[Dari thread: "Persepsi Murni (Mulapariyaya), Citta Vithi (Abhidhamma)" (Buddhisme untuk Pemula)]
Bukan begitu pak... saya menyesuaikan dg lawan bicara sedang memakai bagian mana dalam Tipitaka...
Kalau saya telusuri lagi diskusi Anda dengan Markos:
(1) Markos menyatakan, 'pikiran tidak bisa berhenti', sesuai ajaran Abhidhamma;
(2) Anda berkata, bisa, yakni 'nirodha-samapatti', sesuai teori jhana;
(3) diskusi berkisar seputar jhana-8 dan 'nirodha-samapatti';
(4) Anda kemudian menulis: "sekedar info, soal resolusi sebelum nirodha-samapatti ini cocok pula dg pengakuan pengalaman pak Hud".
Pada poin #4 itulah kekeliruan terjadi, karena 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan sama sekali bukan teori 'nirodha-samapatti'. ... Alasannya sangat jelas:
- 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan adalah peristiwa yang sering dialami oleh pemeditasi vipassana/MMD - banyak pemeditasi MMD mengalaminya untuk beberapa detik, satu-dua orang mengalaminya untuk waktu yang lebih lama -
Ini terjadi tanpa melalui jhana, karena MMD tidak mengajarkan jhana;
- 'nirodha-samapatti' menurut teori jhana hanya tercapai sesudah melampaui jhana-8, yang menurut uraian di kitab-kitab tampaknya sangat sukar tercapai.
Kalau mau mencari penjelasan di kitab-kitab Pali tentang 'berhentinya pikiran' yang saya uraikan, mungkin Anda bisa bandingkan dengan
'khanika-samadhi' dalam teori vipassana sebagaimana diuraikan dalam Visuddhi-magga. ... Tapi saya tidak mau berteori ...
Di situ Sang Buddha berkata:
(1) "Di dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat ... dst" - Ini berarti 'pikiran berhenti'.
(2) "Kalau bisa berada di situ, ... kamu tidak ada ... itulah akhir dukkha" - ini nibbana.
ingin tanya yg no. (1) pak.
"Di dalam yg terlihat hanya ada yg terlihat... dst"
saya tidak tahu ini pikiran berhenti atau bukan, tapi pengalaman saya,
ketika merasakan penderitaan dan kemudian menyadari bahwa penderitaan itu berasal dari pikiran yg berusaha merubah kondisi utk mencapai kondisi yg diinginkan.
dan ketika saya tidak berusaha merubah kondisi lagi, penderitaan bathin pun berhenti.
kondisi di luar tetap saja begitu, tidak berubah.
yg berubah hanya saya yg menerima apa adanya.
Lebih dulu, perlu kita pahami
pikiran itu apa, sifat-sifat pikiran itu bagaimana:
* Menurut definisi disiplin psikologi dan menurut pengalaman batin saya sendiri,
berpikir/pikiran (thinking, thought) adalah
'respons batin terhadap rangsangan yang masuk dari luar (melalui pancaindra) atau dari dalam (sebagai ingatan).' - Jadi, harus ada rangsangan dulu, baru ada tanggapan batin berupa pikiran.
*
Pikiran selalu menggunakan simbol-simbol; dalam hal ini
kata-kata/bahasa. - Bayi atau binatang (yang tidak punya perbendaharaan kata) tidak berpikir. - Pada dasarnya, berpikir sama dengan 'bicara dengan diri sendiri'.
*
Pikiran menciptakan 'subyek' (aku/atta) yang sebetulnya adalah
delusi/ilusi. (Mulapariyaya-sutta). Maka pikiran menciptakan
DUALITAS antara 'subyek' dan 'obyek'. - Pikiran dan aku/atta muncul bersama-sama, dan lenyap bersama-sama.
*
Pikiran membawa emosi (kasar atau halus).
*
Pikiran & aku hanya bisa berada di masa lampau atau di masa depan; pikiran/aku
tidak mungkin berada pada saat kini - Dengan kata lain,
untuk berada pada saat kini, pikiran/aku harus berhenti.
* Pikiran (respons batin terhadap rangsangan)
bisa berhenti, dalam keadaan sadar/eling yang kuat.
*****
Nah, sekarang izinkan saya mengomentari pengalaman batin yang Anda uraikan di atas berdasarkan prinsip-prinsip yang saya ketahui tentang pikiran. Mohon dikoreksi kalau dalam komentar ini ada yang salah atau tidak sesuai dengan pengalaman batin Anda.
(1)
"Anda 'merasakan' penderitaan." ... Ini bisa
(1a) berupa suatu peristiwa yang Anda
lihat/alami sendiri pada saat kini; atau bisa pula
(1b) berupa
ingatan yang berasal dari apa yang Anda lihat atau pelajari di masa lampau dan sekarang muncul kembali dalam batin Anda. ...
Tetapi, mana pun yang terjadi,
'rangsangan' yang Anda terima itu Anda
tanggapi (respond), Anda
kenali (recognize) sebagai 'penderitaan' ...
(1c)
KATA 'penderitaan' sebagai 'response' atau 'recognition' itu menunjukkan sebuah
konsep ... itu adalah
pikiran yang bergerak menanggapi pengalaman batin Anda akan suatu rasa tidak nyaman yang kemudian Anda sebut "penderitaan". ...
(2)
"Anda 'menyadari' bahwa 'penderitaan' itu disebabkan oleh pikiran yang berusaha mencapai kondisi yang diinginkan" ... Tergantung dari mana datangnya konsep 'penderitaan' itu (apakah dari (1a) atau dari (1b)), maka yang terjadi adalah:
(2a) Anda
melihat langsung pikiran/aku & keinginan bergerak dan menyebabkan rasa tidak nyaman yang kemudian Anda sebut "penderitaan", atau
(2b) Anda
meneruskan proses berpikir dalam (1b), dan secara analitis menghubungkan konsep 'pikiran yang bergerak' dengan konsep 'penderitaan'.
(2c)
Apa yang Anda alami dalam (2a) adalah suatu pencerahan, sedangkan
kalau yang Anda alami (2b), itu hanyalah konseptualisasi.
(3)
"Anda 'menyadari' bahwa ketika tidak ada usaha/pikiran untuk mengubah keadaan, penderitaan pun berhenti" - Yang terjadi mungkin:
(3a) Anda
melihat langsung bahwa berhentinya pikiran/aku/usaha berkaitan dengan lenyapnya rasa tidak nyaman, yang kemudian Anda sebut "lenyapnya penderitaan", atau
(3b) Anda
meneruskan proses berpikir dalam (2b), dan secara analitis menghubungan konsep 'berhentinya pikiran' dengan 'lenyapnya penderitaan'.
(3c)
Apa yang Anda alami dalam (3a) adalah suatu pencerahan, sedangkan
kalau yang Anda alami (3b), itu hanyalah konseptualisasi.
CATATAN: Proses (1a) dan (1b), (2a) dan (2b), (3a) dan (3b) bisa terjadi
berselang-seling ... Maksudnya, Anda bisa
mengalami pencerahan (di luar pikiran/aku) ... kemudian Anda
pikirkan, renungkan, analisis menjadi konsep-konsep ... kemudian
mengalami pencerahan selanjutnya ... Anda
renungkan kembali ... dst. (Yang saya sebut 'merenungkan' bisa
terjadi secepat kilat.)
'Pencerahan' dapat dikenali (belakangan) sebagai suatu
pemahaman yang timbul tanpa melalui pikiran, tanpa konsep. ... Selama masih ada konsep, itu bukan 'pencerahan', melainkan 'perenungan', 'pemikiran'. ...
Terakhir, Anda
mengalami bahwa ada suatu perubahan dalam batin Anda ... yang Anda
renungkan sebagai
"batin menerima apa adanya, sementara yang di luar tidak terpengaruh". ...
Itu adalah suatu pencerahan, yang kemudian Anda renungkan kembali menjadi konsep, menjadi kalimat tersebut.
seperti inikah "Di dalam yg terlihat hanya ada yg terlihat... "?
Di sini yang ada hanyalah 'apa adanya' ... tidak ada
konsep 'penderitaan' ... tidak ada
konsep 'sebab penderitaan' ... tidak ada
konsep 'lenyapnya penderitaan' ... apalagi
konsep 'jalan menuju lenyapnya penderitaan' ... Singkatnya:
pikiran/si aku berhenti. ... Itulah yang di tempat lain saya sebut:
MENGALAMI/MENEMBUS Empat Kebenaran Mulia secara langsung, serempak, sebagai satu
kesatuan integral ...
melampaui konsep-konsep pikiran analitis. ... Di situ
tidak ada apa-apa ... hanya
keheningan total. ... Sang Buddha bilang:
"... Kalau kamu bisa berada dalam keadaan itu ... kamu tidak ada ... itulah, hanya itulah, akhir derita."tapi agak berapa lama kemudian, pikiran berusaha lagi mencari jalan yg lebih baik, menjadi arsitek hidup, dll... hasilnya penderitaan bathin muncul lagi.
Tentu saja ...
Maaf, kalau terlalu panjang.
Salam,
hudoyo