SUKU KALAMA... KALAMA-KAH KITA?
Harap maklumnya jika ini wacana bernuansa OOT, yah...
Jika kita ilustrasikan saja isi Kalama Sutta sebagai skenario, dan kita terlibat didalamnya, berperan langsung dah istilahnya.
Suku Kalama terdiri dari insan yang cerdas, kritis, dan open-minded; cenderung mencari jawaban akan fenomena kehidupan spiritual. Tidak enggan² mencari kebenaran melalui banyak guru agama kala itu. Semua menyatakan diri dan ajarannya masing² sebagai yang paling tepat dan paling benar. Suku Kalama terima, karena itu hak masing² pimpinan agama; itu sikap yang baik. Namun secara prinsip, selama masih kurang pas (cocok), maka pencarian itu tidak akan berhenti. Bathin yang haus akan kebenaran fenomena kehidupan.
Lantas mereka ditawarkan dengan suatu pemahaman yang beda dengan yang lain ketika menanyakan akan kebenaran hakiki kepada Buddha Gotama. Nah, sering kali dalam berbagai kesempatan, saya mendengar dan membaca; kayanya tidak sedikit rekan Buddhis menyerap maknanya hakiki dari Sutta tersebut secara kurang optimal (saya tidak bilang salah). Misalnya: "Jangan mudah percaya isi kitab sucimu... ~ atau ~ Jangan percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab suci..."
Padahal isi suatu tulisan (bukan hanya Sutta), perlu dipahami secara keseluruhan dan juga tepat. Jangan percaya, semata-mata hanya karena, sesuatu itu tertulis dalam kitab suci... namun apabila ajaran itu..."
Ada 2 penekanan yang penting:
1) Semata-mata hanya karena... (kritik)
2) Namun apabila... (saran)
Ilustrasi utk poin pertama adalah: ketika seorang cewe menanyakan cowonya akan alasan mengapa si cowo mencintainya? Jawabnya: "Yah, karena sudah tertulis dalam primbon!" Cewe: "Yah, tapi alasannya pribadimu apa?" Cowo: "Yah, karena itu sudah ditulis dalam primbon!" Cewe: "Dasar tulisan primbon itu apa? Mengapa dikau harus pilih daku?" Cowo: "Yah karena itu dalam primbon sudah tertulis demikiannn!!!"
Singkat istilahnya: jangan percaya membabi buta, tanpa landasan pengertian benar; yah itu, semata-mata hanya karena ini atau itu, yang tidak ada pondasi pengertian benar.
Lantas baromenternya apa dong? Mengarahkan kepada pengembangan bathin guna mengikis lobha, dosa, & moha ~ atau tidak? Mengapa harus demikian? Karena itulah akar penderitaan; jadi sinkron kan? Sebabnya penderitaan LDM, supaya tidak menderita: lakukan tindakan yang melenyapkan LDM...
Nah, lantas ada yang mungkin berpikir: lho Kalama Sutta itu kan juga merupakan isi dari kitab suci Tipitaka. Kita tidak boleh yakin begitu saja dong? Kata² yang tepat adalah: "jangan yakin, semata² hanya karena Kalama Sutta adalah isi dari Tipitaka" Jadi ilustrasinya adalah, ketika ditanya mengapa yakin dgn prinsip Kalama Sutta; maka tipikal ini akan menjawab: "Yah of course lah, masa of course dong? Kan itu merupakan bagian dari Tipitaka!" Artinya, ditanya gimanapun, tidak ada penjelasan selain keukeuh dgn jawaban: "Karena itu bagian dari Tipitaka" ~ inilah yang disebut dgn SEMATA² HANYA KARENA (gak ada yang lain, gak ada lebih, ituuu sajaaa).
Mengapa Kalama Sutta?
Tidak semua orang cocok dengan Kalama Sutta; namun sebagian bilang bahwa itu sangat scientific. Karena menurut pendekatan ilmiah; justru analisa, sintesa, dan pembuktian merupakan barometer paling jitu dari suatu proses pengungkapan fakta. Kita tahu itu dalam Buddhis: Ehipassiko. Apakah kita seperti Suku Kalama atau tidak? Yang tidak mudah menerima begitu saja penyataan guru agama lain dgn pernyataan bahwa mereka dan ajarannya paling benar ~ justru tertantang dengan penrnyataan Buddha Gotama?
Tidak ada kewajiban utk menyetujui Kalama Sutta; ini tergantung sikap, karakter, & preferensi bathin masing². Namun setidak²nya, di dalam memulai apapun, kita membutuhkan Minimum Requirement (tool/kit). Kita lahir, mau berkomunikasi, meskipun lahir di negara yang kurang kita sukai (akhirnya), tetap kita kudu belajar bahasanya, supaya bisa berkomunikasi. Kita mau berdagang, kita butuh Minimum Requirement akan matematika dasar utk berhitung.
Nah, jika memahami Kalama Sutta versi antik; yang "jangan mudah percaya begitu saja" ~ semuanya harus dibuktikan sendiri, ditolak dulu sebelum diyakini. Model ini, arahnya: tidak masuk sekolah TK/SD, tapi mencari sendiri ilmu bahasa atau matematika. Yah, karena kedua ilmu itu belum tentu otentik dari pengajar awalnya. Ada distorsi atau tidak, dll...
Artinya, kita perlu setidaknya lajakan awal utk bisa menjadi pijakan utk berkelanjutannya sesuatu. Mungkin dari rekan² di sini ada yang pernah pindah agama, kan? Coba flash-back kembali, mengapa itu bisa terjadi? Ada yang prosesnya panjang, ada yang cukup instant. Kalo yang instant, pasti ada suatu turning-point "unik" yang membuat bathin saat itu memutuskan sesuatu. Mungkin 'sesuatu' itu juga tidak berlaku utk pihak lain, karena kita masing-masing memang berbeda semua...
Nah, jika Kalama Sutta yang oleh sebagian orang cukup kental value scientificnya, masih tidak bisa dijadikan Minimum Requirement (MR) utk mempelajari suatu ajaran. Entah karena itu dianggap sebagai kreasi cendikiawan supaya Buddhisme nampak lebih scientific. Tidak apa² juga, artinya silahkan gunakan MR lainnya yang lebih cocok saja.
Karena saya cocok dengan MR: Kalama Sutta, maka saya akan bahas yang sejauh saya alami saja. Saya pernah berdiskusi juga tentang keotentikan suatu kitab; apakah itu sahih merupakan sabda langsung dari pendiri agama yg bersangkutan? Jawaban analisisnya begini:
~ Jika itu benar bukan sabda langsung pendiri agamanya, lantas?
~ Jika itu benar merupakan sabda langsung pendiri agamanya, lantas?
Apakah berarti jika itu tidak otentik (bukan sabda langsung), lantas, tidak akan diyakini, tidak akan dipraktikkan?
Apakah berarti jika itu otentik (sabda langsung), lantas, baru diyakini, dan dipraktikkan?
Mengapa pertanyaan analisis ini diutarakan utk pertanyaan sejenis? Ini sebagai barometer: sejauh mana pertanyaan sejenis ini bermanfaat bagi pengembangan bathin utk merealisasi kebahagiaan luhur? Sama halnya ketika kita diskusi dgn umat Nasrani, yang kita sampaikan bahwa tidak relevan: apakah tahu akan manusia pertama di bumi dgn masuk surga. Bukan pertanyaannya salah lho... tapi apakah bermanfaat optimum utk pengembangan bathin?
Ekstrimnya, bagaimana jika terbukti (entah gimana caranya), bahwa ada kitab yang tidak otentik (bukan sabda langsung); namun isinya ada kebenaran yang bisa dibuktikan?
Atau sebaliknya, suatu kitab terbukti (entah gimana caranya), otentik merupakan sabda langsung dari guru pendirinya; namun isinya ada yang tidak sesuai norma umum (misalnya Frech Kiss dengan kerbau, misal lho)?
Jika kita lihat pattern-nya, bukankah jika memang demikian, bahwa suatu otentisitas kitab dijadikan suatu yang "sakral" (pinjam istilah dari rekan kita) sebagai barometer kebenaran suatu ajaran. Maka ini kontra-produktif dengan spirit Kalama Sutta, benar? Perlu perenungan yah. Artinya, SEMATA-MATA KARENA KITAB ITU OTENTIK, maka akan saya yakini/percayai? Alasannya mengapa? Yah, karena otentik. Sebaliknya: mengapa tidak percaya? Karena tidak otentik? Tapi kan isinya baik, idealnya percaya dong? Gak, karena gak otentik... Ini menjadi prinsip dari semata-mata hanya karena...
Wah... Gunasaro ini keblinger, masa mendiskusikan ke-otentik-an suatu ajaran tidak boleh? Gak ada ungkapan "tidak boleh", namun cuma soft-reminder saja, karena jika berlarut²; tanpa diwaspadai, diskusi sudah terseret ke arah dominatif dan seakan² (terkesan), jika ini tidak terbutki otentik, gak bisa dah (harga mati) ~ seakan² lho... ibaratnya lho... Itu kesan yang muncul, oleh sebab itu, saya bilang ~ memang kurang bermanfaat bagi kemajuan bathin. Ini juga, kalau berkenan menggunakan Kalama Sutta sebagai Minimum Requirement akan saddha kita lho. Jika tidak berkenan, mo gunakan versi lain, silahkan juga...
KALAMA SUTTA, OTENTIK KAH?
Nah, apakah Kalama Sutta yang digunakan Gunasaro sebagai MR ini adalah otentik merupakan sabda Sang Buddha? Jangan² ini mah modivikasi intelektual para cendikiawan Buddhis saja? Bicara soal pembuktian keabsahan, saya nyerah TKO, langsung di tempat dah... Sama halnya bahwa yang berasumsi itu tidak otentik juga tidak bisa membuktikan bahwa itu tidak otentik juga, kan? Kecuali, kedua pihak bisa sama² kembali ke masa itu (kala Suku Kalama berdialog dgn Buddha).
Ini mirip diskusi Buddhis & Nasrani:
N: Jika bukan Tuhan yang ciptakan alam semesta yg begitu dahsyat, siapa lagi?
B: Gak tahu.
N: Yah itu, artinya sudah jelas Tuhan.
B: Bisa U buktikan dgn langsung/nyata?
N: (muter sana-sini, sampai kesimpulan) Gak bisa.
B: Berarti bukan Tuhan yang ciptakan.
N: U Bisa buktikan?
B: (straight forward) Gak bisa.
N: Nah kan, berarti Tuhan yang ciptakan.
B: Bisa buktikan?
Kapan selesainya??? Mengapa gak perlu, karena mengaji sesuatu yang ada di luar kemampuan dan kepentingan kita toh? Contoh lagi... Konon Bhikkhu Myanmar mimpi ke surga & akhirnya jadi Nasrani. Gimana komentar para Buddhis? Tahu dong? Gimana pula komentar para Nasrani? Tahu dong? Semua berkomentar atas kepentingan masing² lah. Kita sebagai Buddhis bisa gampang bilang: "Itu rekayasa, kerjaan orang dalam, salah nafsir mimpi, dll..."
Kemudian Dewa & Mercy dari Nasrani menjadi Buddhis, kita bilang: "Sungguh open minded, parami lampaunya luar biasa, buku yang ditulis dahsyat..." Gimana komentar umat Nasrani lainnya? Singkat, padat, dan jelas: "Sesat!"
Kembali lagi kepada pembuktian, lantas, apa dong barometernya? Sesuai isi Kalama Sutta itu sendiri, "namun apabila ajaran tersebut, bla³..." Dhammanusati: menuntun ke dalam bathin, bisa diselami oleh bathin masing², sangat dekat, tidak ada jedah waktu, menantang utk dibuktikan... Nah, apakah isi Kalama Sutta itu sendiri berkesesuaian (sinergi) dengan sikap (karakter) bathin yang bersangkutan? Mengena? Terasa dalam kalbu sebagai barometer utk belajar kebenaran seperti yang dialami Suku Kalama? Jika iya, berarti cocok dong? Jika tidak, berarti tidak cocok, gak apa². Mungkin belum dituntun ke dalam bathin, belum diselami, masih jauh, atau tidak berusaha jujur utk diadu dgn bathin sendiri? Bisa banyak alasannya.
KALAMA SUTTA, makan, KALAMA SUTTA sendiri... Tidak, tidak kontra-produktif, justru menguatkan jika ditelaah secara komprehensif. Bahkan isu otentik pun bukan kendala sama sekali. Mengapa, karena itu ilmiah & cocok dengan banyak orang. Entah itu namanya Kalama Sutta, Kilimi Sutti, Kulima Sittu, Sutti Kulami, atau Om Albert Eitene yang bilang. Kebenaran yang cocok dengan sifat bathin kita, pasti akan cocok; gak masalah itu kata siapa atau otentik atau tidak? WHAT instead of WHO...
YAKIN (SADDHA) & PERCAYA (IMAN)...
Buddhisme menekankan pada keyakinan; yakni yang tumbuh dari proses pengertian benar, praktik benar, "tumbuh-kembang" keyakinan (saddha). Non-Buddhis menekankan pada iman: berbahagialah engkau yang percaya meskipun tidak melihat. Masing² bangga sekali dengan keyakinan dan iman yang dipegang; boleh² saja kan, semua butuh proses. Saya juga dulunya versi iman koq, simple & asyik ~ akhirnya pilih yang kompleks dan sulit juga.
Jadi penekanan adalah pada pembuktian dan pengalaman, bukan pembuktian keotentikan (atau mungkin ada Sutta-nya? yg saya tidak tahu?). Yah jelas, karena pembuktian otentisitas sudah gak bisa dilakukan, beda ruang dan waktu, kan? Jangankan beda 2550 tahun. Berapa banyak orang yang saat Buddha Gotama, tidak yakin dengan Beliau? Memfitnah Beliau. Bahkan Bhikkhu Devadatta yang jago kemampuan abinna pun mo bunuh Beliau ~ konon, menurut yang ngerti meditasi, utk memiliki abhinna, kudu mencapai Jhana dulu (yah?), pra-syarat Jhana: 5 halangan/rintangan bathin idle/mengendap. Ternyata itu saja tidak menjamin yah?
Zaman doeloe saja banyak yang tidak percaya, sudah dengar langsung lho (dengan berpikir, ini orang bicara ngaco, pembohong, dll) ~ lha gimana dengan orang yg sekarang? 2550 tahun setelah itu, bayangkan saja alasan yang bisa dibuat utk menolak.
Contoh: ada Sayalaz Ganosuri mengaku bisa meditasi melihat kehidupan lampau, pernah lahir jadi babi di kampungnya Suku Kala-Lama-Banget dan mendengar Buddha berdiskusi dgn Suku Kala-Lama-Banget. Kan itu Sayalaz Ganosuri punya pengakuan, gak bisa buktikan apa² koq, bisa saja dia ngaco dan cari popularitas! 1001 alasan bisa dicari atau diciptakan.
Apakah yakin dengan/bahwa: bayi Siddhattha menginjak 7 langkah & keluar lotus, relevan dengan perealisasian Nibbana? Sang Buddha dengan keajaiban ganda, percaya atau tidak bisa mengikis LDM? Yang pasti, ketika bersikukuh bahwa itu salah ~ atau sebaliknya ~ bersikukuh itu benar, maka LDM dipastikan menebal. Lho, gimana bisa begitu? Kitab mana yang bilang begitu? Ini kontra produktif lagi dgn Kalama Sutta ~ benar tidaknya diukur dari Kitab ~ sudah ketemu Sutta/Kitab, kemudian ditanya lagi, apa otentik? Bukankah itu bisa saja kreasi atau tafsir?
Tidak perlu Sutta/Kitab/Abhidhamma ~ buktikan dan selami dalam bathin masing² saja. Bagaimana reaksi bathin kita ketika ada postingan yang mendukung pernyataan kita? Bagaimana reaksi bathin saat poin Reputasi di forum menurun drastis? Gak butuh pergi ke India, studi bahasa, cek DNA, dll... Dhamma bisa diselami dalam bathin masing², yah tentunya yang ada relevansinya dgn pengembangan bathin ~ bukan pengembangan intellectual knowledge semata.
Apakah Kalama Sutta begitu "sakral" ~ atau tidak bisa dibuktikan secara aktual? Coba kita refleksikan dalam kehidupan sehari². Berapa banyak ajaran ortu, guru sekolah, atau sahabat sejati kita ~ yang mengingatkan kita utk tidak percaya sesuatu dgn membabi-buta. Mo nikah dgn jodoh saja, mereka akan carikan calon yang memiliki bibit, bebet, & bobot yang bagus. Mo beli emas, diajarin cara pilih emas asli yg tepat. Mau berdagang diajarkan supaya tidak ditipu. Saya pribadi beberapa saat lalu ditipu, karena begitu gampang percaya dengan orang lain; tidak ada yang ajarin, tapi bisa belajar sendiri dari pengalaman tsb?
Jadi, banyak tuh "Kalama Sutta²" yang kita petik dikit demi sedikit dari dulu hingga sekarang. Akumulasi itulah yang lantas membentuk kita bisa menerima dgn mantap, ketika kita baca Kalama Sutta dari Tipitaka. Kita begitu mantap menerima itu sebagai pegangan MR utk belajar kebenaran. Coba kita telaah, apakah karena Kalama Sutta-nya sendiri/semata, atau akumulasi sikap bathin kita selama ini, yang meyakini isi Sutta tersebut? Mana yang menjadi tumpuannya? Bathin kita, atau isi Sutta-nya? Jika semata-mata karena isi Sutta-nya, tentu semua orang akan bereaksi yang sama, kan?
Apakah cerita Devadatta yang ingin membunuh Buddha dan memecah-belah Sangha, sebagai suatu skenario cerita utk nakut²in umat atau ide apalah, gitu? Apakah cerita itu "sakral" dan tidak bisa dibuktikan dalam aktualitas keseharian kita? Coba kita lihat dalam masyarakat kita, entah itu di grass root atau bahkan elite politikus. Partai pecah, sekte pecah, anak bunuh ortu, suami khianati istri, istri selingkuh kemudian bunuh suami utk ambil harta. Wakil ketua partai bongkas aib ketua, kemudian naik menjadi ketua, dll...
Gak perlu ceritanya yang persis, namun essensiilnya sudah sama ~ akarnya dari LDM, gak ada yang terlalu "sakral", aneh bin ajaib...
Lantas, gimana dengan versi kitab sekte ini dan versi kitab sekte itu? Salah benarnya gimana? Jika beda, pasti salah dong? Sudah pasti gak ada yang benar? Sederhanakan saja: kedua²nya salah, lantas? Jika merujuk kepada Kalama Sutta sebagai MR; maka, jalan paling patut & pantas adalah: VERIFIKASI, pembuktian ~ bukan dengan pengambilan asumsi.
Jika kesimpulan diambil berdasarkan asumsi (ingat debat Nasrani~Buddhis di atas tentang Tuhan), bukankah itu kontra-produktif dgn semangat Buddhisme itu sendiri? Verifikasi (pembuktian) sinergi dengan Ehipassiko. Apakah isi kitab itu bisa diaktualisasikan? Terbukti ada dalam bathin masing²? LDM ada dalam perpaduan nama & rupa ini, usaha pengikisannya ada dalam perpaduan nama & rupa ini, padamnya pun ada pada perpaduan nama & rupa ini... Apabila ada ajaran yang membicarakan tentang pemadaman LDM, artinya, selayaknya bisa dialami langsung, dibuktikan langsung oleh bathin masing² kan? Bukan justru dilacak otentisitasnya, yang itu justru menjauh dan tidak relevan semangat Buddhisme itu sendiri...
Namun, bagaimanapun juga ~ semua kembali kepada preferensi dan karakter bathin masing² lah... tidak bisa dipaksakan. Butuh kejelian, kejujuran, & sportiv dari bathin masing² untuk menelaah. Ada kecenderungan muncul pro & kontra dari setiap pernyataan. Ketika itu muncul, bagaimana reaksi bathin sendiri, masing² lah yang tahu persis kualitasnya. Kadang kala pihak lain pun bisa menilai dengan sangat jelas sekali. Semakin ditutupi, dibungkus, dan dipermak ~ justru akan nampak semakin tegas. Ibarat wanita/bencong yang ingin nampak feminim, justru make-up-nya norak; selain nampak tidak cantik, ketahuan norak atau bencong-nya (bukan mo niat mendiskreditkan orang bencong yah)...
Jika ada ungkapan dari tulisan ini yang kurang berkenan; yah, mari belajar bersama-sama utk diterima sebagaimana apa adanya. Bukan artinya harus diterima; namun utk tidak direspon dengan dasar bathin antipati. Karena itu merugikan bathin yang bersangkutan. Silahkan ditaggapin, tapi dengan tenang & nyaman...
Kan jauh lebih baik daripada, tetap ditanggapi tapi dengan bathin kurang nyaman ~ rugi atuh...
Semoga berkenan...
[attachment deleted by admin]