ngak perlu lah, kan tidak usah ikut tanda-tangan saja sudah cukup
Iya, tadi hanya ilustrasi saja. Saya belum pernah kena survey begitu, mungkin karena sekitar rumah sudah ada cukup vihara.
ngak lah saya sih ngak ingin apa2 dlm hal ini, cuma mengemukakan suatu pemikiran
jgn2 orang tsb dipengaruhi sifat individualistik, makanya ngak bingung kalau dia bersikeras ngak perlu rubah ktp
satu lagi yg lebih parah nih, kalau orang tsb gembar-gembor pemikiran individualistik-nya ke sana-sini, bisa bahaya kan anggapan orang tentang Buddhism?
no offense
Entah yah, kalau saya tidak bersikeras dalam status KTP dan (secara pribadi) menganjurkan orang tidak bersikeras juga. Tulislah apa yang dirasa bermanfaat dan tidak merepotkan.
Di satu pihak, kalau kita memang Buddhis, tidak ada kesulitan, dan dengan pengakuan Buddhis kita bisa berpengaruh pada manfaat tertentu (misalnya quota pembangunan vihara/sekolah Buddhis), tapi kita tidak mau, memang itu sikap yang kurang tepat. Tapi di sisi lain, saya pernah melihat bagaimana di satu keluarga kawin campur (beda agama, beda ras), pengakuan di KTP itu begitu hebohnya sampai bisa menyebabkan keributan; mertua ribut dengan menantu, ayah ribut dengan anak, suami dengan istri, hanya gara-gara status. Buat saya, hal tersebut sangat menyedihkan. Dan kalau Buddhisme memang betul demikian mementingkan status seperti itu, maka tidak ada komentar lain dari saya selain "Buddhisme itu menyedihkan".
Karena menilai dari 2 sudut pandang ini -tidak hanya yang enak atau hanya yang tidak enak saja kondisinya- maka saya mengatakan bahwa semua itu kondisional, tidak harus mengubah juga tidak harus tidak mengubah, semua tergantung kondisi lingkungan kita hidup. Namun terlepas dari itu semua, untuk mendapatkan manfaat Ajaran Buddha adalah dengan melatih mengikis noda bathin. Jadi tidak perlu dikhawatirkan dengan status. Itu saja.