49:38 AM »
nanya dong,refrensi "sesuai" disini cuma boleh dari tipittaka doang atau boleh dr kitab yg diambil dari alam naga?;D
Mo yang diambil dari mana aja ga apa kok, mo "Buddhisme" yang versi apa juga ga apa, kasih komentarnya aja supaya jelas.

192
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 18 January 2014, 11:40:31 AM »
Milinda Panha beberapa kali menyebut kata "sabhava" tetapi waktu itu belum masuk ke doktrin svabhava yang umum ditemui di abhidharma kemudian. Saya kurang tahu, tapi mungkin itu menandakan cikal bakal berkembangnya doktrin svabhava
Svabhava bukan doktrin khusus sekte tertentu seperti Theravada, tapi setiap sekte punya pandangan tersendiri tentang svabhava, dan sekte-sekte Abhidharmik justru memang membahas svabhava ini dalam tafsir abhidharmanya. Svabhava ini yang membahas karakteristik mendasar fenomena yang muncul, yang kemudian berinteraksi dengan fenomena lainnya membentuk samskara/bentukan.


Quote
doktrin svabhava dalam buddhisme misalnya dianut oleh Sarvastivada yang mengatakan: Semua dharma di tiga masa sesungguhnya  ada
di theravada, ada di karya komentar vissudhi magga yang sering menyebut sabhava
Dan biarpun dikatakan "sungguh ada", konsep svabhava buddhis masih mengatakan anatta dan anicca. Berbeda dengan non-buddhis yang mengatakan atta = svabhava.
Semakin dibaca semakin pusing.
Betul, bahkan pudgalavada yang memiliki pandangan ada 'pudgala' yang bukan sama bukan berbeda dengan pancaskandha saja memegang "anicca-dukkha-anatta", semua sekte awal ini menerima dan memegang prinsip doktrin Buddhisme Awal, namun mereka menafsirkannya dengan cara berbeda saja.

Perbedaan yang bisa dilihat adalah kalau di Theravada fenomena dianalisis dan dipecah menjadi fenomena yang lebih kecil, kemudian dipecah lagi menjadi yang lebih kecil sampai akhirnya ada satu bagian yang tidak lagi terbagi. Nah fenomena ini yang kemudian memiliki ciri seperti misalnya rupa-kalapa memiliki 3 kategori dan punya karakteristik tertentu. Ciri ini yang dimaksud svabhava, dan dalam Madhyamaka, karena fenomena muncul bergantungan, tergantung pula dengan persepsi dan indriah, maka sebetulnya tidak ada suatu ciri sejati yang dikenali dari bahkan fenomena terkecil tersebut, maka disebut hakekatnya "sunya" (kosong).


193
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 18 January 2014, 11:27:40 AM »
ente yang kata-kan bahwa apa yang tercantum di milinda panha itu doktrin sabhava, padahal yang ada di bab Kesempurnaan Sang Buddha adalah berbeda... tidak ada konteks membahas doktrin sabhava... dan diberbagai terjemahan, tidak ada di-bahas soal doktrin sabhava...

-----------------

Jadi inget anggapan "cocoklogi" abhidhamma di bhikkhuni vibhanga (vinaya), tapi kok bisa yah muncul penggunaan "cocoklogi" soal sabhava di Milinda panha.... (cuma 1 kata saja), dan tidak nyambung soal doktrin sabhava yang dimaksud-kan sebagai realitas sejati....
Dalam Milindapanha memang tidak ada penjelasan detailnya soal doktrin sabhava, tapi kata itu muncul sesuai perkembangan doktrin saat itu, maka bisa dilihat dalam nikaya awal tidak ada penyebutan sabhava sama sekali, tapi setelah perkembangan doktrin sabhava (di India dulu perdebatan dan argumentasi sangat umum, saling menyerang dan bertahan dengan tesis masing-masing), barulah pengertian itu dimasukkan dalam tafsir abhidhamma dan istilahnya kembali muncul dalam doktrin belakangan seperti Milindapanha tersebut.

Berbeda dengan cocoklogi term "Abhidhamma" di vinaya dengan "Abhidhamma Pitaka", yang pada jaman Buddha jelas-jelas belum ada. (Kecuali menurut catatan sektarian Theravada, tentunya hehehe)

Lucunya, saya baca perkembangan doktrin sabhava di forum diskusi abhidhamma yang juga melibatkan tulisan bhikkhu Theravada. Melihat pengetahuan dan cara bicara bro dilbert yang makin lama makin kelihatan aslinya, saya sudah pada kesimpulan tidak ada gunanya melanjutkan diskusi. Jadi maaf kalau berikutnya saya tidak tanggapi yah.


194
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 17 January 2014, 01:05:53 PM »

69. 'And there are, O king, these twenty and eight good qualities of meditation in the perception of which the Tathâgatas devoted themselves to it. And which are they? Meditation preserves him who meditates, it gives him long life, and endows him with power, it cleanses him from faults, it removes from him any bad reputation giving him a good name, it destroys discontent in him filling him with content, it releases him from all fear endowing him with confidence, it removes sloth far from him filling him with zeal, it takes away lust and ill-will and dullness, it puts an end to pride, it breaks down all doubt, it makes his heart to be at peace, it softens his mind, [140] it makes him glad, it makes him grave, it gains him much advantage, it makes him worthy of reverence, it fills him with joy, it fills him with delight, it shows him the transitory nature of all compounded things, it puts an end to rebirth, it obtains for him all the benefits of renunciation. These, O king, are the twenty and eight virtues of meditation on the perception of which the Tathâgatas devote themselves to it. But it is because...

--------------------------
Dengan hanya kata sabhavam saja di milinda panha, langsung diterjemahkan / di-tafsirkan ada pembahasan di milinda panha tentang realitas sejati...

di-hampir semua terjemahan.... "sankharanam sabhavam dassayati" di-terjemahkan kira-kira dengan makna "it shows him the transitory nature of all compounded things" / "menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan"
Realitas sejati, sifat sejati, dll, itu hanya terjemahan saja. Saya tidak permasalahkan terjemahan. Coba cari doktrin "sabhava" itu, dan pelajarilah dahulu, jangan pakai asumsi "gue udah tahu pasti maksudnya anicca-dukkha-anatta" dan langsung asbun. Kalau belajar perkembangan doktrin Theravada saja tidak mau, bagaimana mau mengerti doktrin tandingan lainnya dan madhyamaka-nya Nagarjuna?

Maaf, tapi kalau post berikutnya kita masih tidak nyambung tentang doktrin sabhava, saya tidak akan tanggapi lagi yah.

195
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 17 January 2014, 12:45:55 PM »
saya kalau naik pesawat, sering baca-baca kembali milinda panha... coba quote-kan yang lebih panjang di bagian mana yang membahas soal "memahami realitas sejati bentukan" ?


------------------------

Sudah saya dapatkan apa yang dimaksud...

Bab IX...

9. Kesempurnaan Sang Buddha

“Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya di bawah pohon bodhi, mengapa Beliau menghabiskan waktu tiga bulan lagi di dalam kesendirian?”31
“O, baginda, meditasi kesendirian mempunyai banyak manfaat. Semua Tathagata mencapai kebuddhaan lewat cara itu dan kemudian mengajarkan hal itu demi manfaat umat manusia. Ada dua puluh delapan manfaat praktek kesendirian:32

meditasi itu melindungi seseorang;
memperpanjang usia kehidupannya;
memberikan semangat;
mengikis kelemahannya;
menghilangkan segala reputasi yang buruk, dan
membawa kemasyhuran;
menghancurkan ketidakpuasan, dan
menumbuhkan kepuasan;
menghapuskan ketakutan, dan
memberikan keyakinan;
menghilangkan kemalasan, dan
memenuhinya dengan semangat;
mengusir nafsu,
mengusir niat jahat, dan
mengusir pandangan salah;
melemahkan kesombongan;
menghalau keraguan, dan
membuat pikiran terpusat;
melembutkan pikiran, dan
membuatnya ringan hati;
membuatnya serius;
membawa banyak keuntungan;
membuatnya patut dihormati;
memberikan sukacita;
mengisinya dengan kegembiraan;
menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan;
mengakhiri kelahiran kembali; dan
memberikan kepadanya semua buah dari kehidupan meninggalkan duniawi.
Karena Sang Tathagata mengetahui berbagai keuntungan ini maka Beliau menjalankan praktek kesendirian.
“Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Para Tathagata membaktikan diri pada praktek kesendirian:

agar dapat berdiam di dalam ketenangan;
karena sifat kesendirian yang sama sekali tak tercela;
karena kesendirian merupakan jalan bagi semua yang luhur tanpa kecuali; dan
karena hal itu dipuji dan dimuliakan oleh semua Buddha.
Bukan karena masih ada yang harus dicapai oleh Para Buddha itu, dan bukan pula karena masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan pada apa yang telah Mereka capai, melainkan hanya karena manfaat-manfaat yang luar biasa itulah maka Para Buddha mempraktekkan kesendirian.”

-------------


26. menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan (sankharanam sabhavam dassayati)
-- Sifat sejati semua bentukan (sankhara) = bersifat anicca, sehingga ketika dilekati akan menghasilkan dukkha, dan semua fenomena di dunia ini adalah anatta (atau bersifat sankhara).

Sabbe sankhara anicca
Sabbe sankhara dukkha
Sabbe dhamma anatta...

---------------

Bagaimana bisa menafsirkan bagian milinda panha ini sebagai pengertian bahwa ada-nya realitas sejati ???
Seharusnya saya yang tanya, darimana "sabhava" ditafsirkan "anicca-dukkha-anatta"? Itu mah tilakkhana kali.

Selanjutnya tanya aja sama bang Xenocross deh yah... Saya takut ntar dipanggilin Mingun Sayadaw lagi...

Pages: 1 ... 6 7 8 9 10 11 12 [13] 14 15 16 17 18 19 20 ... 569