SandalJepit,
dalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) . Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).
Ya, betul. Seperti teori kamma, kita tidak bisa membuktikan kebenarannya, tetapi dicoba praktekkan saja apa yang bisa didapat dari berbuat baik dan berbuat jahat, nanti tahu sendiri manfaatnya.
Untuk inti ajarannya, yaitu tentang dukkha, itu sudah pasti bisa dibuktikan oleh setiap orang.
Dan pembuktian teori2 lain tentang 31 alam, kamma, tumimbal lahir, tidak berpengaruh pada praktek seseorang dalam proses penghentian dukkha (e.g. orang melakukan meditasi melihat ke 'dalam', tidak perlu pembuktian teori kamma/31 alam/dsb). Konsep dan teori dari ajaran itu adalah untuk mengarahkan pikiran agar berpikir secara benar (e.g. melihat orang terlahir cantik atau buruk adalah buah dari kamma lampau, bukan ujicoba mahluk adikuasa yang berhasil atau gagal, sehingga tidak perlu ada rasa tidak puas atau iri hati).
Jadi sifat skeptik itu memang dianjurkan, tetapi ditujukan pada hal2 yang membawa manfaat, bukan pada hal yang hanya membawa pada spekulasi.
Saya pernah membuat pernyataan awal saya ketika mulai berdiskusi di forum ini ;
Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.
Ketika hari ini datang seseorang mengaku sebagai Nabi Asli, merasa lebih pintar, lebih mengerti, lebih tinggi di hadapan Pencipta dan berusaha mengarahkan orang lain, meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain;
Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain.
Permasalahannya ketika sesuatu sudah diteorikan, maka hilanglah kelengkapan informasi yang ingin diwakilkan dengan dibuatnya teori tersebut.
Kalau pakai bahasa samawi-nya; Sebagai ciptaan kita tidak akan mampu memahami kebijaksanaan pencipta.
Kalau pakai bahasa kompatiologi; Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa rasa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (feel/data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Tiap orang yang minum dan memberikan pendapatnya tentang rasa minuman (Judgement) hanya mendapatkan satu sudutpandang diantara sekian banyak sudutpandang, yang bila dikumpulkan, akan tetap sulit memberikan kebenaran yang mendekati 100% perihal rasa minuman tersebut (Generalisasi). Sebaliknya, bilamana ditentukan satu sudutpandang yang dianggap benar; maka masing-masing orang yang berusaha mengerti kebenaran tentang rasa minuman tersebut akan menemukan imajinasi, perkiraan tentang minuman tersebut yang berbeda-beda, yang tidak sama dengan minuman tersebut.
(Dikutip dari e-book; Kompatiologi logika komunikasi empati / I. Sejarah kompatiologi / Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata)
Inilah alasannya mengapa saya berusaha menghindari menggunakan ajaran. Tujuan “beyond the conditioned thinking" dan “conditioned thinking” adalah dua hal yang bertolakbelakang, bicara sebagai suatu ilmu, suatu gerakan, suatu aliran tentunya harus memilih.
Toh memilih “conditioned thinking” pun tetap akan “merasa” mengerti “beyond the conditioned thinking" dari luarnya saja. Toh memilih “beyond the conditioned thinking" pun tetap akan mendapatkan “conditioned thinking”. Jadi tidak ada yang salah atau benar, tetapi pilihan mau lewat jalan yang mana harus jelas atau tidak kesampaian kedua-duanya. Seperti pernah saya bahas tentang proses yang dimulai dari “beyond the conditioned thinking" sebagai berikut… (eksistensialisme = eksis = diri sendiri)
Proses yang dialami penganut eksistensialisme diawali dengan mengalami pengalaman (informasi/data secara utuh, alami, apa adanya) dan belum diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti. Seperti misalnya kalau kita meminum segelas minuman dan belum berpendapat atas minuman tsb. Tentunya pengalaman yang dialami akan bisa di-Judgement atau tidak. ‘Pendapat atas suatu pengalaman’ (Judgement) bisa berubah dari waktu-ke waktu. Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan ‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement. Sebuah sample pengalaman bisa dibandingkan dengan variasi pengalaman sejenis yang berbeda-beda range(jangkauan) dan pembandingnya. Banyak variasi Judgement yang muncul yang membuat pertumbuhan jangkauan kerangka logika Generalisasi yang dipahami oleh orang tersebut. Kecepatan pertumbuhan pemahaman ini berbeda-beda tergantung apakah orang tsb berpikir apa adanya dari pengalaman data mentah diri sendiri, atau sudah terpengaruh oleh berbagai Judgement dan Generalisasi dari orang lain.
Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele. Fenomena menarik yang sering tampak pada mantan peserta dekon-kompatiologi yang tidak pernah membaca buku-buku filsafat dan psikologi; tiba-tiba saja bisa ‘ber-nubuat’(menceritakan ide-idenya yang original) dalam bidang filsafat atau psikologi, yang kalau diurutkan maka akan tampak mirip urutannya dengan urutan daftar isi sejarah filsafat barat atau buku sejarah teori-teori psikologi, dari paling awal hingga paling akhir. Satu-satunya kekurangannya, mereka yang bernubuat ini samasekali tidak tahu nama tokoh-tokoh filsafat dan psikologi yang berhubungan dengan ide-ide yang mereka ceritakan, kadang-kadang mereka bersikap sok tahu seolah-olah ide itu temuan mereka sendiri.
Bilamana kondisi “meditasi” sudah dapat dicapai, maka teori dan ajaran yang didengar atau dibaca dari pribadi lain tidak diperlukan lagi keberadaannya, karena toh akan terpikirkan dengan sendirinya (otomatis) dengan bahasa dan pendefinisian yang lebih dimengerti oleh pribadi itu sendiri.
Ini pilihan jalan yang saya ambil, belum tentu dipilih semua orang.