Wah, Riky, kamu membaca posting saya tentang Surangama Sutra ... sebetulnya posting itu menjawab seseorang yang melekat pada kata-kata dalam Surangama-sutra. ...
Surangama-sutra, seperti sutra-sutra Mahayana lainnya, memang
berasal dari pencerahan yang tercapai dalam meditasi ... tapi lalu
dikemas dan ditampilkan sebagai analisis intelektual ... sehingga sering kali sampai pada ungkapan-ungkapan atau kesimpulan-kesimpulan yang
bersifat paradoksal atau
kontradiktif ... seperti misalnya pernyataan Nagarjuna bahwa
"samsara = nirvana".Membaca sutra-sutra seperti itu harus berhati-hati, dan mampu membedakan mana-mana
pernyataan yang bersifat absolut (mutlak, paramattha) dan mana-mana
pernyataan yang bersifat relatif (sammuti). ...
Tetapi, karena Riky menanyakannya, ya saya harus menjelaskannya kepadamu:
Pak jika kita mengenali dan memberinya label bukan itu adalah munculnya "aku" sendiri dalam diri kita?Apa yg dimaksud oleh SB ttg "mengenalinya"?
Kamu betul ...
Tapi di bagian ini Sang Buddha bicara pada tingkat
pengetahuan relatif (sammuti-sacca), bukan
pengetahuan mutlak (paramattha-sacca] ... perhatikan, di situ masih ada istilah-istilah seperti: "mencapai", "berlatih", "Mara", "melatih samatha-vipasyana", "mengenali", "jatuh ke dalam kejahatan nama-rupa", dsb. ... Di sini Sang Buddha berbicara kepada orang-orang yang baru mulai berlatih ... jadi masih ada dualisme 'baik' vs 'buruk' ... 'pencapaian' vs 'kejatuhan' ... dsb. ... Bila seorang pemeditasi berada dalam kesadaran penuh ... semua pengertian itu runtuh, tidak ada lagi ...
Wah ini berat lo pak...Ketika sudah dikelabui maka biasanya sudah "tdk sadar" dan dikuasi oleh "aku"
GImana caranya kembali lagi pada sumbernya?
Caranya kembali kepada sumbernya? ... Caranya adalah:
disiram pakai air dingin ...
Maksudnya, tidak lagi
memikirkan tentang 'Kebenaran Sejati' vs 'Kegelapan Batin' ... melainkan kembali
mengamati apa yang ada pada saat kini. ...
Benar ya pak,jika pada dasarnya tdk ada kepalsuaan,bagaimana kita bisa berbicara ttg sebab musababnya?Tdk mungkin kita berbicara ttg "aku" jika pada dasarnya tdk ada "aku"(Jika salah mohon dikoreksi ya)
Betul, Riky ... jika
pikiran tidak bergerak menanggapi rangsangan dari keenam indra ...
tidak ada 'aku'/atta ... dan tidak ada
kamma &
vipaka (buahnya) ... tidak ada
lobha, dosa, moha ... dan tidak ada
metta, karuna, mudita, upekkha ... yang ada hanyalah
'melihat apa adanya' (yathabhutam nyanadassanam). Apakah ini yg dinamakan "kosong"?Karena tdk berawal juga tdk berakhir..Tdk tercipta juga tdk terhancur...Tdk timbul juga tidak lenyap?
Betul ... Tapi awas ... kata-kata itu
keluar dari pengalaman batin yang tercerahkan ... sedangkan
kita yang membacanya belum tercerahkan ... oleh karena itu harus hati-hati membacanya ... saya sendiri tidak terlalu suka menggunakan ungkapan-ungkapan seperti itu. ...
Saya bukan Bodhisattva Avalokitesvara yang mengucapkan kata-kata itu ...
Apakah ini yg dimaksud melihat segala sesuatu apa adanya?menghilangkan segala teori2 yang ada?
Bukan ... itu sekadar pengontrasan antara
'kebenaran mutlak' (paramattha-sacca) dan
'kebenaran relatif' (sammuti-sacca) ...
... Masih termasuk tataran
analisis intelektual terhadap pengalaman yang sebetulnya
mengatasi pikiran. ...
Luar biasa...Tdk perlu berpikir apakah ini "benar" apakah ini "salah" cukup sadari dan amati saja...
Luar biasa...
Semua ajaran harus ditinggalkan,apa lagi bukan-ajaran...
Betul ...
Kenapa jawabanya iya?Saya kurang paham...Seharusnya kan "tdk" karena jika memberikan dengan sesuatu dan tanpa sesuatu sesungguhnya ada "aku" disana...Kebahagian kan harusnya memberikan tanpa adanya apa2(Maksudnya tanpa ada sesuatu maupun tdk ada sesuatu)?Mohon bimbingannya pak...
Riky, cobalah baca jawaban Subhuti kepada Sang Buddha
selengkapnya ... Jawab Subhuti: "Ya, Bhante. Oleh karena
hakikat kebajikan dan kebahagiaan bukanlah kebajikan dan kebahagiaan, maka Sang Tathagata bisa bicara tentang
kebajikan dan kebahagiaan."
Subhuti tidak menyanggah pertanyaan Sang Buddha, karena Subhuti sudah menyadari adanya
dua level kebenaran dari mana orang bicara:
(1) bicara 'kebajikan & kebahagiaan' -- level
'Kebenaran relatif';
(2) bicara tentang tidak ada 'kebajikan & kebahagiaan' maupun lawannya -- level
'Kebenaran mutlak'.
Jadi Subhuti tidak menyanggah pertanyaan Sang Buddha itu, karena ia sudah menyadari adanya dua level kebenaran itu.
*****
OK, Riky ... saya sarankan ...
untuk sementara janganlah membaca sutra-sutra Mahayana seperti ini, yang bersifat
esoterik ... maupun sutta-sutta Pali, yang bersifat
dualistik ...
Alih-alih, kembalilah pada latihan meditasimu ... mengamati apa yang muncul pada badan & batin ini,
tanpa dicampuri oleh pikiran & keinginan ...
Nanti, kalau kesadaran vipassana-mu telah kuat ... kamu bisa membaca kembali sutra-sutra seperti ini, tanpa terperosok ke dalam
dualisme kebenaran itu sendiri ...
Salam,
hudoyo