Kalo aye punya niat nyang kaga baek dan mau membanding2kan masing2 guru. Aye juga bisa bilang, alamaak Guru ente kaga pernah dapet Roll Royce. Itu artinya Guru ente kaga pernah menerima rasa terima kasih nyang begitu besar dari muridnye. Inget orang kasih Roll Royce (bukan cuman sekedar pisang goreng) tentunya kaga sembarangan, menginget harganye nyang kaga moerah. Mestinya kalo ente pikir positif, guru itu ada nyang kasih Roll Royce, tentunye dia bukan orang sembarangan.
Kalo aye mau sombong dan mau bikin atta aye setinggi Gunung Sumeru, aye akan bilang: "Wadouw Guru ente mah kecil. Mana pernah dia terima barang segitu berharga. Pasti kaga ada ilmunye tuh." Aye juga bisa pikir, "Guru ente itu cuman pinternye teori en teori kaga bisa dimakan. Guru aye hebat karena BISA menyelesaikan masalah umatNye, termasuk masalah duniawi." Bukti hidupnye ya adalah mobil Roll Royce itu sendiri. Aye makin yakin sama Guru Aye dan ajaranNye. Ajaran Die memang Buddhadharma sejati.
Nah gimane kalo aye jadi poenya pikiran gitoe? Joejoernye sebelum ente posting masalah itu di sini, aye kaga poenya pikiran begini. huehueheue
sayang sekali pada masa Buddha Gotama masih hidup tidak ada Rolls Royce, tapi mungkin anda pernah membaca kisah Sang Bodhisatta ditawari setengah dari kerajaan Magadha, menurut anda lebih tinggi mana nilai ekonomisnya dibandingkan dengan Rolls Royce? dan apakah Bodhisatta Gotama tergopoh-gopoh menerima tawaran itu?
di jaman sang Buddha, ada seorang saudagar kaya raya yang kemudian jatuh miskin gara-gara terlalu banyak menyumbang vihara. namanya : Anathapindika. menurut anda patut dicontoh tidak tindakan beliau ini?
di mana anda membaca ini Bro, mohon referensinya, saya akan menjawab setelah membaca sumber anda.
selain itu pertanyaan anda sepertinya tidak relevan untuk kasus ini, ini kan jawaban atas statement dari rekan anda yg ini:
Aye juga bisa bilang, alamaak Guru ente kaga pernah dapet Roll Royce. Itu artinya Guru ente kaga pernah menerima rasa terima kasih nyang begitu besar dari muridnye.
jadi sepertinya ikan kembung rambut kribo.
maksudnya ini
ternyata kebiasaan baca sepotong2 makin marak dalam ajaran
Buddha non buddha
“Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Savatthi, di Jetavana, di Vihara Anathapindika...” Banyak kotbah Sang Buddha yang diawali dengan kalimat seperti ini, dan oleh karena itu nama dari sang umat awam utama, Anathapindika, dikenal baik oleh para pembaca literatur Buddhis. Namanya berarti “seseorang yang memberikan dana (pinda) kepada yang tak-mampu (anatha),” dan merupakan panggilan kehormatan Sudatta si perumahtangga dari kota Savatthi. Siapakah dia? Bagaimanakah dia bertemu Sang Buddha? Apakah hubungan dia dengan Ajaran? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bisa ditemukan dalam berbagai referensi yang muncul dalam teks-teks tradisional.
Pertemuan pertama Anathapindika dengan Sang Buddha terjadi segera setelah vassa ketiga sejak Sang Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Pada masa awalnya, Sang Buddha belum menetapkan peraturan apapun mengenai tempat berdiam bagi para bhikkhu. Para bhikkhu tinggal dimanapun yang mereka mau—di hutan, di bawah pohon, di bawah bebatuan yang menonjol, di jurang, di gua, di kuburan, dan di ruang terbuka. Pada suatu hari, seorang pedagang kaya dari Rajagaha, ibukota dari kerajaan Magadha, menjadi pengikut setia Sang Buddha. Ketika melihat cara hidup para bhikkhu, ia menyarankan kepada para bhikkhu untuk bertanya kepada Sang Guru apakah beliau mengijinkan mereka untuk menerima tempat tinggal yang permanen. Ketika Sang Buddha memberikan ijinnya, si pedagang langsung mendirikan tidak kurang dari enam puluh tempat tinggal bagi para bhikkhu, ia menjelaskan bahwa ia perlu mengumpulkan jasa kebajikan. Dengan dibangunnya vihara pertama itu, maka sebuah landasan telah dibuat untuk penyebaran Dhamma, karena sekarang telah ada pusat pelatihan bagi Sangha.
Pedagang ini memiliki seorang saudara ipar yang bernama Sudatta tetapi selalu dipanggil Anathapindika, pedagang terkaya di Savatthi. Pada suatu ketika Anathapindika sedang melakukan perjalanan bisnis di negara tetangga Magadha, ia mampir ke Rajagaha. Seperti biasa, ia selalu mampir dulu ke rumah saudara iparnya, yang dengannya terikat persahabatan yang hangat. Ketika memasuki rumah, dengan terkejut ia mendapati bahwa orang- orang di rumah itu nyaris tidak memperhatikannya. Sebelumnya ia telah terbiasa mendapat perhatian yang penuh dari saudara iparnya, serta penerimaan yang hangat dari para penghuni rumah. Tetapi sekarang ia menemukan mereka begitu sibuk, begitu bersemangat membuat persiapan yang rumit. Ia bertanya kepada saudara iparnya yang sedang sibuk, mengenai maksud dari semua ini: “Sebuah pernikahan? Sebuah upacara kurban besar? Kunjungan dari raja?” Namun saudara iparnya menjelaskan: “Aku telah mengundang Yang Tercerahkan (Sang Buddha) dan para bhikkhu ke sini untuk makan besok.”
Anathapindika pun tertarik: “Apakah engkau berkata ‘Yang Tercerahkan’?”
“Benar,” jawab saudara iparnya, “besok Yang Tercerahkan akan datang.” Anathapindika, yang sulit mempercayai pendengarannya, bertanya untuk kedua, dan ketiga kalinya: “Apakah engkau berkata ‘Yang Tercerahkan’?” Kemudian dengan menarik nafas lega, ia berkata, “Bahkan bunyi dari kata-kata ini saja sungguh langka di dunia—Yang Tercerahkan. Dapatkah seseorang benar-benar menemui beliau?” Saudara iparnya menjawab: “Hari ini kurang tepat, tetapi engkau dapat pergi menemuinya besok pagi.”
Malam itu, ketika Anathapindika berbaring tertidur, ia tergerak oleh pikiran dan perasaan yang berkecamuk. Begitu kuat perasaannya menanti pertemuan esok sehingga ia terbangun tiga kali di malam hari, berpikir bahwa hari sudah pagi. Akhirnya, ia bangun bahkan sebelum fajar dan keluar dari kota menuju vihara. Dalam kegelapan, rasa takut mendatanginya, keraguan dan ketakpastian berkecamuk dalam hatinya, dan semua insting duniawinya memberitahu untuk kembali. Tetapi makhluk halus yang tak-terlihat bernama Sivaka mendorongnya untuk terus,
“Seratus ribu gajah,
Seratus ribu kuda,
Seratus ribu kereta yang ditarik bagal,
Seratus ribu gadis Yang dipercantik dengan perhiasan dan anting-anting—
Kesemuanya tidak seharga seperenam belas
Satu langkah maju.”
“Majulah, perumahtangga! Majulah, perumahtangga! Melangkah maju lebih baik bagimu, janganlah berbalik lagi.”
Kemudian sepanjang sisa malam itu, Anathapindika berjalan dengan tekad bulat. Selang beberapa waktu, ia melihat dalam kabut fajar sesosok orang berjalan dengan tanpa suara ke belakang dan ke depan. Anathapindika berhenti. Kemudian sosok itu memanggilnya dengan suara merdu yang tak dapat digambarkan: “Datanglah, Sudatta!”
Anathapindika terkejut ketika disapa demikian, karena tidak ada orang di sana yang memanggilnya dengan nama kecilnya. Ia hanya dikenal sebagai Anathapindika, dan lagipula, ia tidak dikenal oleh Sang Buddha dan telah datang tanpa pemberitahuan. Sekarang ia yakin bahwa ia berada di hadapan Yang Tercerahkan. Diliputi dengan bobot suasana dari pertemuan itu, ia jatuh di kaki Sang Guru dan bertanya dengan tergagap-gagap: “Apakah Sang Bhagava tidur dengan nyenyak?” Dengan jawaban beliau terhadap pertanyaan konvensional ini, Sang Buddha memberitahu sekilas mengenai keagungannya yang sebenarnya kepada Anathapindika:
Selalu tidur dengan nyenyak,
Sang brahmana yang dahaganya terpuaskan sepenuhnya,
Yang tidak melekat pada kenikmatan indria,
Sejuk di hati, tanpa menguasai.
Telah memotong semua kemelekatan,
Telah melenyapkan kekhawatiran dari hati,
Orang damai tidur nyenyak,
Karena ia telah mencapai damai di pikiran.
Kemudian Sang Bhagava, sambil membimbing Anathapindika selangkah demi selangkah, berbicara kepadanya mengenai memberi, kemoralan, surga; bahaya, kesia-siaan, dan sifat menodai dari kenikmatan indria; manfaat pelepasan. Ketika beliau melihat bahwa hati dan pikiran Anathapindika sudah siap— mudah menerima, tidak terganggu, bersemangat dan damai— beliau menjelaskan kepadanya ajaran unik Yang Tercerahkan: Empat Kebenaran Mulia mengenai penderitaan, sebabnya, berakhirnya, dan jalan untuk mengakhirinya. Dengan itu, mata kebenaran yang tanpa noda, bersih dari debu (dhammacakkhu) terbuka bagi Anathapindika: “Apapun yang memiliki sifat alami timbul, semua juga memiliki sifat alami tenggelam.“ Anathapindika telah memahami kebenaran Dhamma, mengatasi semua keraguan, dan tanpa goyah; mantap dalam pikiran, ia sekarang mandiri dalam Ajaran Sang Guru. Ia telah merealisasi jalan dan buah pemasuk-arus (sotapatti).
Ia kemudian mengundang Sang Guru untuk bersantap keesokan harinya di rumah saudara iparnya, dan Sang Guru menerimanya. Setelah bersantap siang, Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”
“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
Ketika Anathapindika kembali ke Savatthi, ia mendorong orang-orang di sepanjang jalan untuk menerima Sang Buddha dengan hormat. Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana—Hutan Jeta—milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.
Anathapindika mengunjungi Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya bahkan untuk harga yang pantas yaitu delapan belas juta koin emas. “Saya akan memberi anda sebanyak itu, sekarang juga,” balas Anathapindika. Tetapi mereka tidak bisa sepakat sehingga mereka menemui seorang penengah. Si penengah memutuskan bahwa harganya sebesar sebanyak mungkin koin emas dari delapan belas juta yang dapat diletakkan bersebelahan satu sama lainnya di tanah itu, dan berdasarkan ini kesepakatan jual-beli diputuskan.
Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal sepotong tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri. Menara dan gerbang ini melindungi vihara dari dunia luar, melindunginya dari suara di jalan dan menekankan garis pemisah antara yang suci dan duniawi. Anathapindika kemudian menghabiskan delapan belas juta lagi untuk membangun dan melengkapinya. Ia membangun sel-sel individual, ruang pertemuan, ruang makan, gudang, jalan, kamar mandi, sumur, dan kolam teratai untuk mandi sekaligus juga dinding besar di sekeliling tempat itu. Dengan demikian tempat itu berubah menjadi vihara dan berdiri sebagai tempat perlindungan religius (Vin. 2:158-59). Untuk menghormati kedua belah pihak yang berpartisipasi, teks-teks selalu mengacu pada tempat ini dengan dua nama: “Hutan Jeta” dan “Vihara Anathapindika.”.