//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 585210 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Mr.Jhonz

  • Sebelumnya: Chikennn
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.164
  • Reputasi: 148
  • Gender: Male
  • simple life
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #120 on: 27 June 2009, 08:50:51 PM »
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?

Kalau menjelaskan pikiran itu, rada susah, karena pikiran itu tidak tetap, jadi cara menyikapinya yang cocok, juga berbeda.
Buat saya, intinya, kalau perasaan melekat itu sangat kuat, hindari kontak apapun juga (baik melihat, mendengar, sentuhan, dsb, terutama kontak dengan pikiran). Jangan memfasilitasi terjadinya kontak-kontak tersebut. Dengan tidak dipupuknya pikiran2 serakah, maka perlahan pun kemelekatan itu berkurang. Kontak dengan pikiran adalah yang terpenting, karena kalau kita menghindari melihat, mendengar, sentuhan, aroma yang menyenangkan dari wanita, tetapi tidak menghindari pikiran menyenangkan itu, maka jadilah kita orang ekstrim yang munafik. Oleh sebab itu, pikiran selalu yang terutama.

Jika sudah lumayan terbiasa, maka sikap ekstrim itu kita tinggalkan, lalu kita ubah pola pikir kita. Tidak usah yang hebat-hebat dulu macam "tubuh adalah kotor" atau "pemadaman nafsu" dan lain-lain. Dimulai dari mengganti pola pikir dengan moralitas seperti komitmen pada satu istri, bersikap selalu sopan dan menghargai wanita tidak sebagai objek seksual, atau mengutamakan kesehatan dengan mengecilkan risiko penularan penyakit kelamin dari gonta-ganti pasangan, dan lain sebagainya. Dengan pola pikir demikian yang berkembang, maka kontak dengan wanita, tidak pada kecenderungan menimbulkan nafsu.

Pola pikir yang bermanfaat ini biasa didapatkan dari belajar (mulai dari spiritualisme, sains, sosial-budaya, dan lain-lain), juga lingkungan dan pergaulan yang baik.

thank,atas pandangannya om..

Moga2 istriku ga baca postingan ini ;D
« Last Edit: 27 June 2009, 09:01:12 PM by Mr.Jhonz »
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

Offline Mr.Jhonz

  • Sebelumnya: Chikennn
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.164
  • Reputasi: 148
  • Gender: Male
  • simple life
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #121 on: 27 June 2009, 10:45:24 PM »
Nanya lg om,
*menurut anda apa rumus bijaksana dalam praktek kehidupan sehari-hari...
*apa tolak ukur sehingga seseorang dikatakan bijaksana(dlm praktek sehari-hari)..
*bagaimana cara melatih diri agar menjadi seseorang yg bijaksana...

"Tidak sulit menjadi orang baik,tapi
sangat sulit untuk menjadi seorang baik yang bijak.."<-- itu yg sy temukan di praktek kehidupan sehari-hari..
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #122 on: 28 June 2009, 08:07:20 PM »
Nanya lg om,
*menurut anda apa rumus bijaksana dalam praktek kehidupan sehari-hari...
*apa tolak ukur sehingga seseorang dikatakan bijaksana(dlm praktek sehari-hari)..
*bagaimana cara melatih diri agar menjadi seseorang yg bijaksana...
Karena saya bukan seorang ariya, jadi yang saya bahas adalah masih porsi "orang biasa".
Saya pribadi menilai orang bijaksana bila ia bisa memutuskan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menghindari yang tidak bermanfaat, yang pertama dan terutama adalah bagi dirinya sendiri, dan yang ke dua, adalah untuk sesama. Dengan begitu, ia terus-menerus memperbaiki kualitas diri dan orang lain.

Kalau rumusnya, yang terlintas dalam pikiran saya: peka terhadap kenyataan, selalu menambah pengetahuan & pengalaman, peduli dengan sesama, dan tidak membiarkan diri dikuasai emosi/perasaan. Bagi saya, cara melatih diri adalah dengan mengembangkan hal-hal tersebut.


Quote
"Tidak sulit menjadi orang baik,tapi
sangat sulit untuk menjadi seorang baik yang bijak.."<-- itu yg sy temukan di praktek kehidupan sehari-hari..
Betul. Tetapi memang menjadi orang baik dan bijak juga ada prosesnya. Ada orang baik yang tidak bijak, tetapi tidak ada orang bijak yang tidak baik. Oleh karena itu, prosesnya memang dimulai dengan menjadi orang baik dulu, lalu melalui banyak pengalaman yang dialami, yang dilewati dengan perhatian, bukan acuh tak acuh, maka seseorang belajar untuk memperbaiki dan berangsur-angsur menjadi bijaksana.
Jadi memang demikian faktanya, tidak perlu khawatir :) Kalau menjadi orang baik dan bijaksana itu mudah, maka dunia sudah damai.
---

BTW, Mr.Jhonz ini sama dengan Chikennn di forum sebelah yah? Kita pernah bertemu, nama saya di sana adalah Irkuiem, kalau anda ingat.


Offline Mr.Jhonz

  • Sebelumnya: Chikennn
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.164
  • Reputasi: 148
  • Gender: Male
  • simple life
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #123 on: 28 June 2009, 08:24:20 PM »
Dan ketika harus mengambil keputusan(diantara 2 pilihan)..hal2 apa yang harus dipertimbangkan sehingga dapat mengambil keputusan dgn bijak...

________
iya om,kalo ga salah kita ketemu di thread pembahasan soal buddha bar ya?
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #124 on: 28 June 2009, 08:37:59 PM »
Dan ketika harus mengambil keputusan(diantara 2 pilihan)..hal2 apa yang harus dipertimbangkan sehingga dapat mengambil keputusan dgn bijak...
Yang menimbulkan kerugian minimal, dan memberikan manfaat maksimal bagi, terutama bagi diri sendiri dan ke dua untuk orang lain. Kadang juga keputusan pasti ada "biaya"-nya. Bisa merugikan diri sendiri, tapi menguntungkan banyak orang, misalnya. Pilihlah keputusan yang sesuai dengan kerelaan dan keikhlasan kita. Jika kita berkorban demi orang lain dengan ikhlas, maka itulah "dana" yang sebenarnya.


Quote
________
iya om,kalo ga salah kita ketemu di thread pembahasan soal buddha bar ya?
Iya, betul. :)

Offline tula

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 482
  • Reputasi: 24
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #125 on: 29 June 2009, 02:27:07 PM »

Quote
Quote from: Kainyn_Kutho
Memang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha  (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).

Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.

Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?

Saya sependapat dengan Anda. Saddha pada hakikatnya adalah kepercayaan setelah mengalami kebenaran dari praktik Dhamma. Oleh karena itu, jika putthujjana percaya akan adanya 31 Alam Kehidupan namun belum melihatnya sendiri, itu namanya bukan saddha. Lebih tepatnya itu adalah wujud dari kepercayaan awam.
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.




nimbrung dikit ye ... jgn di tendang  ;D
kalo gitu nibbana itu jg faktor kecocokan ya ... kita kan blon membuktikan sendiri ?
tp apakah yg dimaksud dgn kecocokan ?
apakah, karena selama ini ajarannya banyak yg dibuktikan bener adanya, maka dianggap cocok ?
walaupun bisa aja di balik, pasti ada kesalahannya, (kesalahan bisa dari berbagai sumber), tp tetep masi lebih bener dari pada yg lain ?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #126 on: 29 June 2009, 04:29:30 PM »
nimbrung dikit ye ... jgn di tendang  ;D
kalo gitu nibbana itu jg faktor kecocokan ya ... kita kan blon membuktikan sendiri ?
Ya, begitu. Sebelum kita sendiri merealisasinya, semua masih dalam cakupan teori dan konsep.


Quote
tp apakah yg dimaksud dgn kecocokan ?
Definisi bakunya saya tidak tahu, tetapi kira-kira diartikan bahwa adanya kesamaan dan kesesuaian antara subjek dan objek, dalam hal ini adalah pola pikir seseorang dan objek ajaran.


Quote
apakah, karena selama ini ajarannya banyak yg dibuktikan bener adanya, maka dianggap cocok ?
walaupun bisa aja di balik, pasti ada kesalahannya, (kesalahan bisa dari berbagai sumber), tp tetep masi lebih bener dari pada yg lain?

Kecocokan itu sangat condong pada pola pikir seseorang. Misalnya jika seseorang sudah punya pola pikir hidup ditakdirkan oleh pihak lain, maka teori kamma tidak cocok. Demikian sebaliknya, bagi orang yang memang punya pandangan jalan hidup bisa diubah oleh diri sendiri, maka pandangan suratan takdir tidak cocok.

Sementara itu, pola pikir seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan pengaruh lingkungan, dan tentu saja juga berubah. Karena berubah, maka bisa saja yang dulu salah jadi bener, yang dulu bener jadi salah, seperti orang pindah agama 'kan pasti ada pandangan begitu. Melihat fakta2 ini, sepertinya susah mengatakan ajaran2 mana yang benar dan salah.

Ajaran mana pun, tidak mungkin 100% sesuai bagi seseorang, pasti ada sesuai dan ada tidaknya. Namun yang menurutnya paling masuk logikanya, paling sama mendekati pengalamannya, itulah yang dibilang cocok.


Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #127 on: 01 July 2009, 12:21:42 AM »
Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, ini seperti dalam kisah Pukkusati yang tidak mengetahui lawan bicaranya adalah Buddha Gotama, tetapi mendengarkan uraian tentang unsur dan mencapai Anagami-phala.
Beberapa brahmana juga kadang datang ke Buddha untuk "cari ribut" menganggap Buddha sebagai musuh. Tetapi karena memang kebijaksanaan mereka cukup, maka mendengar jawaban dari Buddha, baru mereka mengerti dan berbalik menghormati Buddha.

Betul. Setelah mendengar penjelasan yang baik dari seseorang, kita cenderung akan menghormati orang tersebut. Kecenderungan itu pun akan memunculkan "keyakinan" bahwa orang itu adalah orang yang baik.


Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, kira-kira begitu. Jika seseorang telah melihat kebenaran tetapi tidak bertemu dengan guru sejati yang mengajarkan kebenaran, maka tentu tidak ada semacam keyakinan terhadap guru. Namun jika seseorang telah melihat kebenaran dan bertemu guru dan ajaran yang mengajarkan kebenaran juga, sudah pasti ia memiliki keyakinan pada guru tersebut.


Betul. Dengan kata lain, kita sebagai pelajar / murid sebaiknya tidak terlalu menitikberatkan "keyakinan" pada Sang Guru (Sang Buddha). Keyakinan (saddha) pada Buddha, Dhamma dan Sangha akan berbuah dengan sendirinya ketika kita mengalami hakikat kebenaran dari praktik Dhamma. Jadi yang terpenting adalah memfokuskan diri pada Dhamma. Seperti yang dinyatakan oleh Sang Buddha kepada Ananda di Mahaparinibbana Sutta :

[154] 6.1. Dan Sang Bhagava berkata kepada Ananda: 'Ananda, engkau mungkin berpikir: "nasihat-nasihat Sang Guru telah tiada, sekarang kita tidak memiliki guru!" Jangan berpikiran seperti itu, Ananda, karena apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan disiplin akan, saat Aku tiada, menjadi guru kalian.'

Courtesy : Digha Nikaya, DhammaCitta Press -  2009


Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.

Bagi saya, yang berperan dalam hal itu adalah kematangan batin. Ketika seseorang menggenggam keyakinan akan adanya 31 Alam Kehidupan, yang beroperasi adalah kematangan batinnya untuk menerima konsep itu. Demikian pula sebaliknya jika orang itu tidak menggenggam keyakinan tersebut. Apapun keyakinan yang digenggam oleh orang-orang, yang jelas realitas dunia tetap ada. Dan apakah benar ada 31 Alam Kehidupan itu atau tidak, itu masih menjadi "doktrin".

Mungkin tidak berbeda jauh dengan "kecocokan" dalam versi Anda. Mungkin memang keduanya hanya sebatas vocabulary saja. :)


Quote from: Kainyn_Kutho
Kalau dipaksakan fisika itu ke dhamma, memang benar, itu masih cenderung pada kapasitas Savaka.
Dan lagi-lagi saya setuju. Kita tidak perlu semacam usaha khusus untuk mengembangkan "saddha" yang tanpa dasar, atau hanya karena dengar-dengar Buddha-Dhamma-Sangha hebat. Nanti malah hanya akan jadi orang fanatik buta. Dengan menjalankan hidup sesuai dhamma, membuktikan sendiri kebenarannya, otomatis suatu keyakinan yang kuat pada Buddha-Dhamma-Sangha pasti akan tumbuh.

Betul juga. Inilah yang sering ditangkap salah oleh sebagian Umat Buddha. Ukiran-ukiran emas di Tipitaka itu hanyalah sebuah tulisan dokumentasi tentang apa yang terjadi di zaman Sang Buddha. Seiring perjalanan waktu, mungkin saja beberapa isinya sudah hilang atau bergeser. Karena itulah Umat Buddha sebaiknya tidak mematok harga mati pada isi Tipitaka. Namun sebaiknya, Umat Buddha menjadikan Tipitaka sebagai panduan dalam menjalani penghidupan sesuai kebenaran.


Sampai sejauh ini, saya rasa kita berdua sependapat... :)

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #128 on: 01 July 2009, 09:06:19 AM »
 [at]  upasaka

Iya, hanya masalah penggunaan bahasa. Sebetulnya saya memilih istilah "kecocokan" karena lebih universal. "Kecocokan" ini adalah "kematangan bathin", jika diterjemahkan ke dalam kamus Buddhisme; bisa jadi "umat terpilih", jika diterjemahkan ke dalam kamus agama lain.

Dari sudut pandang Buddhist, kita akan mengatakan orang lain "bathinnya belum matang", dan dari sudut pandang umat lain, kita akan mengatakan orang lain "umat buangan". :D Dari sudut pandang saya, hanya masalah "cocok dan tidak cocok". Dan hal itu bergantung pada pola pikir dan pengalaman hidup seseorang.


Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #129 on: 01 July 2009, 09:41:56 AM »
Sedikit melengkapi mengenai SADDHA :

Sobhanasadharana cetasika 19: 19 cetasika indah yang terdapat di semua jenis sobhana citta

Saddha
Sati
Hiri
Ottappa
Alobha
Adosa
Tatramajjhattatata
Kaya passadhi
Cittapassadhi
Kaya lahuta
Citta lahuta
Kaya muduta
Citta muduta
Kaya kammannata
Citta kammannata
Kaya pagunnata
Citta pagunnata
Kayujukata
Cittajukata

Dari 19 cetasika indah yang muncul, saddha merupakan pelopornya. Disini dapat dilihat bhw fanatisme bukanlah saddha
Fanatisme adalah miccha ditthi yaitu melekat pada konsep yg keliru.

Dalam hal ini, bukan ajarannya yang dilekati, melainkan pada konsep/pemikiran bhw ajarannya yang benar, itulah yang dilekatinya

Namun ajarannya itu sendiri tetap merupakan kebenaran

Semoga bs memperjelas mengenai SADDHA agar tidak didegradasi nilainya seolah hanya menjadi keyakinan/iman semata

semoga bermanfaat

metta

Offline savana_zhang

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 253
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • om mani padme hum
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #130 on: 03 July 2009, 01:22:01 PM »
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
bermeditasi obyek asubha
atau dg vipasana

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Buddha dan Tradisi
« Reply #131 on: 11 July 2009, 11:37:19 AM »
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".

Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.

Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.


Offline savana_zhang

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 253
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • om mani padme hum
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #132 on: 14 July 2009, 12:49:35 PM »
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".

Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.

Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.


betul,pandangan seperti itu adalah bijaksana

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #133 on: 14 July 2009, 01:07:16 PM »
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".

Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.

Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.



Sumbernya dari mana Bro? Sutta apa?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #134 on: 14 July 2009, 02:26:50 PM »
Itu kisah penjelasan dari Vinaya Pitaka, Cv.V.33.3, tentang aturan bhikkhu mengenai "jimat" dan "tanda-tanda".