//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Waspadai Mara Penggoda | Bhikkhu Pannavaro Mahathera  (Read 3336 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Waspadai Mara Penggoda | Bhikkhu Pannavaro Mahathera
« on: 18 March 2010, 12:40:42 PM »
WASPADAI MARA PENGGODA BAG. 1
(Transkrip Dhamma Class di Vihara Dhamma Sundara Solo)

Ibu, bapak dan saudara-saudara yang berbahagia....

Saya sengaja memilih "Mewaspadai Mara Penggoda".
Mara adalah bahasa pali atau bahasa sansekerta yang dipakai oleh agama Buddha, yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia... Tidak diterjemahkan penggoda, tidak diterjemahkan penghalang... tetapi diterjemahkan dengan setan, mahluk halus yang selalu membujuk, menarik, menyeret orang-orang untuk melakukan kejahatan atau perbuatan berdosa (arti dosa dalam bahasa Indonesia).

Para ibu, bapak dan saudara tentu ingin mendengar... dan tidak sekedar ingin mendengar, ingin mengetahui apakah dalam pandangan agama Buddha setan itu ada? Seperti yang sering saya dengar secara umum, yang tadi saya katakan pembisik, penggoda, penghasut... tetapi tidak kelihatan. Kita bisa katakan bahwa setan itu membisiki kita, menghasut kita, menarik-narik kita, memprovokasi kita.. sehingga seseorang melakukan kejahatan. Tetapi sang provokator yang di sebut setan itu... diantara kita mungkin sebagian besar atau semuanya belum pernah melihat.

Ada yang mengatakan... Sudah bhante.. saya sudah melihat...
Dimana anda melihatnya?
Saya melihat itu... di karikatur itu... di komik-komik..
Seperti apa?
Pakai tanduk.. bawa ganco (Senjata semacam Garpu Tajam), kemudian taringnya ini tajam-tajam. Bajunya atau jubahnya itu musti hitam tidak kuning seperti bhante... (joke).
Oh ya... anda sudah melihat setan iblis di karikatur, di komik-komik, dan sebagainya.

Tetapi itu karikatur.. itu komik...
Yang membuat karikatur, yang membuat komik juga belum pernah melihat secara riil, seperti apa setan itu? Itu imajinasi dia. Karena digambarkan menghasut, menyeret, menghancurkan orang-orang... menghancurkan kebaikan lalu kemudian para kartunis pembuat komik itu lalu mengimajinasikan seperti itu.

Ibu bapak dan saudara.. Kalau pengertian setan yang tadi saya sebutkan itu dicari padanannya (dicari yang sama) di dalam ajaran agama Buddha, sepadan dengan pengertian "Mara".

TETAPI TIDAK SAMA...

Tidak sama persis bhante?

Bahkan mungkin TIDAK SAMA BANYAK...
Bukan hanya ada kesamaannya tapi tidak persis saja.. tidak. Tetapi tidak sama banyak.

Baiklah saya akan memulai...
Dalam pandangan Buddhist, dalam pengertian Dhamma.. "Mara", yang baik jika diterjemahkan menjadi penghalang, perintang, penggoda.. ya itu sinonimnya.

Tetapi JANGAN DITERJEMAHKAN DENGAN SETAN, MAHLUK HALUS YANG SANGAT JAHAT DAN SELALU MENGGANGGU.

Terjemahan Mara lebih tepat diterjemahkan sebagai penghalang, perintang, meskipun juga masih banyak literatur-literatur agama Buddha yang menerjemahkan Mara dengan setan.

Waktu Siddhartha mau meninggalkan istana untuk berjuang mencapai pencerahan, di dalam riwayat Buddha Gautama.

Konon disebutkan distop oleh "Mara"....
Jangan meninggalkan istana pangeran...

Loh kok bisa omong-omong (bicara) bhante? digambarkan begitu... Dan di dalam legenda juga diceritakan begitu.

Apa yang kamu inginkan... aku bisa kasih dalam sekejap? Kerajaan yang lebih besar dari Kapilavastu, kekuasaan, wanita-wanita yang cantik-cantik, pengaruh..
Apa saja... kamu juga bisa menjadi raja diraja yang menguasai dunia, buat apa kamu meninggalkan istana menjadi pertapa. (Konon katanya Mara menyetop begitu).

Lalu kemudian Pangeran Siddhartha menjawab..
Oh.. Mara.. memang aku punya permintaan, kalau engkau bisa mengabulkan.

Oh tentu saya bisa mengabulkan. Asalkan kau batalkan usahamu untuk meninggalkan istana guna mencapai pencerahan. (Di dalam legenda dikatakan jika Pangeran Siddhartha bisa mencapai pencerahan... maka Kiamatlah dunia Mara. / runtuhlah kerajaan Mara - Kerajaan para setan).

Pangeran Siddhartha berkata:
Mara.. aku ingin tidak bisa menjadi tua, aku ingin tidak bisa sakit, aku ingin tidak menjumpai kematiian.

Mara diam..... dan pergi...

Pangeran Siddhartha melanjutkan perjalanannya.....

BENAR itu bhante???

Nah.... nanti dulu, cerita ini menarik untuk ANAK-ANAK...
Tetapi akan menjadi lucu...
Kalo ibu bapak senang belajar Dhamma, spiritualitas, mengembangkan Wisdom, sebagai pengetahuan bathin (pengetahuan mental). Maka cerita ini akan menjadi lucu.

Meskipun kejadian itu terjadi....
Baiklah saya tidak mengulas cerita itu dulu.
Walaupun nanti kita akan sampai juga pada cerita ini lagi.

Menurut pandangan Dhamma, pandangan Buddhist. Mara, penghalang, perintang atau penggoda itu ada 5 macam. (Apa iblisnya itu 5 jenis ya? Nanti dulu.... ibu bapak dan saudara jangan berkonotasi dulu... misalnya iblis merah... iblis hijau... iblis kuning... TIDAK BEGITU).

Guru Agung kita Menjelaskan:

* Yang pertama, Khanda itu adalah "Mara"

Apa itu khanda bhante?

Khanda itu yang membentuk kehidupan ini. Ada 5 khanda (khanda itu artinya kelompok):
a. kelompok jasmani (Rupa),
b. kemampuan mengingat/mengenali (Sañña),
c. kemampuan mental merasakan (Vedanä),
d. kemampuan mental berpikir termasuk mengingat kenangan yang lalu, mempunyai rencana.. cita-cita.. harapan (Sankhära),
e. arus kesadaran (Viññana).

Kalau kelompok ini diringkas menjadi dua kelompok, kelompok fisik/jasmaniah dan kelompok psikis/bathin/mental.

Bagi orang yang telah mencapai kebebasan/kesucian, 5 kandha ini benar-benar 5 khanda (5 kelompok) saja. Yang fungsinya menjadikan kita manusia itu hidup. Menurut pengertian Buddhist selain 5 kelompok ini (5 khanda) tidak ada yang lain.

Tetapi bagi orang yang bathinnya belum maju, belum mencapai kebebasan / belum mencapai kesucian maka 5 kelompok ini (5 khanda) tidak disebut "Panca Khanda", tetapi disebut "Panca Upadana Khanda".

Bagi kita yang belum mencapai kesucian 5 khanda ini bukan hanya sebagai pembentuk kehidupan, tetapi juga lebih dari itu menjadi juga gara-gara timbulnya kemelekatan / kelengketan.

Tentu.. kalau tidak disadari.

Jasmani kita lengket pada yang halus-halus, yang lembut-lembut, yang hangat-hangat,
Kalau kita suka pijat itu, Kalau kita capek sedikit kalau tidak dipijat itu rasanya ini, sakitnya luar biasa, tetapi yang tidak punya kebiasaan pijat, ya.... tidak.
Jasmani mempunyai kelengketan, mungkin dengan kata yang lebih tegas ketagihan. Pada hal-hal tertentu, sentuhan-sentuhan tertentu, suara-suara tertentu. Kalau orang sudah biasa di daerah dingin atau di AC... begitu panas sedikit... wah sudah gak tahan. Kalau biasa minum air es... wah.. kalau gak ada air es seperti tidak minum (masih haus) walaupun sudah minum banyak.

Demikian pula khanda yang lain misalnya perasaan. Kita lengket pada perasaan yang menyenangkan. Darimana perasaan itu muncul? Dari panca indera ini bersentuhan dengan obyeknya... akan timbul perasaan senang atau tidak senang.

Kalau perasaan tidak senang muncul bagaimana bhante?

Oh... ingin disingkirkan cepat-cepat, ditutupi, dialihkan.

Kalau yang menyenangkan timbul?

Ingin dinikmati berlama-lama, ingin dikuasai, ingin dimiliki.

Kalau dituruti?

Oh.... ketagihannya lebih kuat.

Demikian pula khanda yang lain (kelompok yang lain). Kemampuan mengenali sering diterjemahkan persepsi dalam bahasa pali Sañña, itu juga menimbulkan kelengketan. Kita lengket pada bentuk-bentuk tertentu, yang menyenangkan, yang biasa dengan kita, yang memuaskan kita.

Juga khanda (kelompok) pikiran. Pikiran akan menimbulkan kelengketan yang kuat sekali. Lengket pada peristiwa-peristiwa yang lalu, nostalgia-nostalgia yang manis-manis.
Tetapi sangat menderita kalau mengingat peristiwa-peristiwa yang menyakitkan. Kemudian merancang apa yang ingin dicapai, apa yang ingin dilakukan dalam setahun ini dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi.

Kalo gak bisa sakit ya bagus kan bhante?

Iya....

Kalo gak bisa tua ya bagus kan bhante? Muda terus... cakep, cantik, ganteng....

Iya....

Kalau anda bisa keturutan (terpenuhi) begitu bagaimana? Tidak sakit, tidak tua...
Dan kalau gak bisa mati juga bagus... hidup terus.

Itulah pikiran kita....

Apakah mungkin?

Tidak mungkin! Tidak pernah terjadi!
Tidak mungkin dan Tidak pernah terjadi, tetapi pikiran kita itu buta, tidak mau tahu.

Dari hati kita yang paling kecil... Kalau aku gak sakit, gak tua, dan gak mati.... waduh disuruh apa saja mau saya.

Agama Buddha.. tambah ini... tambah itu... ngangkat batu... cium tanah... mau semua. Pokoknya gak bisa sakit, gak bisa tua, dan gak bisa mati.

Mara yang katanya Super Sakti (Maha Kuasa) yang bisa memberikan kerajaan dunia, tidak bisa menjawab. Waktu pangeran Siddhartha mengajukan permohonan.

Mara.. aku ingin tidak bisa menjadi tua, aku ingin tidak bisa sakit, aku ingin tidak menjumpai kematian.

Mara.. tidak menjawab. Balik 180 derajat dan pergi.

Nah... ketagihan perasaan, ketagihan persepsi, ketagihan pikiran-pikiran itu, sebetulnya adalah WARNA (saya menggunakan kalimat-kalimat yang sederhana saja), WARNA dari arus kesadaran.

Bathin kita, mental kita itu ada 4 kelompok. Tapi empat kelompok ini asalnya dari yang terakhir (arus kesadaran) sehingga bisa dijadikan satu. Kemampuan merasakan, kemampuan mengenali, atau mengingat pikiran itu sebetulnya adalah kemampuan kesadaran (Viññana).

Kalau gak ada kesadaran bagaimana bhante?

Ya... mati.
Nah kesadaran itulah yang melahirkan kemampuan merasakan, berpikir dan mengenali. di tambah jasmani ini..., ya itulah manusia.

Ketagihan-ketagihan jasmani, perasaan, pengenalan, pikiran, dan kesadaran itu adalah PENGHALANG.

Dalam tujuan yang panjang untuk membebaskan diri kita dari penderitaan, ketegangan, kesedihan, ataupun dalam usaha-usaha duniawi yang pendek.

Kuliah supaya lulus, menabung supaya bisa membangun rumah,
Kalau ketagihan-ketagihan jasmani, perasaan, pikiran ini tidak diwaspadai, tujuannya akan terbengkalai.
Tidak akan lulus-lulus.

Bermabuk-mabukkan, minum-minuman keras itu enak.

Kamu belum pernah?

Belum...

Loh... Hari gini belum pernah? Waduh... rugi hidup di dunia.... Nanti kalau kamu lahir lagi jadi kodok, tidak bisa minum-minuman keras.

Sekarang bukan hanya minum-minuman keras, juga obat-obatan yang membuat katanya orang bisa melayang dan sebagainya-sebagainya.

Kelengketan-kelengketan jasmani dan kelengketan-kelengketan yang timbul dari aktifitas mental itu, kalau tidak diwaspadai bisa menjadi penghalang tujuan.

Dan kalau kelengketan-kelengketan itu juga tidak berusaha untuk diapa-apakan / dibiarkan, suka dengan kelangenannya.. hobbynya. Gak usah diperhatikan, di risaukan, gak usah diperhatikan dalam arti dikurangi...

BERBAHAYA...! Ibu bapak sekalian.

Mengapa berbahaya?

Kerena kelengketan-kelengketan itu membuat orang kecanduan, membuat orang ketagihan, mendorong orang untuk melakukan kejahatan. Kelengketan-kelengketan itu (Upadana) menjadi kilesa lebih tebal / besar / ganas. Kilesa itu adalah kotoran bathin.

Jadi kalau ketagihan, kelengketan, kesenangan itu dituruti.. dituruti... dituruti terus menerus.
Oh... bobotnya itu menjadi lebih berat.

Kalau misalnya dahulu jika mencuri itu, dia perang dulu di dalam bathinnya.
Ambil atau tidak....? Tidak atau ambil....? Nanti kalau akibat karmanya muncul bagaimana?

Tapi kemudian....
Coba-cobalah. Hukum karma berbuah benar atau tidak?....
Akhirnya DIAMBIL.... (mencuri).

Berhasil..... Senang....

Nah kesenangan dari berhasil mencuri itu menimbulkan kecanduan pada perbuatan mencuri itu... Bobotnya bertambah.

Kalau dia mengulangi lagi.. mengulangi lagi.. mengulangi lagi..
Pada saat ia mengulangi lagi pada saat yang kesekian kalinya itu...

Dia lebih ahli...

Berdebat dengan pikirannya hampir tidak ada.
Pikiran: Ambil...... langsung ambil.
Sudah tidak mikir-mikir neraka, akibat karma, langsung ambil saja.

Dorongan untuk mengambil itu sangat kuat, lebih kuat dibandingkan pada saat pertama dia melakukan perbuatan mencuri.

Mengapa?

Karena enaknya mencuri itu sudah menjadi candu.

Termasuk yang lain-lain. Kenikmatan-kenikmatan yang lain-lain seperti kenikmatan seksual, kenikmatan makan enak, pakai baju bagus, udara yang sejuk yang dia paling senang, suasana yang melankolis.

Kalau dia enjoy menikmati hal-hal seperti itu,

TIDAK DIWASPADAI...

Kenikmatan itu akan menjadi kuat, kenikmatan yang menjadi kuat menarik seseorang untuk menikmati kembali.... lebih kuat tarikannya.

Itu Kilesa.... Itu kotoran bathin.

Darimana datangnya kotoran bathin?

Warisan dari orang tua kita?

Tidak...

Dari mahluk lain?

Tidak...

Tetapi perbuatannya sendiri yang membuat dia senang dan nikmat lalu diulangi kembali... diulangi kembali... diulangi kembali.. terus menerus.

Nah magnitnya itu menjadi kuat. Akan menarik kita untuk melakukan itu lebih kuat lagi.

Dan kalau kita menuruti....?

Oh... itu juga tambah tebal lagi.

Kalau tambah tebal lagi bagaimana bhante?

Dia akan menarik lebih kuat lagi..
Kita akan melakukan lebih cepat lagi. (lingkaran setan).
Dia menuruti berarti kotoran bathinnya lebih tebal, kalau kotorannya bathinnya lebih tebal... maka tarikannya akan lebih kuat, kalau tarikannya lebih kuat... dia melakukan lebih banyak, kalau dia melakukan lebih banyak... maka kotoran bathinnya lebih tebal lagi, kalau kotoran bathinnya tambah tebal... maka dia menarik lebih kuat lagi.

Itu disebut kilesa....

Jadi tidak sekedar...
Jasmani dan bathin ini yang lengket, tetapi kelengketannya itu sudah menjadi magnit yang menarik orang untuk melakukan lagi..lagi.. lagi.

**Nah... kilesa itu juga "Mara" juga... Jenis yang kedua.

Yang pertama disebut Khanda Mara (jasmani dengan mental kita kalau sudah memburu kesenangan tidak diwaspadai kemudian menjadi melekat itu adalah penghalang dalam mencapai tujuan).

Dan kalau sudah melekat.. Dia akan menjadi kekuatan untuk menarik orang untuk melakukan seperti itu lagi. Itu disebut kilesa (kotoran bathin)... Mara jenis kedua.

Sewaktu-waktu kilesa itu keluar ibu bapak dan saudara.

Dimana bhante kilesa itu bersarangnya?

Ya.. di dalam mental kita. Di dalam arus kesadaran itu... di dalam pikiran itu.

Tidak datang dari luar bhante?

Tidak...

Mara yang disebut kotoran bathin itu (Mara jenis kedua) ada di dalam diri kita. Ya pedagang.. ya rohaniwan.. ya pejabat.. ya orang biasa.. ya guru.. ya murid.. ya anak kecil.. ya orang dewasa.. semua mempunyai timbunan kilesa.

Keluarnya kapan?

Keluarnya kalau dipancing atau terpancing. Lewat panca indera atau pikiran.
Di dalam agama Buddha pikiran dimasukkan indera yang keenam. Jadi mata, hidung, telinga, dan semua tertutup, tetapi pikiran masih bisa mengingat kenangan-kenangan yang lampau. Dan mengingat kenangan-kenangan yang lampau itu membuat kenikmatan memancing kotoran bathin untuk muncul.

Kalau kotoran bathin sudah muncul dan tidak dikendalikan....
Iman tidak mempan...
Keyakinan tidak mempan...
Pengertian tentang hukum karma tidak mempan...
Rasa malu tidak mempan...

Maka dia akan melakukan apa yang dia maui...
Yang penting aku nikmat.. yang penting aku enjoy... yang penting aku senang...
Tidak perduli bahwa itu adalah perilaku yang buruk, merugikan orang lain.

Jadi siapa bhante yang menyetop Pangeran Siddhartha pada saat dia meninggalkan istana itu?

Itu.... KOTORAN BATHINNYA sendiri....

Tetapi untuk menjelaskan kotoran bathinnya sendiri, hanya bisa dimengerti dan menarik untuk orang-orang yang senang olah bathin, senang belajar filsafat...

Untuk orang kebanyakan... untuk anak-anak.. untuk yang lain, tidak bisa mengerti bagaimana kotoran bathin bisa mengganggu orang... menghalang-halangi...
Jadi dibuatkan bentuk... di dalam komik, di dalam VCD digambarkan seperti Mahluk yang kekar, yang kuasa memberikan apa saja.

Jelasnya pada saat Pangeran Siddhartha meninggalkan istana terjadi pergulatan di dalam pikirannya... Jadi atau gak ya....? Di hutan kan nanti sepi... tidak seperti di istana semua serba lembut, serba enak, bagus, dilayani... Jadi apa gak ya...?

Pergulatan itu digambarkan sebagai Mara yang kemudian menyetop " Jangan-jangan pergi... kembali ke istana.. nanti kamu mau apa saja terpenuhi. Jadi raja, enak-enak, senang-senang... ".

Tetapi Pangeran Siddhartha sebelum meninggalkan istana mempunyai pengalaman melihat kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kemudian pada waktu kotoran bathin akan kenikmatan menggoda pikirannya yang lain juga muncul.

Yah... aku mau kembali ke istana. Tetapi apakah bisa aku tidak sakit, tua dan mati? Tidak seperti orang-orang yang saya lihat kemarin-kemarin.

Tidak bisa juga..... Andaikata saya kembali ke istana juga, tidak jadi pergi ke hutan.
TIDAK.... saya akan tetap pergi meninggalkan istana untuk mencari jalan mengatasi penderitaan.

Nah... alasannya yang berdasarkan KEBIJAKSANAANNYA itu mengalahkan kotoran bathinnya yang ketagihan pada kenikmatan.

Itu mahluk agung,

Kalau kita mungkin kotoran bathin yang menang....

contoh:
Tidak usah masuk hutan, di hutan tidak ada pemilu.
Dapat apa nanti?
Nyamuknya gede-gede. Kembali-kembali...
Oh kalau kamu mencalonkan pasti kepilih...
Kurang apa? Perilakumu baik.. Materimu banyak.. Pengalaman banyak..

Ya... mungkin kelengketan (Kemelekatan) pada kedudukan, sanjungan, pujian, makan enak, materi dan lain sebagainya... yang MENANG...

Balik ke istana tidak jadi pergi ke hutan. Ya mungkin sekarang tidak ke hutan, menjadi bhikkhu lah....

Kan sama-sama juga seperti hidup di hutan. Di vihara kalau sudah malam seperti di hutan.
Tidak ada mall, tidak ada cafe-cafe..., itu tidak ada. Di vihara kalau malam sepi.... habis sembahyang meditasi... Habis meditasi masuk kamar sepi...
Teman-teman cowok-cewek tidak ada... Pangkat-pangkat tidak ada... Gajian tidak ada... Mau korupsi.. korupsinya kemana?

Ya.. jaman dulu ke hutan, kalau jaman sekarang masuk ke vihara.

Nah itu Mara yang kedua, terlalu banyak ilustrasi saya....

*** Yang ketiga....

To Be CONTINUE...


http://www.facebook.com/note.php?note_id=368697534826
di tulis oleh Locky Thitasilo (Officer BUC Jakarta)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Waspadai Mara Penggoda | Bhikkhu Pannavaro Mahathera
« Reply #1 on: 18 March 2010, 01:23:28 PM »
WASPADAI MARA PENGGODA BAG. 2
(Transkrip Dhamma Class di Vihara Dhamma Sundara Solo)


*** Yang ketiga....

Dalam bahasa pali disebut Abhisankhära Mara. Abhi itu besar, sankhära itu adalah kelompok ataupun sering dikatakan perwujudan. Sering juga sankhära ini digunakan oleh term-term Buddhist seperti menamakan karma (perbuatan). Perbuatan itu tidak hanya omong-omong (ucapan) dan tingkah laku tetapi juga pikiran kita yang bermacam-macam yang tidak-tidak itu. Itu Sankhära...

Abhisankhära artinya perilaku-perilaku, termasuk pikiran baik sudah tentu tetapi dalam hal ini yang disebut Mara penghalang ini adalah Abhisankhära yang buruk.

Jadi kalau ada pikiran buruk diikuti, niat-niat buruk diikuti menjadi menjadi ucapan, menjadi perbuatan yang buruk itu Mara.

Itukan datangnya dari kotoran bathin kan bhante? Kotoran bathin yang sudah kuat, yang tarikannya kuat tidak bisa di waspadai, lalu sampai menjadi ucapan dan perbuatan...

Ya betul... Datangnya dari kilesa juga yang terpancing dan tidak ada kewaspadaan, menjadi perilaku ucapan, perbuatan yang buruk.

Apakah ini penghalang bhante?

Oh ini penghalang. Sangat menghalangi.
Kalau ibu bapak dan saudara melakukan perbuatan buruk yang besar. Sampai kemudian tertangkap masuk ke penjara.

Apakah itu bukan penghalang?

Sekolah belum lulus, membesarkan anak-anak belum, apa yang ingin dicapai belum tercapai, apalagi cita-citanya ingin mencapai kebebasan / kesucian.
Dia masuk penjara, mengalami pengadilan.. diadili terlebih dahulu dan sebagainya, keluarganya kemudian berantakan, tujuannya tidak bisa tercapai, tidak bisa melakukan apa-apa untuk orang lain. Ini penghalang....

Andai kata dia tidak masuk penjara, teman-temanya mungkin akan menjauhi. Perilakunya buruk, membuat sengsara banyak orang, membuat masalah, membuat onar, merugikan banyak orang.
Jangan dekat-dekat dengan dia... meskipun dia mengaku umat Buddha kita dan kita umat Buddha... Jangan dekat-dekat dia orang buruk. Kita biasanya melihat dia orang buruk atau orang baik, orang tidak melihat agamanya apa.

Dia suka berbohong, dia pinjam tidak tepat janji dan sebagainya.. Dia akan membuat penghalang / rintangan untuk dirinya sendiri. Tidak bisa maju.

Apalagi bila dihubungkan dengan kualitas bathin dan sebagainya, kejahatan itu akan merintangi kemajuan bathin.

**** Yang keempat "Maccu Mara"

Kematian….

Loh kematian itu penghalang bhante?

Oh iya… Siapa yang mengatakan kematian bukan penghalang? Keinginan belum tercapai.

Oh.. saya ini ikut caleg… berapa kali belum kepilih. Kelihatannya umur sudah tidak bisa diperpanjang… Kematian datang…..

Seseorang meditasi, berjuang dengan baik, sungguh-sungguh membersihkan mentalnya. Belum mencapai sesuatu (sesuatu artinya hal-hal yang disebut dengan tingkatan-tingkatan kebebasan), tetapi tentu apa yang diusahakan itu bukan sia-sia. Kematian sudah datang.

Iya bhante, tapi katanya setelah kematian itu kan kita masih melanjutkan hidup kembali kan bhante? Kesempatan kan masih panjang bhante?

Iya kalau kita lahir dalam kondisi yang memungkinkan, Kalau kita lahir dalam kondisi yang tidak memungkinkan bagaimana? Sesusah-susahnya anda tinggal di Indonesia masih lebih baik daripada anda dilahirkan di Palestina di sana… di jalur Gaza. Dimana harus bersembunyi, dimana harus menyelamatkan diri, penyerang tidak perduli. Ini orang sipil atau tentara.. pokoknya bisa menghancurkan… menguasai… Kita masih lebih beruntung. Kalau kita dilahirkan di tempat seperti itu kita tidak bisa melakukan hal-hal yang lebih baik dibandingkan kita dilahirkan di Solo ini, di Jawa Tengah ini. Meskipun kadang-kadang kita mengeluh habis-habisan . Masih untung anda tidak dilahirkan di jalur Gaza.

Mau coba? Supaya ada perbandingannya yang jelas gitu loh….? Kalau tidak selamat ya… pergi ke alam lain. (Joke)

Kelahiran yang akan datang, kita kemana kita tidak tahu. Kita tidak usah berandai-andai yang akan datang. Sekarang sajalah, kita melakukan sesuatu yang baik dengan sungguh-sungguh sebelum kematian datang. Mumpung kematian belum datang. Karena kalau kematian sudah datang. Halangan akan datang.

Jadi kematian itu penghalang?

Iya… penghalang. Siapa yang mengatakan kematian bukan penghalang?

Kalau begitu saya tidak ingin mati bhante…

Tidak bisa… Tidak pernah terjadi. Harapan itu akan menjadi harapan yang sia-sia… Oleh karena itu kemudian kematian dipersonifikasikan sebagai mahluk yang ganas, yang menakutkan, yang kejam, yang mencabut nyawa kita. Karena kematian itu adalah penghalang dari semua tujuan, semua cita-cita.

Tidak usahlah… Misalnya kita memperdulikan apakah betul ada mahluk.. ada dewa yang sangat kuasa dirinya sendiri ataupun utusan yang akan mencabut nyawa kita, mengakhiri hidup ini, Sudahlah kita tidak memikirkan itu…..!

Tetapi kematian adalah The Fact… Tidak usah dihubungkan dengan Siapa ini yang mencabut nyawa?

Saya pernah bertemu dengan seseorang, kenalan baik saya... sudah meninggal. Saya menengok dia bukan seorang Buddhist tapi sering ke vihara dan seorang mantan pejabat. Waktu saya tengok istrinya berbicara. Bhante ini loh… Bapak ini kalau sudah merasa takut itu, saya ini selalu diundang-undang.. lalu tangan saya dipegangi terus. Lalu bapaknya bilang, Iya bhante…. Loh malaikat pencabut nyawanya itu takutnya sama istriku. Kalau sama perempuan sama istri takut dia. Jadi istriku dipegangin terus biar nyawaku tidak dicabut. (Ini bukan cerita lelucon ini betul). Tetapi apakah bapak itu hidup terus? Ya… meninggal juga saudara….

Jadi sudahlah tidak usah pusing, apakah pencabut nyawa itu ada, mukanya serem atau berjenggot apa pakai tanduk, dia kuasa sendiri atau diutus…? Sudahlah tidak usah pusing.

Tetapi kematian itu adalah fakta yang akan dialami oleh semua orang, bahkan dalam agama Buddha semua kehidupan. Termasuk binatang, mahluk halus. Tidak pernah terjadi kematian tidak ada dan tidak bisa diharapkan untuk tidak terjadi.

Menerima kematian sebagai fakta lebih mudah, lebih simple. Tidak usah kita memitoskan ada pencabut nyawa. Mungkin sang bapak waktu meninggal juga sambil megang istrinya. Tapi mungkin pencabut nyawanya lebih canggih (joke). Sekarang saya sudah tidak takut sama wanita-wanita dan para istri. Karena wanita juga meninggal juga. Kalau pencabut nyawa itu takut pada istri-istri… wanita-wanita tidak ada yang meninggal nantinya, pria saja yang meninggal.

Nah kematian adalah penghalang. Selesaikan kewajiban kita mumpung kita masih sehat, tidak stroke, tidak berbaring di rumah sakit, pikiran kita juga berjalan dengan baik, meskipun usia lanjut kita cukup sehat, hadir di tempat ini mengerti pembicaraan saya, kerjakanlah kewajiban kita mumpung kematian belum datang, karena kematian tidak bisa dihindari.

Dan kita tidak usah tabu mengucapkan kematian. Di jaman dulu kalau anak-anak mengucapkan kematian dimarahin. Jangan bilang mati-mati… Mau mengharap apa? Kalau anak-anak dulu tangannya ditaruh di atas kepala itu loh… Oh itu marah orang tua, katanya itu mengharap orang tuanya mati. Ya mungkin kalau tangannya ditaruh diatas kepala ya seperti tidak sopan begitu… ya.

Tetapi kematian tidak usah membuat kita tabu, kita mau membicarakan kematian ataupun kita tabu membicarakan kematian, tetap kematian akan datang. Dan kalau cita-cita / tujuan / usaha belum selesai maka kematian menjadi penghalang.

Dan cita-cita kita yang paling akhir menurut ajaran Buddha Gautama guru agung kita adalah membebaskan diri dari penderitaan.

Kalau itu belum dicapai bagaimana? Ya lahir lagi.. menderita lagi, lahir lagi.. menderita lagi, lahir lagi.. menderita lagi, gagal lagi, kecewa lagi. Sebelum kita bisa membebaskan diri dari penderitaan, kita akan menderita terus. Akan terulang kembali penderitaan itu dikelahiran selanjutnya.

Oleh karena itu sebelum kita meninggal, kalau bisa tuntaskan penderitaan ini, selesaikan dengan total. Supaya kita nanti meninggal, meninggal untuk yang terakhir kali. Tidak perlu dilahirkan untuk menderita kembali, kecewa kembali, susah kembali, konflik kembali.

Sudah empat, Terakhir yang ke lima…

*****Ini menarik … Yang kelima di sebut Devaputta Mara.

Arti kamus Devaputta itu adalah anaknya dewa.

Bisa dilihat?

Tidak bisa.

Itu juga mara?

Iya…

Mengganggu bhante?

Mengganggu…

Tapi gak sama dengan setan / iblis. Hampir sama, tapi berbeda.

Tapi kenapa bhante tidak diistilahkan Dewa Mara begitu saja?
Tapi pakai nama Devaputta Mara (Dewa Putra Mara)?

Biasanya yang iseng mengganggu jail itu anak-anak… Mungkin kalau dewa yang beneran (dewasa) tidak mau ganggu-ganggu. Jadi mungkin diberi istilah Dewa Putra Mara.
Ini hanya istilah saja.

Meskipun tidak semua dewa mengganggu. Tidak semua orang berbuat buruk, tidak semua orang jail, tidak semua orang senang melakukan kejahatan.

Bisa datang mengganggu manusia?

Iya…

Apa bedanya bhante dengan setan / iblis yang membisiki kita untuk melakukan kejahatan?

Agak berbeda ibu bapak.

Di dalam cerita-cerita Buddhist disebutkan begini:

Kalau setan iblis dalam pengertian umum itu adalah: Kita ini baik-baik.
Sang suami ya setia, sang istri ya tekun, pegawai ya jujur.
Ada setan iblis datang:
Ambil… ambil… Ambil itu enak.
Kalau ketangkap bagaimana?
Belum ketangkap koq mikir ketangkap.
Coba-coba ambil dulu enak.

Katanya yang membisiki kita dan pikiran kita, yang mendorong kita berbuat buruk itu setan / iblis (menurut pengertian setan / iblis yang umum).

Sehingga orang yang baik, suami yang saleh dan istri yang setia itu lalu nyeleweng, berbuat jahat, mencuri dan sebagainya.

Tetapi Devaputta Mara, mahluk halus yang senang melakukan yang buruk-buruk ini, menurut pandangan Buddhist terbalik.

Bagaimana bhante terbalik?

Kalau ada orang yang ingin berniat mencuri, ingin marah, ingin memojokkan orang, ingin memaki-maki, ingin memfitnah, ingin melabrak, ingin melakukan perbuatan terror, timbul pikiran kebencian yang menyala-nyala, keserakahan yang hebat itu……………

Mengundang Devaputta Mara!

Saudara bisa memahami?

Jadi bhante kalau kita sadar, tenang, mengerti Dhamma, ingat agama, menahan hawa napsu, tidak mengikuti kenikmatan / kelengketan karena berbahaya, pikiran kita baik, tidak ada kebencian… tidak ada dendam… tidak ada kemarahan… dan tidak ada ketegangan yang muncul… Bagaimana bhante?

Devaputta Mara (setan / iblis) tidak mau datang!

Kenapa?

Channelnya gak cocok….

Jadi kalau ada tempat judi di genting atau dimana, orang-orang yang tidak senang berjudi, tidak mau berjudi, cari uang itu ya berkeringat…. Tidak begitu, TIDAK MAU MASUK KE SANA, DIAJAK JUGA TIDAK MAU.

Di tempat yang mabuk-mabukan, orang sampai jauh malam minum-minuman keras, begadang… Orang yang tidak biasa begitu… TIDAK TERTARIK! DIAJAKPUN TIDAK MAU! ADA YANG NGEBAYARINPUN TIDAK MAU.

Sama seperti itu, kalau saudara bisa mempertahankan kondisi atau suasana pikiran dan mental anda dengan baik, tidak hanyut pada kelengketan, tidak mabuk pada kenikmatan, sampai timbul keinginan yang bukan-bukan, keserakahan, benci dan lain sebagainya yang ada hanya pikiran baik, suasana yang teduh yang tenang, ingin berbuat baik, ingin menolong, menjalankan kewajiban… Channel ini tidak cocok devaputta (setan / iblis) yang buruk-buruk itu. Dia dekat saja tidak mau.

Tetapi kalau kita membuat kondisi suasana yang cocok dengan dia, bagaimana marah, ingin membalas dendam, bikin rencana untuk menghancurkan yang lain, menikmati kenikmatan-kenikmatan inderawi yang tanpa batas…. Oh… senang, dia akan datang.

Ikut partisipasi dengan suasana yang kita bangun. Mungkin dia akan mendorong-dorong.

ITU BEDANYA……

Bisa saudara menangkap?

Sangat berbeda, bertolak belakang bahkan. Kalau di pengertian yang umum orang baik, orang menjaga pikirannya, orang ingin melakukan hal-hal yang berguna, pikirannya tenang, didatangi diprovokasi, di rayu-rayu, dimasuki kekuatan setan sehingga orang ini menjadi jahat.

Saya menganggap, tidak masuk akal.
Dia bertahan, dia mempunyai pengendalian diri, kenapa harus di kalahkan yang lain?

Dan sebaliknya di dalam pengertian Buddhist.
Kalau dia menjaga pikirannya, pkirannya tenang, pikirannya baik, tidak timbul ketegangan, tidak timbul dendam, tidak timbul kemarahan. Ada setan galak saja yang lewat, gak berani dekat-dekat. Suasananya tidak cocok, apa-apanya tidak cocok, getaran dan baunya aja mungkin sudah tidak cocok. Dia (devaputta mara / setan iblis) akan menjauh.

Tetapi kalau kita membuat yang dia cocok, seperti kemarahan, ketegangan, kebencian…

Dia akan datang.

SIAPA YANG MENGUNDANG SETAN (DEVAPUTTA MARA) DATANG PADA KITA?

“KITA SENDIRI………….”.

Bukan dia yang mengganggu kita.

Banyak cerita-cerita Buddhist, apakah ini benar atau ini tidak benar, tetapi pesan yang ingin disampaikan itu berguna. Begini:

Kalau ada setan (mahluk halus), dia punya kekuatan hebat sekali (tidak semua mahluk halus punya kekuatan). Kalau kekuatannya itu di coba / diuji (entah ia mengucapkan mantranya atau mungkin dia konsentrasi hebat sekali, misalnya dengan sekali tiup satu kota bisa habis hangus semua), lalu ada orang yang tidak punya ilmu, tidak punya kesaktian, yang dia punyai hanya CINTA KASIH (Metta). Dan kalau orang tersebut pikirannya baru di isi dengan Cinta Kasih… “Semoga Semua Mahluk Berbahagia”, “Semoga Semua Mahluk Berbahagia”, “Semoga Semua Mahluk Berbahagia”, Semoga Mahluk-Mahluk Tidak Ada Yang Mederita… Berbahagia Semua… Damai Semua… Saya Menghargai Semua Mahluk, Saya Bersahabat Semua Mahluk, Semoga Semua Mahluk Damai….. Dengan mengembangkan pikiran cinta kasihnya itu, ada dewa.. ada setan yang punya ilmu yang luar biasa yang sedang mau coba-coba atau menguji ilmunya….

“ LUMER”.

Kesaktiannya, kehebatannya, kegaibannya itu pupus….. hilang.

Mengapa?

Karena ada orang yang menghadapi dengan cinta kasih. Orang itu tidak punya ilmu hanya punya cinta kasih saja. Tidak ada pikiran bermusuhan sedikitpun…. Tidak ada. Membenci sedikitpun… Tidak ada.

Tapi nanti kan ada bhante…?

Ya mungkin nanti pasti ada, karena dia belum mencapai kesucian. Tapi pada saat itu ia mengembangkan cinta kasih. Tidak hanya setan, dewa yang luar biasa ingin menghancurkan dia, keinginannya menghancurkan, ilmu yang dikeluarkannya itu menjadi lumer.

Sebaliknya… di dalam cerita-cerita itu tadi, disebutkan:

Kalau ada dewa / setan yang ilmu yang dangkal / punya ilmu yang sedikit saja, dia tidak bisa sekali tiup satu kota bisa habis misalnya hanya bisa merubuhkan pohon yang besar, tidak lebih dari itu. Kalau dihadapi dengan orang yang timbul kebencian, kemarahannya timbul, dendamnya timbul, Apa….? Ada setan di sini… Tidak takut saya… aku usir dia, benci saya….. kebencian, kemarahan muncul. Dewa atau setan yang punya ilmu yang dangkal, kecil, sederhana ini seperti mendapatkan vitamin…. Atau gizi (Kalau anda melihat film kartun popaye seperti mendapatkan bayam). Setan atau dewa yang jahat ini…. Waduh…. Kekuatannya menjadi hebat sekali. Munkin bukan hanya pohonnya yang roboh saja… tapi mungkin bumi bergetar….. dan lain sebagainya.

Mengapa bisa jadi hebat?

Ternyata dia mendapatkan gizi dan vitamin yang bagus, yaitu kemarahan, dendam, dari orang yang sedang dihadapi. Jadi setan yang kecil dan yang lemahpun menjadi berbahaya. Kalau kita hadapi dengan kebencian, kemarahan, dendam, dan lain sebagainya.

Mengembangkan cinta kasih tanpa menantang, tanpa ke-Aku-an, mengharapkan semua mahluk berbahagia. Tidak usah dengan bahasa Pali, tidak usah dengan mantra tertentu, cukup hanya mengembangkan metta / Cinta Kasih yang universal, mahluk yang ganas sekalipun bisa di atasi.

Ya…. Itulah bedanya….
Jadi agama Buddha, pengertian Buddhist juga mengenal ada mahluk-mahluk halus yang senang pada hal-hal yang buruk. Diberikan nama Devaputta Mara. Tetapi dalam hal ini prinsipnya berbeda dengan pengertian setan / iblis dalam pengertian umum.

Dalam pengertian umum setan / iblis itu yang membuat manusia jahat. Kalau itu tidak diciptakan manusia tidak jahat. Jadi yang salah adalah yang mengajak-ngajak jahat tersebut (setan / iblis).

Sedangkan di dalam pengertian Buddhist, memang ada mahluk halus yang jahat itu, tetapi dia datang karena kita juga jahat. Kalau kita baik-baik… cinta kasih… Dia mau datangpun tidak bisa. Kalau dia ngotot nekat mau menghancurkan kita tidak mempan. Kalau kita mempunyai kesadaran, Sati, kalau kita mempunyai Metta pikiran yang baik.. Tidak mempan.

Tetapi saya akan menutup uraian ini dengan:

Mahluk halus yang jahat, yang senang kejahatan, tidak akan datang pada kita, kalau kita tidak membuat channel atau gelombang yang sama dengan dia.

TAPI DI DALAM DIRI KITA ADA SETAN, HANYA SETAN ITU BUKAN MAHLUK HALUS, SETAN ITU ADALAH:

KELENGKETAN PADA KENIKMATAN

Yang kalau tidak disadari, tidak diwaspadai, bisa mendorong-dorong pikiran kita untuk membuat perilaku-perilaku buruk.

ITU SEPENUHNYA ADALAH KOTORAN BATHIN

Bukan mahluk halus yang berada di dalam diri kita! Yang harus diusir dengan sesaji, pusaka, dll.

Selama dia tidak bisa mengendalikan kenikmatannya, mengendalikan dorongan untuk memuaskan dirinya…., mau di kasih sesaji, pusaka, dll pun tiap hari dia melakukan kejahatan.

Dia harus melakukan pengendalian, dia harus melakukan usaha, supaya dorongan kenikmatannya itu tidak merajalela.

Apakah bahaya bhante….?

Ya kalau sekedar menikmati kenikmatan tidak bahaya. Di dalam penjelasan-penjelasan dikatakan:

Dalam kehidupan bermasyarakat, kenikmatan seksual, kenikmatan makan, dan kenikmatan lain sebagainya, punya kedudukan, kalau di batasi tidak menimbulkan bahaya sosial.

Tetapi bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari kotoran bathin atau yang menginginkan kemajuan spiritual, sekalipun kecil itu berbahaya kalau tidak di waspadai.

Kalau untuk kehidupan yang bermasyarakat…. Anda boleh menikmati, nikmatnya makan, nikmatnya pakaian, nikmatnya seksual, nikmatnya kedudukan, nikmatnya di puji…. HANYA HARUS PAKAI BATAS.

KALAU LOBHA INI DI BATASI MASIH BERGUNA BAGI PERADABAN (PERADABAN AKAN MAJU)

TETAPI UNTUK KEBEBASAN MENTAL…….. ITU TETAP SEBAGAI PENGHALANG.

Kalau kebencian sedikitpun berbahaya, tetapi kalau Lobha (Napsu Indria) atau raga masih ada gunanya tapi harus dibatasi. Kenikmatan seksual ya dibatasi, kenikmatan makan ya dibatasi, kenikmatan kedudukan ya dibatasi, kenikmatan sentuhan yang enak-enak ya dibatasi, kenikmatan dipuji ya dibatasi. Jika tidak dibatasi ingin menikmati sebanyak-banyaknya itu menjadi penghalang.

Karena akan melahirkan perilaku yang buruk yang merugikan orang lain, bukan hanya mencapai kebebasan secara spiritual terhalang, cita-cita anda yang sederhana-sederhana juga akan terhalang.

Tidak bisa mengendalikan seksualnya, tidak bisa mengendalikan makannya, tidak bisa mengendalikan napsu berkuasanya, tidak bisa mengendalikan gila hormat.. kesombongannya kalau dipuji-puji melambunglah keakuannya. Itu semua akan menjadi penghalang.

Orang akan menghindari / menjauhi, tidak banyak kesempatan yang ia dapatkan, dan sebagainya.

Nah ibu bapak saudara, cukup panjang, cukup kompleks mudah-mudahan uraian tentang mara / setan menurut pengertian Buddhist yang pada hakekatnya adalah penghalang.

Ibu bapak dan saudara bisa menangkapnya dengan baik.

To Be CONTINUE...


http://www.facebook.com/note.php?note_id=369040574826
di tulis oleh Locky Thitasilo (Officer BUC Jakarta)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline si_pulen

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 4
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Waspadai Mara Penggoda | Bhikkhu Pannavaro Mahathera
« Reply #2 on: 18 March 2010, 05:04:12 PM »
semoga semua mahluk berbahagia..  ^:)^

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Waspadai Mara Penggoda | Bhikkhu Pannavaro Mahathera
« Reply #3 on: 19 March 2010, 03:41:36 PM »
WASPADAI MARA PENGGODA BAG. 3
(Transkrip Dhamma Class di Vihara Dhamma Sundara Solo)
Chapter: Tanya – Jawab Bag. 1
 
Uraian ini bisa berkembang mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan di sampaikan, karena urusan setan ini menarik sekali, sangat menarik.

Mengapa menarik?

Justru yang tidak kelihatan itulah yang tidak menarik. Mudah-mudahan uraian ini akan membuat rasa penasaran anda tentang setan itu sedikit tercerahkan.

Inilah pengertian Mara/setan menurut (dalam terminology Buddhist), Terima Kasih.


Tanya:
Sebelumnya saya mohon maaf dan dimaklumkan kalau pertanyaan ini tidak bermutu dan tidak ada hubungannya dengan tema tersebut. Begini bhante, masalah surga dan neraka, ini pertanyaan saya.
Sepanjang kebodohan saya, istilah surga dan neraka itu setelah ada agama, sebelum ada agama tentu saja belum ada istilah surga dan neraka. Padahal di antara agama itu usianya baru berapa ribu tahun saja kalau dihitung (dibandingkan) dengan dunia. Setelah adanya agama, masalah surga dan neraka makin lama makin serius dan makin mendetail dan makin tebal, sampai bisa dibayangkan sampai bisa dilukiskan diantara isi-isinya surga dan neraka, penghuni-penghuninya, bidadari-bidadarinya, sampai fasilitasnya bisa dihitung di situ. Itulah yang saya bingungkan karena makin tebal makin percaya makin meluas di antara istilah ini.

Yang saya tanyakan bhante:
Orang-orang dulu, mungkin orang yang pertama atau orang primitive jaman dulu, kalau meninggal itu ke mana? Dan ditaruh mana? Karena Tuhan belum membangun surga dan neraka? Belum dibuat? Mungkin bahan-bahannya belum ada.

Jawab:
Kalau saya diminta menjawab pertanyaan ini pendek, tidak sulit sebetulnya.
Apa yang menjadi jawaban bhante?
Saya tidak punya jawaban yang untuk menjawab pertanyaan ini tentang surga dan neraka yang isinya begini… begitu…, kalau di surga begini… kalau di neraka begitu.

Kenapa bhante tidak punya jawaban?

Saya termasuk yang tidak percaya saudara.

Lah gimana saya yang termasuk tidak percaya disuruh menjawab?

Nah… pertanyaan itu baiknya bagaimana bhante?

Pertanyaan bapak itu sebaiknya ditujukan kepada orang yang percaya. Karena kalau orang yang percaya dia akan bisa menjawab. Waktu surga dan neraka belum dibuat itu, jaman dulu itu orang meninggal bagaimana? Padahal kematian itu sejak jaman yang sulit diketahui. Tidak ada kehidupan yang tidak berakhir dengan kematian. Padahal surga dan neraka baru dibuat baru-baru.

Nah yang dulu-dulu bagaimana?

Begini ibu bapak dan saudara yang berperanan penting dalam kehidupan kita itu sesungguhnya adalah PIKIRAN kita.

Saya ingin menggambarkan sedikit.

Ada seorang guru yang membawa rombongan murid-muridnya pergi study tour dari tempat yang jauh. Empat hari yang lalu salah satu anggota rombongannya itu kecelakaan jatuh masuk parit/selokan. Sampai luka berdarah-darah, sampai dibawa ke rumah sakit diobati dan dijahit. Untung tidak sampai patah tulang. Selesai itu rombongan itu pulang. Nah, kepala rombongan ini datang kepada saya di Vihara Mendut, pagi-pagi dia cerita.

Bhante tidak tenang rasanya, teringat murid saya yang kecelakaan masuk parit itu, sampai dibawa ke rumah sakit dijahit. Koq saya yang jadi pemimpin rombongan mengalami seperti itu. Wah waktu itu saya panik sekali, apalagi saya wanita. Dia sudah berada di Vihara Mendut empat hari setelah kejadian itu. Belum pulang ke tempat asalnya di mana dia mengajar, rombongannya sudah lebih dulu pulang.

Saya tegang bhante, susah…. sekali, saya tidak bisa tidur nyenyak bhante. Ini sial bhante, saya membawa rombongan kali ini, saya sial bhante.

Itu neraka bagi kami….

Pikirannya dipenuhi dengan ketegangan, ketidaknyamanan, was-was, khawatir, menyesal, merasa bersalah.

Bagaimana mengatasinya ibu bapak saudara?

Saya akan membuat pertanyaan dan ibu bapak harus menjawab (masing-masing tidak usah mengutarakan jawabannya di dalam hati saja).

Ibu… sekarang kan ibu sudah di Vihara Mendut…

Ya… bhante, semalam saya bisa tidur di sini, tapi tadi pagi saya teringat lagi anak itu bagaimana ya sekarang? Sudah sampai belum?

Kan ada handphone? Iya saya sudah pantau, tetapi saya menyesal, kecewa sekali, tahun baru ini saya tidak happy.

Ibu, kejadian itu kapan?

Hari ini hari selasa kejadiannya hari jumat, empat hari yang lalu bhante.

Ibu… ibu sekarang kan tidak ada di Vihara Mendut.

Loh koq gitu bhante?

Iya jasmaninya ibu ada di Vihara Mendut, tetapi pikiran ibu balik ke empat hari yang lalu. Kan kejadiannya sudah empat hari yang lalu, hari jumat. Kejadiannya sudah lewat empat hari yang lalu, peristiwanya sudah selesai empat hari yang lalu, ibu sekarang duduk di depan saya, di Vihara Mendut. Tetapi ibu tidak seperti ada di sini! Jasmaninya di sini, tapi pikirannya balik ke hari jum’at.

Apa itu bijaksana ibu?

Dia diam saja…

Yang ada kan hanya memori, kenangan. Peristiwanya kan sudah selesai. Hari jumat terjadi sekarang sudah hari selasa. Tetapi ibu masih balik saja ke hari jumat. Tidak rela berada di Vihara Mendut di depan saya. Menikmati udara pagi yang segar, burung-burung berbunyi. Ibu tidak rela karena ibu mau kembali ke hari jumat. Apakah ibu tidak salah? (Yang begitu itu bukan hanya ibu itu saja, tetapi ibu bapak semua ini, ibu bapak saudara duduk di sini tapi pikirannya kembali pada seminggu yang lalu, sepuluh hari yang lalu, tidak ada di sini pikirannya)

Ya.. bhante nanti kalau saya pulang bertemu dengan orang tuanya, apakah orang tuanya tidak marah bhante kepada saya? Anakku ikut kamu, jatuh masuk parit, sampai di jahit, dibawa ke rumah sakit. Rombongan pulang, kamu tidak ikut lagi. Apa saya tidak dimarah-marahi nanti kalau pulang dan di sekolah bertemu orang tuanya?

Lah….. sekarang pikiran ibu loncat. Ke mana? Ketiga hari yang akan datang. Tidak mau di Vihara Mendut. Ketemu saya, di depan saya, udara sejuk, habis makan pagi, tidak mau menikmati ini. Pikiran ibu lari ke hari jumat, dari hari jumat pergi ke tiga hari yang akan datang.

Pikiran ibu tidak ada di sini???

Oh ya… ya…

Coba pikiran ibu di sini, dengarkan nasehat saya, karena dia tidak mengerti meditasi. Nikmati udara segar saat ini, ketenangan. Apa tidak bahagia?

Iya bhante… Saya bodoh sendiri, kalau saya menikmati saat ini saya bahagia….

Itu Surga…..

Saat pikirannya lepas, dari ketegangan, kekhawatiran, was-was, kecemburuan, kekhawatiran.

Siapa tahu nanti ibu datang tiga hari kemudian ke sekolah ibu, orang tua anak yang masuk parit itu datang. Oh… ibu guru… terima kasih ya, anak saya jatuh masuk parit di tolong, dibawain ke dokter, dijahit.

Ibu kan yang dibayangkan sekarang jadi “kecele”.

Ibu sudah memiliki bayangan nanti akan di marahin/dituntut bapak ibunya, dan bayangan itu ibu pelihara selama tiga hari sampai nanti ibu pulang.

Apakah itu bukan neraka, bukan siksaan, bukan ketegangan, bukan kekhawatiran?

BUKANKAH ITU MENTAL YANG TIDAK SEHAT?

Padahal ketika ketemu orang tuanya, malah mereka berterima kasih anaknya jatuh ditolong. Gak dimarahin malah diberi ucapan terima kasih.

Ibu sudah rugi sendiri, dimakan oleh penuh ketegangan, kekhawatiran.

Kalau gak memikirkan nanti dimarah-marahi orang tuanya, ibu balik lagi. Itu bisa jatuh kepeleset gimana ya? Aku waktu itu di mana? Aku ini jelek, pemimpin rombongan yang tidak tanggap, yang tidak waspada. Nah balik lagi ke hari jumat.

Percuma ibu di Vihara Mendut sekarang.

Kita sering begitu, pikiran kita ini pergi yang akan datang ataupun balik yang sudah lewat.

Nanti hari sabtu saya ke Jakarta, nanti di Jakarta saya akan rapat yayasan. Orang-orang yayasannya ini susah-susah sifatnya semua. Bagaimana ini saya mengatasinya? ( Lah…. Pikiran saya tidak ada di Solo, dan saya sekarang ada di Jakarta sana, meskipun badan saya ada di sini ). Oh… tidak.. tidak… mungkin orang-orang itu tidak sampai begitu, soalnya orang-orang itu orang baik-baik semua koq. Loh koq tahu? Ya saya punya pengalaman rapat yang lalu-lalu mereka baik-baik. ( Lah… Sekarang pikirannya pergi pada yang lalu, pada rapat yang lalu).

Semua orang hampir semua pikirannya lari pada yang lalu dan lari pada yang akan datang. Tidak pernah hadir pada saat sekarang.

Kalau pikiran anda hadir pada saat sekarang anda akan menikmati Surga, kelegaan tidak ada ketegangan.

Tapi kalau pergi yang lalu, yang enak-enak kan surga bhante?

Ya belum tentu….. enak kan sudah lewat. Iya dulu loh ya. Jaman saya masih muda, saya ini disanjung, saya ini disenangi orang, enak-enak, Tapi kan dulu, nah penyesalan. Nah besok kalau saya lebih tua lagi, tidak punya apa-apa lagi, semua orang lebih meninggalkan saya lagi. Bagaimana nanti hari tua saya? ( Nah pergi ke yang akan datang). Tidak pernah hidup sekarang, tidak pernah berada di sini. Selalu begitu pikiran kita.

Kalau anda berada di saat sekarang, anda akan bahagia.

Ibu, anak murid ibu jatuh masuk parit kan sudah hari jumat, sekarang hari selasa. Jangan kembali pada hari jumat. Jangan mengkhawatirkan nanti orang tuanya marah-marah, ibu jangan pergi tiga hari yang akan datang yang belum tentu. Ibu ada di mendut, nikmatilah udara di Mendut, keadaan di Mendut mendengarkan nasehat saya. Sekarang ibu duduk di depan saya…

Apakah itu nasehat meditatif saudara?

Tidak.

Nasehat bhante kalau gitu nasehat apa?

Nasehat Filosofis, saya berfilsafat pada ibu ini. Kalau ibu memikirkan hari jumat berarti pikiran ibu pergi ke hari Jumat. Kalau ibu memikirkan tiga hari yang akan datang berarti pikiran ibu pergi ke tiga hari yang akan datang.

Tetapi kan bhante, dia lega…?

Dia tidak tertekan, dia tidak dibebani peristiwa hari jumat, karena bhante memberikan alasan yang rasional/masuk akal. Hari ini hari selasa ibu, peristiwa itu sudah lewat, peristiwa itu sudah empat hari yang lalu, jangan kembali ke sana, itu tinggal memori dan yang akan datang belum terjadi.

Wah itu kan gampang sekali bhante untuk diterima.

Itu adalah nasehat filosofis, meskipun bisa meringankan mental seseorang.

Ada cara yang ke dua.

Cara Meditatif, mengatasi dengan meditasi.

Beda dengan yang tadi bhante?

Beda.

Cara agamis juga ada.

Dia jatuh kan sudah karmanya jatuh. Meskipun ibu awasi, kalau karmanya musti jatuh ya, dia jatuh. Itu sudah karmanya jatuh bukan ibu yang salah. Dia sudah karmanya jatuh di Yogya, dijahit di Yogya, kalau dia jatuh di Yogya. Ibu kan bisa berbuat baik, berbuat amal, menolong. Itu kan pengalaman bagus ada hikmahnya. Itu nasehat agamis.

Mengajarkan orang kalau ada orang jatuh itu bisa berbuat amal, dan jatuhnya itu sudah karmanya, ini nasehat agamis. Jangan disesali sudah waktunya dia jatuh, ya jatuh, sudah waktunya ibu berbuat baik.

Nasehat Meditatif lain sama sekali.

Bagaimana bhante nasehat meditatif?

Nasehat meditatif, kalau ibu teringat anak itu jatuh. Perasaannya lalu tidak senang, pikirannya lalu menyesal, koq anak itu bisa jatuh?

Jangan ditanggapi.

Lalu pikiran kecewa anak muridnya jatuh apakah tidak harus dilenyapkan bhante? Dengan membaca doa atau lain-lain?

Tidak.

Diapakan bhante?

Biarin saja, tugas kita hanya menggunakan kesadaran. Dalam bahasa pali dikatakan Sati/keawasan untuk mengetahui saja. Oh…. Pikiranku teringat yang kemarin. Sudah… itu saja, jangan dikembangkan.

Sekarang anaknya bagaimana ya? Sudah sembuh atau belum ya?

Tidak.

Dan jangan dianalisa, Bagaimana ya peristiwa itu bisa terjadi…

Hanya menyadari saja. Oh… timbul ingatan. Selesai…

Begitu disadari, pikiran itu akan padam. Sesaat itu dia akan padam.

Ya… nantikan akan teringat lagi bhante?

Ya teringat lagi, disadari lagi.

Kalau teringat dengan disertai perasaan tidak senang. Oh…. Perasaan begini muncul.

Kalau misalnya bhante ingatan timbul, lalu menyesal banget. Kemarin koq saya bercanda yang gak ada gunanya sampai anak itu jatuh terpeleset masuk parit… oh… aku menyesal.

Apakah itu tidak dilawan bhante?

Tidak.

Apakah penyesalan itu tidak dicari rasionalisasinya? Ya itu kan sudah karmanya… dll.

Itu bukan cara meditatif.

Cara meditatif hanya disadari saja. Oh… timbul pikiran begini… Nanti dia akan tenggelam/padam.

Ingat sesuatu… kita tidak mau mengingat-ingat, sedang asyik berbicara atau melihat pemandangan, tiba-tiba muncul ingatan. Kalau kamu sudah kembali, ketemu orang tuanya di sekolah bagaimana?

Bagaimana kalau mengatasinya secara meditatif?

Sadari saja. Oh.. timbul pikiran begini. Begitu disadari pikiran itu akan padam.

Itulah yang disebut mengatasi beban-beban mental dalam keseharian dengan cara meditatif.

ITULAH MANFAATNYA ORANG LATIHAN VIPASSANA!!!

Sebelum dia mencapai kebebasan, kesucian, bebas dari penderitaan secara total, dia bisa menolong dirinya sendiri membebaskan beban-beban mental pada dirinya dalam keseharian.

Jadi semua diperhatikan saja.

Merasa bersalah, merasa berdosa, aku ini orang tidak pandai, aku ini banyak dosa.. banyak berbuat jahat muncul. Aku ini tidak memenuhi kewajiban, aku ini banyak kekurangan, aku tidak bisa meditasi, aku orang bodoh, muncul… Bagaimana hari depanku nanti siapa yang merawat, segala macam pikiran muncul yang menjadi beban.

Bagaimana membebaskannya bhante?

Diawasi saja….

Tidak dipadamkan?

Tidak.

Kalau dipadamkan bagaimana bhante?

Ribut….. pikiran ini.

Timbul pikiran menyesal karena teledor tiga hari yang lalu anak muridnya jatuh. Bagaimana ya… anak muridku bisa jatuh, masuk rumah sakit dijahit. Lalu dia mengatasi penyesalannya ini mencari hiburan. Ah… sudah karmanya koq, buah karmanya memang harus berbuah koq. Itu macam-macam hiburan. Ya…. Terhibur pikirannya. Penyesalannya, kesembronoannya, keteledorannya itu terobati. Dicarikan hiburan. Tetapi di dalam pikirannya perang. Mencari pikiran untuk melawan pikirannya sendiri.

Cara meditatif tidak usah dilawan, dibiarkan saja, tetapi diawasi dengan kesadaran, awareness, mindfulness.

Sulit….!

Oleh karena itu kita harus melatih meditasi.

Semakin sering kita menghadirkan kesadaran untuk mengetahui pikiran kita, semakin sering dia muncul. Semakin banyak bebas kita dari pikiran-pikiran yang mengganggu kita.

Tetapi bhante kalau pikiran kita ingin kita gunakan bagaimana?

Saya ingin menengok orang yang sakit itu. Kalau ingin menggunakan … digunakan. Tapi kalau ingin dibebaskan karena mengganggu, disadari saja nanti dia akan bebas.

Ibu bapak saudara yang belum pernah sedikitpun melatih meditasi, meskipun sekali belum pernah, belum pernah mendengar apa itu kesadaran, keawasan mungkin uraian saya ini sulit ditangkap. Tapi kalau ibu bapak dan saudara pernah bermeditasi, meskipun tidak lama, meskipun hanya sebentar, tahu apa itu kesadaran, apa itu memperhatikan, apa itu sati, apa itu awareness akan memahami uraian saya.

Tidak hanya untuk mencapai kebebasan, tidak hanya untuk mencapai yang dikatakan kesucian/nibbana, itu sangat berguna. Saya tidak mengatakan kesadaran itu sangat mulia, sangat berharga… Sangat berguna untuk membebaskan mental kita dalam keseharian dari segala macam beban.

Merasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak mampu, termasuk merasa mampu, merasa lebih dari yang lain. Kalau itu menjadi beban, sadari saja. Nanti dia akan padam.

Itu cara meditatif.

Jadi kalau ibu yang datang karena anggota rombongannya/anak muridnya hari jumat empat hari yang lalu itu jatuh. Saya memberikan cara mengatasi kerisauannya, ketegangannya dengan cara filosofis. Dia orang pandai, dia menangkap uraian saya, dia mengerti.

Iya… ya bhante, kenapa balik ke empat hari yang lalu? Kenapa pikiran ini pergi ketiga hari yang akan datang? Loh saya kan ada di sini. Bagus itu bhante, bagus nasehat itu, cara itu bagus.

Bagus filosofis. Tidak mengatasi kerisauan, kekhawatiran, penyesalan tapi hanya menutupi dengan alasan yang masuk akal saja.

Mengatasinya bagaimana?

Mengatasinya itu tadi, diperhatikan/disadari saja. (Cara Meditatif).

To Be CONTINUE...


http://www.facebook.com/note.php?note_id=371922149826
ditulis oleh Locky Thitasilo (Officer BUC Jakarta)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Waspadai Mara Penggoda | Bhikkhu Pannavaro Mahathera
« Reply #4 on: 23 March 2010, 02:52:54 PM »
WASPADAI MARA PENGGODA BAG. 4
(Transkrip Dhamma Class di Vihara Dhamma Sundara Solo)
Chapter: Tanya – Jawab Bag. 2


Tanya:
Tadi itu saya mendengarkan ceramah dari bhante, saya kira berguna sekali bagi kita.
Paling dominan tadi itu, Apa bhante? Dari panca indera yang kita punya. Karena di dalam hal lima Panca indera itu, kembalinya ke pikiran. Bagaimana tanggapan bhante mengenai hal ini? Mana yang dominan?


Jawab:
Ibu bapak dan saudara, saya pernah menjelaskan di forum ini panjang lebar. (Marilah Bermeditasi)
Mana yang paling dominan diantara kemampuan/potensi mental kita. Kita tidak berbicara jasmani, jasmani semua orang sudah mengerti tidak perlu lagi dijelaskan panjang lebar.

Kemampuan mengingat, kenangan yang lalu, yang pernah dilakukan, yang baik, yang manis. Kemampuan mengenali benda-benda ini termasuk menamai dan sebagainya. Meskipun kalau sudah menamai ini jam, ini sapu tangan..... itu pikiran sudah berjalan banyak. Itu adalah kemampuan dari mental juga.

Lalu kemampuan mental untuk bisa senang dan bisa juga tidak senang (bisa suka dan bisa tidak suka), dalam bahasa pali sukha atau dukkha - somanassa atau domanasa. Kalau rangsangan lewat panca indera lewat makan, melihat segala macam, diraba yang menyenangkan timbulah sukha kalau tidak menyenangkan dukkha. Tapi juga kenangan bisa merangsang mental kita. Ingat kenangan yang lampau yang menyenangkan-menyenangkan muncul perasaan senang atau ingat pengetahuan yang telah dipelajari, diingat kembali masih jelas dan masih mengerti timbul rasa senang. Itu senang yang muncul karena rasa rangsangan mental. Kami menamakan Somanassa (hanya untuk membedakan saja). Atau mengingat peristiwa yang menyedihkan atau hal-hal atau ingatan-ingatan yang tidak mengenakkan, rencana-rencana yang tidak mengenakkan timbul perasaan tidak senang karena mental disebut domanassa.

Kemudian ada kemampuan mental lagi untuk menciptakan macam-macam. Ingin berdiri, ingin duduk, ingin pulang dulu, ingin tidur cepat, ingin punya rumah, ingin kontrak dulu, ingin kredit, ingin mendaftar menjadi caleg, ingin kampanye kampanye habis-habisan, ingin merebut milik orang lain, ingin menolong, ingin berbuat jahat, merancang bagaimana supaya keinginannya bisa tercapai... Itu disebut pikiran. Tidak ada batasnya, segala macam ide kreasi, bisa dilaksanakan atau tidak bisa dilaksanakan... pikiran ini tidak ada batasnya. Yang disebut pikiran itu tidak ada batasnya.

Tetapi perasaan itu hanya senang dan tidak senang saja. Melihat sesuatu... aku senang. Itu perasaan. Kalau kita sudah mengatakan jam... jamnya bagus, bikinan mana ini? Itu sudah pikiran. Aku mau juga punya jam seperti ini. Itu sudah pikiran. Ah ini jam sudah kuno jaman dulu, kalau aku punya juga buat apa, begitu melihat gak senang saya. Tidak senangnya itu perasaan, tidak mau punya, diberi juga tidak mau, kalau aku pakai ini malu-maluin. Itu pikiran.

Sekarang mana yang dominan, mana yang lebih ganas,mana pengaruhnya yang lebih kuat di antara kemampuan mental mengingat, merasakan, pikiran-pikiran beserta rencana-rencananya yang semuanya itu datang dari kesadaran.

Menurut psikologi buddhist, yang sangat kuat pengaruhnya (provokator yang sangat tajam memprovokasi orang) adalah perasaan ibu bapak saudara. Bukan pikiran.

Loh... vedana bhante?
Iya... Dalam terminologis buddhist vedana.
Loh koq bisa?

Saya pernah menjelaskan di forum ini panjang lebar.
Kalau kita melihat dengan kesadaran... meng-amat-amati gerak-gerik kita sehari-hari, semua gerak-gerik kita, semua aktivitas kita, semua perilaku kita, rencana kita dan sebagainya yang dirancang oleh pikiran lalu dilaksanakan. Sebabnya dari mana? Sebabnya dari perasaan (cikal bakalnya dari perasaan).

Contoh yang sederhana, hampir dua jam saya berbicara dan duduk dengan sikap tegak, punggung ini pegal. Bhante senang kalau punggungnya pegal? Tidak senang saudara. Tidak senang karena pegal ini lalu memprovokasi pikiran saya. Jangan lama-lama... Jangan lama-lama... sepuluh menit saja lagi biar selesai. Kalau bisa nanti kalau mendengar pertanyaan menyandarlah sebentar duduknya. Begitu menyandar bagaimana? Enak....... Kalau menyandar begini saya teruskan bagaimana? Lama-lama tidak enak juga. Begitu tidak enak, dia akan memprovokasi pikiran saya. Tegak lagi... Tegak lagi... Timbulnya keinginan sudah bersandar jangan lama-lama tegak lagi, mengapa? Karena perasaan tidak enak. Perasaan tidak enak mendorong kita untuk mengalihkan posisi untuk tegak lagi. Enak-enak... jangan sandaran lagi. Enak... rasanya enak sakitnya hilang. Enak itu memprovokasi pikiran untuk melanjutkan.. melanjutkan... melanjutkan... Jadi kalau timbul perasaan enak (Sukha) pikiran akan mengolah.

Di dalam pandangan buddhist ini lain ya... ibu bapak dan saudara. Saya harus membereskan definisi ini supaya kita tidak kabur. Enak itu dalam pandangan agama Buddha/dalam psikologis buddhist hanya enak atau tidak enak (suka atau tidak suka). Kalau anda mengatakan roti ini koq rasanya asin, nah itu bukan perasaan. Di dalam agama Buddha, asin itu pengenalan, sudah termasuk Domainnya pikiran. Kalau ibu mencicipi roti..... Senang aku. Nah itu perasaan. Rasanya gurih ya...? Nah, itu bukan perasaan. Pokoknya yang bukan enak atau tidak enak... itu bukan perasaan. Itu sudah masuk ulahnya pikiran. Rasanya sebal aku sama dia, kalau lihat itu rasanya aku sebal, dongkol, dll. Rasa sebal, rasa dongkol, rasa sengit itu bukan perasaan. Itu pikiran. Kebencian ingin membalas. Saya melihat itu tidak senang. Nah tidak senang itu perasaan. Jadi perasaan itu bisanya senang tidak senang/suka dan tidak suka. Suka dan tidak suka itu sama saja sama senang dan tidak senang. Kan sederhana bhante...? Iya.. sangat sederhana. Karena perasaan itu hanya dapat menimbulkan senang dan tidak senang. Sebetulnya tiga yaitu senang, tidak senang, dan netral. Datangnya entah dari mata, dari seksual, dari makan, dari telinga, dari angan-angan, dll. Bisanya hanya senang dan tidak senang.

Tapi ini ganas.
Mengapa ganas?
Karena semua yang membuat pikiran bergerak adalah perasaan. Kalau tidak senang bagaimana pikiran bergerak? Bagaimana ya... menghilangkan yang tidak senang ini?

Hampir dua jam persis, tenggorokan saya kering, mulai panas. Senang bhante?
Tidak senang. Lalu pikiran merintah minum dulu-minum dulu.
Iya... tapi pertanyaan dan jawaban belum selesai, nanti kalau sudah selesai sambil moderator menutup saya akan minum.

Siapa yang menyuruh minum atau apa yang membuat pikiran saya timbul keinginan untuk minum?
Karena ada perasaan tidak senang yang disebabkan tenggorokan ini kering.
Kalau tenggorokan ini bagus, habis minum. Ada yang menawari ada yang membawa air. Bhante silahkan minum.
Tidak senang saya, loh saya kan baru minum banyak. Gak senang saya. Tidak senang itu membuat pikiran kemudian Jangan minum dulu.. Jangan minum dulu... Terima saja taruh saja di meja. Mengapa tidak segera dibuka dan diminum bhante? Ada rasa tidak senang, dan tidak senang itu memerintahkan pikiran jangan minum. Pada saat nanti pertanyaan ini berhenti, moderator berbicara, saya ambil minuman saya minum. Enak bhante? Enak... Teruskan... teruskan... teruskan... satu kali tegukan lagi... dua kali tegukan lagi. Pikiran memerintahkan terus... terus... terus..... Dari mana perintah pikiran itu? Darimana keinginan itu timbul? Dari setan? Tidak... Dari perasaan senang. Saya ingin minum air ini sampai habis. Perasaan senang memacu pikiran kita untuk lagi... lagi... lagi... Perasaan tidak senang memacu pikiran untuk tutupi.. tutupi.. jangan... jangan...

Mengapa kita belajar agama? Mengapa kita belajar kebathinan? Mengapa kita belajar meditasi? Mengapa kita menuntut ilmu? Mengapa... Mengapa... Mengapa...?
Karena saya ingin hidup senang. Kalau anda sudah betul-betul senang! Tidak perlu lagi meditasi, tidak perlu lagi belajar Dhamma, tidak perlu lagi mencari ilmu pengetahuan. Sudah senang nikmati yang sudah kamu miliki terus.. terus... terus... pikiran akan memerintahkan begitu. Tetapi karena mengalami hal-hal yang tidak senang, yang tidak bisa diatasi dengan makan, tidak bisa diatasi dengan minum, tidak diatasi dengan nonton VCD, dsb. Terus bagaimana caranya membuang tidak senang ini, ketegangan mental, dll? Lalu pikiran memerintahkan pikiran carilah Dhamma Class, Meditasi lah.. nanti tidak senang itu bisa hilang. Itu semua digerakkan oleh tidak senang (perasaan).

Kalau anda kemudian mengikuti Dhamma Class, mengikuti meditasi, timbul pikiran senang... perasaan senang... senang... pikiran juga memerintahkan nikmati terus... terus... terus... Itu kemelekatan! Loh tidak boleh bhante kesenangan itu dinikmati terus meskipun itu meditasi? TIDAK.... Karena itu sementara. Lalu bagaimana bhante menghadapi perasaan ini yang sangat ganas yang suka memprovokasi dan menghasut pikiran? Dilihat saja... Tidak usah dituruti... Tidak usah diatasi.

Tenggorokan kering, muncul perasaan tidak senang. Diapakan bhante? Dilihatin saja.... (disadari...).
Oh... gak senang... sampai di mana? Ya tentu suatu ketika saya minum karena betul-betul sudah membutuhkan untuk minum. Tetapi jangan diprovokasi dengan perasaan senang dan tidak senang yang mendadak muncul.

Sakit di punggung... Tidak senang bhante? Tidak senang. Diapakan bhante? Dilihat dulu... disadari dulu, sakit... tidak senang sekarang muncul. Hilang tidak senangnya. Saya mungkin bisa tahan duduk tanpa menyandar berjam-jam meskipun punggung sakit. Loh kenapa bhante? Karena tidak senangnya dibuang. Bagaimana membuatnya? Dilihat saja... disadari saja nanti dia turun... turun... hilang.

Bhante kalau tidak senang itu trus kita pindah posisi duduk dengan menyandar. Tidak senangnya kan hilang berubah menjadi senang bhante? Iya... Tetapi nanti sementara. Dan kita nanti diburu-buru terus begitu. Karena itu kalau tidak senang muncul bagaimana? Dijadikan latihan dulu, dijadikan latihan meditasi. Jangan terus terburu-buru seperti orang kebakaran jenggot, dicarikan penutup dicarikan cara untuk mengusir. Disadari dulu... Tidak senang muncul... Hilang. Tapi sakitnya koq datang lagi, disadari dulu... Hilang. Terus begitu, sampai kapan kita bisa bertahan. Kalau memang ini benar-benar kebutuhan fisik sakit sekali, baru kita memberikan reaksi untuk menyandar.

Itulah meditasi ibu bapak dan saudara... Kalau anda mengikuti uraian saya ini, anda bisa melatih meditasi menghadirkan kesadaran. Tidak perlu mantra, tidak perlu doa, tidak perlu memohon berkat, tidak perlu baptis, tidak perlu teori agama yang sulit-sulit bahasa pali atau paticca samuppada, anatta tanpa aku. TIDAK PERLU...... Hanya senang muncul sadari, tidak senang muncul disadari.

Pagi-pagi ada umat datang membawa makanan yang saya suka. Mengapa koq bisa suka banget? Karena saya sejak dulu makan makanan seperti ini. Begitu melihat.. senang muncul. Kalau saya punya latihan meditasi, kesadarannya harus dihadirkan! Oh... perasaan senang muncul... Nanti dia akan hilang... Kan bukan kejahatan bhante? Apalagi makanan itu diberikan untuk bhante? Senang saya... sikat... habis. Iya... tidak kejahatan, dalam hidup bermasyarakat. Tapi itu menambah kilesa, kotoran bathin bertambah menjadi tebal. Saya bisa menjadi lebih rakus lagi kalau melihat ini. Ya kalau diserahkan kepada saya. Nanti kalau makanan ini tidak diserahkan saya, makanan ini bisa saya curi nanti! Karena terlalu senangnya.... Bagaimana mengatasi ini, senang yang menjadi-jadi ini? Apa digempur... malu-malu... kesenangannya jangan dituruti, distop saja... Gak usah digempur! Bagaimana? Disadari saja... Oh senang muncul.... Nanti dia akan tenggelam.

Atau disediakan makanan yang saya tidak suka. Begitu melihat, tidak senang saya. Oh... tidak senang muncul (sadari). Apa tidak dibuang begini bhante? Ini umat jauh-jauh sudah membawa makanan ini, dia orang miskin, cobalah sedikit dimakan, jangan timbul perasaan tidak senang, tidak baik... dll. Itu mengatasi tidak senang dengan nasehat filosofis. Oh ya.. ya... tidak pantas kalau saya punya perasaan tidak senang. Apalagi ini saya tidak beli, umat datang dengan penuh rasa bakti, demi ini mungkin dia bangun jam empat pagi untuk masak masakan ini, kemudian saya makan dan tidak senangnya dibuang. Tetapi ditutupi dengan alasan-alasan, termasuk dengan alasan agama, alasan iman, keyakinan, segala macam. Malu kalau bhikkhu berbuat begitu.... Itu semua bukan meditatif. Alasan filosofis, alasan agamis. Cara meditasi sangat sederhana. Lihat makanan tidak senang... Tidak senangnya disadari... dia nanti akan turun.. turun... Pikiran kita bebas dari tidak senang dan bebas dari senang. Kalau senang bagaimana bhante? Senang juga disadari jangan dibiarkan...

Selesai ceramah dua jam lebih. Pulang ke Mendut, saya tidak mengucapkan apa-apa. Tetapi dalam pikiran muncul, meskipun saya tidak ingin. Oh malam ini saya sudah memberikan ceramah hal-hal yang sulit-sulit, tentang lima mara, tentang bedanya mengatasi cara dengan filosofis dengan agamis lain dengan cara vipassana dengan meditatif. Hidupku tidak sia-sia, aku sudah melakukan yang berguna. Aku-nya muncul! Itu kan tidak kejahatan, itu kan nyata. Bhante berbuat jahat apa? Merasa aku berbuat baik kan boleh? Iya dalam hidup bermasyarakat bukan kejahatan, tetapi dalam kebebasan mental itu penghalang. Aku malam ini sudah melakukan hal yang baik. Yang berguna, yang berguna bagi orang banyak. Aku muncul. Bagaimana bhante mengatasinya. Ya harus ingat anatta, anatta tidak ada aku, hanya lima khanda, aku tidak ada, inti tidak ada. Itu cara mengatasi aku dengan konsep. Timbul pikiran Aku dilawan dengan pikiran tanpa Aku. Tidak benar ini Aku, yang ada tanpa aku (anatta), Aku itu tidak ada, Aku itu hanya ilusi. Sekarang yang ada di pikirannya pikiran tanpa Aku. Konsep juga itu. Tapi kan Aku-nya tenggelam. Aku-nya tenggelam karena ditutupi, tetapi masih ada! Lalu bagaimana cara mengatasi dengan baik bhante? Cara mengatasi yang baik cara meditatif. Kalau nanti saya pulang di dalam mobil dan sebagainya sampai di Mendut, Aku saya muncul....saya sadari saja. Dibiarkan saja, tidak usah mengatakan tidak boleh loh punya aku, anatta loh.. tidak boleh punya Aku. Tidak usah, tidak usah digempur. Disadari saja, oh.. Aku muncul ini, nanti dia akan tenggelam. Kan nanti muncul lagi bhante? Ya pulang malam-malam tidak apa-apa kan, kan hidupmu sudah berguna memberikan ceramah dll, Aku muncul lagi. Ya disadari saja lagi nanti dia akan tenggelam. Hanya nyadari saja! Tidak usah ingat anatta, tidak usah ingat sunyata, tidak usah ingat ini dosa, tidak usah ingat aku tidak baik, tidak usah diusir, dan tidak usah marah. Aku sudah jadi bhikkhu sekian puluh tahun, Aku koq masih muncul terus... muncul terus... ini bagaimana? Tidak usah marah. Tidak usah kecewa. Disadari saja. Oh Aku muncul, dia akan tenggelam. Dia nanti muncul lagi, sadari lagi.. Apakah sulit? Kalau anda tidak bisa menyadari.. ya sulit, karena sati atau kesadaran anda tidak dilatih. Pakailah... pakailah... latihlah. Sehari sekali duduk diam, setengah jam atau satu jam. Maka awareness/keawasan/kesadaran itu akan menjadi tajam. Dan anda bisa menyadari apa saja. Terutama mental perasaan, pikiran, ingatan yang mengganggu. Tidak usah diusir, tidak usah dicarikan mantra, tidak usah marah pada diri sendiri. Sadari saja, nanti hilang.

Saya menutup dengan cerita.
Akhir tahun ada rombongan orang-orang yang senang kebathinan datang ke Mendut, banyak sekali. Ada beberapa yang tidak pernah bertemu dengan bhikkhu, dan mungkin pertama kali. Saya ceritakan ini, ada yang mengerti sekali. Jadi mengatasi pikiran penyesalan, merasa bersalah dan sebagainya hanya mengetahui saja. Tidak dianalisa, tidak dicari dari mana datangnya, mengapa koq timbul pikiran begini. Ini baik atau buruk? Tidak usah. Hanya diketahui saja. Terutama pikiran dan perasaan yang mengganggu. Gak usah diusir, gak usah perang, diketahui saja nanti dia akan tenggelam/padam. Contohnya begini: Kalau ibu malam-malam mau tidur mendengar suara kresek... kresek... di luar. Oh... maling sepertinya. Ibu gak usah berantam cari senjata pistol, batu, dll. Tidak usah. Bagaimana? Buka pintu saja... dia kaget dan akan lari. Persis seperti itu mental kita. Tidak usah malingnya ditangkap, dikejar, dan dipukulin. Tidak usah. Hanya itu. Kadang-kadang buka pintu, malingnya itu kaget, kitanya juga kaget, kita diam.. malingnya juga diam langsung lari dia. Saya menggunakan bahasa yang mudah, anda tidak usah mengusir, membawa senjata, anda cukup mengetahui/memergok (ngonangi) maling itu saja. Pintu dibuka dor.... maling, lari dia. Bahkan di dalam vipassana, label maling tidak usah diberikan. Buka pintu saja, dor... lari dia. Tidak usah bilang maling kamu... Tidak usah.

Kalau ada pikiran senang timbul, ada umat yang bawa makanan enak atau bawa sumbangan lah untuk vihara. Wah ini ibu A, kalau bawa sumbangan ini pasti besar. Saya belum lihat, belum tahu sudah muncul senang. Nah kalau saya mempunyai latihan meditasi, saya mempunyai latihan kesadaran. Rasa senang yang muncul itu harus di-dor… Apa tidak perlu diberikan merek bhante “Senang Muncul”? Jangan. Loh kenapa bhante tidak boleh dikatakan senang, karena nanti senangnya tambah tajam. Kadar senang itu dipertajam dalam meditasi. Oh perasaan kayak gini muncul. Memang untuk menjelaskan kepada anda, untuk wacana saya mengatakan tidak senang muncul diawasi, senang muncul diawasi, suka muncul diketahui, tidak suka muncul diketahui, senang muncul diketahui, tidak senang muncul diketahui. TAPI DALAM PRAKTEK JANGAN DIBERI MEREK.

Ada amplop di sini datang. Bhante saya berdana. Oh pikiran kayak gini/perasaan kayak gini muncul. Ada datang orang bawa makanan yang enak. Oh perasaan kayak gini muncul, dia akan tenggelam. Ada orang bawa makanan tidak enak. Oh perasaan kayak gini muncul.. muncul.. nanti dia tenggelam. Kita membebaskan pikiran kita dari senang dan tidak senang. Karena senang bisa menimbulkan keserakahan, tidak senang bisa menimbulkan kebencian. Ingin menyingkirkan, ingin membuang. Kalau senang ingin mendapatkan lagi.. lagi.. lagi (keserakahan).

Di dalam wacana disebutkan pikiran benci muncul diketahui, perasaan senang muncul diketahui, pikiran jahat muncul diketahui, perasaan tidak senang muncul diketahui, dalam praktek jangan diberi label/jangan diberi nama. Hanya diketahui saja. Maling kamu….. Tidak usah. Hanya Hah (disadari)…… lari dia.

Lah bhante kalau tahunya itu pikiran sudah mengembara kemana-mana…. Baru Eh… pikiran. Sama seperti kalau anda melamun. Lalu eling, pada saat anda eling melamunnya bagaimana? Langsung stop!

Itu sama dengan kesadarannya lemah, malingnya sudah masuk rumah, ngambil tv ngambil vcd ngambil dompet segala macam lemari sudah diobrak-abrik. Tidur nyenyak….. lalu bangun baru “Hah… dor…” baru malingnya pergi dengan membawa barang-barang. Itu kesadaran kita lemah. Jarang dihadirkan, jarang dilatih. Kalau kesadaran kita kuat dan tajam bagaimana? Baru bunyi kresek… kresek… kita sudah “Hah…(ngonangi/mengetahui/mergoki )” dia (maling) langsung lari. Kalau kesadaran kita lemah ya… pikiran sudah merancang yang jahat, yang buruk, mau mencuri, mau mengambil, mau ngakalin atau segala macam, macam-macam… baru “Hah… (eling)” langsung pikiran berhenti.

Kesadaran membebaskan, tidak perlu ritual, tidak perlu upacara, tidak perlu tetek bengek, tidak perlu baptis, tidak perlu menjadi umat Buddha. Tetapi hadirkan kesadaran, karena kesadaran itu membebaskan dan sangat berguna. Termasuk membebaskan dari perasaan senang dan perasaan tidak senang.

Terima Kasih (Habis)

http://www.facebook.com/note.php?note_id=374464424826
ditulis oleh Locky Thitasilo (Officer BUC Jakarta)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~