//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - SandalJepit

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8 9 10 11 12 13 14 ... 29
91
share donk kitabnya raelian disini..

92
Agama Monotheistis adalah Berbahaya dan Bertanggung Jawab terhadap Musibah Besar yang Menimpa Umat Manusia - Ceramah rael tahun 2002

Serangan 11 September di New York menunjukkan kemendesakan untuk mengajukan pertanyaan yang benar terhadap tujuan-tujuan suatu terorisme. Apakah yang menjadi akar niat jahat yang mendorong terjadinya tindakan yang mengerikan itu? Apakah yang membuat orang bisa secara sukarela dengan mengenakan selendang merah di kepala mengambil alih pesawat Boeing 767 yang sedang terbang dan menubrukkannya pada sebuah bangunan sehingga mengakibatkan tewasnya ribuan sesama manusia?

Sementara fenomena ini menjadi semakin sering terjadi, jawaban-jawaban mudah yang dirancang untuk tidak mengganggu ketenangan hati orang yang berpandangan politik benar tidak akan memadai lagi karena jawaban itu tidak dapat mencegah kejadian yang sama terulang lagi.

Kita harus menyimpulkan bahwa tindakan balas dendam dalam bentuk kekerasan militer tidak akan memecahkan masalah ini, bahkan sebaliknya, tindakan kekerasan yang mereka lakukan malah menimbulkan kebencian dan keputusasaan yang semakin besar, yang dengan sendirinya menimbulkan tindakan balasan yang semakin membabibuta yang pemenangnya hanyalah teror itu sendiri.

Hanya suatu pemahaman yang adil dan jelas terhadap akar-akar masalah itu yang mungkin membawa suatu pemecahan masalah.

Saya merasa sangat iba pada orang-orang malang Amerika yang saya tonton di TV sedang mengungkapkan isi hati mereka: “Sudah waktunya bagi kita untuk berdoa karena Tuhan beserta kita pada saat tragis ini.”… Apa? Jadi di manakah Tuhan ini ketika musibah itu sedang terjadi, dan mengapa Dia tidak mencegahnya? Jika Dia memang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang itu, mengapa Dia tidak mengambil alih kejadian? Alih-alih, Dia tidak berbuat apa-apa, apakah ini berarti bahwa Tuhan adalah sadis dan haus darah? Atau hal ini hanya membuktikan bahwa sebenarnya Tuhan tidaklah Maha Kuasa...atau Dia malah tidak ada sama sekali!

Tapi sementara kita membicarakan masalah ini, Tuhan apa yang sedang kita maksud?

Apa kita sedang membicarakan Tuhannya segerombolan orang gila yang di tengah-tengah delusi mistis mereka meneriakkan “Tuhan Maha Besar” sambil menabrakkan pesawat terbang ke suatu bangunan karena mereka membaktikan kejahatan mereka kepadaNya, atau kita sedang membicarakan Tuhannya para keluarga korban yang dimaksudkan dalam doa mereka untuk mengurangi penderitaan mereka?

Di sinilah persis terletak bahayanya: suatu kepercayaan kepada Tuhan “yang maha kuasa” yang bertindak sebagai pengungkit pembesar bagi nafsu manusia dalam membalas dendam. Tapi apa yang Tuhan lakukan? Sama sekali tidak ada yang dilakukannya, baik untuk sisi yang satu maupun untuk sisi lainnya. Bila Tuhan mencintai umat manusia, mengapa dia lebih memilih kaum yang satu dari kaum lainnya? Jika Tuhan begitu berkuasa, mengapa Dia memerlukan pilot untuk menghancurkan gedung dan mengapa Dia tidak melindungi para korban yang tidak bersalah?

Yang benar ialah bahwa kepercayaan kepada satu tuhan yang unik dan maha kuasa merupakan sebab utama terjadinya bencana-bencana besar yang telah dialami oleh umat manusia. Hal ini telah berlangsung selama ribuan tahun. Setiap pasukan yang maju perang sama-sama mengaku bahwa Tuhan adalah beserta mereka…”.

Kaum muslimin melakukannya ketika mereka menjajah Eropa, demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang kr****n ketika melaksanakan perang salib, mempertahankan tempat peribadatan, melakukan inkuisisi, dan pada saat ini, perang antara India dan Pakistan, pertempuran di Siprus, Irlandia Utara, Kosovo, dan Timur Tengah... Selalu dan di mana saja, manusia saling menggorok leher musuhnya, saling membunuh atas nama tuhan yang maha kuasa.

Akar dari kejahatan ini ialah kepercayaan kepada Tuhan yang secara sinis dipanggil sebagai Tuhan yang “Maha Pengasih dan Maha Penyayang”! Lihatlah kesalahannya! Kejahatan terutama terletak di kitab “suci” yang katanya berasal dari Tuhan, yang sebenarnya selalu ditulis oleh manusia, yang maknanya telah menyimpang selama berabad-abad sesuai dengan prasangka dan kepentingan pribadi manusia pada masing-masing abad.

Apapun teksnya, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Qur’an, Taurat, semua kitab “suci” ini mengandung unsur-unsur yang mengobarkan kebencian, ketidaktoleransian, kekerasan, dan kebiadaban.

Sementara kita merenungkan sebab-sebab terjadinya musibah New York itu, mengherankan kenapa orang bisa melakukan kekejaman mengerikan semacam itu, sekarang ini anak-anak dengan niat baik dididik dalam kefanatikan dan ketidaktoleransian yang diajarkan oleh agama monotheistis mereka.

“Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi” – sejak dari awalnya, monotheisme menunjukkan belangnya. Agama mengharuskan Ibrahim menggorok leher anaknya sendiri dengan sebilah pisau, perintah dari Tuhan yang “penuh cinta kasih” yang siap dijalankannya dengan rela dan pasrah! “Jika tanan kanan Anda berbuat dosa, potonglah...”, “barang siapa yang membalikkan punggungnya akan diubah menjadi patung garam...” contohnya berlimpah.

Contoh ketidaktoleransian dalam teks Yahudi juga banyak: pelarangan pernikahan dengan orang yang bukan Yahudi. Kini, pemberian kewarganegaraan Israel secara otomatis kepada siapa saja yang berdarah Yahudi dan kemustahilan orang bukan Yahudi untuk memperoleh kewarganegaraan yang sama, mencerminkan pencapaian tujuan yang sama: pelenyapan rasial, yang kini ditujukan kepada orang-orang Palestina.

Mengenai muslim, tulisan dalam kitab mereka jelas sekali mendorong kekerasan terhadap non-muslim, dan juga terhadap kaum perempuan yang mereka anggap bermartabat lebih rendah dari laki-laki. Di bawah ini termuat teks persis dan resmi yang diakui datang dari Nabi mereka: “Apabila tenggang waktu antara bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkapilah mereka, kepunglah dan dudukilah tempat-tempat pengintaian untuk mengawasinya. Tapi jika mereka telah tobat dan tetap mengerjakan shalat serta telah menunaikan zakat, bebaskanlah mereka. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun dan Penyanyang” – Qur’an IX.5

Islam secara resmi mendorong rasisme dan diskriminasi yang bertentangan dengan Hukum Hak Asasi Manusia dan hukum-hukum demokrasi:

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memilih orangorang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qur’an V.51.

Ini adalah contoh perintah lainnya yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi: Islam membolehkan orang-orang beriman melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan alasan bahwa laki-laki dianggap lebih unggul dibandingkan dengan perempuan:

“Kaum laki-laki itu adalah Pelindung bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan golongannya dari golongan perempuan…”

“Perempuan yang kamu khawatirkan kedurhakaannya hendaknya diberi pengajaran yang baik, hukumlah dengan berpisah tidur, dan pukullah dia…” (3) Qur’an IV, 34.

Apakah dapat diterima bahwa suatu agama secara resmi menganjurkan tindakan-tindakan yang semuanya melanggar Hak Asasi Manusia dan hukum demokrasi: menyemangati pembunuhan, diskriminasi rasial, dan pemukulan terhadap istri?

Jika suatu “sekte” mengkhotbahkan prinsip-prinsip semacam itu, para pemimpin mereka tentu telah mendekam di penjara. Delusi agama-mistis tidak memberi hak kepada siapapun untuk melanggar hukum demokrasi suatu negara dan mengabaikan hak asasi manusia.

Satu-satunya pemecahan, sebagaimana yang telah saya himbau selama dua puluh tahun lebih, adalah menyensor semua teks agama, baik yang lama maupun yang baru, baik agama kaum minoritas maupun agama kaum mayoritas, untuk menghilangkan semua teks yang merangsang timbulnya kebencian dan kekerasan serta mendorong perlawanan terhadap pelanggaran terhadap hukum demokrasi suatu negara dan hak asasi manusia. Dan terutama, semuanya itu jangan diajarkan kepada anak-anak!

Mengingat bahwa kita sudah berada di ambang abad baru, yang memungkinkan bumi menjadi surga berkat ilmu pengetahuan, sudah waktunya bagi kita untuk menghancurkan selama-lamanya, atau paling tidak melawan dengan sensor yang tegas dan keras terhadap semua ideologi yang merangsang timbulnya kebencian dan kekerasan.

Semua pengutukan yang benar secara politik terhadap terorisme di dunia tidak akan mengubah apa-apa selama akar penyebab masalahnya tidak dihilangkan: kita perlu membuang atau menyensor ajaran agama monotheistis yang selalu menghasilkan fanatisme.

Mengingat bahwa kita telah mencapai suatu tahap yang memungkinkan teknologi baru mengubah gaya hidup kita secara revolusioner, di mana kemajuan ilmu genetika memungkinkan kita untuk mengobati semua penyakit, memberi makan kepada seluruh penduduk bumi, di mana teknologi nano dan robotika memungkinkan hilangnya keperluan kita untuk bekerja, dan pengklonan manusia bahkan memungkinkan kita untuk hidup selama-lamanya, tidak dapat dibayangkan bahwa kepercayaan sebodoh itu masih dianut sejak Abad Pertengahan, yang membuat bumi ini dipenuhi dengan penderitaan, kekerasan, dan penghalangan terhadap pencerahan.

Sudah tiba waktunya bagi umat manusia untuk mengganti agama monotheisme dengan ilmu pengetahuan, yang seharusnya menjadi agama kita.

Ilmu pengetahuan adalah kecerdasan, monotheisme adalah kebodohan dan penghalangan terhadap pencerahan.

Ilmu pengetahuan menyelamatkan hidup, monotheisme membunuh.

Misi sejati dari PBB seharusnya adalah menciptakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyensor semua teks agama di seluruh dunia untuk menyingkirkan penghasutan yang menimbulkan kebencian dan kekerasan dan membersihkan segalanya yang tidak menghormati hak asasi manusia.

Kita tidak sedang membicarakan penghilangan kebebasan beragama, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia juga. Kita sedang membahas suatu pencegahan terhadap agama-agama yang merangsang kebencian dan kekerasan untuk tidak melanjutkan ajaran ini kepada anak-anak, yang bisa pada suatu hari nanti melakukan kejahatan mengerikan dengan meyakini bahwa mereka berbuat demikian semata-mata karena menjalankan “perintah Tuhan”.

Dalam hal penghasutan kebencian, teks agama lebih berbahaya dari senjata api karena mereka menganjurkan pemakaian senjata api untuk membunuhi orang-orang “kafir”.

Jika sistem kepercayaan monotheistis hidup lebih lama lagi, hal itu dapat diterima atas nama kebebasan, tapi dengan ketentuan bahwa sistem kepercayaan ini tidak lagi mendorong pembunuhan (bahasa Inggris “assassin” atau pembunuhan berasal dari bahasa Arab “assassin” yang berarti “mereka yang membunuh orang kafir”) atau musibah seperti yang ditimbulkan di New York.

Untuk mempersiapkan manusia masa depan dan membuat planet ini lebih berkemanusiaan, kita memerlukan pengurangan terhadap pengaruh negatif agama monotheistis, sampai pada suatu saat nanti agama ini memadamkan api dirinya sendiri berkat adanya kebudayaan keilmuan yang lebih baik.

Tidaklah begitu mengherankan bila penguasa Taliban di Afghanistan melarang televisi, koran, dan internet. Semakin banyak orang yang paham semakin sedikit orang yang menyerahkan dirinya pada monotheisme.

Ketika Anda membaca ini, banyak orang mendekam di penjara negara-negara Islam, yang dijatuhi hukuman penggal kepala karena menolak agama Islam. Dan tentu saja hal ini menyalahi hak asasi manusia yang menjamin kebebasan orang untuk berganti agama.

PBB seharusnya menerapkan sangsi kepada Negara yang tidak menghormati hak asasi manusia.

Bagaimana kita bisa menerima bahwa PBB membutakan sebelah mata terhadap kejahatan ini?

Jika beberapa orang cukup sadar untuk mengerti bahwa Islam yang diajarkan kepada mereka merangsang terjadinya kejahatan dan bermaksud meninggalkan Islam, PBB dan masyarakat internasional harus membela mereka dan menuntut kebebasan mereka dengan segera. Selanjutnya, bila negara-negara ini tidak bersedia mentaati Piagam Hak Asasi Manusia dengan mengubah teks agama mereka, PBB seharusnya berkampanye untuk mendorong kemurtadan di negara-negara Islam ini! Lalu membantu para pengungsi yang bersedia murtad untuk menemukan negara yang bersedia menerima mereka sebagai pengungsi.

Bagaimana bisa umat Islam diizinkan untuk membangun mesjid-mesjid di negara-negara demokrasi yang bebas, sedangkan pembangunan gereja dilarang di negara-negara Islam? Mengapa mereka yang berusaha murtad dan meninggalkan Islam mesti dipenjara?

Bagaimana kita bisa menerima bahwa orang-orang kr****n yang berusaha menyebarkan kepercayaan mereka di negara-negara Islam harus dipenjarakan sedangkan Piagam Hak Asasi Manusia menjamin hak untuk menarik masuk jemaat baru?

Jika negara-negara Islam berharap berintegrasi dengan masyarakat internasional dan memanfaatkan ekonomi dunia, dunia modern, dan teknologi baru, mereka harus dipaksa untuk menghormati aturan negara-negara demokratis dan Piagam Hak Asasi Manusia. Jika tidak, mereka harus menerima sangsi-sangsi dan tetap tercengkeram Abad Pertengahan yang menjadi tempat pilihan hidup mereka.

Itulah harga yang barus dibayar oleh dunia bebas supaya tetap merdeka dan agar terorisme dan kekerasan dapat diberantas sekali dan selama-lamanya.

Monotheisme berbahaya dan bertanggung jawab atas sejumlah besar kematian dan penderitaan orang di sepanjang sejarah umat manusia. Hal ini harus dinyatakan secara berulang-ulang.

Ilmu pengetahuan harus menggantikan agama untuk sekali dan selama-lamanya dan hak asasi manusia seharusnya menjadi satu-satunya ideologi yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Hanya dengan demikian umat manusia dapat berharap untuk memasuki abad perdamaian dan kebahagian universal.

sumber:
http://w****a.com/forum/showthread.php?t=2242&highlight=rael

93
 [at] capricorn_71
http://wikimapia.org/2132523/Menara_Internasional_Prj_Kemayoran_Indonesia_Jakarta_Pusat

keliatane yang disebelah pasar mobil kemayoran itu bakalan jadi menara jakarta, bukan milik Stephen Tong. Kalau Stephen Tong, gue rasa berafiliasi dengan Mocthar Riyadi untuk pengembangan propertinya..



94


Kamis, 15 April lalu, Pemda DKI Jakarta ketiban mega proyek, tepatnya
pembangunan Gedung Menara Jakarta di kawasan bekas Bandara Kemayoran Jakarta
Pusat. Gubernur Sutiyoso yang diundang pada acara peresmian peletakan batu
pertama bangunan bergengsi setinggi 558 meter itu, boleh jadi merasa bangga.
Pasalnya gedung itu bakal menjadi bangunan tertinggi di dunia, mengalahkan
Gedung Petronas kebanggaan rakyat Malaysia. Tapi bayangan gedung itu akan
menjadi ikon pusat multi aktivitas kebanggaan Indonesia tiba-tiba berubah,
ketika berhembus isu, bahwa Menara Jakarta sesungguhnya merupakan simbol
kedigjayaan kaum Nasrani di negeri mayoritas Muslim ini. Betulkah isu itu?

Kebenaran isu tersebut memang patut ditelusuri. Pasalnya pada saat hari
peresmian dimulainya pembangunan gedung yang semula diperkirakan akan menjadi
simbol kebanggaan warga Jakarta bahkan mungkin rakyat Indonesia itu, Gereja
Bethany juga mengadakan acara doa bersama pada malam harinya (lihat situs
Bethany).

Do'a itu memang terkait dengan mulai dibangunnya Gedung Menara Jakarta. Dalam
acara misa itu, latarnya jelas sekali memperlihatkan gambar maket gedung yang
pembangunannya akan menyedot dana sekitar 1,4 triliun rupiah itu. Tulisan besar
latar misa itu adalah, "Menara Doa Jakarta" dengan gambar seorang pendeta yang
sedang berkhutbah di sebelahnya.

Gereja Bethany Jakarta yang ikut bergabung dalam komunitas Jakarta Revival
Center, bermarkas di Gedung Pusat Niaga Lantai 5, Kemayoran Jakarta Pusat,
ketika dikonfirmasi eramuslim juga mengakui, pihaknya ikut terlibat langsung
dalam proses pembangunan gedung tersebut. Informasi yang eramuslim terima dari
mereka menyebutkan, Gereja Bethany ikut mendanai pembangunan Gedung Menara
Jakarta. Namun sumber Bethany yang tidak mau menyebutkan namanya itu mengaku,
dia tidak tahu berapa besarnya. Dana itu kata sumber tadi, dikumpulkan dari
gereja-gereja lainnya, bukan Bethany saja.

Sumber itu juga mengatakan, kalau di Menara Jakarta nantinya akan dibangun pusat
peribadatan (Worship Center) seperti yang ada di Surabaya. ?Dan itu adalah
obsesi dari pimpinan Gereja Bethany Pdt.DR. Abraham Alex Tanuseputra. Pimpinan
kami mengaku dia mendapat perintah dari Tuhannya untuk membangun pusat-pusat
ajarannya, salah satunya yakni Menara Doa (lihat situs Bethany),? tutur si
sumber pada eramuslim via telepon.

Ditanya tentang seberapa jauh keterlibatan Gereja Bethany dalam proses
pembangunan Gedung Menara Jakarta (GMJ), sumber tersebut menolak memberikan
keterangan. Menurutnya, pimpinan-pimpinan di Bethany pun saat ini sedang
melakukan gerakan tutup mulut, dan mengambil posisi untuk tidak mengomentari
soal pembangunan GMJ.

Sebelumnya tersiar kabar, proyek besar itu adalah proyek Pemda DKI Jakarta, yang
biayanya diambil dari APBD. Tapi berita itu juga dibantah oleh Kepala Biro Humas
dan Protocol DKI Jakarta, Muhayat. Sepengetahuan dia, kata Muhayat, Menara
Jakarta murni proyek swasta bekerjasama dengan Badan Pelaksana Pengendalian
Pembangunan Komplek Kemayoran (BP3KK). Jadi bukan proyek Pemda DKI, akunya.

?Dananya murni dari pihak swasta, bukan dari Pemda. Darimana Pemda punya dana
sebesar itu. Dana yang dijanjikan pemerintah untuk pembangunan proyek banjir
kanal timur saja belum direalisasi,? tutur Muhayat.

Kedatangan Gubernur Sutiyoso sewaktu peresmian peletakan batu pertama, Kamis 15
April lalu, lanjut Muhayat, kapasitasnya hanya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
?Karena pembangunan Menara Jakarta ada di wilayah DKI Jakarta,? tukas pejabat
Pemda DKI Jakarta itu.

Muhayat selanjutnya menuturkan, dia tidak tahu menahu siapa pihak di balik
investor yang menggalang dana untuk pembangunan GMJ. Dia juga mengaku tidak
pernah mendengar, kalau gedung itu akan menjadi pusat kegiatan bahkan ikon pusat
kegiatan Nasrani Indonesia.

Berbeda dengan penuturan Muhayat, seorang wartawan sebuah media massa ibukota,
lewat email yang dikirimkan ke eramuslim mengaku, dia sangat terkejut saat
menyaksikan upacara peresmian dimulainya pembangunan GMJ yang dibuka Gubernur
Sutiyoso. Bagaimana rasa ke-Islamannya tidak tersinggung, tuturnya, ketika dia
menyaksikan proses upacara peletakan batu pertama pembangunan GMJ sarat dengan
nuansa gerejani. Yang memimpin doanya, kata dia, juga seorang pendeta. ?Saya
tidak habis pikir, mungkinkah di negeri mayoritas Muslim ini, akan dibangun
gedung pusat peribadatan kr****n sebesar ini?? tutur si wartawan.

Menanggapi isu miring GMJ telah disalahgunakan peruntukan pembangunannya, Ketua
Badan Pelaksana Pengendalian Pembangunan Komplek Kemayoran, Ir Abdul Muis
mengatakan, pihaknya akan menyelidiki kasus tersebut.

Kepada eramuslim, Abdul Muis menuturkan, tanah seluas 4 hektar yang akan menjadi
lokasi GMJ, memang milik Sekretariat Negara (Setneg) cq Badan Pelaksana
Pengendalian Pembangunan Komplek Kemayoran (BP3KK).

Seperti halnya Muhayat, Abdul Muis juga membantah berita yang menyebutkan Menara
Jakarta akan digunakan sebagai pusat kegiatan atau ikon agama kr****n, khususnya
dari kalangan Gereja Bethany. Namun saat prosesi peresmian peletakan batu
pertama pembangunan GMJ, acara peresmiannya mirip kegiatan kebaktian di gereja,
bahkan doanya dipimpin oleh seorang pendeta.

Bahkan sempat diekspos ke publik, bahwa nantinya di lantai teratas Menara
Jakarta akan dijadikan pusat peribadatan agama kr****n. Sehingga menimbulkan
kesan Menara Jakarta nantinya akan menjadi pusat kegiatan agama nasrani.
Mengomentari hal itu, Abdul Muis mengaku telah kecolongan.

Dengan adanya kejadian tersebut, Abdul Muis mengaku sudah memanggil dan menegur
3 direksi dari pihak developer PT Prasada Japapamudja. Ketiganya masing-masing,
Direktur Proyek Roesdiman Soegiarso, Direktur Utama Steve Tan, dan Direktur
Marketing Ferry Sangeroki.

Selanjutnya Abdul Muis menuturkan, pihaknya menginginkan Menara Jakarta nantinya
akan menjadi ikon Indonesia Baru. Dan fasilitas yang tersedia di sana, bukan
hanya untuk agama tertentu saja. ?Dalam perjanjian dengan pihak developer, jelas
disebutkan bahwa pembangunan Menara Jakarta diperuntukan antara lain untuk pusat
kegiatan telekomunikasi dan pariwisata,? ungkapnya.

Di sisi lain, Abdul Muis mengaku dia mengetahui, bahwa pihak developer telah
menggalang dana antara lain dari Gereja Bethany dengan nilai yang cukup besar.
Namun seberapa besarnya, dia mengatakan tidak tahu secara pasti. Muis berjanji,
akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah dana itu. Pada eramuslim,
Ketua BP3KK itu menegaskan, ?Kalau nanti terbukti pembangunan Menara Jakarta
untuk kepentingan eksklusif agama tertentu, pembangunannya bisa saya batalkan.
Kalau perlu pihak kami juga akan mengajukan gugatan hukum.?

Di Menara Jakarta nantinya akan dibangun sebuah ruang serbaguna, yang letaknya
berada di bagian teratas podium menara. Keberadaan ruang inilah yang menjadi
persoalan. Karena kabarnya tempat ini akan dijadikan pusat kegiatan agama
kr****n (khususnya gereja Bethany) terbesar setelah di Surabaya. Ketua BP3KK
Abdul Muis mengatakan, ruang serbaguna inilah yang masih menjadi pemikirannya,
siapa yang akan menguasai lantai serbaguna itu. Kalau dimiliki atau dibeli oleh
kelompok tertentu, maka pihaknya tidak bisa mengganggu gugat pengggunaan atau
fungsi ruang tersebut. Padahal menurut dia, ruang serbaguna itu seharusnya bisa
digunakan untuk apa saja, seperti seminar, dan lain-lain, bukan hanya untuk
kegiatan eksklusif kelompok tertentu saja.

Untuk menghindari kemungkinan GMJ nantinya akan dimanfaatkan oleh agama tertentu
saja seperti isu yang merebak sekarang ini, Abdul Muis mengatakan pihaknya sudah
membuat sebuah tim kecil untuk mencari solusi. ?Bagaimana proyek ini tetap
jalan, tapi fungsinya tidak untuk sektoral agama tertentu saja. Sebelum
pembangunan proyek ini, pihak kami juga sudah mencoba mengajak pihak-pihak dari
agama Islam dan agama lainnya untuk bersama-sama menanamkan investasinya. Tapi
tidak ada tanggapan,? tutur Ketua BP3KK itu pada eramuslim. (stn/lena/eramuslim)


MIMPI SPEKTAKULER PANCASILA
WARGA Toronto, Kanada, boleh bangga punya Canadian National (CN) Tower. Selama
30 tahun lebih, belum ada yang menandingi julang menaranya. Tapi dalam enam
tahun ke depan, mereka harus siap menyerahkan kebanggaannya kepada rakyat
Indonesia.

Pada 15 April, di lokasi bekas Bandara Kemayoran, Jakarta, pembangunan Menara
Jakarta diresmikan kelanjutannya. Memang, menara itu "hanya" 5 meter lebih
tinggi dari Menara CN. Tapi tetap saja Menara Jakarta yang setinggi 558 meter
itu akan merebut seabrek gelar Menara CN. Salah satunya, sebagai "World's
Tallest Free Standing Structure" di Guinness Book of World Records.

Sebenarnya, ide untuk membangun menara tertinggi di Indonesia itu sudah dipantek
pada 1995. Rencana semula, akan dibangun di kawasan Kuningan. Tapi Surjadi,
Gubernur DKI waktu itu, tidak setuju. Maunya, menara itu dibangun di Kemayoran.
Soalnya, Kemayoran waktu itu adalah daerah yang pertumbuhannya masih sulit.
Diharapkan, kehadiran Menara Jakarta di situ bisa menggairahkan kembali
kawasannya.

Maka, diadakanlah kompetisi internasional. Pesertanya adalah perusahaan Kenzo
Tanse dari Jepang, Dwaing & Meril, Skidmore dan Murphi/Iohn dari Amerika, ECADI
dari Cina, sertan ada pula tim Universitas Indonesia dan Institut Teknologi
Bandung. Filosofi menara adalah Pancasila. Selain itu, ada ketentuan, menara itu
harus memiliki tiga kaki. "Ini untuk menggambarkan trilogi pembangunan," kata
Prof. Mohammad Danisworo, ketua dewan juri.

Para peserta kompetisi pun muncul dengan ide-ide brilian dan spektakuler.
Bahkan, ada sebuah desain yang benar-benar menerapkan filosofi Pancasila. Karya
ini menjadikan lambang garuda Pancasila sebagai dasar menaranya. Meski dinilai
sangat bagus oleh juri, desain itu tak dimenangkan. Soalnya, begitu dilihat dari
atas, terlihat seperti garuda Pancasila tertusuk menara di bagian dada.

Pilihan pun jatuh ke desain Murphi/Iohn dari Amerika. "Cuma, saat diuji, harga
konstruksinya sangat tinggi. Kita nggak sanggup," kata Danisworo. Mereka lalu
memutuskan untuk memilih pemenang nomor dua, karya ECADI (East China
Architecture Design & Research Institute), lembaga desain yang pernah membangun
Menara Shanghai Eoriental Pearl di Cina. Itu dipilih karena para juri menganggap
desainnya sederhana dan masih bernuansa Asia.

Selain memiliki tiga tiang utama, di bagian kepala menara terdapat lima lantai
yang melambangkan Pancasila. Lantai di ketinggian 500-an meter di atas tanah itu
nantinya berfungsi sebagai pusat penyiaran dan telekomunikasi. Sayang, ada badai
krisis moneter. Proyek pun digantung.

Sepuluh tahun terbengkalai, tiba-tiba sekelompok pengusaha bergabung untuk
melanjutkan proyek itu. "Seperti semut, kami bahu-membahu untuk mewujudkan
impian itu kembali," kata Ferry Sangeroki, Direktur PT Prasada Jasa Pamudja,
perusahaan yang menangani proyek. Ferry tak bisa menyebutkan jumlah pasti para
pemilik modalnya. "Jumlahnya sangat banyak," katanya. Dari kalangan pengusaha
besar, kecil, bahkan sampai pendeta dari Gereja Bethany.

"Kami memang berusaha menarik siapa saja pemilik modal yang ingin bergabung,"
kata Ferry. Sempat tersiar kabar, menara itu akan diganti namanya menjadi
"Menara Doa". Soalnya, beberapa calon penyewa gedungnya mengklaim akan
menggunakan salah satu lantai untuk pusat kegiatan gereja.

Rumor itu buru-buru ditampik oleh Ferry. "Memang ada gedung serba guna yang bisa
disewa oleh siapa saja untuk kegiatan apa saja. Tapi bukan berarti mutlak
dijadikan tempat ibadah kr****n," tutur Ferry.

Lama terkatung-katung, pihak kontraktor lalu mengadakan sedikit perubahan pada
desain meski tak signifikan. Demi kelangsungan perawatan menara, akan dibuat
sebuah gedung lagi di sekitarnya. Gedung yang melatarbelakangi Menara Jakarta
itu akan menjadi "sentra gaya hidup" dengan segala fasilitasnya. Antara lain
hotel, mal, kafe, taman hiburan, gedung serba guna, bioskop, hingga pusat
olahraga. Keseluruhan lahan yang digunakan, termasuk untuk menaranya, 10
hektare.

Desain gedungnya tetap mengikuti panduan pancang kota dari Kemayoran. "Gedung
itu bisa ditembus oleh orang dari selatan ke utara," kata Roesdiman Soegiarso,
direktur yang menangani langsung proyek. Dengan adanya gedung tambahan itu,
Menara Jakarta menjadi satu-satunya di dunia yang dilengkapi dengan fasilitas.
Diharapkan, dengan adanya fasilitas tersebut, biaya perawatan menara bisa
tertanggulangi.

Seperti desain awalnya, menara tetap memiliki tiga kaki yang akan menjulang
hingga ketinggian 500 meter. Masing-masing kaki berbentuk silinder, berdiameter
13,2 meter. Dua di antaranya berisi masing-masing tiga lift dengan kecepatan 7
meter per detik. Kaki ketiga berisi delapan lift khusus untuk pengunjung.

Tidak seperti pada umumnya, menara tinggi dengan kaki melebar ke bawah, Menara
Jakarta akan tetap terlihat langsing tanpa pelebaran. "Dengan tiga kaki itu,
menara ini sudah stabil," kata Roesdiman. Secara struktur, ada perbedaan ukuran
yang dari luar tidak terlalu kelihatan.

Selain itu, pada bagian bawahnya, menara itu diikat lagi dengan cincin beton
berdiameter 40 meter dengan tinggi 15 meter. Untuk lebih menstabilkannya, menara
tertancap dengan fondasi berdiameter 80 meter sampai kedalaman 58 meter di bawah
tanah.

Dengan segala gegap gempitanya proyek, faktor keamanan memang menjadi hal yang
krusial. Apalagi di bagian menara. "Keamanan adalah kriteria utama kami," kata
Roesdiman. Begitu tingginya menara itu, hingga keamanannya akan menggunakan
sistem seperti pesawat yang mengudara. Artinya, jika terjadi sesuatu, menara itu
tidak bisa bergantung pada pemadam kebakaran di bumi. Dalam tubuh menara itu
sudah disiapkan seperangkat alat keamanan. Ada juga lift darurat khusus.

Proyek senilai Rp 2,5 trilyun itu juga akan mempertontonkan pertunjukan
spektakuler. Sejarah akan mencatat sebuah sistem pembangunan menara dengan
teknologi paling baru. Dengan ketinggian mencengangkan, crane tak akan sanggup
menjangkaunya. "Menara ini akan dibangun dengan sistem step by step," ujar
Roesdiman. Artinya, setiap kali menyelesaikan satu lantai, dari lantai tersebut
dimulai lagi pembangunan untuk tahap berikutnya. Begitu seterusnya, hingga
mencapai ketinggian yang diinginkan.

Pada saat menaranya selesai dibangun, proyek itu akan menggunakan helikopter
untuk memasang antena di puncak. Harus diakui, bangunan dengan ketinggian 558
meter itu akan mengalami sway atau goyangan karena angin. Secara natural pun,
orang akan merasa gamang. Tapi kegamangan itu tak akan mengganggu terlalu lama,
kecuali bagi orang yang baru pertama kali naik ke tempat tinggi. "Kami sudah
memperhitungkannya. Kita toh bisa belajar dari Menara CN. Orang enjoy berada di
puncaknya," kata Roesdiman. (GATRA)
Asmayani Kusrini
[Arsitektur, GATRA, Edisi 24 Beredar Jumat 23 April 2004]

95
masuk ke urlnya aja kalo mau tau lebih banyak
http://www.jakartatower.com/

Office address:

 

Komplek Kota Baru Bandar Kemayoran Blok C-8

Jakarta Pusat 10620

 

Phone: (62)-(21)-6586-8558

     Fax:  (62)-(21)-6586-6777

     E-mail:  info [at] jakartatower.com

96
Diskusi Umum / Re: pelita untukpelimpahan jasa
« on: 10 August 2008, 08:20:58 PM »
jaman dulu khan gak ada listrik, jadi pelita sangat berharga. jaman sekarang kalo 1juta lilin dinyalain jangan2 akusala kamma,karna lilin khan keluarin co2, pencemaran lingkungan dong, malah nambah global warming aja
.kalo gitu gimana kalo kita  coba bikin even yang modern gitu? misalnya penyalaan 1 juta lampu neon ..    :)) :)) :))

97
oh.. gw tau kenapa jadi kontroversi, sebab mantra yang dibuku itu keliatannye berasal dari tantra... jadi kelihatane petinggi-petinggi disono pada kurang suka. 

98
Menara Jakarta
Menara Jakarta adalah sebuah menara baru yang akan dibangun di ibu kota Jakarta, Indonesia, di area Bandar Baru Kemayoran. Menara ini setinggi 558 meter dan direncanakan akan selesai pada tahun 2009 atau 2010. Pada saat selesainya, gedung ini akan masuk kepada jajaran gedung-gedung tertinggi di dunia.

Dimensi menara


Menara JakartaMenara Jakarta akan dibangun di area seluas 306.810 meter persegi. Gedungnya sendiri akan seluas 40.550 meter persegi dengan tinggi 558 meter.

Seperti desain awalnya pada tahun 1997, dalam pembangunan yang baru ini, menara tetap memiliki tiga kaki yang akan menjulang hingga ketinggian 500 meter. Masing-masing kaki berbentuk silinder, berdiameter 13,2 meter. Dua di antaranya berisi masing-masing tiga lift dengan kecepatan 7 meter per detik. Kaki ketiga berisi delapan lift khusus untuk pengunjung.

Selain itu, pada bagian bawahnya, menara itu diikat lagi dengan cincin beton berdiameter 40 meter dengan tinggi 15 meter. Untuk lebih menstabilkannya, menara tertancap dengan fondasi berdiameter 80 meter sampai kedalaman 58 meter di bawah tanah.

Menurut pengembang, Menara Jakarta akan menyerap 20.000 lebih tenaga kerja selama pembangunan, dan lebih dari 40.000 tenaga kerja setelah gedung difungsikan.


Fasilitas
Menara Jakarta rencananya akan dilengkapi dengan fasilitas:

tempat parkir seluas 144.000 meter persegi
gedung podium setinggi 17 lantai.
lift yang mencapai puncak menara
restoran berputar
mal besar
kafe
taman hiburan
museum sejarah Indonesia
hotel
ruang serba guna/konferensi yang bisa menampung sepuluh ribu pengunjung
ruang-ruang perkantoran seluas 8.000 meter persegi
pusat pameran
pusat pendidikan dan pelatihan
pusat multimedia disertai pemancar siaran radio dan televisi
pusat perdagangan dan bisnis
pusat olah raga
Diperkirakan, sebanyak 4-6 juta pengunjung setiap tahunnya akan mengunjungi Menara Jakarta.


Fakta Lainnya
Jika menara itu selesai dikerjakan tahun 2009 atau 2010, dengan ketinggian 558 meter, ia akan menjadi bangunan menara (namun bukan gedung) tertinggi di dunia, mengalahkan ketinggian:

Canadian National Tower (553 meter), Toronto, Kanada
Menara Ostankino (540 meter), Moskwa, Rusia
Oriental Pearl Tower (468 meter), Shanghai, China, dan
Menara Kembar Petronas (452 meter), Kuala Lumpur, Malaysia
Sebagai pembanding, tinggi Tugu Monas Jakarta hanya 137 meter. Dengan demikian, Menara Jakarta akan memiliki tinggi sekitar 4 kali tinggi Tugu Monas.



Setelah melewati seluruh masa pembangunannya, Menara Jakarta akan menjadi gedung tertinggi di belahan bumi bagian selatan. Rekor ini saat ini dipegang oleh gedung residensial Q1 dengan ketinggian 344 meter yang terletak di Surfers Paradise, Gold Coast, Australia.


Biaya

Biaya pembangunan megaproyek ini diperkirakan mencapai sekitar Rp 1,4 triliun pada awalnya dan membengkak menjadi hampir Rp 2,7 triliun setelah kenaikan harga baja dunia.

Menurut direktur PT Prasada Japa Pamudja, Ferry Sangeroki, pihak-pihak yang terlibat dalam proyek ini adalah "lebih dari seratus perusahaan dan individu". Ia mengatakan bahwa proyek tersebut dibiayai melalui tiga jalur: partisipasi modal (Rp 400 miliar), pinjaman sindikasi (Rp 600-800 miliar), dan penjualan pra-proyek (sekitar Rp 1,3 triliun).

Gereja Bethany
Pada periode pembangunan sekarang (2005-2010), salah satu kontroversi yang cukup mengemuka mengenai Menara Jakarta adalah bahwa Menara ini akan menjadi Christian Center yang didukung oleh Gereja Bethany Indonesia. Pasalnya, Presiden Komisaris pengembang proyek ini, PT Prasada Japa Pamudja adalah Abraham Alex Tanuseputra yang menjabat sebagai Ketua Umum Sinode Gereja Bethany Indonesia. Selain itu, kelompok Bethany ini seringkali menyebut proyek ini sebagai Menara Doa Jakarta atau Jakarta Revival Center.


peresmian oleh Sutiyoso


calon "Menara Doa Jakarta"













99
Dimana letak kesamaan Ahmadiah dgn Maitrea ? Begitu juga perbedaannya!

Dapatkah Ahmadiah menjalankan semua kegiatannya tanpa menggunakan kata "ISLAM/Mohammad"
baik secara lisan maupun tulisan disemua media percetakan/audio/video ?

sebenarnya sebagai orang diluar islam, tak ada seorangpun yang benar-benar tau aliran manakah yang asli. pertanyaan aliran ahmadiah itu asli atau sesat itu sama saja dengan pertanyaan : aliran karisten protestan itu aliran asli atau sesat, aliran karisten orthodok itu asli atau sesat, aliran karisten koptik itu asli atau sesat?  kalau ada yang belajar sejarah agama, maka akan menemukan fakta bahwa aliran karesten ka****k pernah berusaha membasmi ketiga aliran  tersebut, karena 3 aliran itu dianggap sebagai aliran sesat....



100
Tibetan / Re: A Key Points of Mahamudra Instruction
« on: 07 August 2008, 12:56:09 PM »
saya tidak negative thinking, namun saya tertarik dengan adanya ajaran yang disembunyikan dari publik,  Kalau ajaran membawa manfaat bagi banyak orang kenapa harus disembunyikan?  Pernakah anda mengkritisi, menelaah, ber-ehipashiko terhadap "sila samaya"? atau bisa jadi dengan adanya sila samaya ini, ditambahkan sila-sila politik yang tidak akan membiarkan nalar sejati anda bekerja dengan baik..

Hal ini mirip seperti kasusnya dorje shugden. Tradisi Dorje Shugden dipraktekkan selama beratus-ratus tahun dan menjadi bagian dari sila samaya (= ajaran disembunyikan, hanya murid-murid yang telah menerima "sesuatu" boleh mempelajari) , koq tiba-tiba saja dilarang oleh Dalai Lama... hubungannya dengan Dalai Lama? Beliau mendobrak apa yang menjadi Tradisi Samaya  Dorje Shugden.  Dalai Lama pada masa mudanya juga seorang murid dari praktisi Dorje Shugden.  Saya salut dengan keberanian Dalai Lama yang berpikir kritis, menelaah dan meneliti suatu tradisi.  Dan secara kebetulan, muridnya yang lain Geshe Kelsang gyatso,  memegang samaya dengan kuat, tidak berani mengkritisi dan menelaah, meneruskan tradisi Dorje Shugden. 






101
Film / Re: Kutukan Menyerbu Bintang 'Dark Knight'?
« on: 07 August 2008, 12:26:23 AM »
eh.. salah tempat nih.. mod... tolong pindahin

102
Tibetan / Re: A Key Points of Mahamudra Instruction
« on: 06 August 2008, 11:12:23 PM »
begitu eksklusifnya sampai-sampai takut untuk diceritakan. Dengan latar belakang  menakut-nakuti murid dengan menggunakan sila samaya, apa bedanya dengan takut akan kutukan LaoMu?  kembalilah ke nalar sejati anda bung.

103
setau saya malaysia itu merupakan pewaris kerajaan melayu, dimana masih memiliki garis keturunan langsung dengan sriwijaya. untuk itu harus di teliti apakah di jaman sriwijaya sudah ditemukan keris atau tidak, harus dimulai dari sana..

104
Diskusi Umum / Re: Pernyataan Bodoh
« on: 02 August 2008, 12:25:18 AM »
http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cclergy/documents/rc_con_cclergy_doc_01011993_zen_en.html

Celibacy: the view of a Zen monk

from Japan

 

Soko Morinaga

Buddist monk. Rector of Hanazono University

 

Examples of the marriage of monks in Japan can be found as early as the Heian period (794-1185). Moreover, beginning from the time of Shinran (1173-1262) and Ippen (1239-1289), who were known as hijiri, or wandering mendicants, there are many examples of the marriage of monks during the Kamakura (1185-1333), Muromachi (1336-1570), and Edo periods (1600-1867). So from the point of view of ordinary Japanese people, the marriage of monks was not regarded as something out of the ordinary.

 

An edict, number 133, issued by the new Meiji government in 1872 ordered that monks should be free to «eat meat, take wives, and shave their heads» as they chose. From that time, the secularization of monks proceeded rapidly. In Taisho in 1920 the Jodo (Pure Land) School of Buddhism issued a set of Regulations for Temple Families. From this time, the treatment of temple families became an important issue. In this way, the marriage of monks, instead of being viewed as a question of doctrine or the precepts of monastic life, came to be taken up as a problem of personal attraction of temple management, or as a matter affecting the lives of temple families. The problem, then, became less a strictly religious one, and more a matter of how to deal with the inheritance of temple headships and the social status, rights, and property of temple families.

 

The issue of monastic celibacy differs for each sect of Japanese Buddhism and for each individual monk. We cannot say that the social issues I have outlined above reflect the definitive state of contemporary Japanese Buddhism but it is true that where these various problems do exist, they arise from the marriage of monks. Moreover, in thinking about this question, we should not overlook the fact that nuns are usually neglected and that an exclusively male-centred point of view is argued.

 

In this brief essay, however, I would like to discuss the issue of monastic celibacy not from this social angle, but from the personal point of view of my own religious experiences as a Zen monk, and on the basis of ‘faith’, in terms of Zen teaching and the monastic precepts.

 

What is essential for the Buddhist is the self-awakening of and to the ‘three treasures’: the Buddha, the Dharma, and the Sangha community. Rather than being an object of faith in the context of a lord-servant relationship such as that of a creator and the ones that are saved, Buddha designates that which lets exist everything that is. In Zen, this is also called ‘One Mind’ or ‘Buddha-nature’. Dharma signifies the matrix of impermanence and cause-effect in which Buddha as a phenomenon ceaselessly undergoes creation, change, birth and death. Finally, sangha denotes the subtle order and harmony among the phenomena. Thus, with the self-awakening of and to reality as it truly is — which is expressed by the term ‘three treasures’ — it becomes clear that all existence is originally without any subjective ‘I’ and without any object an ‘I’ could possess. However, in terms of public life, sangha also designates a group of Buddhists whose members attempt to transmit by their own self-awakening the very Buddha-nature which the Buddha awakened to.

 

A person who wants to become a monk or nun must go through a specific process. In the initial ordination ceremony, the precepts are accepted. As a condition for this acceptance of the precepts, one must first express one’s resolve to leave one’s home which forms a root of attachment. Furthermore, one must be more than 20 years of age, and it is absolutely required that one’s parents approve one’s leaving home. Thus a monk or nun is, as a member of the sangha, a person who has left his or her home’ and is either celibate from the outset or becomes celibate upon entering monastic life. This is also a practical expression of one’s faith in the three treasures (no ‘I’, and no object).

 

While the establishment of religious faith is, needless to say, a very personal and internal event, the social status of ‘monk’ or ‘nun’ presupposes a monastic community called sangha. Both from the point of view of the establishment of one’s own faith and from that of a harmonious effort in the sangha community to help each other towards self-awakening, the monks’ and nuns’ lack of possessions is an essential condition.

 

Although the inner effort to deepen the ‘faith’ in one’s heart and the altruistic effort to help others to attain religious peace of mind are in essence just two sides of one coin, one must recognize that historically, in the monastic community (sang/ia), the former endeavour did not necessarily form a unity with the altruistic effort that aims at saving members of the secular society.

 

In Southeast Asian Buddhism, the monastic community is still central; in contrast, the various forms of Mahayana Buddhism in China and Japan tend towards secularism. In the trend of historical secularization of modern civilisation throughout the world, one may in Japan sometimes have trouble speaking to communities of home-leavers. Nevertheless, and in spite of the limited number of such vocations, I can say as one member of the Japanese Buddhist sangha that in this day and age there are in fact still Zen monks and nuns who consciously choose to remain celibate for life.

 

With regard to the corpus of scriptures on monastic precepts, one finds that the history of the institutionalization of monastic precepts can also be called a history of the breaking of these rules. The repeated addition of more detailed rules was necessary precisely because the precepts were broken, and it served to prevent just that. Paradoxically, the attempt to kill off desires and attachments inside the monastic community by way of precepts, produced more evil ways of breaking these precepts; and while sight was lost of the gist of the teaching, superficial hypocrisy and self-righteous interpretations became rampant.

 

The Buddhist monk Saichô (767-822) dared to abrogate the multitude of traditional small precepts in favour of the sole precept to «awaken to the fundamental one-mind of Mahayana». He established a ceremony for the taking of this precept and built a Mahayana ordination platform for the purpose on Mount Hiei near Kyoto. Since then, various branches of Japanese Buddhism have adhered to this. But Zen, following in the steps of its Chinese tradition, upheld an original structure of mutual complementarity of the monastic and secular communities and thus did not completely give way to lay Buddhism. Although this was a contradictory compromise of a kind that is again different from that of Southeast Asian Buddhism, one can say that the realization of this kind of contradiction bears potential for the future. However, it also proved to be a cause for confusion in monastic Japanese Buddhism.

 

At any rate, the specific character of Japanese Buddhism, formed through the abolition of the small precepts in favour of the Precept of Mahayana One-Mind and the view that both personal and altruistic practice appear naturally, is an active response to the problems of secular society. Wanting to contribute to world peace and wellbeing, Japanese Buddhism shows an increasingly strong tendency to this worldly benefit. At the same time, it acquires more and more the character of a lay community rather than that of a monastic one. In particular, the a-religious tendency of modern civilization — and along with it the loss of family ethics, the contempt for life, and the anthropocentric resources and world-wide destruction of the environment — has led to an extreme situation which ultimately can not be dealt with in terms of superficial this-worldly profit thinking. It is true that the home-leavers, too, tend to strive more for secular fortune than for the faith arising from the self-awakening of the three treasures. They view the monastic community that ought to be their basis lightly and disregard its rules, and they are drawn into the secular world with a household and private property before having finished their own spiritual quest.

 

If I may relate here my personal experience: After leaving home and being ordained, I spent a period of 20 years (from age 20 to age 40) in personal practice to establish that faith which is called satori. Since then I have been involved in practices to benefit others in the secular world, and celibacy has always seemed most natural to me. I do not feel at all constrained by the precepts and have not felt any grave hindrance due to desire. Ever since I became a monk, the faith in connection with the self-awakening of the three treasures and the abstinence from personal possessions has seemed natural to me. I think that my way of being a Zen monk would have long ago come to a dead end if I had had to uphold by force a voluntary precept or a related threat of punishment for these two conditions for being a religious person: faith on the inside, and a life without material possessions on the outside.

 

When the Japanese Buddhist Saint Hônen (1133-1212) was asked whether a Buddhist religious person should be celibate or not, he said: «If it is easier for him or her to express faith by reciting the Buddha’s name alone, he or she should be celibate. If it is easier to do that with a spouse, it is better to marry. What is important is only how one expresses one’s faith in reciting the Buddha’s name.»

 

The establishment of religious faith cannot but be personal, and in this sense I fully agree with H6nen. However, as a Zen monk who has entered a monastic community in order to accomplish both personal religious practice and help for others, I feel that it was easier to do this without a family and the ensuing necessity to have personal property; so for me the choice of celibacy and poverty was a natural and joyful one. I certainly am not the only person who feels joy about celibate life; already in the old Theravada Buddhist tradition of Southeast Asia one finds many poems that sing of the joy of celibacy. Although there may be desires such as sexual desires, this joy protects celibate life.

 

It is rather difficult to speak of both the views held in the

history of Buddhism and my personal experience in just a few pages, but in conclusion I would like to emphasize that the life of a true religious person does not ban desire by inner will power or by outer pressure. Rather, it is due to a natural manifestation of Buddha-mind that life without possessions becomes a joy accompanying both activities for one’s own benefit and activity for the benefit of others.

 

Since the majority of the monks and nuns that constitute the sangha have not yet realized this, inner effort of will and vows and outer rules become necessary. Wherever there is coercion to conform to such rules, be it from the inside or the outside, there is bound to be hypocrisy and transgression. From a historical point of view, too, it is clear how meaningless it is to try to eradicate this contradiction by systematic reform. There is only one way to completely transcend this contradiction, and that is by the joy of the monk’s and nun’s own self-awakened faith. If they ignore this joy of faith and attempt to preserve a sangha that relies on some system, the sangha will surely at some point perish. But even if that kind of sangha perishes, the three treasures will not perish. Just as the green leaves of spring sprout after the autumn leaves have been burnt, the Buddha dharma will with certainty appear anew in a different form.

105
Diskusi Umum / Re: Pernyataan Bodoh
« on: 02 August 2008, 12:16:39 AM »
nichiren memang tidak menikah. perihal tentang pernikahan Bhiksu di jepang itu dikarenakan oleh kaisar jepang yang memperbolehkan wanita masuk sebagai pekerja di vihara. lambat-laun pekerja wanita tadi memiliki affair dengan para bhiksu. menurut saya di jepang, tidak hanya aliran nichiren yang bhiksunya boleh menikah. membicarakan budhisme di jepang memang sangat erat kaitannya dengan politik.

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8 9 10 11 12 13 14 ... 29