Yang mempercayai Pali Pitaka boleh berbeda dengan Mahayana Pitaka, karena bisa di-dapat-kan garis pemisah yang jelas...
Dalam pembahasan Buddhisme awal, "garis pemisah" bukan hanya berdasarkan doktrin semata, tapi juga dilihat dari segi sejarah. Jadi dalam hal ini, mau Theravada, Mahayana, atau apapun, dipandang sama dan disandingkan.
Sedangkan ini yang diperdebatkan adalah penggalan-penggalan atau bagian yang sudah di-masukkan ke dalam keranjang yang dinamakan ajaran Buddha oleh Konsili ke-4... yang mana tidak ada dokumentasi yang lebih tua yang dapat didapatkan kecuali kisah-kisah konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 yang juga didapatkan dari konsili ke-4...
Sama sekali keliru. Pembahasan kita di sini bukan sebatas literatur Buddhis Theravada, tapi literatur Buddhis semua sekte (awal), bahkan bukti-bukti sejarah serta budaya. Sangat banyak sekali sumber-sumber lain tentang Buddhisme selain konsili 4 Sri Lanka.
Dan jangan lupa Sarvastivada juga mengadakan konsili 4 di Kasmir, jadi sekali lagi sumber sejarah bukan hanya satu.
Jadi kalau Kita tidak bisa menerima keseluruhan hasil dari konsili ke-4.... dengan KAPASITAS apakah kita bisa mengatakan sutta yang ini ajaran Buddha, ini bukan ajaran Buddha (ini tambahan yang tidak saya akui)...
Jadi GAMPANG-nya adalah... anda menerima keseluruhan kitab-kitab yang dihasilkan konsili ke-4 atau tidak ?
Ini memang pilihan, jika sudah putuskan menerima bulat-bulat konsili IV, berarti memang tidak ada gunanya mempelajari sejarah lagi, tidak ada manfaatnya. Sama seperti sudah patok harga mati buku PSPB dulu pasti benar, tidak ada gunanya menyelidiki sejarah PKI, misalnya.
Jika TIDAK, dengan kapasitas apakah, anda mengatakan bagian yang ini ajaran buddha, bagian yang itu bukan ajaran buddha (yang ditambah-belakangan) ?
Di sini kita tidak main otoritas subjektif, misalnya konsili x diasumsikan kumpulan arahant, maka keputusannya pasti benar. Di sini penentuannya berdasarkan bukti-bukti yang diselidiki dan diuji, bukan hasil pendapat seseorang yang dianggap "berkapasitas". Sama juga menyelidiki apa yang terjadi tahun 65 bukan berarti merasa diri "berkapasitas" menyaingi Suharto.
contoh : Abhidhamma Pitaka, juga di-sah-kan dan dimasukkan ke dalam Tipitaka sebagai ajaran Buddha... Tetapi memang ada beberapa pihak yang mengatakan Abhidhamma Pitaka Bukan ajaran Buddha, tetapi pemikiran para filsuf buddhis....
Mungkin kalau kejadiannya terlalu jauh, banyak yang masih bingung, jadi saya coba beri contoh yang tidak terlalu jauh.
Nettipakarana dianggap sebagai ajaran warisan Mahakaccana dan dalam catatannya dikatakan diulang juga pada konsili 1. Oleh otoritas Myanmar dulu ditetapkan sebagai Kanon Pali, bagian dari Khuddaka Nikaya. Sekarang ini para pelajar kebanyakan sudah tidak mengakui demikian. Walaupun ajarannya tetap sama, tapi cara penulisannya ketahuan muncul belakangan karena dalam isinya ada rujukan ke kitab lain seperti "Samyuttaka" atau "Ekutaraka".
Dengan kapasitas apa para pelajar modern "menganulir" keputusan kanonisasi tersebut? Bukan pakai kapasitas apa-apa, cukup pakai logika: pembagian susunan sutta ke dalam 4 Nikaya itu dilakukan belakangan, jadi tulisan yang merujuk pada pembagian 4 itu jelas muncul lebih belakangan lagi.
NB: Nettipakarana & Petakopadesa dianggap Kanon oleh otoritas Theravada Thai dan Myanmar, oleh Theravada lain masuk post-kanon.
Lah.... Semua kitab yang kita ketahui bukan-kah berasal dari konsili ke-4.... Jika Hasil konsili ke-4 mengatakan bahwa Abhidhamma Pitaka itu adalah bagian dari pengajaran Buddha, dengan apakah kita mengatakan bukan ?
Jika anggapan kita abhidhamma pitaka adalah bukan ajaran Buddha dengan membandingkan tidak ada di kisahkan di 4 nikaya + vinaya... maka 4 nikaya dan vinaya itu juga jangan diterima... karena berasal dari hasil orang yang sama (baca : konsili ke-4).
Jadi antara "tolak semua' atau "terima semua" secara membuta yah?
Sayangnya dalam penelitian harus mempertahankan sikap objektif, jadi perlu pemahaman dan penyelidikan kasus per kasus, bukan modal iman demikian.