saya mengerti anda katakan......masalah nya ketika mempraktekkan hal ini....seperti nya kebijaksanaan saya malah tertutup dan lebih memilih diam bengong ditempat
misalkan........
sy merasakan gatal......karena sadar maka tidak jadi di garuk.
sy merasakan haus......karena sadar maka tidak jadi minum.
sy merasa badan gerah......karena sadar maka tidak jadi mandi.........
pergi ke vihara pun...bahkan saya tidak ingin namaskara lagi..........karena sadar....tetapi lebih memilih namaskara. akhir nya di lakukan............
bukankah ini namanya sedang salah belajar? mohon bimbingan
"Tidak jadi menggaruk", "tidak jadi minum", "tidak jadi mandi", "tidak ingin namaskara"--KALAU itu memang benar-benar terjadi pada Anda, dan di sini saya mulai meragukan kejujuran Anda!--itu tidak lebih daripada REAKSI dari si aku lagi. ... Yang tadinya tanpa berpikir panjang dilakukan, sekarang segala sesuatu dinegasikan ... kedua-duanya adalah reaksi si aku terhadap suasana di sekitarnya.
Di dalam sadar yang sebenarnya, tidak ada yang seperti itu, tidak ada pola tertentu yang diikuti: kalau gatal, bisa menggaruk bisa pula tidak; kalau haus, bisa minum bisa pula tidak; kalau badan gerah, bisa mandi bisa pula tidak. ... Jadi sadar itu bukan berarti melahirkan suatu pola tingkah laku yang seragam dan bisa diprediksi lebih dulu, seperti perilaku orang yang selalu terseret oleh pikirannya.
Kalau benar-benar bisa sadar seperti itu, tanpa mencari-cari pola perilaku lagi, maka itu bukan "salah belajar", karena di situ orang melihat mulai runtuh dan berakhirnya peran si aku & pikiran ... sampai akhirnya yang mengambil alih adalah apa yang disebut-sebut oleh Buddha dalam Udana 8.3., "SESUATU yang tak dilahirkan, tak terbentuk, tak tercipta, tak terkondisi", yang BUKAN AKU lagi.
Jadi di sini orang "belajar dengan benar" karena yang menjadi garapan adalah si aku & pikiran ini sampai lenyap, itulah akhir dari dukkha.
dan keraguan saya menjadi-jadi ketika mengingat fenomena seperti.............
Y.M Sariputta memuji Y.M Mahamoggalana.
Sang buddha sendiri memuji murid nya......seperti Y.M Upali yang terunggul dalam vinaya
Ini sudah saya jawab, tidak perlu diulang-ulang lagi. Jangan mencoba-coba memahami jalan pikiran seorang arahat, sebelum Anda sendiri menjadi arahat.
dan lebih parah lagi................pada waktu seseorang kenalan bertemu....dia tersenyum.....sy seperti tidak merespon....
dan akhir nya muncul perenungan cepat.....dan sy memilih merespon........
Di sini Anda terseret lagi oleh pikiran dan kehidupan sehari-hari karena rasa malu terhadap orang lain; Anda tidak lagi bervipassana.
Di dalam retret MMD saya tekankan agar setiap peserta menganggap dirinya berada seorang diri di tengah hutan, tanpa memandang mata atau menghiraukan sesama peserta, sekalipun itu saudara atau temannya sendiri.
dan bahkan tidak mungkinlah TIPITAKA terbentuk........karena ada "ide"/ "aku" yang ingin menuliskan Tipitaka itu ke Daun.
Yang menghafalkan dan menulis Tipitaka itu bukan arahat, bukan orang yang telah bebas. Orang yang telah bebas tidak punya motivasi untuk menulis kitab suci.
----------------------------------------------------
di satu sisi saya ingin tanyakan.............
anda kata saya menggerakkan tangan saya ke-atas...............yang manakah lebih dulu.
1.keinginan(cettana) untuk menggerakkan tangan
2.kesadaran(kesadaran pada waktu menggerakkan tangan)
Di sini bukan tempat berteori atau menganalisis mana yang lebih dulu, apa gunanya tahu mana yang lebih dulu? Sama sekali tidak ada gunanya; sekalipun jelas cetana SELALU mendahului tindakan, sedangkan sati adalah kesadaran yang mengamati semuanya, mulai sejak dari cetana, sampai pada terjadinya gerakan atau tidak terjadinya gerakan.
Sadari saja SI AKU di balik setiap cetana. ITu yang penting, karena si AKU itulah yang menyeret Anda di dalam penderitaan.
Salam,
Hudoyo