iya makanya sebaiknya kita bisa melihat "APA ADANYA" bukan menafsirkan
Jangan berkata, "Sebaiknya begini, sebaiknya begitu," karena di situ Anda tidak melihat apa adanya batin Anda, melainkan hanya didorong oleh norma, cita-cita; Anda tidak melihat bahwa Anda sedang menafsirkan kata-kata orang tercerahkan, menjadikannya aturan, norma. Yang penting, sadari saja setiap saat Anda tengah berpikir menafsirkan; dan itu sering kali terjadi dalam satu hari ... kalau pikiran-pikiran ini disadari, ada kemungkinan akan diam dengan sendirinya.
Yang dibold biru di atas saya setuju.
Namun Anda biasanya menyatakan bahwa, "pikiran=AKU", "memadamkan AKU". Kelihatannya Anda setuju dengan Descartes (cogito ergo sum)
Secara tidak langsung AKU dinyatakan ada, yaitu berupa pikiran (yang bergerak).
Padahal yang sebenarnya adalah AKU itu tidak ada melainkan hanyalah pikiran (salah satu bagian dari nama (panca khanda))yang bergerak kesana-kemari, terbakar......
Aku hanyalah sebuah ilusi yang didorong oleh konvensi......., dimana konvensi berguna di dalam komunikasi.
Aku tidak ada, yang ada adalah salah pandangan bahwa Aku ada, yang dalam kasus ini adalah Aku = pikiran yang bergerak.
Hal ini mengandung bahaya, karena terkonsep dengan pikiran sebagai aku. Padahal hal tersebut hanyalah pikiran yang bergerak karena terpancing hal diluar.
Pikiran yang bergerak dan diam adalah pikiran yang sama.
Menyatakan pikiran yang bergerak sebagai AKU sama dengan menyatakan Pikiran yang diam sebagai AKU yg diam.
Yang ada hanyalah Pancakhanda.
Tidak ada Aku.