This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.
121
Diskusi Umum / Re: Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 24 April 2014, 10:17:33 AM »Dari MN 60 Apannaka Sutta dikatakan bahwa penganut ketiga pandangan salah tsb memiliki perilaku, ucapan dan pikiran salah sehingga terlahir di alam menderita bahkan neraka:Nah, ini juga sebetulnya salah satu yang ingin saya bahas. Perhatikan di awal kutipan sutta disebutkan penganut pandangan itu terlahir di neraka karena perbuatan salahnya, bukan karena menganut pandangannya. Kemudian diberikan uraian logis bahwa orang yang berpandangan demikian, kecenderungan logisnya adalah demikian. Kecenderungan, bukan secara mutlak. Berlaku pula sebaliknya, penganut Buddhisme, misalnya, berpandangan demikian, maka kecenderungannya adalah demikian.
7. (A.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada yang diberikan ... tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.
[....]
9. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman.[6] Tetapi jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.
Meski begitu, pada kenyataannya yang semua kembali lagi pada orang per orang, berpandangan demikian belum tentu semua jahat (seperti pola pikir Richard Dawkins di video itu), dan Buddhis belum tentu semua baik. Sampai sini, sutta itu juga masih tetap konsisten, karena memang tidak memberikan kepastian "berpandangan x, lahir di y".
Menjadi pertanyaan kemudian ketika muncul prinsip niyata-micchaditthi ini di mana dikatakan yang menganut pandangan demikian memiliki kepastian tujuan kelahiran berikutnya, terlepas dari pola pikir serta perbuatannya.
Jadi dari yang saya tangkap:
-Jika mengikuti pola MN 60 ini, yang menentukan tujuan kelahiran tetap adalah perbuatan (pikiran, ucapan, jasmani), pandangan hanyalah mengarahkan kecenderungan saja, sehingga penganut nihilisme sekalipun, jika menjalankan hidup dengan perbuatan baik, tidak akan jatuh pada neraka/alam binatang.
-Jika mengikuti prinsip niyata-micchaditthi, maka terlepas perbuatan seseorang, ketika menganut nihilisme, tujuannya sudah pasti neraka/alam binatang.
-------
klo gitu sutta ini http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_71:_Tevijjavacchagotta_Sutta#13
13. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”[5]
“Vaccha, tidak ada Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”
14. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”
“Ketika aku mengingat kembali hingga sembilan puluh satu kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga, dengan satu pengecualian, dan ia menganut doktrin efektivitas perbuatan bermoral, doktrin efektivitas tindakan.”[6]
Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.Di MN 71 ini juga hanya sepintas saja disebutkan tidak ada yang mengakhiri penderitaan atau ke alam surga (kecuali 1 orang) tapi tidak disebutkan kepastian ke neraka atau binatang, juga tidak dijelaskan apakah pandangannya atau praktik perbuatannya (karena mereka juga dikenal dengan tradisi 'bunuh diri' jika menganggap fisik & mentalnya mengalami penurunan) yang menyebabkannya tidak terlahir di alam baik, dst.
↑ Karena Ājivaka ini percaya pada efektivitas perbuatan bermoral, maka ia tidak mungkin menganut filosofi fatalisme ortodoks dari para Ājivaka yang menyangkal efektivitas peran kamma dan perbuatan-perbuatan kehendak dalam mengubah takdir manusia. MA mengidentifikasikan Ājivaka ini sebagai Sang Bodhisatta dalam kehidupan sebelumnya.
Karena tidak ada penjelasannya, maka saya pikir tidak bisa dibahas.
122
Diskusi Umum / Re: Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 22 April 2014, 01:01:25 PM »niyata-micchaditthi taken from Ditthikathā.-Second chapter of the Mahāvagga of the Patisambhidāmagga. Ps.i.135-62.Thanks.
Pantes ga ketemu.
-------
1. jika saat kematiannya pandagan ini di gengam erat..(artinya muncul saat kematian) maka hasilnya adalah lahir di alam binatang/neraka, tentu dalam 1 kehidupan ada banyak pandagan bagi seseorg... jika pandagan salah yg muncul saat kematiannya..maka hasilnya yah alam neraka/binatang, tp jika muncul pandagan benar yg lain saat kematiannya..maka masilnya juga beda.. misal sorg yg memiliki pandagan bahwa saat kematian tidak ada apa2, tp saat kematian..yg muncul adalah pandagannya yg lain..yaitu moralitas adalah hal yg baik... maka walau tidak meninggalkan pandagan salahnya..dia terlahir akibat pandagan nya yg lain (kebetulan ini atheis..yg menjunjung tinggi moralitas..humanisme..dll)
2. jawabannya ada di mahakamma vibhanga sutta... (jawaban simplenya tergantung mana yg muncul saat kematian...)
http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_136:_Mahākammavibhanga_Sutta
Mungkin kurang jelas konsepnya, tapi ini bukan micchaditthi yang biasa, tapi niyata micchaditthi dengan tujuan pasti, dan sifatnya anantarika (berbuah pada kehidupan berikut).
"niyata-micchādiṭṭhi: 'wrong views with fixed destiny', are the views of uncausedness of existence (ahetuka-diṭṭhi), of the inefficacy of action (akiriyadiṭṭhi), and nihilism (natthika-diṭṭhi). For details, s. diṭṭhi; and M. 60, Com. (WHEEL 98/99). -"
"1 Garuka-kamma
Weighty kamma which is so strong that no other kamma can stop its function in the next life. In other words, it certainly produces its results in the next life. Bad weighty kammas are pancànantariya kamma, namely, (i) creating a schism in the Sangha, (ii) wounding a Buddha, (iii) murdering an arahat, (iv) matricide, and, (v) parricide. Niyata-micchàditthi (permanent false view) is also termed as one of the weighty kammas. Why? On the other hand, 5 rupàvacara-kusala kammas and 4 aråpàvacara-kusala kammas are good weighty kammas. Lokuttara-magga is also a weighty force for it closes the doors of the four apàya (state of deprivation - hell) abodes for ever."
123
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 22 April 2014, 12:29:22 PM »Kupancarkan metta ke arah timur
Kupancarkan metta ke arah tenggara
Kupancarkan metta ke arah selatan
Kupancarkan metta ke arah barat daya
Kupancarkan metta ke arah barat
Kupancarkan metta ke arah barat laut
Kupancarkan metta ke arah utara
Kupancarkan metta ke arah timur laut
Kupancarkan metta ke arah atas
Kupancarkan metta ke arah bawah
ini sama aja dengan memancarkan metta ke segala penjuru, cuma oleh Sang Buddha disebutkan satu2
sama halnya seperti:
Kupancarkan metta terhadap ular kobra
Kupancarkan metta terhadap ular boa
Kupancarkan metta terhadap ular piton
Kupancarkan metta terhadap ular sawah
Kupancarkan metta terhadap ular sanca
Kupancarkan metta terhadap ular laut
Kupancarkan metta terhadap ular kepala dua
Kupancarkan metta terhadap ular siput
Kupancarkan metta terhadap ular sendok
(dst, yang jumlahnya bisa jadi puluhan s/d ratusan)
suku2 ular dari Virupakkha sampai Kanhagotama itu mungkin maksudnya adalah mencakup semua jenis ularnya, kalau mau disebutin satu2 dari ular piton, boa, kobra, sawah, dst, yang ada kecapekan bacanya
pertama pastikan dulu apa benar itu nama 4 raja ular..atau nama famili/kelas/suku ular...? jd mo menghormat cobra misalnya..silakan.. cobra bisa saja salah satu jenis dari 4 kelas/suku itu...
malas sebutin 4 kelas.. yah 1 aja..ular.., malas sebutin ular..semua mahluk d..malas juga..tidur aja... tp terlepas dari kemalasan..itu teknik nya begitu..walau pada akhir syair..mengarah kepada semua mahluk.. dan untuk jimat? ga nyambung...
catumaharajika benar 4 penjuru..
aku ga bilang loh 4 raja catumaharajika adalah naga...
aku bilang salah 1 raja itu namanya sama dgn nama suku ular/naga..ga berarti dia harus Naga..
2 post saya gabung saja karena sama-sama menganggap "empat keluarga kerajaan naga" tidak ada hubungannya sama sekali dengan deva di Catummaharajika, hanya menyinggung genus-genus ular saja, sedangkan saya berpandangan berbeda.
Dengan demikian, saya terpaksa tidak lanjutkan. Jadi sekian, saya pamit dulu.
124
Diskusi Umum / Re: Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 21 April 2014, 02:41:52 PM »balik lagi ke diskusi mengenai pandangan benar / right view / sammaditthi...Ya, intinya 'kan kalau mengaju pada Brahmajalasutta, kita masih muter2 di samsara karena berpandangan salah. Ini bisa diterima. Tapi untuk niyata-micchaditthi (yaitu 3 pandangan di atas) yang katanya jika pada saat kematian masih dipegang, memiliki tujuan pasti niraya/binatang. Ini yang bikin saya bertanya-tanya.
singkatnya, saya berpendapat pandangan itu bukan pengertian secara intelektual, juga bukan keimanan pada paham atau doktrin buddhis. selama belom suci, baik itu buddhis (yang percaya pada doktrin buddhis) maupun bukan buddhis, dua2nya berpandangan salah karena tidak mengerti, tidak menyelami dan tidak menembus kebenaran mulia...
125
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 21 April 2014, 02:33:50 PM »dalam terjemahan bahasa indo:Iya, tapi kenapa tidak langsung kepada makhluk bersangkutan saja? Ini seperti misalnya kita dizolimi bendahara RT, lalu kita mengarahkan pikiran, "Kupancarkan metta pada SBY dan kabinetnya" gitu.
kupancarkan metta kepada suku-suku ular Virupakkha
kupancarkan metta kepada suku-suku ular Erapatha
kupancarkan metta kepada suku-suku ular Chabyaputta
kupancarkan metta kepada suku-suku ular Kanhagotama
ini mungkin maksudnya memancarkan metta kepada jenis-jenis ular dibawah kekuasaan salah satu dari 4 raja naga tsb (bukan kepada dewanya)
Dan sebetulnya saya tertarik dengan bagian awalnya:
"Pasti, para bhikkhu, bhikkhu itu tidak meliputi keempat keluarga kerajaan ular dengan pikiran cinta kasih. Karena jika ia melakukan demikian, maka ia tidak akan digigit ular dan tewas..."
Empat raja-raja ular ini adalah tradisi dan mitologi di India pada masa itu, jadi untuk yang tidak kenal tradisi itu jadinya bagaimana? Misalnya kalau di Mesir kuno, mereka menghormat ke Wadjet, berarti objek yang keliru donk? Tapi ini Intermezzo saja.
-------
Virupakkha = nama salah 1 raja di catumaharajikaCatummaharajika 'kan empat penjuru, di utara raja Yakkha, di timur raja Gandhabba, di selatan raja Kumbhanda, dan di barat raja Naga.
virupakkhas = nama salah 1 suku ular/naga
namanya mirip... ga masalah..blm tentu merujuk ke subject yg sama....
selain itu nama2 4 raja naga bisa di temukan dimana? soalnya yg aku temukan merujuk ke suku/family/kelas bukan nama rajanya...
lagian dari sumbernya mengatakan itu adalah jenis ular/naga
"by letting your love flow out over the four royal breeds of serpents. "
yah kebetulan salah satunya namanya sama dgn salah 1 raja dewa catumaharajika..ga berarti dewa itu adalah naga..., tp dia memang memimpin para naga...
126
Diskusi Umum / Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 21 April 2014, 02:01:10 PM »
Di sutta kadang disinggung tentang 3 pandangan salah: ahetukavada (paham tanpa sebab) yang menyatakan makhluk terlahir bahagia atau menderita karena kebetulan, bukan karena ada sebab/akar perbuatan; akiriyavada (paham tanpa perbuatan) yang menyatakan perbuatan apapun tidak memiliki akibat; dan natthikavada (paham tidak ada apa-apa) yang menyatakan setelah meninggal maka tidak ada apa-apa lagi.
Tiga ini disebut niyata-micchaditthi yaitu pandangan yang jika masih dianut pada saat kematian, memiliki tujuan pasti yaitu alam neraka atau binatang; juga termasuk dalam satu kamma berat tak terhindarkan (anantarika kamma). (Istilah "niyata-micchaditthi" ini juga belum bisa saya temukan referensinya. Beberapa sumber mengatakan dari Abhidhammatasangaha dan ada yang mengatakan dari Visuddhimagga, tapi saya cari-cari belum dapat juga bagian mana. Yang punya referensi bisa tolong bantu.) Jadi terlepas dari perbuatannya, asalkan menggenggam pandangan salah ini, tujuannya adalah pasti neraka atau binatang.
Di lain pihak, para atheis yang tidak percaya pada kehidupan lampau dan kehidupan setelah kematian, juga ada yang menganggap karena ini adalah kehidupan kita satu-satunya, maka kita harus menghargainya, memaksimalkan, dan berjuang meningkatkan kualitasnya, bertolak-belakang dengan, misalnya, orang religius yang cenderung apatis dan "menyerahkan" nasib (diri dan orang lain) pada karma atau rencana Tuhan, dll.
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah bagi mereka yang memeluk "niyata-micchaditthi" ini dan memandang hidup saat ini bagi diri sendiri dan orang lain harus dihargai dan dijalani sebaik-baiknya, ketika meninggal tanpa meninggalkan pandangannya, menurut pendapat member di sini akan terlahir di neraka/alam binatang?
2. Sebetulnya yang menentukan kelahiran seseorang adalah akibat dari perbuatan ataukah pandangannya?
Tiga ini disebut niyata-micchaditthi yaitu pandangan yang jika masih dianut pada saat kematian, memiliki tujuan pasti yaitu alam neraka atau binatang; juga termasuk dalam satu kamma berat tak terhindarkan (anantarika kamma). (Istilah "niyata-micchaditthi" ini juga belum bisa saya temukan referensinya. Beberapa sumber mengatakan dari Abhidhammatasangaha dan ada yang mengatakan dari Visuddhimagga, tapi saya cari-cari belum dapat juga bagian mana. Yang punya referensi bisa tolong bantu.) Jadi terlepas dari perbuatannya, asalkan menggenggam pandangan salah ini, tujuannya adalah pasti neraka atau binatang.
Di lain pihak, para atheis yang tidak percaya pada kehidupan lampau dan kehidupan setelah kematian, juga ada yang menganggap karena ini adalah kehidupan kita satu-satunya, maka kita harus menghargainya, memaksimalkan, dan berjuang meningkatkan kualitasnya, bertolak-belakang dengan, misalnya, orang religius yang cenderung apatis dan "menyerahkan" nasib (diri dan orang lain) pada karma atau rencana Tuhan, dll.
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah bagi mereka yang memeluk "niyata-micchaditthi" ini dan memandang hidup saat ini bagi diri sendiri dan orang lain harus dihargai dan dijalani sebaik-baiknya, ketika meninggal tanpa meninggalkan pandangannya, menurut pendapat member di sini akan terlahir di neraka/alam binatang?
2. Sebetulnya yang menentukan kelahiran seseorang adalah akibat dari perbuatan ataukah pandangannya?
127
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 19 April 2014, 12:08:22 PM »Maaf, gak nahan mau OOT lagi, tentang pembuatan jimat, dari DN 1 Brahmajala Sutta dikatakan:Betul, tapi ini adalah tentang penghidupan yang tidak benar. Petapa Gotama (dan sanghanya) tidak melakukan semua hal itu demi mendapatkan persembahan, tapi bukan berarti tidak melakukannya sama sekali.
1.21. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brāhmaṇa memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, berpenghidupan dari keterampilan, penghidupan salah seperti membaca garis tangan,[28] meramal dari gambaran-gambaran, tanda-tanda, mimpi, tanda-tanda jasmani, gangguan tikus, pemujaan api, persembahan dari sesendok sekam, tepung beras, beras, ghee atau minyak, atau darah, dari mulut, membaca ujung jari, pengetahuan rumah dan kebun, ahli dalam jimat, pengetahuan setan, pengetahuan rumah tanah,[29] pengetahuan ular, pengetahuan racun, pengetahuan tikus, pengetahuan burung, pengetahuan gagak, meramalkan usia kehidupan seseorang, jimat melawan anak panah, pengetahuan tentang suara-suara binatang, Petapa Gotama menjauhi keterampilan dan penghidupan salah demikian.”’
Misalnya menafsirkan mimpi, Buddha Gotama sendiri menafsirkan mimpi Raja Bimbisara (yang akhirnya mengajarkan tentang patidana), atau di lain kasus juga meramalkan kematian seorang anak (DhA 109), namun tidak melakukannya demi mendapatkan penghidupan. Buddha bahkan tidak mengajar dhamma demi mendapatkan penghidupan.
-------
Virupakkha dan virupakkhas ..tampaknya beda arti..Bisa dijelaskan bedanya bagaimana?
Quote
yah memang sistim Buddhist beberapa di ajarkan bertahap...ini salah satunya.. bbrp dimulai dgn memancarkan cinta kasih ke 4 arah utama..( di mulai dgn 1 arah... ) kemudian ke atas , kebawah, ke sekeliling dan kesegala penjuru, walau simplenya..bilang aja kesegala penjuru..Ya, betul. Tapi balik lagi, jika memang hanya metta, apa gunanya menyinggung 4 raja naga?
tp tentu itu juga tidak sendang mengajarkan jimat..hanya krn mengajarkan ke 1 arah dulu, sedangkan... bisa langsung ngomong kesegala penjuru...
128
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 17 April 2014, 08:47:20 AM »krn dalam kasus ini lagi ngomong ttg di gigit ular...Tidak juga sih. Di sutta disebutkan format bacaan yang menyebutkan '4 raja naga' ini berlaku untuk makhluk tak berkaki, berkaki dua, empat, dan berkaki banyak (alias semuanya). Saya pikir jika memang mau secara general, langsung aja ke "semua makhluk", dan kalau mau khusus, langsung ke makhluk yang dihadapi. Tapi dalam kasus ini malah melibatkan Virupakkha dkk. yang adalah ini adalah raja naga, penguasa alam catummaharajika bagian barat. Jadi balik lagi, saya pikir ini bukan hanya metta (seperti di karaniyamettasutta), tapi ada unsur magisnya berkenaan dengan kekuasaan makhluk alam lain. Itu saja sih sebetulnya.
jd mettanya di pacarkan spesifik ke bos2 nya ular...
klo ga spesifik..yah semoga semua mahluk berbahagia...
termasuk pegarahan "pikiran" atau metta...klo lebih spesifik...
-------
sebetulnya,Kalau gitu, Buddhis sama donk seperti Nigantha yang mau menghabiskan karma buruk untuk mencapai pembebasan?
orang tsb paling tidak harus berterima kasih bahwa salah satu karma buruknya yg hebat sedang berbuah dan berkurang satu.
bukankah orang selalu menanti2 matang-nya buah karma,
whether it's good or bad, he/she should be thankful/grateful
129
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 16 April 2014, 05:30:43 PM »gw nge-translate nya menjadiYa, memang tidak secara spesifik dijelaskan perlindungan itu berupa jimat/mantra/paritta/tato, dll., tapi di sini ada semacam metode kewaskitaan yang melibatkan 'empat raja naga' (atau raja yakkha dalam kasus Atanatiya) untuk perlindungan. Jadi rasanya bukan tidak dibahas hal-hal beginian dalam Tradisi Theravada. Itu point yang saya maksud.
"Gw persilahkan 4 ular2 ini di-suffused (kepret/percik/liputi) metta untuk tujuan jaga diri, [...]"
Also metta...
From another english translation sources:
I allow you, O Bhikkhus, to make use of a safeguard for yourselves for your security and protection,
by letting your love flow out over the four royal breeds of serpents. And thus, O Bhikkhus, are you to do so
source: http://sacred-texts.com/bud/sbe20/sbe20021.htm
also metta..
There is no jimat (or sejenisnya)
Aku nangkepnya juga begitu..Kalau ini hanya masalah metta semata (bukan magis), kenapa tidak cukup hanya memancarkan ke makhluk yang dimaksud saja, tapi mesti ke raja naga?
130
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 16 April 2014, 04:29:27 PM »di AN 4.67 Ahirāja Sutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23851.msg435477.html#msg435477) itu tidak dibilang bikin jimat. di Cullavagga 5.6 memang boleh tah bikin jimat?Ya, sepertinya dari kasus di AN itu maka dikeluarkan aturan dan metode "mantra" empat raja naga itu untuk perlindungan bagi bhikkhu dan dicatat di vinaya.
Kayaknya Cullavagga V.6 hanya memperbolehkan "to let blood" (pengeluaran darah kotor?) untuk mengobati luka akibat gigitan ular (http://sacred-texts.com/bud/sbe20/sbe20021.htm). Catatan kaki dari penerjemahnya mengacu juga pada "the letting of blood" pada Mahavagga VI.14 untuk mengobati penyakit tertentu (http://sacred-texts.com/bud/sbe17/sbe17028.htm).Dari teks yang saya ambil dulu (tapi lupa di mana), Cv. V.6. isinya adalah:
Mungkin sumber om KK lebih jelas terjemahannya dibandingkan sumber saya....
"I allow that these four royal families of snakes be suffused with an attitude of good will for the sake of self-guarding, for the sake of self-protection, for the sake of self-warding."
Vinaya, Khandaka bagian 10 juga ada membahas tentang ini.
Mungkin lebih jelas bisa dilihat di sini.
Waduh... kenapa malah jadi bahas vinaya (aturan kebhikkhuan) ?Bukan mau membahas vinaya secara mendalam sih, tapi untuk menunjukkan bahwa Tradisi Theravada bukan tidak membahas hal-hal magis.
[...]
131
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 16 April 2014, 10:47:25 AM »please note, ini dari vinaya theravāda, yg merupakan penjelasan dan implementasi dari patimokha sendiri. Jadi belum tentu berlaku di vinaya sekte lain seperti dharmaguptaka yg dipakai mahayana.Ya, ini vinayanya Tradisi Theravada, untuk di yang lain belum tahu juga. Tapi di AN 4.67. Ahirajasutta juga disinggung perlindungan serupa. Karena AN juga termasuk karya awal, kemungkinan berlaku bagi sekte lainnya juga.
PS: Tidak melayani pasien alergi Buddhisme Awal.
132
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 16 April 2014, 09:53:28 AM »Baru tahu kalo bhikkhu boleh buat jimat. Kalo buat jimat/amulet untuk diberikan ke umat (bukan dijual ke umat, tapi ngasih aja), itu diperbolehkan gak, om?Saya belum ketemu penjelasan boleh atau tidak. Mungkin tidak dilarang, tapi sepertinya juga potensi mendapatkan simpati umat dan juga akan mengesankan 'kesaktian'. IMO untuk hal-hal gini, baiknya kembali ke kebijaksanaan bhikkhu itu kali yah...
133
Theravada / Re: Pandangan Theravada mengenai "ilmu hitam" & cara menanggapinya
« on: 16 April 2014, 08:52:40 AM »Halo teman2,Apa benar demikian? Bahkan di vinaya (Culavagga V.6.), bhikkhu diperbolehkan untuk membuat jimat sebagai perlindungan untuk dirinya sendiri (selama tidak digunakan untuk mendapatkan perolehan); DN 32. Atanatiyasutta juga digunakan untuk mengundang raja Yakkha untuk mengusir Yakkha jahat. Masa' sih tidak ada kepercayaan magis-magis begitu?
Menurut teman2 apa yg hrs kita lakukan sebagai seorang Theravada bila (amit2) kita diserang ilmu hitam?
Saya bertanya karena (menurut saya, mohon dikoreksi bila salah) :
1. Theravada TIDAK mempercayai bahwa doa seseorang mampu mengubah hidupnya/menyelesaikan masalahnya secara "ajaib".
2. Theravada TIDAK berkonsen pada unsur - unsur magis, seperti Jin/Dewa/Khodam, Suhu/Paranormal, Jimat/Hu dll
Quote
3. Dengan kata lain, aliran Theravada lebih berkonsen pada perkembangan batin umat melalui latihan meditasi dan Dhamma untuk kehidupan sehari - hari.Untuk yang ini sepertinya memang demikian. Walaupun magis-magis itu termasuk fenomena yang perlu dipahami, tapi bukan menjadi tujuan utama.
[...]
134
Buddhisme untuk Pemula / Re: Tanya ? Jawab untuk Pemula
« on: 15 April 2014, 04:02:46 PM »Tidakkah seperti penyangkalan diri? kalau berbeda dimana poin utama bedanya?Bukan penyangkalan diri. Jika direnungkan, manakah bagian dari diri kita sendiri yang bisa ditunjuk sebagai identitas 'diri'? Semua unsurnya baik dari kesadaran, pikiran, perasaan, ingatan, maupun jasmaninya, semuanya adalah bagian dari proses yang berubah, tidak ada yang tetap. Karena tidak ada yang tetap, maka tidak ada yang bisa dianggap sebagai diri.
Dalam konteks sehari-hari, tentu saja yang disebut identitas diri itu ada, yaitu kumpulan batin-jasmani yang berproses ini.
Quote
Dengan begitu apakah dapat dikatakan bahwa umat buddhist tidak diperkenankan memiliki sesuatu sebagai milik pribadi?Apa yang kita sebut sebagai "milik" hanyalah sebuah kondisi yang disepakati bersama saja. Ketika kondisi berubah, maka yang tadinya "milik kita" bisa jadi "milik orang lain". Misalkan pacar kita sebut sebagai 'milik kita' sesuai kondisi 'komitmen & sama-sama suka', namun ternyata dia dijodohkan oleh orangtuanya, maka kondisinya berubah dan jadilah 'milik orang lain'.
Apakah umat Buddha tidak boleh memiliki sesuatu? Tidak ada larangan demikian sama sekali. Memiliki sesuatu yang diperoleh bukan dengan cara yang tidak baik, sah-sah saja. Hanya saja perlu diingat pada hakikatnya kita tetap tidak bisa 'memiliki' apapun sehingga pikiran tidak cenderung pada melekati.
135
Buddhisme untuk Pemula / Re: Tanya ? Jawab untuk Pemula
« on: 15 April 2014, 09:29:02 AM »bukankah itu suatu pernyataan seseorang yang rendah diri? (minder???)Tidak selalu. Kalau seseorang mengukuhkan misalnya, "saya lebih rendah setingkat dibanding Buddha Gotama", belum tentu adalah orang yang rendah diri.
Namun terlepas dari itu semua, ketika kita mengukuhkan posisi diri kita, posisi orang lain, kemudian membandingkannya, maka di situ sudah ada potensi kesombongan (mana).
Quote
lalu yang dikatakan melihat seperti apa adanya itu yang seperti apa?Memahami semua fenomena bukan "aku", bukan "milikku", bukan "diriku".