Dari MN 60 Apannaka Sutta dikatakan bahwa penganut ketiga pandangan salah tsb memiliki perilaku, ucapan dan pikiran salah sehingga terlahir di alam menderita bahkan neraka:
7. (A.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada yang diberikan ... tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.
[....]
9. (A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman.[6] Tetapi jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.
Nah, ini juga sebetulnya salah satu yang ingin saya bahas. Perhatikan di awal kutipan sutta disebutkan penganut pandangan itu terlahir di neraka karena perbuatan salahnya, bukan karena menganut pandangannya. Kemudian diberikan uraian logis bahwa orang yang berpandangan demikian, kecenderungan logisnya adalah demikian. Kecenderungan, bukan secara mutlak. Berlaku pula sebaliknya, penganut Buddhisme, misalnya, berpandangan demikian, maka kecenderungannya adalah demikian.
Meski begitu, pada kenyataannya yang semua kembali lagi pada orang per orang, berpandangan demikian belum tentu semua jahat (seperti pola pikir Richard Dawkins di video itu), dan Buddhis belum tentu semua baik. Sampai sini, sutta itu juga masih tetap konsisten, karena memang tidak memberikan kepastian "berpandangan x, lahir di y".
Menjadi pertanyaan kemudian ketika muncul prinsip niyata-micchaditthi ini di mana dikatakan yang menganut pandangan demikian memiliki kepastian tujuan kelahiran berikutnya, terlepas dari pola pikir serta perbuatannya.
Jadi dari yang saya tangkap:
-Jika mengikuti pola MN 60 ini, yang menentukan tujuan kelahiran tetap adalah perbuatan (pikiran, ucapan, jasmani), pandangan hanyalah mengarahkan kecenderungan saja, sehingga penganut nihilisme sekalipun, jika menjalankan hidup dengan perbuatan baik, tidak akan jatuh pada neraka/alam binatang.
-Jika mengikuti prinsip niyata-micchaditthi, maka terlepas perbuatan seseorang, ketika menganut nihilisme, tujuannya sudah pasti neraka/alam binatang.
-------
klo gitu sutta ini http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_71:_Tevijjavacchagotta_Sutta#13
13. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”[5]
“Vaccha, tidak ada Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”
14. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”
“Ketika aku mengingat kembali hingga sembilan puluh satu kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga, dengan satu pengecualian, dan ia menganut doktrin efektivitas perbuatan bermoral, doktrin efektivitas tindakan.”[6]
Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.
↑ Karena Ājivaka ini percaya pada efektivitas perbuatan bermoral, maka ia tidak mungkin menganut filosofi fatalisme ortodoks dari para Ājivaka yang menyangkal efektivitas peran kamma dan perbuatan-perbuatan kehendak dalam mengubah takdir manusia. MA mengidentifikasikan Ājivaka ini sebagai Sang Bodhisatta dalam kehidupan sebelumnya.
Di MN 71 ini juga hanya sepintas saja disebutkan tidak ada yang mengakhiri penderitaan atau ke alam surga (kecuali 1 orang) tapi tidak disebutkan kepastian ke neraka atau binatang, juga tidak dijelaskan apakah pandangannya atau praktik perbuatannya (karena mereka juga dikenal dengan tradisi 'bunuh diri' jika menganggap fisik & mentalnya mengalami penurunan) yang menyebabkannya tidak terlahir di alam baik, dst.
Karena tidak ada penjelasannya, maka saya pikir tidak bisa dibahas.
Intermezzo saja, Ajivaka tidak memiliki catatan sejarah sendiri sehingga penjelasan tentang mereka hanya dari teks-teks Buddhis dan Jain. Satu hal yang menarik adalah Ashokavadana menceritakan Ashoka -yang terkenal dengan avihimsa-nya setelah memeluk agama Buddha- mengeluarkan titah menghabisi Ajivaka yang mengakibatkan kematian sekitar 18.000 Ajivaka. Di lain waktu juga membakar hidup-hidup seorang penganut Jain dan keluarganya serumah, dan memberikan bayaran 1 koin perak untuk setiap kepala "penganut sesat". Pemicunya adalah lukisan yang menggambarkan Buddha bersujud pada Nigantha.