Sepuluh Prinsip Unversal dalam Agama Buddha
Sejumlah daftar telah dibuat oleh para cendekiawan Buddhist yg mencerminkan kepercayaan umum dari berbagai aliran dlm agama Buddha. Dua diantaranya yg paling terkenal adalah dari H.S. Olcott (1891: empat belas 'Kepercayaan Buddhist yg Fundamental') dan Christmas Humphreys (1945: 'Dua Belas Prinsip Agama Buddha'). Dalam dunia sistem desimal sekarang ini, cukup rapi jika daftar lain seperti itu juga dimunculkan, seperti Sepuluh Prinsip Universal Agama Buddha berikut ini :
(1) SANG BUDDHA - baik sebagai guru historis Sakyamuni maupun sebagai prinsip spritual Pencerahan - yang merupakan inspirasi, Cara dan Tujuan kita; dimana dalam Mahayana diwujudkan dalam berbagai Buddha, Bodhisattva, dan makhluk suci lainnya.
(2) CITA-CITA BODHISATTVA - bagi Theravada hal ini merupakan cita-cita tertinggi karena merupakan suatu pencapaian kepada Kebuddhaan Agung (Sammasambuddha); bagi Mahayana hal ini merupakan suatu wahana tertinggi untuk keluar dari penderitaan makhluk hidup.
(3) HIDUP INI SATU dan TAK BERBAGI - mulai dari yang rendah, manusia, dan yang suci, adalah cuma manifestasi dari kejadian yang saling berhubungan yang numpang lewat dan yang menciptakan alam semesta ini dimana merupakan bentuk luar dari Keutuhan Yang Transeden.
(4) KETIDAKKEKALAN atau LINGKARAN KEBERADAAN - hal ini merupakan ciri keberadaan duniawi maupun keberadaan lainnya yang hanya dapat dimengerti dan didapatkan kebebasannya melalui pemutusan rantai Roda Sebab Akibat Yang Saling Bergantungan.
(5) TANPA INTI atau KEKOSONGAN - ini mencirikan semuanya, bahkan termasuk Nirvana dimana tidak ada suatu entitas yg tetap yg dapat ditemukan dalam apapun atau kejadian apapun karenanya semuanya hanyalah merupakan suatu kontinuitas yang memberikan kesan salah tentang adanya kekekalan.
(6) KARMA dan KELAHIRAN KEMBALI - ini menjelaskan suatu proses perubahan dan pada saatnya juga menyediakan suatu harapan dalam kemajuan spritual yang lebih baik ke arah Pencerahan.
(7) JALAN TENGAH - yaitu menghindari hal-hal yang ekstrim, dan tetap berada di jalan Kebijaksanaan dan Welas Asih serta menapaki Jalan Tunggal dari Sang Buddha.
(
JALAN MULIA DELAPAN RUAS - seperti diwujudkan dalam Empat Kebenaran Mulia yang merupakan ringkasan dari kondisi umat manusia dan makhluk duniawi dimana merupakan rangkaian pedoman kehidupan spritual yang terdiri dari moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan.
(9) PENYELAMATAN DIRI SENDIRI - satu-satunya tujuan spritual yang tepat karena diri sendiri adalah pencipta dimana terdapat pikiran sebagai perancang besar dan tentunya hanya oleh diri sendirilah penyelamatan agung bisa dilakukan.
(10) MEDITASI - karena pikiran itu yang tertinggi, maka pikiran itu haruslah dikenali dan diasah sebelum bisa dibebaskan, dan satu-satunya cara utk melakukan hal ini adalah melalui metode meditasi yang benar.
Kebutuhan akan Remitologisasi
Pada pendangan pertama, dari apa yg telah kita kumpulkan, memperlihatkan bahwa agama Buddha yang terlalu akomodatif terhadap berbagai kepercayaan dan praktek luar, kelihatannya telah merusak sendi-sendi agama Buddha itu sendiri karena bertoleransi. Umat Buddha memasukkan animisme kepercayaan lokal terhadap persentuhan Dharma karena berpendapat bahwa agama Buddha merupakan agama yang misonaris (Ling 1979, 42 f.). Daripada menghancurkan suatu kebudayaan, agama Buddha berjalan harmonis dengannya : "Jika itu yang engkau percaya, dan jika itulah caramu melihat hidup ini, ayo kita mulai dari sana"
Untuk dapat sampai kepada masyarakat, misionaris Buddhis memanfaatkan beragam cara yang terampil sebagai 'jembatan' antara cara berpikir yang populer dan Dharma. Satu jembatan penting seperti itu adalah simbol Mara dalam agama Buddha, sang kejahatan. Figur mitologis yang khas Buddhis ini menyediakan cara untuk untuk mengalihkan gagasan animisme ke dalam analisis keberadaan yang mendalam. Para umat lokal, yang untuk pertama kali mengenal agama Buddha, akan segera menerima figur yang tidak asing dari Mara. Mereka akan belajar melihat Mara tidak sebagai siluman kampung, melainkan sebagai musuh dari kehidupan suci lewat pandangan Buddhis, seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha:
"Apa sebenarnya Mara itu? Bentuk adalah Mara.....perasaan adalah Mara....persepsi adalah Mara....bentukan-bentukan mental adalah Mara......kesadaran adalah Mara." (S 3:188 f.)
Dengan kata lain, Mara sang kejahatan muncul sebagai sesuatu wujud yang lebih luas tidak hanya sekedar siluman atau setan yang dimunculkan untuk memperdaya.
'Wahana Peralihan' seperti ini yang lain adalah kisah-kisah Jataka dari Theravada, dewa dan setan dalam Vajrayana, dan ekspresi kultural agama Buddha lainnya. Sehingga sebaiknya kita sebagai umat Buddha, tidaklah terburu-buru menolak mitologi (demitologi) dalam agama Buddha, karena konsepsi seperti itu asing dalam sejarah Buddhis, sebaliknya kita semestinya bersifat toleransi terhadap mitologi (remitologi) Buddhis yang penuh inspirasi atas pemikiran yang populer. Ini karena mitologi (menurut C.G. Jung) merupakan produk abadi dari bawah sadar universal dan kolektif dalam mana semua manusia berbagi, dan yang dilihat dan dipercayai oleh kebanyakan orang sebagai suatu mitologi kuno dan kasus historis psikologi modern. Bahkan, kebenaran keramat harus dikomunikasikan dalam berbagai bentuk cerita jika memang perlu dimengerti dan diterima secara benar, dan seandainya hal itu memang diperuntukkan bagi umat awam dalam bentuk yang dapat diterima maka haruslah diikuti sedemikian rupa sehingga dapat mengaruhi keseluruhan diri mereka.
Alasan bagi Sektarianisme
Sektarianisme dapatlah diartikan sebagai tidak terdapatnya toleransi terhadap ajaran dan praktek dari berbagai aliran dan sekte lainnya yg ada dalam agama Buddha, selain sekte/aliran sendiri. Alasan pertama bagi sikap seperti itu tentu saja bersifat historis, yaitu penerimaan suatu aliran tunggal yang dipercayai sendiri tanpa mau memahami hubungan yang berkaitan ataupun perkembangan yang saling dimiliki oleh masing-masing aliran. Kita mesti sadar bawah setiap pembaharuan religius sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak, pembaharu dan yang ditentang pembaharu tsb (misalnya reformasi kr****n memunculkan Reformasi Balasan ka****k yg paling tidak memacu yang belakangan untuk berintrospeksi dan memperaiki diri sendiri).
Sudah merupakan suatu kecenderungan psikologis pada umumnya bahwa penerimaan religius yang pertama adalah merupakan ajaran yang paling baik dan benar. Ini terutama benar untuk orang yang dilahirkan dalam keluarga yang telah beralih kepada suatu keyakinan atau aliran. Kemudian juga terdapat suatu bias linguistik, misalnya di Malaysia dan Singapura dimana kebanyakan umat yang berbahasa Inggris punya kecenderungan mimilih Theravada Sinhala dan umat yang merupakan etnis China lebih menyukai Mahayana (atau dalam kasus Theravada Thailand, umat Thai lokal cepat menyerap dialek China). Kenyataannya kecenderungan umum tersebut tidak begitu bersifat doktrinal melainkan lebih merupakan bias linguistik.
Ini membawa kita kepada alasan berikutnya bagi sektarianisme karena kurangnya literatur berbahasa Inggris yang berkaitan dengan Mahayana di tempat tersebut. (Tidak seperti Theravada yang cenderung cuma membaca dan terlibat dalam ajaran mereka sendiri, Mahayana memiliki kelebihan literatur yg berkenaan dgn kedua aliran tersebut). Kurangnya eksposisi literatur ini merupakan salah satu sebab utama terjadinya bias sektarian. Kurangnya eksposisi sosial juga berperan banyak dalam masalah ini, dan jika saja umat Buddha dari satu aliran mau mengadakan kunjungan baik ke vihara dan pusat dari aliran lainnya (khususnya kunjungan studi), akan terdapat pengertian yang lebih baik di antara berbagai aliran Buddhis.
Suatu prakonsepsi mungkin akan muncul jika umat cenderung menghakimi aliran lain dengan standarnya sendiri dimana malah berakibat suatu kondisi hubungan yg memburuk. Untuk memahami tradisi lain selain tradisi sendiri, orang harus memulai dengan cara berpikir tradisi tersebut. Kita hidup dalam dunia konvensional dimana apa saja yang sah di suatu tempat bisa saja ditabukan di tempat lainnya. Dalam tata cara Barat yang sopan (dan Vinaya Pali) , meminum atau meneguk sup dengan cara diseruput bukan merupakan masalah, akan tetapi adat istiadat Jepang mengharapkan kita melakukannya dengan cara yg lebih lembut.
Metode-metode untuk Mempromosikan Non-Sektarianisme
Kembalinya agama Buddha di Malaysia dan Singapura adalah relatif baru, sehingga dalam kesempatan awal ini akan sangat bijak jika sektarianisme bisa mulai dihentikan. Suatu disiplin Buddhis yg penting harus diperkenalkan dan dikembangan seperti studi perbandingan dalam agama Buddha dimana termasuk penelitian sejarah Buddhis pada masa awalnya, doktrin-doktrin dasar dan praktek-praktek umum. Dalam hal ini harus juga dapat dimasukkan berbagai aspek yang berkaitan termasuk aspek psikologis, filosofis dan disiplin agar terjalin suatu peningkatan pengertian terhadap hakikat dan masalah-masalah yang timbul baik dari pengalaman ataupun ungkapan keagamaan.
Identitas nasional Buddhis cenderung penting dan wajar pada saat ini. Misionaris di luar negeri telah menjalankan peranan mereka dengan sangat baik, dan sekarang saatnya buat umat lokal untuk memainkan peranannya dimana sepanjang agama Buddha tidak diungkapkan melalui kebudayaan lokal (bahasa, seni, arsitektur, musik dsb), maka Dharma tidak dapat dikatakan sudah menjadi suatu bagian kesatuan dari hidup kita.
Misionaris asing harus berhenti untuk menganggap mereka sebagai orang 'Burma', 'Sinhala', 'Thai', 'Tibet', 'Jepang, dsb, melainkan sebagai 'orang Malaysia (lokal)'. Sehingga kita hanya perlu memandang bagaimana agama Buddha telah bersatu ke dalam masyarakat Burma, Sri Lanka, dan Thailand untuk memahami perlunya 'Malaysianisasi (lokalisasi)' agama Buddha. Jika tidak , agama Buddha yang kita miliki di sini akan cuma menjadi tanaman eksotis dalam sebuah rumah kaca tropis dan kita cuma akan menjadi sumber kebudayaan asing.
Cara praktis untuk mengembangkan kesatuan di antara aliran adalah dengan penggunaan suatu kantor atau pelayanan religius secara umum. Vihara Buddhis Damansara telah berhasil menggunakan 'Puja Tujuh Tingkat' yg terutama dilakukan dlm bahasa Inggris, dengan Perlindungan dan Sila dalam bahasa Pali, Mantra-mantra yg lebih sederhana dalam bahasa Sanskerta. (Puja ini telah juga diterjemahkan dan dijalankan dalam bahasa Malaysia). Musisi dan komposer Buddhis lokal telah juga menciptakan dan mengilhami hymne Buddhis Malaysia yang berjalan selaras dengan Puja Tujuh Ruas. Ini merupakan tanda datangnya sesuatu yang lebih besar.
Faktor paling penting dalam mempromosikan keharmonisan non-sektarian tentu saja adalah pikiran yang terbuka dan hati yang toleran. Jika orang tidak mengerti sesuatu, atau berpikir bahwa sesuatu itu bertentangan dgn prinsipnya, maka dia seharusnya dengan semangat Buddhis yg sejati, mengusahakan untuk menyelidiki dan menemukan sebabnya. Pikiran yg tertutup dan cara pandang yg mementingkan diri sendiri, cuma akan membawa sesuatu yg lebih buruk daripada sektarianisme yang cenderung fanatisme religius (yang patut disyukuri bahwa agama Buddha cukup terbebas darinya selama perjalanan sejarah ). Di India kuno, bukan merupakan hal yang tidak lazim apabila seorang umat Buddha memberikan dana kepada Sangha di Empat Penjuru (caturdisa-sangha), yakti semua aliran dlm agama Buddha, meskipun mereka cuma menaruh keyakinan dalam satu aliran saja.
Orang yg menjalankan prinsip dasar agama Buddha akan segera memahami bahwa sektarianisme itu buruk dan tidak perlu adanya. Mereka yg mengoceh bahwa aliran atau sekte mereka itu 'murni' dan bahwa yg lainnya 'sesat' telah dengan sombong dan kasar menyakiti akar dari agama Buddha dan memperlihatkan lemahnya perkembangan spritual mereka. Orang-orang fanatik seperti itu, hampir tidak pernah membaca satu halaman pun ajaran-ajaran yg dikutuknya. Mereka tidak memahami tradisi yang mereka serang dimana hanya beralasan bahwa "aliran lain itu salah dan tidak seperti aliran kita!".
Kelemahan sektarianisme jelas sekali. Paling tidak hal tsb menciptakan dan menyebarkan kebencian dimana merupakan suatu rintangan yg tidak baik untuk kemajuan spritual. Sektarianisme berarti bahwa mereka memiliki pikiran yg tertutup dan mencerminkan bahwa mereka tidak akan pernah melihat di atas keegoisannya sendiri. Mereka menunjukkan kurangnya welas asih yg pada akhirnya akan membawa akibat akhir berupa perpecahan dan kesengsaraan
Harus Memulai dari Aliran Mana?
Kita harus memulai dari suatu tempat utk mempelajari ajaran dan praktek religius Buddhis. Dalam semangat non-sektarianisme, kita hanya bisa mulai dari Doktrin Dasar atau Sepuluh Prinsip Universal. Jika kita sungguh-sungguh tertarik dengan kemajuan spritual, mengapa harus merepotkan diri dengan label 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana'. Selain itu jika kita sedang berada dalam kesukaran dan berpaling kepada Dharma, apa bedanya jika label-label tersebut dibuang saja. Pertanyaan yg vital adalah apakah sistem tersebut dapat berjalan. Bagaimanapun Jalan Mulia Delapan Ruas akan tetap berhasil apakah itu Tantra atau Zen!
Seandainya kita karena keterpaksaan oleh keadaan atau tempat lahir sehingga harus berakar pada aliran tertentu, maka kita juga semestinya menjaga agar pikiran tetap terbuka dengan cara membuat studi perbandingan terhadap aliran Buddhis lainnya. Dan dalam hubungannya dengan hal ini, Sang Buddha bersabda agar kita waspada sangatlah tepat, :
"Untuk hal-hal yang tidak kita setujui, kawan, biarlah hal-hal itu seperti apa adanya. Untuk hal-hal yang kita sependapat, marilah yang bijaksana saling bertanya, mengemukakan alasannya, membicarakannya dengan atau kepada guru mereka atau komunitas mereka." (D 1:163)
Tentu saja selalu ada masalah dengan tradisi dan ekspresi historis , seperti "orang harus mempraktekkan agama Buddha sebagai seorang anggota dari satu aliran, atau dia akan menjadi tak berakar," tegas pemerhati yang peduli. Jika kita serius terhadap perkembangan spritual dan tidak terlalu memperhatikan aspek kultural dan historis, maka kita tidak perlu berafiliasi pada salah satu aliran atau sekte, karena bukankah semua aliran itu hanyalah suatu ekspresi kultural yg merupakan bentuk luar belaka? Disamping itu sektarianisme adalah merupakan kepercayaan terhadap pandangan salah akan adanya suatu diri (sakkaya ditthi /satkaya drsti) yang merupakan rintangan pertama dalam jalan menuju Pencerahan.
Ikutilah Teladan Sang Buddha
Sangatlah bijaksana apabila kita senantiasa mengingat bahwa tidak pernah terdapat 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana' di era Sang Buddha Gautama membabarakan Dharma. Label-label tersebut baru diperkenalkan di era sesudahnya oleh umat Buddha sebagai suatu alasan untuk memudahkan mereka memahami darimana seseorang itu memandang kedalaman dan totalitas dari Sang Buddha dan AjaranNya. Karenanya kita tidak seharusnya bermimpi untuk menyebut Sang Buddha sebagai seorang 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana' , bahkan Sang Buddha tidak pernah menyebut diriNya sebagai seorang 'Buddhist'.
Ven. Piyasilo
Vihara Buddhist Damansara
Hari Devarohana (14 Oktober 1981)
Ditulis khusus untuk UNISAINS 1981
Dari naskah asli : The One Way, A Comparative Study of Mahayana and Theravada
Penerjemah : Ir. Edij Juangari
Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung