Kainyn_Kutho wrote:
vincentliong,
Quote from Vincent Liong:
Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan ‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement.
Quote from Vincent Liong:
Saya jadi bertanya; Apakah memang Pencipta sudah membuat ‘blue print’ yang standard dalam setiap manusia tentang ilmupengetahuan seperti misalnya psikologi dan filsafat.
Kainyn_Kutho wrote:
Jika "ya", maka 'blue print' itu jelas korup, karena kemampuan orang masing2 adalah berbeda, bahkan sejak lahir.
Jika "tidak", berarti memang semua "diciptakan" secara random (acak), bahkan sebuah proses pengolahan feel sendiri selalu berubah-rubah. Tidak perlu dipermasalahkan, kalau mau dipaksa menemukan 'blue print' dan 'proses feel yang bisa berubah', maka lebih mengacu pada sindrom kepribadian ganda (Multiple Personality Disorder) atau disonansi kognitif. (FYI, keduanya karena memang menekankan bahwa "ego/diri" itu ada)
Setau saya, status 'indigo' ini juga bisa berubah. Banyak anak2 'indigo' yang ketika beranjak dewasa, berubah menjadi 'tidak indigo'.
Menurut saya juga para 'indigo' ini bisa 'memalsukan' auranya sehingga tidak 'indigo' untuk menghindari pelabelan indigo itu. Jadi seharusnya tidak sebegitu hebohnya.
Vincent Liong wrote:
Saya tidak membahas hal di atas terbatas dalam konteks indigo tetapi dapat berlaku ke masyarakat awam juga. Blue print tidak bersifat kata-kata verbal, tetapi seperti alat ukur dengan posisi pada skala dan ada range tertentu. Seperti alat sampler tidak berisi kata-kata tetapi berisi perubahan-perubahan tiap satuan perjalanan waktu yang tidak dalam bentuk kata-kata.
Quote from Vincent Liong:
Jadi kalau manusia itu bisa mendapat kesempatan yang sama untuk memulai pemerosesan informasi/data-nya; ... Tentunya manusia itu akan mampu menceritakan perjalananan belajarnya yang seumur hidup dari awal hingga akhir yang hanya berbeda bahasa penceritaannya, contoh pengalaman dan sampai dimana dia seorang pencerita yang baik, isinya sama saja.
Kainyn_Kutho wrote:
Kesempatan bertemu dengan feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang lahir di negara berperang, dan yang lahir di negara makmur.
Kesempatan memdapat feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang buta tidak akan memperoleh feel visual.
Kesempatan memproses feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang yang 'fals' dan seorang yang peka nada.
Setelah mendapat feel, reaksi setiap orang berbeda (seperti sudah anda tulis), terlebih lagi feel itu berubah dari waktu ke waktu. Contohnya, masih kecil melihat mainan dengan feel tertentu, ketika dewasa, feel itu berbeda. Jadi kalo mo dibilang ada 'blue print', maka 'blue print' ini untuk 'skema' apa?
Lalu, apakah jadinya kita hidup hanya untuk mengumpulkan dan memproses feel sebanyak2-nya untuk kemudian diceritakan?
Vincent Liong wrote:
Yang sama adalah: alat ukur dengan posisi pada skala dan ada range tertentu. Seperti alat sampler tidak berisi kata-kata tetapi berisi perubahan-perubahan tiap satuan perjalanan waktu yang tidak dalam bentuk kata-kata.
Yang berbeda adalah: bahasa, konteks, jenis, variasi, kasus, dlsb.
Mengumpulkan dan memproses feel, dlsb itu dalam perjalanan kehidupan sehari-hari entah untuk sekedar iseng, dipakai saat kerja cari nafkah, dlsb. Cerita untuk diceritakan adalah bentuk laporan tentang praktikum di dunia nyata kepada pembimbing/guru.
Dalam proses pengajaran kompatiologi ada pantangan utama yaitu: tidak mengajarkan kebenaran/ketidakbenaran versi si guru. Fungsi guru hanya sampai pada mengawasi, kalau orangnya sampai ke jalan yg salah tetapi masih mampu menolong dirinya sendiri maka tidak boleh ditolong, kalau terlalu berbahaya baru boleh ditolong. dalam kebanyakan aliran fungsi guru memberikan ajaran yang dianggap benar, di kompatiologi kalau muridnya punya ketergantungan terhadap ajaran guru maka gurunya akan bersikap jadi orang sangat bodoh karena tujuan utama mengajarkan independensi. Dalam kompatiologi guru samasekali tidak memberikan ajaran kecuali menyiapkan track melalui dekon-kompatiologi (makan dan minum) bukan ceramah.
Seperti sudah saya katakan:
"Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain."