//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas  (Read 41130 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #120 on: 08 July 2008, 10:54:31 PM »
duh ribetnya, kenapa tidak bilang "meditasi tanpa metoda" ataupun "meditasi metoda A" saja?

Saya kira setiap meditasi metode apapun memiliki metodenya masing-masing, tidak ada meditasi tanpa metode. Setiap metode dibangun sesuai dengan kondisi situasi, latarbelakang, jaman, dlsb saat metode tsb dicetuskan. Misalnya, saya hidup tiap hari makan, tidur di rumah, jalan-jalan dan fitness ke mall. Maka metode yang saya gunakan saya sesuaikan dengan kondisi mall tempat saya jalan-jalan dan fitness. Ketika kondisi kehidupan sehari-hari berbeda, maka metode yang akan dibuat berbeda. Salahsatu murid saya yang tinggal jauh dari mall mengubah metode saya untuk disesuaikan karena saat itu ia tinggal di lingkungan desa yang banyak sawahnya, jadi disesuaikan dengan kondisi setempat. 

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #121 on: 08 July 2008, 11:39:37 PM »
Quote
Masalahnya ketika menggunakan kata “meditasi” maka ada suatu paksaan tidak tertulis bahwa terikat pada salahsatu metode meditasi yang ada diantara banyak metode meditasi yang ada. Kalau di forum ini maka terikat ke kata “meditasi” yang terikat dengan metode meditasi umat Buddhist.

Siapa saja bisa mengatakan memiliki pengalaman dalam bermeditasi, permasalahannya; meditasi metode/tekhnik/aliran-nya siapa yang dimaksut dalam penggunakan kata “meditasi” tersebut.
jadi kalau ngomong meditasi, kalau eksplisit, tidak ada masalah komunikasi kan?
There is no place like 127.0.0.1

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #122 on: 09 July 2008, 09:05:31 AM »
vincentliong,

Quote
Bilamana dalam Buddhisme tidak ada "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" maka tentunya harus ada sikap skeptisme/tanpa prasangka baik maupun buruk dalam Buddhisme sendiri untuk mempertanyakan apa yang ada di dalam Buddhisme itu sendiri.

Ya, memang dari Tipitaka Pali yang saya baca, memang sudah seharusnya orang bersikap skeptik dan menyelidiki kebenaran. Mungkin anda sudah sering dengar tentang kutipan Kalama Sutta:

"... Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, 'Petapa itu adalah guru kami.' Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, 'Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat, hal-hal ini dapat dicela; hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kerugian dan penderitaan', maka kalian harus meninggalkannya..."

Di sini memang sudah jelas bahwa seseorang memang harus meragukan ajaran Buddha dan menyelidiki kebenarannya, bukan asal percaya. Setidaknya itu yang ada dalam kitabnya, tapi saya tidak tahu bagaimana penerapannya oleh orang2 Buddhis sendiri, atau memang bisa juga saya yang salah tafsir. 



Quote
Diakui atau tidak yang namanya manusia itu tetap memiliki "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" , hal ini sudah ada pada mekanisme mental manusia itu sendiri. Kalau tidak maka tidak ada pembelaan terhadap sesuatu yang masing-masing dari kita "yakini" benar (yakin: mempercayai sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak memerlukan bukti).

Anda bicara secara general atau khusus? Kalau anda bilang secara general, memang betul. Tapi jika maksudnya adalah semua orang -tanpa terkecuali- harus memiliki mental demikian, maka sudah tentu wawasan anda tentang variasi manusia sangatlah kurang. Anda boleh research di komunitas ilmuwan di negara yang tidak memaksakan orang untuk memeluk agama, apakah mereka memerlukan suatu 'pegangan' yang tidak bisa dibuktikan. Bagus untuk menambah wawasan tentang variasi manusia.


Quote
Mengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.

Meminjam ilmu anda, sombong atau tidak, tentunya hanya judgment anda sendiri. Untuk pribadi sangat bergantung pada dogma, memang sangat mungkin mengatakan itu sombong. Sama seperti anak SD yang sangat bergantung pada kalkulator untuk menghitung perkalian, mungkin akan memberi judgment "sombong" pada anak SMU yang tidak bergantung pada kalkulator. Boleh diterapkan dalam dekon selanjutnya untuk anda pelajari, tapi ter-dekon-nya jangan melulu "anak SD", nanti hasilnya kurang bervariasi.

Dalam Buddhisme, ajaran yang belum dapat ditelusuri atau dibuktikan kebenarannya, tidak perlu dijadikan prinsip kebenaran. Juga, inti ajaran Buddha bahwa hidup ini adalah dukkha, dapat ditelusuri dan dibuktikan oleh setiap orang. Hal-hal lain seperti keberadaan 31 alam, kesaktian2 ataupun teori karma, tidak semua orang bisa membuktikannya. Bagi yang tidak bisa membuktikannya, tidak perlu mempercayainya.


Quote
Pada akhirnya perjalanan setiap umat Buddhis bisa bersifat "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti", bisa pula "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah tergantung diri masing-masing.

Ya, makanya kembali pada masing2 pribadi, bagaimana mereka menafsirkan kitabnya, dan bagaimana seseorang menjalankan ajarannya.


Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #123 on: 10 July 2008, 09:03:19 AM »
Quote
Quote
Mengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.
Meminjam ilmu anda, sombong atau tidak, tentunya hanya judgment anda sendiri. Untuk pribadi sangat bergantung pada dogma, memang sangat mungkin mengatakan itu sombong. Sama seperti anak SD yang sangat bergantung pada kalkulator untuk menghitung perkalian, mungkin akan memberi judgment "sombong" pada anak SMU yang tidak bergantung pada kalkulator. Boleh diterapkan dalam dekon selanjutnya untuk anda pelajari, tapi ter-dekon-nya jangan melulu "anak SD", nanti hasilnya kurang bervariasi.

Dalam Buddhisme, ajaran yang belum dapat ditelusuri atau dibuktikan kebenarannya, tidak perlu dijadikan prinsip kebenaran. Juga, inti ajaran Buddha bahwa hidup ini adalah dukkha, dapat ditelusuri dan dibuktikan oleh setiap orang. Hal-hal lain seperti keberadaan 31 alam, kesaktian2 ataupun teori karma, tidak semua orang bisa membuktikannya. Bagi yang tidak bisa membuktikannya, tidak perlu mempercayainya.


dalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) .  Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).
 

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #124 on: 10 July 2008, 11:14:44 AM »
SandalJepit,

Quote
dalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) .  Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).

Ya, betul. Seperti teori kamma, kita tidak bisa membuktikan kebenarannya, tetapi dicoba praktekkan saja apa yang bisa didapat dari berbuat baik dan berbuat jahat, nanti tahu sendiri manfaatnya.
Untuk inti ajarannya, yaitu tentang dukkha, itu sudah pasti bisa dibuktikan oleh setiap orang.
Dan pembuktian teori2 lain tentang 31 alam, kamma, tumimbal lahir, tidak berpengaruh pada praktek seseorang dalam proses penghentian dukkha (e.g. orang melakukan meditasi melihat ke 'dalam', tidak perlu pembuktian teori kamma/31 alam/dsb). Konsep dan teori dari ajaran itu adalah untuk mengarahkan pikiran agar berpikir secara benar (e.g. melihat orang terlahir cantik atau buruk adalah buah dari kamma lampau, bukan ujicoba mahluk adikuasa yang berhasil atau gagal, sehingga tidak perlu ada rasa tidak puas atau iri hati).
Jadi sifat skeptik itu memang dianjurkan, tetapi ditujukan pada hal2 yang membawa manfaat, bukan pada hal yang hanya membawa pada spekulasi.

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #125 on: 11 July 2008, 02:26:32 AM »
Sdr. SandalJepit dan Kainyn_Kutho, sepertinya lebih tepat menggunakan kata "Kritis" dibanding skeptis. Jadi nga berat sebelah antara sikap tidak percaya dan sikap mau membuktikan kebenarannya.

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #126 on: 11 July 2008, 06:58:55 AM »
SandalJepit,

Quote
dalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) .  Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).

Ya, betul. Seperti teori kamma, kita tidak bisa membuktikan kebenarannya, tetapi dicoba praktekkan saja apa yang bisa didapat dari berbuat baik dan berbuat jahat, nanti tahu sendiri manfaatnya.
Untuk inti ajarannya, yaitu tentang dukkha, itu sudah pasti bisa dibuktikan oleh setiap orang.
Dan pembuktian teori2 lain tentang 31 alam, kamma, tumimbal lahir, tidak berpengaruh pada praktek seseorang dalam proses penghentian dukkha (e.g. orang melakukan meditasi melihat ke 'dalam', tidak perlu pembuktian teori kamma/31 alam/dsb). Konsep dan teori dari ajaran itu adalah untuk mengarahkan pikiran agar berpikir secara benar (e.g. melihat orang terlahir cantik atau buruk adalah buah dari kamma lampau, bukan ujicoba mahluk adikuasa yang berhasil atau gagal, sehingga tidak perlu ada rasa tidak puas atau iri hati).
Jadi sifat skeptik itu memang dianjurkan, tetapi ditujukan pada hal2 yang membawa manfaat, bukan pada hal yang hanya membawa pada spekulasi.


Saya pernah membuat pernyataan awal saya ketika mulai berdiskusi di forum ini ;

Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.
Ketika hari ini datang seseorang mengaku sebagai Nabi Asli, merasa lebih pintar, lebih mengerti, lebih tinggi di hadapan Pencipta dan berusaha mengarahkan orang lain, meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain;
Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain.

Permasalahannya ketika sesuatu sudah diteorikan, maka hilanglah kelengkapan informasi yang ingin diwakilkan dengan dibuatnya teori tersebut.

Kalau pakai bahasa samawi-nya; Sebagai ciptaan kita tidak akan mampu memahami kebijaksanaan pencipta.

Kalau pakai bahasa kompatiologi; Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa rasa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (feel/data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Tiap orang yang minum dan memberikan pendapatnya tentang rasa minuman (Judgement) hanya mendapatkan satu sudutpandang diantara sekian banyak sudutpandang, yang bila dikumpulkan, akan tetap sulit memberikan kebenaran yang mendekati 100% perihal rasa minuman tersebut (Generalisasi). Sebaliknya, bilamana ditentukan satu sudutpandang yang dianggap benar; maka masing-masing orang yang berusaha mengerti kebenaran tentang rasa minuman tersebut akan menemukan imajinasi, perkiraan tentang minuman tersebut yang berbeda-beda, yang tidak sama dengan minuman tersebut.
(Dikutip dari e-book; Kompatiologi logika komunikasi empati / I. Sejarah kompatiologi / Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata)   

Inilah alasannya mengapa saya berusaha menghindari menggunakan ajaran. Tujuan “beyond the conditioned thinking" dan “conditioned thinking” adalah dua hal yang bertolakbelakang, bicara sebagai suatu ilmu, suatu gerakan, suatu aliran tentunya harus memilih.

Toh memilih “conditioned thinking” pun tetap akan “merasa” mengerti “beyond the conditioned thinking" dari luarnya saja. Toh memilih “beyond the conditioned thinking" pun tetap akan mendapatkan “conditioned thinking”. Jadi tidak ada yang salah atau benar, tetapi pilihan mau lewat jalan yang mana harus jelas atau tidak kesampaian kedua-duanya. Seperti pernah saya bahas tentang proses yang dimulai dari “beyond the conditioned thinking" sebagai berikut… (eksistensialisme = eksis = diri sendiri)

Proses yang dialami penganut eksistensialisme diawali dengan mengalami pengalaman (informasi/data secara utuh, alami, apa adanya) dan belum diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti. Seperti misalnya kalau kita meminum segelas minuman dan belum berpendapat atas minuman tsb. Tentunya pengalaman yang dialami akan bisa di-Judgement atau tidak. ‘Pendapat atas suatu pengalaman’ (Judgement) bisa berubah dari waktu-ke waktu. Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan ‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement. Sebuah sample pengalaman bisa dibandingkan dengan variasi pengalaman sejenis yang berbeda-beda range(jangkauan) dan pembandingnya. Banyak variasi Judgement yang muncul yang membuat pertumbuhan jangkauan kerangka logika Generalisasi yang dipahami oleh orang tersebut. Kecepatan pertumbuhan pemahaman ini berbeda-beda tergantung apakah orang tsb berpikir apa adanya dari pengalaman data mentah diri sendiri, atau sudah terpengaruh oleh berbagai Judgement dan Generalisasi dari orang lain.

Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele. Fenomena menarik yang sering tampak pada mantan peserta dekon-kompatiologi yang tidak pernah membaca buku-buku filsafat dan psikologi; tiba-tiba saja bisa ‘ber-nubuat’(menceritakan ide-idenya yang original) dalam bidang filsafat atau psikologi, yang kalau diurutkan maka akan tampak mirip urutannya dengan urutan daftar isi sejarah filsafat barat atau buku sejarah teori-teori psikologi, dari paling awal hingga paling akhir. Satu-satunya kekurangannya, mereka yang bernubuat ini samasekali tidak tahu nama tokoh-tokoh filsafat dan psikologi yang berhubungan dengan ide-ide yang mereka ceritakan, kadang-kadang mereka bersikap sok tahu seolah-olah ide itu temuan mereka sendiri.

Bilamana kondisi “meditasi” sudah dapat dicapai, maka teori dan ajaran yang didengar atau dibaca dari pribadi lain tidak diperlukan lagi keberadaannya, karena toh akan terpikirkan dengan sendirinya (otomatis) dengan bahasa dan pendefinisian yang lebih dimengerti oleh pribadi itu sendiri.

Ini pilihan jalan yang saya ambil, belum tentu dipilih semua orang.
« Last Edit: 11 July 2008, 07:04:32 AM by vincentliong »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #127 on: 11 July 2008, 09:50:50 AM »
vincentliong,

Quote
Sdr. SandalJepit dan Kainyn_Kutho, sepertinya lebih tepat menggunakan kata "Kritis" dibanding skeptis. Jadi nga berat sebelah antara sikap tidak percaya dan sikap mau membuktikan kebenarannya.

Skeptis juga merujuk pada sikap meragukan dengan alasan logis dan bersifat sistematis. Jadi bagi saya, kedua kata itu bisa digunakan.


Quote
Permasalahannya ketika sesuatu sudah diteorikan, maka hilanglah kelengkapan informasi yang ingin diwakilkan dengan dibuatnya teori tersebut.

Kalau pakai bahasa samawi-nya; Sebagai ciptaan kita tidak akan mampu memahami kebijaksanaan pencipta.

Saya tertarik dengan gaya bicara sebagian orang Samawi yang sering mengatakan bahwa "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", terutama jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaannya, dan suka menuduh orang lain "playing God".
Misalnya masalah cloning manusia, sebagian mengatakan itu berusaha "menjadi Tuhan". Dikatakan "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", tapi kok ada ciptaan yang memahami bahwa pencipta itu membatasi pikiran ciptaan agar tidak bisa cloning? Tahu dari mana bahwa cloning itu sendiri adalah "batasan" dari Pencipta, sedangkan dikatakan "ciptaan tidak ada yang mampu memahami pencipta"?



Quote
...Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele...

Saya justru berpendapat sebaliknya. Seharusnya memang manusia belajar melalui pengalaman sehari-hari, dari yang sepele sampai yang signifikan. Belakangan, baru muncul fenomena di mana orang belajar harus dari satu institusi tertentu yang sudah digeneralisasi (seperti sekolah). 

Quote
Bilamana kondisi “meditasi” sudah dapat dicapai, maka teori dan ajaran yang didengar atau dibaca dari pribadi lain tidak diperlukan lagi keberadaannya, karena toh akan terpikirkan dengan sendirinya (otomatis) dengan bahasa dan pendefinisian yang lebih dimengerti oleh pribadi itu sendiri.
Ya, saya juga berpendapat begitu. Masalahnya adalah, kadang2 orang mengalami "delusi" tapi beranggapan sudah mencapai kondisi "meditasi". Untuk menghindari hal2 seperti itu, maka dilakukan diskusi ataupun sharing, bukan untuk menilai/menghakimi apakah itu "delusi" atau "meditasi" (,karena memang tidak mungkin dilakukan kecuali memiliki kesaktian membaca pikiran), tapi untuk menambah wawasan untuk kemudian direnungkan masing2.


Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas
« Reply #128 on: 11 July 2008, 10:08:54 AM »
Kainyn_Kutho wrote:

Saya tertarik dengan gaya bicara sebagian orang Samawi yang sering mengatakan bahwa "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", terutama jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaannya, dan suka menuduh orang lain "playing God".
Misalnya masalah cloning manusia, sebagian mengatakan itu berusaha "menjadi Tuhan". Dikatakan "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", tapi kok ada ciptaan yang memahami bahwa pencipta itu membatasi pikiran ciptaan agar tidak bisa cloning? Tahu dari mana bahwa cloning itu sendiri adalah "batasan" dari Pencipta, sedangkan dikatakan "ciptaan tidak ada yang mampu memahami pencipta"?

Vincent Liong answer:

“Kalau pakai bahasa samawi-nya” dimaksutkan bahwa kalimat itu biasanya saya gunakan untuk menyindir orang samawi yang “playing as God”. Tentang cloning batasan tersebut adalah asumsi manusia tentang pemikiran pencipta, saya setuju.

 

anything