iya makanya sebaiknya kita bisa melihat "APA ADANYA" bukan menafsirkan
Jangan berkata, "Sebaiknya begini, sebaiknya begitu," karena di situ Anda tidak melihat apa adanya batin Anda, melainkan hanya didorong oleh norma, cita-cita; Anda tidak melihat bahwa Anda sedang menafsirkan kata-kata orang tercerahkan, menjadikannya aturan, norma. Yang penting, sadari saja setiap saat Anda tengah berpikir menafsirkan; dan itu sering kali terjadi dalam satu hari ... kalau pikiran-pikiran ini disadari, ada kemungkinan akan diam dengan sendirinya.
Jangan berkata, "ajaran asli, ajaran tidak asli," karena di situ Anda tidak melihat apa adanya batin Anda, melainkan hanya didorong oleh norma, cita-cita; Anda tidak melihat bahwa Anda sedang menafsirkan kata-kata orang tercerahkan, menjadikannya aturan, norma. Yang penting, sadari saja setiap saat Anda tengah berpikir menafsirkan; dan itu sering kali terjadi dalam satu hari ... kalau pikiran-pikiran ini disadari, ada kemungkinan akan diam dengan sendirinya.
Kita menderita hanya karena hal ini. Ketika mata melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, dukkha pun lahir. Ketika telinga mendengar sesuatu yang sangat kita sukai, dukkha juga lahir. Hanya ada penderitaan di sana.
Sang Buddha merangkumnya dengan berkata bahwa di sana hanya ada sekumpulan penderitaan. Penderitaan lahir dan penderitaan berhenti. Hanya itu saja. Kita berulangkali memegangnya - memegang kemunculan, memegang penghentian, tanpa pernah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahaminya.
Bila dukkha muncul, kita menyebutnya penderitaan. Bila ia lenyap, kita menamakannya kebahagiaan. Itu semua hanya cerita lama, muncul dan lenyap. Kita diajarkan untuk memperhatikan muncul dan lenyapnya tubuh dan pikiran. Tidak ada yang lain di luar semuanya ini. Untuk merangkumnya, tidak ada kebahagiaan di sana; yang ada hanyalah dukkha. Kita mengenali penderitaan sebagai penderitaan ketika ia muncul. Lalu ketika ia lenyap, kita menganggapnya sebagai kebahagiaan. Kita melihatnya dan membentuknya menjadi seperti itu, namun ia tidaklah seperti itu adanya. Ia hanyalah dukkha yang berhenti. Dukkha muncul dan lenyap, muncul dan lenyap, dan kita pun memegang dan menggenggamnya erat-erat.
Kebahagiaan muncul dan kita merasa senang. Ketidakbahagiaan muncul dan kita pun merasa sedih. Semuanya benar-benar sama adanya, hanya berupa siklus muncul dan lenyap. Bila ada kemunculan, maka ada sesuatu di sana, dan bila ada penghentian, ia pun lenyap. Di sinilah letak keraguan-raguan kita. Oleh sebab itu, diajarkan bahwa dukkha muncul dan lenyap, dan di luar daripada itu, tidak ada apa pun di sana. Bila anda mendatanginya, yang ada hanyalah penderitaan. Tetapi kita tidak melihatnya dengan jelas.
Kita tidak mengenalinya dengan jelas bahwa di sana hanya ada penderitaan, karena ketika ia berhenti, kita melihat ada kebahagiaan di sana. Kita terpaku padanya dan terjebak di sana. Kita tidak sungguh-sungguh melihat kenyataan bahwa segala sesuatunya hanyalah berupa siklus muncul dan lenyap saja.
Sang Buddha merangkumnya dengan berkata bahwa hanya ada muncul dan lenyap, dan tidak ada apa pun lagi di luar dari itu. Ini sungguh sulit untuk dipahami. Tetapi bagi orang yang benar-benar merasakan Dhamma, tidak perlu memegang dan berkutat pada apa pun. Itulah kebenaran yang sesungguhnya.
Kebenaran yang sesungguhnya adalah bahwa di dunia kita ini, tidak ada apa pun yang melakukan apa pun terhadap siapa pun. Tidak ada apa pun yang perlu dicemaskan. Tidak ada apa pun yang patut untuk ditangisi, untuk ditertawai. Tidak ada apa pun yang tragis atau menggembirakan. Namun pengalaman-pengalaman seperti ini merupakan hal yang biasa bagi kebanyakan orang.
Ucapan-ucapan kita mungkin biasa-biasa saja; kita berhubungan dengan pihak lain sesuai dengan kebiasaan kita di dalam memandang segala sesuatunya. Itu tidak apa-apa. Tetapi jika kita berpikir dengan cara yang biasa, maka itu akan menuntun kita pada kesedihan.
Sebenarnya, jika kita benar-benar mengetahui Dhamma dan memperhatikannya secara terus-menerus, tidak ada sesuatu pun yang menjadi apa pun; yang ada hanyalah muncul dan lenyap. Tidak ada kebahagiaan atau penderitaan yang sesungguhnya. Batin menjadi tenang, bila tidak ada kebahagiaan atau penderitaan di sana. Bila ada kebahagiaan dan penderitaan, maka di sana ada kelahiran dan keinginan untuk menjadi sesuatu.
Kita biasanya menciptakan satu jenis kamma, yakni berusaha untuk menghentikan penderitaan dan menghasilkan kebahagiaan. Itulah yang kita inginkan. Tetapi apa yang kita inginkan bukanlah kedamaian yang sesungguhnya; ia adalah kebahagiaan dan penderitaan. Tujuan dari ajaran Sang Buddha adalah untuk berlatih menciptakan suatu jenis kamma yang membawa kita melampaui kebahagiaan dan penderitaan dan itu akan memberikan kedamaian pada kita. Tetapi kita tidak mampu berpikir seperti itu. Kita hanya bisa berpikir bahwa kebahagiaanlah yang akan memberikan kedamaian bagi kita. Jika kita berbahagia, kita berpikir bahwa itu sudah cukup.
Demikianlah, kita umat manusia mengharapkan segala sesuatunya dengan jumlah yang berlimpah ruah. Jika kita mendapat banyak, kita anggap itu bagus. Pada umumnya begitulah cara berpikir kita. Dengan melakukan kebaikan diharapkan akan membawa hasil yang baik pula, dan jika kita mendapatkannya maka kita pun bahagia. Kita berpikir bahwa cuma itu saja yang perlu kita lakukan dan kita pun berhenti di sana. Tetapi di manakah kebaikan ini akan berakhir? Ia tidak akan menetap.
Kita terus-menerus maju dan mundur, mengalami hal-hal yang baik dan buruk, mencoba siang dan malam untuk mendapatkan apa yang kita anggap baik dan bagus.Sang Buddha mengajarkan bahwa pertama-tama kita seharusnya melepaskan yang jahat dan kemudian kita mempraktekkan apa yang baik. Kedua, beliau berkata bahwa kita seharusnya melepaskan yang jahat dan melepaskan yang baik juga, jangan melekat padanya karena itu juga merupakan salah satu bahan bakarnya. Bila di sana ada sesuatu yang menjadi bahan bakarnya, pada akhirnya ia akan terbakar dan menjadi kobaran api. Baik adalah bahan bakar. Jahat adalah bahan bakar.Berbicara pada level ini akan membunuh orang-orang. Mereka tidak bisa mengikutinya. Jadi, kita harus kembali dari awal dan mengajarkan tentang moralitas. Janganlah saling melukai. Bertanggungjawablah pada pekerjaan anda dan jangan melukai atau mengeksploitasi pihak lain. Sang Buddha mengajarkan ini, tetapi hanya sebegini saja belumlah cukup untuk menghentikannya.Mengapa kita mendapati diri kita di sini, di dalam kondisi ini? Itu karena kelahiran. Seperti yang dikatakan Sang Buddha pada pembabaran Dhamma pertama beliau, Khotbah Tentang Berputarnya Roda Dhamma: "Kelahiran telah berakhir. Ini adalah keberadaan saya yang terakhir. Tidak ada lagi kelahiran selanjutnya bagi Sang Tathāgata."
Tidak banyak orang yang benar-benar bisa kembali ke titik ini dan merenung untuk memahami sesuai dengan
prinsip-prinsip dari jalan Sang Buddha. Tetapi jika kita memiliki keyakinan pada jalan Sang Buddha, ia akan membuahkan hasil bagi kita. Jika orang-orang
secara tulus bersandar pada Tiga Permata, maka praktek pun menjadi mudah.