Vipassana: observasi dengan landasan yang kokoh
Karya: Taman Budicipta
Editor: Bhikkhu Dhammadhiro
Vipassana adalah latihan meditasi yang menekankan pada perhatian & perenungan terhadap segala gejolak fisik maupun mental dengan tujuan agar sifat aslinya--tanpa kepuasan, tanpa keabadian, tanpa aku--dapat dimengerti dengan benar. Akan tetapi banyak kalangan Buddhis maupun non-Buddhis yang kurang menghargai pentingnya landasan yang kokoh dalam meditasi Vipassana. Banyak yang menginginkan 'jalan pintas' dan mengabaikan unsur-unsur penting lainnya dari Jalan Utama Berunsur Delapan.
Di jaman Sang Buddha, terdapatlah seorang petapa yang bernama Bahiya. Sang Buddha menyebutkan bahwa di antara seluruh muridnya, petapa Bahiya merupakan salah satu murid yang paling cepat mencapai kesuciaan tertinggi, Arahat. Jangka waktu yang diperlukan petapa Bahiya untuk mencapai Arahat setelah hanya mendengar sebait kotbah dari Sang Buddha adalah kurang dari 6 jam (waktu diantara minta sedekah makan dan selesai makan). Sebelumnya, petapa Bahiya sama sekali tak mengenal ajaran Sang Buddha. Akan tetapi kalau kita meneliti latar belakang petapa Bahiya, kita akan mengetahui bahwa Beliau adalah petapa luar biasa yang dipuja dan dianggap suci oleh masyarakat setempat. Jadi 'jalan pintas' yang dilalui petapa Bahiya bukanlah 'jalan pintas' yang dapat sembarang dilalui oleh orang biasa.
Artikel ini akan menjelaskan pentingnya landasan yang kokoh dalam meditasi Vipassana. Karena setiap orang memiliki kwalitas yang berbeda, maka waktu yang diperlukan untuk membangun landasan ini juga berbeda dari orang ke orang.
Sesungguhnya latihan Vipassana dilaksanakan dengan merenungi & mengamati dengan cermat dan benar gejolak fisik maupun mental. Pada dasarnya perenungan & perhatian pada fisik adalah perenungan & perhatian terhadap badan. Dan perenungan & perhatian terhadap mental dibagi menjadi perenungan & perhatian terhadap perasaan, pikiran, dan unsur mentalitas. Artikel ini akan menjelaskan tentang pikiran dan unsur mentalitas dan menunjukan pentingnya landasan yang kokoh tersebut..
Di Satipatthana Sutta (Majjhima Nikaya 10), Sang Buddha menjelaskan tentang perenungan & erhatian terhadap pikiran (citta). Seorang meditator seharusnya jeli memperhatikan apakah pikirannya memiliki sifat dosa, adosa, lobha, alobha, moha, atau amoha, atau apakah pikirannya terkonsentrasi, buyar, meluas, menyempit, dll. Jadi seorang meditator seharusnya menyadari sifat pikirannya seperti yang disebutkan di atas, atau merenungi/menyadari sifat kesementaraan pikirannya--muncul dan lenyap, atau mengetahui dan mengingat bahwa pikiran memang ada. Dan ia tetap membiarkan dirinya terlepas dari segala keterikatan.
Sedangkan perenungan & perhatian terhadap unsur mentalitas (dhamma) juga dijelaskan oleh Sang Buddha. Dan Sang Buddha membagi unsur mentalitas ini menjadi beberapa bagian. Berikut adalah penjelasan Sang Buddha mengenai perenungan & perhatian terhadap unsur mentalitas yang buruk, yakni kelima penghalang meditasi:
"Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memperhatikan unsur mentalnya ketika lima penghalang meditasi itu berada di dirinya? Ketika nafsu duniawi muncul di dirinya, ia menyadarinya, "Oh, nafsu duniawi muncul di diriku." Atau ketika nafsu duniawi tak muncul di dirinya, ia menyadarinya, "Oh, nafsu duniawi tak muncul di diriku." Dia mengetahui munculnya nafsu duniawi, dan dia mengetahui bahwa nafsu duniawi tersebut telah padam. Dia juga mengetahui bagaimana nafsu duniawi yang muncul tersebut padam dan tak akan muncul lagi di kemudian hari." (Penjelasan yang sama digunakan untuk keempat penghalang meditasi lainnya, yakni niat jahat (2), kemalasan (3), kegelisahan/kekhawatiran (4), dan keraguan (5).)
Kalau kita membandingkan penjelasan yang diberikan Sang Buddha tentang unsur mentalitas yang buruk (5 penghalang meditasi) di atas dengan unsur mentalitas yang baik (7 faktor pencerahan) di bawah, maka terlihat bahwa Sang Buddha menggunakan istilah "padam" sewaktu Beliau menjelaskan unsur mentalitas yang buruk, tetapi Beliau menggunakan istilah "berkembang" sewaktu Beliau menjelaskan unsur mentalitas yang baik.
"Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memperhatikan unsur mentalitasnya ketika tujuh faktor pencerahan itu berada di dirinya? Ketika 'perhatian sebagai faktor pencerahan' muncul di dirinya, ia menyadarinya, "Oh, 'perhatian sebagai faktor pencerahan' muncul di diriku." Atau ketika 'perhatian sebagai faktor pencerahan' tak muncul di dirinya, ia menyadarinya, "Oh, 'perhatian sebagai faktor pencerahan' tak muncul di diriku." Dia mengetahui munculnya 'perhatian sebagai faktor pencerahan', dan dia mengetahui bahwa 'perhatian sebagai faktor pencerahan' tersebut telah berkembang. Dia juga mengetahui bagaimana 'perhatian sebagai faktor pencerahan' yang muncul tersebut dapat berkembang." (Penjelasan yang sama digunakan untuk keenam faktor pencerahan lainnya, yakni analisa (2), keuletan (3), kegirangan (4), ketenangan (5), konsentrasi (6), dan keseimbangan batin (7) sebagai faktor pencerahan).
Dari penjelasan Sang Buddha di atas, terlihat adanya kecenderungan bagi kwalitas buruk untuk padam dan kecenderungan bagi kwalitas baik untuk berkembang di diri seorang meditator Vipassana. Hal ini disebabkan oleh telah adanya landasan yang kokoh di diri meditator Vipassana.
Hal di atas dapat diperumpamakan sebagai berikut. Bagaikan kayu bakar yang lembab akan sulit dibakar apabila dinyala api, begitu pula kwalitas buruk akan sulit berkembang apabila muncul di diri seseorang yang memiliki landasan yang kokoh. Dan bagaikan kayu bakar yang kering akan mudah dibakar apabila dinyala api, begitu pula kwalitas buruk akan mudah berkembang apabila muncul di diri seseorang yang tak memiliki landasan yang kokoh.
Walaupun demikian, tak tepat bila dikatakan bahwa kwalitas buruk (yang berakar pada dosa, lobha, moha) sudah lenyap dengan tuntas di diri seorang meditator Vipassana. Karena ketiga akar kejahatan tersebut hanya dapat dilenyapkan dengan tuntas setelah seseorang mencapai kesuciaan tertinggi, Arahat. Dengan demikian, pikiran yang bersifat dosa, lobha, dan moha masih dapat muncul tetapi tak kuat lagi di dirinya. Nah, semakin lemahnya dosa, lobha, dan moha ini maka semakin dekatlah si meditator dengan keberhasilan meditasi Vipassananya. Malahan telah dijadikan patokan--bila dosa, lobha, dan moha seseorang jauh berkurang, maka meditasinya dianggap maju.
Maka untuk ia yang belum memiliki landasan yang kokoh (pemula) diperlukan hal-hal pembentuk landasan yang kokoh. Karena tanpa adanya landasan yang kokoh, pemula hanya akan senantiasa memperhatikan niat jahat dan nafsu yang terus-menerus menguasai dirinya, bagaikan kayu bakar kering yang akan mudah dibakar apabila dinyala api.
Sang Buddha sendiri memberikan nasehatnya kepada Bhikkhu Meghiya, seorang bhikkhu muda yang mengalami kesulitan dalam meditasi, agar pertama-tama memiliki dulu 5 hal ini. Kelima hal yang seharusnya dimiliki itu adalah seorang rekan Dhamma yang bijaksana, sila (moral) yang luhur, ketekunan mendengar kotbah Dhamma, kebijaksanaan tentang 3 corak umum, dan ketekunan meningkatkan kwalitas mulia/mengurangi kwalitas tercela di dirinya. Tanpa didukung oleh kelima hal ini, meditasi seseorang akan sulit mencapai kemajuan yang berarti. Bila seseorang kekurangan kelima hal ini, maka niat jahat dan nafsu akan menghalangi meditasinya, seperti yang terjadi pada Bhikkhu Meghiya.
Jadi adalah tugas si pemula untuk mengembangkan dulu kwalitas baik yang muncul dan melenyapkan kwalitas buruk yang muncul. Ia bukan hanya sekedar menjadi pengamat dan membiarkan kwalitas baik yang muncul lenyap begitu saja, atau membiarkan kwalitas buruk yang muncul berkembang merajarela.
Latihan ini adalah termasuk "daya upaya benar dan perhatian benar" karena ia memperhatikan kwalitas di dirinya dengan seksama (perhatian benar) dan berusaha meningkatkannya (daya upaya benar). Daya upaya benar dan perhatian benar adalah bagian dari samadhi, dua unsur dari Jalan Utama Berunsur Delapan yang harus dikembangkan.
Di Dvedhavittaka Sutta, Sang Buddha sendiri mengungkapkan kepada para bhikkhu metode yang Beliau gunakan untuk mencapai tingkat kebuddhaan. Di sutta itu, Sang Buddha mengatakan bahwa dulunya sewaktu Beliau masih sebagai seorang Boddhisatta, Beliau selalu memperhatikan unsur mentalitasnya (melatih perhatian benar). Bila yang muncul adalah unsur mentalitas baik, maka Beliau mengembangkannya lebih lanjut. Bila yang muncul adalah unsur mentalitas buruk, maka Beliau melenyapkannya seketika itu juga (melatih daya upaya benar). Dengan ketekunan itu, akhirnya Beliau mampu meraih tingkat ketenangan batin yang tinggi (melatih konsentrasi benar) dan kemudian mencapai tingkat kebuddhaan.
Ketika seseorang telah memiliki sila yang luhur, kebijaksanaan yang tajam (mengerti bahwa segala yang terbentuk akan terurai), pengertian Dhamma yang memadai, dan pikiran yang terlatih (hal buruk yang muncul di pikirannya akan lenyap seketika dan hal baik yang muncul di pikirannya akan bertahan lama), maka saat itulah ia telah memiliki landasan yang kokoh.
Dengan landasan yang kokoh ini, kecenderungan yang disebutkan Sang Buddha tersebut akan menjadi nyata di dirinya. Ketika ia memperhatikan unsur mentalitas buruk yang muncul di dirinya, ia akan memperhatikannya lenyap segera dengan sendirinya. Ketika ia memperhatikan unsur mentalitas baik yang muncul di dirinya, ia akan memperhatikannya berkembang dengan sendirinya di dirinya.
Hal ini penting karena bila kwalitas pikiran kita buruk, maka kita akan memperhatikan pikiran buruk yang terus menerus muncul dan berkembang di diri kita. Kwalitas pikiran yang buruk ini dapat membahayakan diri seorang meditator. Dan telah menjadi hukumnya bahwa kwalitas pikiran yang buruk (atau kwalitas moral yang buruk) tak dapat memberikan kemajuan dalam meditasi. Sedangkan meditator yang telah memiliki landasan yang kokoh akan dapat dengan mudah memperhatikan sifat asli dari segala gejolak fisik maupun mental di dirinya. Tentang bagaimana kwalitas pikiran yang baik dapat membantu keberhasilan seorang meditator telah dijelaskan dengan singkat di tujuh faktor pencerahan di atas.
Jadi keberhasilan hanya akan tercapai setelah seorang meditator memiliki landasan yang kokoh, yang mencakup sila (perbuatan, perkataan, mata pencaharian benar), samadhi (daya upaya, konsentrasi, perenungan/perhatian benar), dan panna (pengertian dan pikiran benar). Tanpa adanya landasan yang kokoh ini, seorang meditator akan sulit meraih kemajuan yang berarti.