//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - seniya

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 10
1
DHARMAPADA SUTRA: Untaian Syair Dharma

Dhammapada (Pāli) atau Dharmapada (Sanskrit) merupakan teks Buddhis yang populer dan berisi syair-syair Dharma (kebenaran atau ajaran Buddha) yang menginspirasi banyak praktisi Buddhis sejak masa kuno. Terdapat beberapa versi Dhammapada atau Dharmapada yang ada saat ini. Yang paling terkenal adalah Dhammapada dari aliran Theravāda dalam bahasa Pāli yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa modern. Padanannya dari aliran Sarvāstivāda disebut Udānavarga yang terdapat dalam bahasa Sanskrit, Tibet, dan Cina. Selain itu, terdapat juga versi Dharmapada dalam bahasa Prakrit, Gandhari, dan Cina.

Terdapat empat versi Dharmapada atau Udānavarga dalam bahasa Cina. Salah satunya adalah 法句經 (Faju Jing atau Dharmapada Sutra) yang saat ini dimasukkan dalam Tripitaka edisi Taisho nomor 210 (T. 210) dan merupakan terjemahan Dharmapada dalam bahasa Cina yang paling awal. Berbeda dengan Dhammapada Pāli yang terdiri dari 423 syair dalam 26 bab, Dharmapada Sutra yang diterjemahkan pada tahun 224 M atau tak lama setelah itu terdiri dari 752 syair dalam 39 bab di mana 26 bab di antaranya memiliki syair-syair padanan dalam Dhammapada Pāli.

Di sini penulis menerjemahkan teks Dharmapada Sutra secara bebas berdasarkan makna kata per kata. Penulis sendiri tidak memiliki keahlian khusus dalam menerjemahkan teks Buddhis langsung dari bahasa Cina kuno sehingga tidak menampik adanya kesalahan dalam terjemahan ini. Oleh sebab itu, penulis membuka diri atas saran dan perbaikan dari para pembaca, terutama yang memiliki pengetahuan bahasa Cina kuno yang digunakan teks-teks Buddhis, demi terjemahan Dharmapada Sutra yang lebih baik dan akurat.

Bab 1-3: https://www.academia.edu/78726065/DHARMAPADA_SUTRA_Untaian_Syair_Dharma_Bab_1_3_
Bab 4-...: on progress

2
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 11)
« on: 04 May 2021, 01:03:42 PM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 11 yang terdiri dari kotbah 117-131, yang merupakan bagian terakhir dari vol. II ini.

3
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 10)
« on: 02 April 2021, 03:19:38 PM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 10 yang terdiri dari kotbah 107-116.

4
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 11:30:28 AM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 9 yang terdiri dari kotbah 97-106.

5
Studi Sutta/Sutra / Dua Unsur Nibbana menurut EA 16.2
« on: 04 November 2020, 09:53:59 AM »
Ekottarāgama 16.2
涅槃
Nibbāna

聞如是:
Demikianlah telah kudengar:

一時,佛在舍衛國祇樹給孤獨 園。
Suatu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Jetavana, taman milik Anāthapiṇḍika.

爾時,世尊告諸比丘:「有此二法涅槃界。 云何為二?有餘涅槃界、無餘涅槃界。
Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat dua unsur Nibbāna ini. Apakah dua hal itu? Unsur Nibbāna dengan sisa dan unsur Nibbāna tanpa sisa.

彼云 何名為有餘涅槃界?於是,比丘滅五下分 結,即彼般涅槃,不還來此世,是謂名為 有餘涅槃界。
Apakah yang disebut sebagai unsur Nibbāna dengan sisa? Di sini, seorang bhikkhu, [dengan] melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, mendekati Nibbāna akhir [di alam Suddhavasa], tidak kembali lagi ke dunia ini. Ini disebut sebagai unsur Nibbāna dengan sisa.

彼云何名為無餘涅槃界? 於 是,比丘盡有漏成無漏,意解脫、智慧解脫, 自身作證而自遊戲:生死已盡,梵行已立, 更不受有,如實知之,是謂為無餘涅 槃界。此二涅 槃界,當求方便,至無餘涅槃 界。如是,諸比丘!當作是學。」
Apakah yang disebut sebagai unsur Nibbāna tanpa sisa? Di sini, seorang bhikkhu melenyapkan noda-noda (asava) dan mencapai yang tidak ternoda, terbebaskan dalam pikiran (cetovimutti) dan terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutti). Ia secara pribadi merealisasikan dan menembus untuk dirinya sendiri: ‘Kelahiran dan kematian telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, tidak akan mengalami kelangsungan lagi.’ Demikianlah ia memahami sebagaimana adanya. Ini disebut sebagai unsur Nibbāna tanpa sisa. Ini adalah dua unsur Nibbāna, yang seharusnya dicari dengan [pengerahan] usaha, sampai [mencapai] unsur Nibbāna tanpa sisa. Demikianlah, para bhikkhu, seharusnya kalian berlatih.

爾時,諸比丘聞 佛所說,歡喜奉行。
Pada waktu itu, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

6
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 07:32:02 PM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 8 yang terdiri dari kotbah 87-96.

8
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« on: 27 September 2020, 06:03:58 PM »
Ini adalah terjemahan dari The Madhyama Āgama (Middle-Length Discourses) vol. II yang diterjemahkan oleh Bhikkhu Analāyo dkk dari Taishō Tripitaka no. 26 (T 26). Volume II ini terdiri dari bagian 7-11 yang berisi kotbah 72-131. Berikut adalah terjemahan bagian ketujuh yang terdiri dari kotbah 72-86 (MĀ 72-86).

9
Berikut adalah terjemahan Ekottarika Agama bab 12 sutra pertama (EA 12.1) yang merupakan padanan dari MN 10 Satipatthana Sutta dan diterjemahkan dari teks Mandarin dengan membandingkan beberapa terjemahan yang ada di Suttacentral dan terjemahan bahasa Inggris dari Dharma Pearls

=====================================================================================

EKOTTARIKĀGAMA 12.1

[Jalan Menuju Satu]

Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Buddha berdiam di Sāvatthī di taman milik Anāthapiṇḍika dalam Hutan Jeta.
Saat itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, “Terdapat ‘jalan menuju satu’ (ekāyana-magga) yang memurnikan perilaku semua makhluk, melenyapkan dukacita, tanpa gangguan [pikiran], mencapai kebijaksanaan mulia, dan merealisasi Nirvāṇa. Ini adalah untuk melenyapkan lima rintangan dengan merenungkan empat penegakan perhatian. Mengapakah ia disebut ‘menuju satu’? Karena ia membawa pada keterpusatan pikiran. Ini disebut ‘menuju satu’. Mengapakah ia disebut ‘jalan’? Karena ia adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan: pandangan benar, pikiran benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, ucapan benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut ‘jalan’. Ini adalah ‘jalan menuju satu’.

“Apakah lima rintangan yang dilenyapkan? Yaitu, rintangan keinginan indria, rintangan permusuhan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, rintangan kemalasan dan kelambanan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah lima rintangan yang dilenyapkan.

“Apakah merenungkan empat penegakan perhatian? Di sini, seorang bhikkhu merenungkan jasmani secara internal, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]; merenungkan jasmani secara eksternal, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia].; merenungkan jasmani secara internal dan eksternal, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]. Ia merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan mengalami sukacita di dalamnya, merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal, serta merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal. Ia merenungkan pikiran secara internal dan mengalami sukacita di dalamnya, merenungkan pikiran secara eksternal, serta merenungkan pikiran secara internal dan eksternal. Ia merenungkan objek-objek pikiran secara internal, merenungkan objek-objek pikiran secara eksternal, serta merenungkan objek-objek pikiran secara internal dan eksternal dan mengalami sukacita di dalamnya.

[I. Perenungan Jasmani]

[1. Bagian-Bagian Tubuh]


“Bagaimanakah seorang bhikkhu merenungkan jasmani secara internal dan mengalami sukacita di dalamnya? Di sini, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini menurut sifat dan fungsinya; dari kepala sampai kaki, dari kaki sampai kepala, ia merenungkan jasmani ini sepenuhnya tidak murni dan tidak layak untuk dilekati. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmani ini terdiri atas rambut [kepala], bulu [tubuh], kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, otak, lemak, usus, lambung, jantung, hati, limpa, dan ginjal; ia mengamati dan menyadari semuanya. Kotoran, air seni, muntahan yang belum maupun sudah ditelan, air mata, ludah, ingus, pembuluh darah, minyak sendi, dan empedu; semuanya harus diamati dan dipahami sebagai yang tidak layak untuk dilekati. Demikianlah, para bhikkhu, kalian seharusnya merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia].

[2. Unsur-Unsur]

“Selanjutnya, seorang bhikkhu lebih lanjut merenungkan: ‘Apakah jasmani ini terdiri dari unsur tanah, air, api, dan udara?’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini. Lebih lanjut, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dengan membedakannya berdasarkan unsur-unsurnya: ‘Jasmani ini terdiri dari empat unsur.’ Bagaikan seorang tukang jagal atau muridnya memotong daging sapi dan mengamati: ‘Ini adalah kaki, ini adalah jantung, ini adalah persendian, ini adalah kepala.’ Demikian juga, bhikkhu itu membedakan unsur-unsur ini dan merenungkan jasmani ini terdiri dari unsur tanah, air, api, dan udara. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya.

[3. Lubang Kekotoran]

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini memiliki berbagai lubang yang menghasilkan kekotoran. Bagaikan seseorang yang mengamati taman bambu atau mengamati sekumpulan alang-alang, demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini memiliki berbagai lubang yang menghasilkan banyak kekotoran.

[4. Perenungan Tanah Perkuburan]

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang telah meninggal dunia satu malam, dua malam, tiga malam, empat malam, lima malam, enam malam, atau tujuh malam dengan tubuh yang membengkak, berbau busuk, dan menjijikkan. Lebih lanjut, ia mengamati jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Jasmaniku tidak terhindarkan dari kemalangan ini.’ Lebih lanjut, seorang bhikkhu merenungkan mayat tersebut terlihat dimangsa oleh burung gagak dan burung nasar, atau terlihat dimangsa oleh macan, serigala, anjing, dan dipenuhi oleh belatung. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Jasmaniku tidak terbebas dari kemalangan ini.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang separuh dimangsa dan berserakan di atas tanah, berbau busuk, dan menjijikkan. Lebih lanjut, ia mengamati jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Jasmaniku tidak terbebas dari keadaan ini.’ Lebih lanjut, ia merenungkan mayat tersebut hanya berupa tulang dengan daging telah lenyap dan berlumuran darah. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmani ini tidak berbeda dengan jasmani tersebut. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini. Lebih lanjut, ia merenungkan mayat yang dibungkus oleh otot dan urat [bagaikan] kayu bakar yang diikat bersama. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang tulang dan persendiannya berserakan dan terpisah di tempat yang berbeda; tulang tangan dan kaki masing-masing pada satu tempat; tulang tempurung lutut, tulang pinggang, tulang ekor, tulang lengan, tulang bahu, tulang iga, tulang belakang, tulang leher, dan tulang tengkorak [masing-masing pada satu tempat]. Lebih lanjut, [ia merenungkan] jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Diriku tidak terhindarkan dari kondisi ini. Jasmaniku juga mengalami kehancuran.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang berwarna putih pucat dan putih kehijauan. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Diriku belum terbebas dari kondisi ini.’ Inilah yang disebut seorang bhikkhu merenungkan jasmaninya sendiri.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu seakan-akan melihat mayat berupa tulang yang memar membiru, yang tidak seharusnya diinginkan, atau dengan warna yang sama dan tidak dapat dibedakan dengan debu. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmaninya sendiri dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]: ‘Jasmani ini tidak kekal dan mengalami kelapukan.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani secara internal, merenungkan jasmani secara eksternal, dan merenungkan jasmani secara internal dan eksternal, dengan memahami tiada yang memilikinya.

[II. Perenungan Perasaan]

“Bagaimanakah seorang bhikkhu merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal? Di sini, ketika seorang bhikkhu mengalami perasaan menyenangkan, ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan menyakitkan, ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan menyakitkan.’ Ketika mengalami perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan duniawi yang menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan duniawi yang menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan duniawi yang menyakitkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan duniawi yang menyakitkan.’ Ketika mengalami perasaan duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan non-duniawi yang menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan non-duniawi yang menyenangkan.’ ’ Ketika mengalami perasaan non-duniawi yang menyakitkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan non-duniawi yang menyakitkan.’ Ketika mengalami perasaan non-duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan non-duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan secara internal.

“Selanjutnya, ketika seorang bhikkhu mengalami perasaan menyenangkan, saat itu ia tidak mengalami perasaan menyakitkan, maka ia menyadari: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan. Ketika mengalami perasaan menyakitkan, saat itu ia tidak mengalami perasaan menyenangkan, maka ia menyadari: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan.’ Ketika mengalami perasan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, saat itu tidak ada dukacita maupun sukacita, maka ia menyadari: ‘Aku merasakan perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyakitkan.’ Ia mengalami sukacita dalam [merenungkan] munculnya fenomena, merenungkan lenyapnya fenomena, dan merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena. Demikian juga, ketika perasaan itu muncul, ia mengetahui dan mengamatinya, dengan merenungkan asal mulanya. Dengan tidak bergantung pada apa pun, ia mengalami sukacita di dalamnya dan tidak memunculkan ketamakan terhadap dunia. Dalam hal ini, ia tidak mengalami ketakutan; karena tanpa ketakutan, ia secara langsung merealisasi Nirvāṇa: ‘Kelahiran kembali telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi mengalami penjelmaan.’ Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan secara internal dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau dan tanpa kesedihan [terhadap dunia], merenungkan perasaan secara eksternal, serta merenungkan perasaan secara internal dan eksternal dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan secara internal dan eksternal.

[III. Perenungan Pikiran]

“Bagaimanakah seorang bhikkhu merenungkan fenomena pikiran sebagai pikiran dan mengalami sukacita di dalamnya? Di sini, ketika seorang bhikkhu memiliki pikiran dengan nafsu, ia menyadari terdapat pikiran dengan nafsu. Ketika memiliki pikiran tanpa nafsu, ia menyadari terdapat pikiran tanpa nafsu. Ketika memiliki pikiran dengan kebencian, ia menyadari terdapat pikiran dengan kebencian. Ketika memiliki pikiran tanpa kebencian, ia menyadari terdapat pikiran tanpa kebencian. Ketika memiliki pikiran dengan delusi, ia menyadari terdapat pikiran dengan delusi. Ketika memiliki pikiran tanpa delusi, ia menyadari terdapat pikiran tanpa delusi. Ketika memiliki pikiran dengan kerinduan, ia menyadari terdapat pikiran dengan kerinduan. Ketika memiliki pikiran tanpa kerinduan, ia menyadari terdapat pikiran tanpa kerinduan. Ketika memiliki pikiran dengan kemelekatan, ia menyadari terdapat pikiran dengan kemelekatan. Ketika memiliki pikiran tanpa kemelekatan, ia menyadari terdapat pikiran tanpa kemelekatan. Ketika memiliki pikiran yang kacau, ia menyadari terdapat pikiran yang kacau. Ketika memiliki pikiran yang tidak kacau, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak kacau. Ketika memiliki pikiran yang berhamburan, ia menyadari terdapat pikiran yang berhamburan. Ketika memiliki pikiran yang tidak berhamburan, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak berhamburan. Ketika memiliki pikiran yang meliputi segalanya, ia menyadari terdapat pikiran yang meliputi segalanya. Ketika memiliki pikiran yang tidak meliputi segalanya, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak meliputi segalanya. Ketika memiliki pikiran yang luhur, ia menyadari terdapat pikiran yang luhur. Ketika memiliki pikiran yang tidak luhur, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak luhur. . Ketika memiliki pikiran yang tidak terbatas, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak terbatas. Ketika memiliki pikiran yang terbatas, ia menyadari terdapat pikiran yang terbatas. Ketika memiliki pikiran yang terkonsentrasi, ia menyadari terdapat pikiran yang terkonsentrasi. Ketika memiliki pikiran yang tidak terkonsentrasi, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak terkonsentrasi. Ketika memiliki pikiran yang tidak terbebaskan, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak terbebaskan. Ketika memiliki pikiran yang terbebaskan, ia menyadari terdapat pikiran yang terbebaskan. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik pikiran.

“Ia merenungkan munculnya fenomena, merenungkan lenyapnya fenomena, dan merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena. Ia mengalami sukacita dalam perenungan [muncul dan lenyapnya] fenomena. Ia tidak bergantung pada apa yang dapat disadari, yang dapat dilihat, yang dapat dipikirkan, dan yang tidak dapat dipikirkan sehingga ia tidak memunculkan ketamakan terhadap dunia. Tidak memunculkan ketamakan [terhadap dunia], ia tidak mengalami ketakutan. Tanpa ketakutan, ia mencapai [kondisi] tanpa sisa [kemelekatan]. Tanpa sisa [kemelekatan], ia secara langsung merealisasi Nirvāṇa: ‘Kelahiran kembali telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi mengalami penjelmaan.’ Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]; ia menegakkan perhatian dengan merenungkan pikiran secara eksternal serta merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dan eksternal. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik pikiran sebagai pikiran.

[IV. Perenungan Objek Pikiran]

[1. Tujuh Faktor Pencerahan]


“Bagaimanakah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran? Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan penyelidikan (vīmaṃsā), berdasarkan kebosanan (virāga), berdasarkan lenyapnya, dan meninggalkan kualitas-kualitas buruk. Ia mengembangkan faktor pencerahan [penyelidikan] fenomena, mengembangkan faktor pencerahan kegigihan, mengembangkan faktor pencerahan sukacita, mengembanngkan faktor pencerahan ketenangan, mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi, dan mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan penyelidikan, berdasarkan kebosanan, berdasarkan lenyapnya, dan meninggalkan kualitas-kualitas buruk. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

[2. Jhāna-Jhāna]

“Selanjutnya, dengan terbebas dari kenikmatan indria, meninggalkan kualitas-kualitas buruk dan tidak bermanfaat, dengan awal dan kelangsungan pikiran, dengan ketenangan dan kenikmatan, seorang bhikkhu berdiam dalam jhāna pertama dan mengalami sukacita di dalamnya. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

“Selanjutnya, dengan meninggalkan awal pikiran, dengan kelangsungan pikiran, kenikmatan yang muncul dari dalam, dan keterpusatan pikiran, seorang bhikkhu mencapai tanpa awal dan kelangsungan pikiran, penuh perhatian, dengan ketenangan, kenikmatan, dan kedamaian, ia berdiam dalam jhāna kedua dan mengalami sukacita di dalamnya. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

“Selanjutnya, dengan meninggalkan pemikiran, mengembangkan keseimbangan, selalu mengalami kenikmatan pada jasmani, seorang bhikkhu berdiam dalam jhāna ketiga, yang dicari oleh para bijaksana: ‘Ia [berdiam] seimbang, penuh perhatian, damai, dan murni.’ Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

“Selanjutnya, dengan meninggalkan kesakitan dan kenikmatan, tidak lagi mengalami kesedihan dan kebahagiaan, tanpa dukacita dan tanpa sukacita, seimbang, penuh perhatian, damai, dan murni, seorang bhikkhu berdiam dengan gembira dalam jhāna keempat. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran. Ia berlatih [merenungkan] munculnya fenomena, berlatih [merenungkan] lenyapnya fenomena, dan berlatih [merenungkan] muncul dan lenyapnya fenomena dan mengalami sukacita di dalamnya. Ia secara langsung memperoleh penegakan perhatian pada objek pikiran yang sedang muncul, yang dapat diketahui dan dapat dilihat, dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau, tidak bergantung pada apa pun, dan tidak memunculkan ketamakan pada dunia. Tidak memunculkan ketamakan [pada dunia], ia tidak mengalami ketakutan. Tanpa ketakutan, [ia secara langsung merealisasi Nirvāṇa:] ‘Kelahiran kembali telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi mengalami penjelmaan.’ Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya.

“Para bhikkhu, dengan bergantung pada ‘jalan menuju satu’, semua makhluk mencapai kemurnian [perilaku], meninggalkan dukacita, tanpa kesedihan dan ketamakan [terhadap dunia], mencapai kebijaksanaan [mulia], dan merealisasi Nirvāṇa. Inilah adalah untuk melenyapkan lima rintangan dengan mengembangkan empat penegakan perhatian.”

Pada waktu itu, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

10
Ekottarāgama 19.2
[Dua Ekstrem]

聞如是:
一時,佛在波羅 [木*奈] 國仙人鹿苑 中。

Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa Isipatana.

爾時,世尊告諸比丘:「有此二事,學道者 不應親近。云何為二事?所謂著欲及樂之 法,此是下卑凡賤之法,又此諸苦眾惱百 端,是謂二事學道者不應親近。如是,捨 此二事已,我自有至要之道得成正覺,眼 生、智生,意得休息,得諸神通,成沙門果,至 於涅槃。

Pada saat itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat dua hal yang seharusnya dihindari seseorang yang meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan. Apakah dua hal itu? Yaitu memanjakan diri dalam kesenangan [indria], ini adalah hal yang rendah, hina, duniawi, dan kasar; dan segala jenis penyiksaan diri [yang menyebabkan] berbagai penderitaan. Ini adalah dua hal yang seharusnya dihindari seseorang yang meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan. Demikianlah, setelah meninggalkan dua hal ini, aku sendiri memperoleh jalan tertinggi untuk mencapai pencerahan sempurna [sehingga] penglihatan muncul, pengetahuan muncul, batinku mencapai kedamaian, mencapai pengetahuan langsung (abhiññā), memperoleh buah dari kehidupan pertapaan, dan mencapai Nirvana.

云何為至要之道得成正覺,眼生、 智生,意得休息,得諸神通,成沙門果,至於 涅槃?所謂此賢聖八品道是。所謂等見、等治、 等語、等業、等命、等方便、等念、等定,此名至要 之道。今我得成正覺,眼生、智生,意得休息, 得諸神通,成沙門果,至於涅槃。如是,諸比 丘!當學捨上二事,習於至要之道。如是,諸 比丘!當作是學。」

“Apakah jalan tertinggi untuk mencapai pencerahan sempurna [sehingga] penglihatan muncul, pengetahuan muncul, batinku mencapai kedamaian, mencapai pengetahuan mendalam, memperoleh buah dari kehidupan pertapaan, dan mencapai Nirvana? Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yang adalah pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah jalan tertinggi tersebut. Sekarang aku telah mencapai pencerahan sempurna [sehingga] penglihatan muncul, pengetahuan muncul, batinku mencapai kedamaian, mencapai pengetahuan langsung, memperoleh buah dari kehidupan pertapaan, dan mencapai Nirvana. Demikianlah, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih meninggalkan dua hal di atas dan menjalankan jalan tertinggi itu. Demikianlah, para bhikkhu, seharusnya kalian berlatih.”

爾時,諸比丘聞佛所說,歡 喜奉行。

Pada waktu itu, setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

11
Ekottarāgama 27.5

[Empat Latihan Seorang Bodhisattva]*

聞如是:
一時,佛在舍衛國祇樹給孤獨 園。

Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di taman milik Anāthapiṇḍika dalam Hutan Jeta.

爾時,彌勒菩薩至如來所,頭面禮足,在 一面坐。爾時,彌勒菩薩白世尊言:「菩薩摩 訶薩成就幾法,而行檀波羅蜜,具足六 波羅蜜,疾成無上正真之道?」

Pada waktu itu, Bodhisattva Maitreya mendatangi tempat kediaman Sang Tathāgata, memberikan penghormatan dengan menjatuhkan kepalanya pada kaki [Sang Buddha], kemudian duduk pada satu sisi. Saat itu Bodhisattva Maitreya berkata kepada Sang Bhagavā: “[Terdapat] berapakah hal yang dicapai seorang Bodhisattva-mahasattva sehingga ia melatih kesempurnaan memberi (dāna pāramitā), menyempurnakan enam kesempurnaan (sad pāramitā), dan dengan segera mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya?”

佛告彌勒:「若 菩薩摩訶薩行四法本,具足六波羅蜜,疾 成無上正真等正覺。云何為四?於是,菩薩 惠施佛、辟支佛,下及凡人,皆悉平均不選擇 人,恒作斯念:『一切由食而存,無食則喪。』是 謂菩薩成就此初法,具足六度。

Sang Buddha menjawab Maitreya: “Jika seorang Bodhisattva-mahasattva berlatih empat hal utama, maka ia menyempurnakan enam kesempurnaan dan dengan segera mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya. Apakah empat hal itu? Di sini, seorang Bodhisattva memberikan pemberian [makanan] kepada seorang Buddha, Pacceka Buddha, sampai dengan orang-orang biasa, semuanya sama tanpa membeda-bedakan orang, dengan selalu mengingat hal ini: ‘Semua [makhluk] bergantung pada makanan untuk bertahan [hidup]; jika tidak makan, [mereka] akan meninggal.’ Ini adalah hal pertama yang dicapai seorang Bodhisattva untuk menyempurnakan enam kesempurnaan.”

「復次,菩薩 若惠施之時,頭、目、髓、腦,國、財、妻、子,歡喜惠施, 不生著想。由如應死之人臨時還活,歡 喜踊躍,不能自勝。爾時,菩薩發心喜悅,亦復 如是,布施誓願不生想著。

“Selanjutnya, ketika memberikan pemberian [berupa] kepala, mata, sumsum, otak, kerajaan, harta kekayaan, istri, dan anak, seorang Bodhisattva bergembira dalam perbuatan memberi tersebut dan tidak memunculkan pikiran kemelekatan. Bagaikan seseorang yang seharusnya meninggal dunia ketika waktunya tiba masih hidup, melompat-lompat kegirangan, dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Demikian juga, pada saat itu seorang Bodhisattva memunculkan pikiran sukacita dan tekad kedermawannya tidak memunculkan pikiran kemelekatan. [Ini adalah hal kedua yang dicapai seorang Bodhisattva untuk menyempurnakan enam kesempurnaan.]”

「復次,彌勒!菩薩 布施之時,普及一切,不自為己使成無上 正真之道,是謂成就此三法,具足六度。

“Selanjutnya, Maitreya, ketika melakukan kedermawanan, seorang Bodhisattva menjangkau semua [makhluk] dan tidak demi dirinya sendiri ia mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya. Ini adalah hal ketiga yang dicapai [seorang Bodhisattva] untuk menyempurnakan enam kesempurnaan.”

「復 次,彌勒!菩薩摩訶薩布施之時,作是思惟:『諸 有眾生之類,菩薩最為上首,具足六度,了 諸法本。何以故?食已[以]**,諸根寂靜,思惟禁 戒,不興瞋恚,修行慈心,勇猛精進,增其 善法,除不善法,恒若一心,意不錯亂,具足 辯才,法門終不越次,使此諸施具足六度, 成就檀波羅蜜。』

“Selanjutnya, Maitreya, ketika melakukan kedermawanan, seorang Bodhisattva-mahasattva merenungkan demikian: ‘Di antara semua makhluk, Bodhisattva adalah yang terunggul, yang menyempurnakan enam kesempurnaan, dan memahami semua asal mula fenomena. Mengapakah demikian? Karena semua indrianya tenang, pikirannya terkendali, tidak memunculkan kebencian, mengembangkan pikiran cinta kasih, dengan penuh semangat mengerahkan usaha untuk mengembangkan kualitas-kualitas bermanfaat dan melenyapkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat, pikirannya selalu terpusat, batinnya tidak kacau, memiliki kelancaran berbicara, mempelajari penjelasan Dharma (dharmaparyāya) secara berurutan, menyebabkan semua kedermawan ini memiliki enam kesempurnaan, dan mencapai kesempurnaan memberi.’ [Ini adalah hal keempat yang dicapai seorang Bodhisattva untuk menyempurnakan enam kesempurnaan.]”

「若菩薩摩訶薩行此四法,疾 成無上正真等正覺。是故,彌勒!若菩薩摩訶 薩欲施之時,當發此誓願,具足諸行。如是, 彌勒!當作是學。」

“Jika seorang Bodhisattva-mahasattva berlatih empat hal ini, maka ia akan dengan segera mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya. Oleh sebab itu, Maitreya, ketika akan melakukan kedermawanan, seorang Bodhisattva-mahasattva harus membangkitkan tekad ini untuk menyempurnakan semua perbuatannya. Demikianlah, Maitreya, ini adalah latihan yang seharusnya dilakukan.”

爾時,彌勒聞佛所說,歡喜 奉行。

Pada waktu itu, Bodhisattva Maitreya setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Catatan Kaki:

* Judul ditambahkan penerjemah (dalam teks aslinya sutra ini tidak berjudul)

** Menggunakan bacaan varian dalam kurung siku

12
Studi Sutta/Sutra / Istilah Mahayana dalam SA 769 (Padanan SN 45.4)
« on: 12 August 2020, 01:30:39 PM »
Dalam sebuah diskusi tentang istilah Mahayana vs Hinayana melalui medsos kemarin, salah seorang peserta diskusi menemukan istilah Mahayana (大乘 dasheng = kendaraan besar) dalam teks Samyukta Agama Mandarin yang merupakan salah satu kumpulan kotbah awal sepadan Samyutta Nikaya Pali. Istilah ini ditemukan dalam Samyukta Agama sutra ke-769 (SA 769) yang mengibaratkan JMB8 sebagai kereta surgawi (deva-yana), kereta brahmana (brahmana-yana), kereta agung (maha-yana). Oleh sebab itu, pada kesempatan ini TS berusaha menerjemahkan (secara bebas/kata per kata) teks Agama Sutra ini untuk mengetahui apakah benar Mahayana yang dimaksud dalam sutra ini sama dengan aliran Mahayana saat ini.

13
Berikut adalah kutipan dari buku Mahayana Buddhism, The Doctrinal Foundations 2nd edition oleh Paul Williams tentang tanah Buddha (Buddhaksetra) dan perenungan terhadap Buddha (Buddhanusmrti) dalam Mahayana. Kutipan ini pernah dipost oleh TS di topik lain dan di forum sebelah yang sudah parinibbana. TS mem-post kembali di sini agar memudahkan untuk pencarian kembali sebagai bahan referensi.

=========================================================

Buddhanusmrti – perenungan terhadap Buddha

Sutta Nipata dari Kanon Pali umumnya dianggap oleh para ahli sebagai teks Buddhis tertua yang masih ada. Pada akhir Sutta Nipata, pada bagian yang juga dianggap sebagai tingkatan paling tua dari teks tersebut terdapat bagian yang sangat mengharukan dan, saya pikir, percakapan yang penting. Seorang brahmin bernama Pingiya ‘sang bijaksana’ memuliakan Sang Buddha dalam kata-kata yang tulus:

“Mereka menyebutnya Buddha, Yang Tercerahkan, Yang Telah Sadar, yang melenyapkan kegelapan, dengan pandangan menyeluruh, dan mengetahui dunia ini sampai akhirnya.... Orang ini... adalah sosok yang aku ikuti.... Pangeran ini, secercah cahaya ini, Gotama, adalah satu-satunya yang melenyapkan kegelapan. Orang ini Gotama adalah semesta kebijaksanaan dan dunia pemahaman.”[1]

Pingiya ditanya mengapa ia tidak menghabiskan waktunya dengan Sang Buddha, guru yang mengagumkan tersebut? Pingiya menjawab bahwa ia sendiri sudah tua, ia tidak dapat mengikuti Buddha secara fisik, karena ‘tubuhku sedang melapuk’. Namun:

“tidak ada waktu sedikit pun bagiku yang dihabiskan jauh dari Gotama, dari semesta kebijaksanaan ini, dunia pemahaman ini... dengan kewaspadaan yang terus-menerus dan hati-hati, adalah memungkinkan bagiku untuk melihat-Nya dengan pikiranku sejernih [melihat dengan] mataku, siang dan malam. Dan karena aku menghabiskan malamku dengan menghormati Beliau, tidak ada, dalam pikiranku, sesaat pun jauh dari-Nya.”

Dalam percakapan yang luar biasa dan kuno ini Pingiya menunjukkan bahwa adalah memungkinkan melalui perhatiannya, melalui pemusatan pikirannya, agar ia terus-menerus berada di hadapan Sang Buddha dan terus-menerus menghormati Beliau. Pada akhir [teks ini], Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa Pingiya juga akan menuju ‘pantai yang lain’ dari Pencerahan.

Penafsiran percakapan ini mungkin sulit. Seseorang pastinya tidak akan menganggap bahwa kita di sini memiliki sistem keyakinan yang sudah baku. Walaupun demikian, pujian Pingiya terhadap Sang Buddha dan penghormatannya agar dapat melihat Beliau dalam pikirannya tampaknya berhubungan dengan praktek buddhanusmrti, perenungan terhadap Buddha, sebuah praktek yang telah diketahui dari konteks lain dalam Kanon Pali dan dijalankan, sejauh yang dapat kita katakan, semua aliran Buddhisme.

Berdasarkan komentator Theravada Buddhaghosa, seorang meditator yang ingin menjalankan perenungan terhadap Buddha harus pergi ke tempat yang cocok guna mengasingkan diri:
“dan merenungkan sifat-sifat khas dari Sang Buddha... sebagai berikut: ‘Demikianlah Sang Bhagava yang adalah yang telah menyelesaikan, tercerahkan sepenuhnya, memiliki pandangan (yang jernih) dan tindak tanduk (yang baik), mulia, pengenal dunia, pemimpin yang tak tertandingi dari para manusia yang dijinakkan, guru para manusia dan dewa, yang telah mencapai pencerahan dan yang dirahmati’.”[2]

Sang meditator merenungkan sifat-sifat Sang Buddha secara teratur dan terperinci. Di antara hasil dari meditasi yang demikian adalah bahwa, dalam kata-kata Buddhaghosa, sang meditator:
Mencapai sepenuhnya keyakinan, perhatian, pengertian dan kebajikan.... Ia menaklukan rasa takut dan kengerian.... Ia merasa seakan-akan ia tinggal dalam kehadiran Sang Guru. Dan tubuhnya... menjadi layak dihormati seperti ruang pemujaan. Pikirannya cenderung menuju pada kediaman para Buddha.[3]

Jika tergoda untuk melakukan perbuatan salah, sang meditator merasa sangat malu seakan-akan ia berhadapan langsung dengan Buddha. Bahkan jika perkembangan batinnya berhenti pada titik ini, ia akan maju menuju ‘tujuan bahagia’.

Tiga poin yang patut dicatat di sini. Pertama, terdapat hubungan antara buddhanusmrti dengan pencapaian taraf [spiritual] yang lebih tinggi, sebuah tujuan yang bahagia, atau ‘kediaman para Buddha’. Kedua, melalui perenungan terhadap Buddha seseorang menjadi bebas dari rasa takut. Kita mengetahui bahwa dari sumber sutra Sanskerta bahwa buddhanusmrti dianjurkan terutama sebagai penangkal rasa takut. Takut, dan keinginan untuk melihat Buddha, di sini saya pikir, adalah perasaan yang penting selama berabad-abad, bahkan berdekade-dekade, setelah wafatnya Sang Buddha. Gandavyuha Sutra mengatakan untuk banyak umat Buddha ketika ia menyatakan:

 “Adalah sulit, bahkan dalam waktu ratusan koti kalpa, untuk mendengar seorang Buddha mengajar;
Betapa semakin banyak melihat-Nya, penampakan-Nya menjadi penghapus utama semua keraguan....
Lebih baik terbakar selama berkoti kalpa dalam tiga keadaan yang menderita, walaupun mereka sangat mengerikan,
Daripada tidak melihat Sang Guru....
Lenyaplah semua penderitaan ketika seseorang telah melihat Sang Jina, Penguasa Dunia,
Dan menjadi mungkin untuk mencapai pengetahuan mendalam, dunia para Buddha yang tertinggi.”

Dan ketiga, melalui perenungan terhadapa Buddha, Buddhaghosa mengatakan, sang meditator akan merasa seakan-akan ia tinggal dalam hadapan Sang Buddha sendiri – sedemikian sehingga, bahwa rasa malu akan mencegahnya dari perbuatan jahat.[4]

Terdapat sebuah teks yang terdapat pada Ekottaragama milik Buddhisme awal, bagian dari kitab suci yang bertahan dalam terjemahan bahasa Cina, di mana diberikan sebuah kisah yang lebih rinci tentang perenungan terhadap Buddha daripada yang ditemukan dalam Kanon Pali. Dalam sutra ini, perenungan terhadap Buddha dikatakan membawa pada kekuatan batin dan bahkan pada Nirvana itu sendiri. Dalam ajaran Mahayana tentang para Buddha dan Bodhisattva yang tak terhingga banyaknya yang mendiami tak terhingga Tanah Buddha dari 10 arah mata angin (sebuah ajaran yang mungkin dipengaruhi oleh pengalaman buddhanusmrti), praktek perenungan terhadap Buddha mendapatkan kedudukan yang jauh lebih penting sebagai cara untuk berhubungan dengan para Buddha dan kediaman mereka. Saptasatika Prajnaparamita menjelaskan ‘Samadhi Perbuatan Tunggal’ di mana seseorang bisa dengan cepat mencapai pencerahan sempurna. Sang meditator:

“harus tinggal dalam kesunyian, membuang pikiran yang mengganggu, tidak melekat pada benda-benda, memusatkan pikiran mereka pada seorang Buddha, dan membaca nama-Nya denga tulus. Mereka harus menjaga tubuh mereka tetap tegak dan, dengan menghadap pada arah dari Buddha tersebut, bermeditasi terhadap-Nya secara terus-menerus. Jika mereka dapat menjaga perhatian terhadap Buddha tersebut tanpa henti dari waktu ke waktu, maka mereka akan dapat melihat semua Buddha dari masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang setiap waktu.”[5]

Pratyutpanna Sutra

Pratyutpanna Sutra pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Lokaksema mungkin sekitar tahun 179 M. Ini membuat ia salah satu terjemahan tertua sutra Buddhis ke dalam bahasa Cina. Ia berisi referensi literatur tertua yang dapat diidentifikasi datanya tentang Amitayus (= Amitabha) dan Tanah Buddha-Nya, Tanah Murni, di timur.[6] Di antara banyak ciri khas yang menarik dan tidak biasa dari sutra tertua ini adalah detail yang menggambarkan dan mendiskusikan pratyutpanna samadhi, yang tampaknya menjadi pesan penting sutra ini.

Dasar untuk menjalankan pratyutpanna samadhi adalah sila yang ketat. Seorang praktisi, umat awam atau viharawan, laki-laki atau perempuan, diminta untuk memenuhi sepenuhnya pelatihan sila sebelum memasuki pengasingan diri. Meditator kemudian mengasingkan diri di sebuah tempat terpencil dan menghadap ke arah di mana Buddha Amitayus berdiam. Ia memusatkan pikiran pada Buddha tersebut, dengan menghadap pada arah yang benar. Meditator melakukan apa yang telah kita bahas sebelumnya dalam praktek buddhanusmrti. Praktisi merenungkan Buddha tersebut langsung di hadapan:

“Para Bodhisattva harus memusatkan pikiran pada Sang Tathagata tersebut... yang sedang duduk di tahta Buddha dan mengajarkan Dharma. Mereka harus berkonsentrasi pada para Tathagata yang diberkahi dengan semua sifat yang mulia, gagah, menarik, menyenangkan untuk diperhatikan, dan dikaruniai dengan kesempurnaan tubuh [dst].”[7]

Selain itu kemulian tubuh dan kemampuan seorang Buddha dicatat dan direnungkan. Lebih jauh lagi, sang meditator diajarkan untuk tidak membiarkan timbulnya gagasan “diri” dalam cara apa pun selama tiga bulan, atau pun dikalahkan oleh ‘kemalasan dan kelambanan’ (yaitu tertidur), atau duduk ‘kecuali untuk buang air’ selama tiga bulan. Mereka harus berkonsentrasi pada Amitayus selama satu hari satu malam, atau selama dua, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh hari tujuh malam, sehingga, ketika telah terlewati penuh tujuh hari tujuh malam, mereka melihat:

“Yang Dimuliakan Tathagata Amitayus. Jika mereka tidak melihat Buddha tersebut selama siang hari, maka Sang Buddha tersebut... akan mempelihatkan wajah-Nya kepada mereka dalam mimpi ketika mereka tidur.”

Dan setelah melihat Buddha tersebut, meditator dapat menghormati Beliau dan menerima ajaran [dari Beliau]. Penglihatan atas Buddha ini bukan dengan ‘mata dewa’, [karena] ia bukan hasil dari kekuatan batin. Meditator tidak perlu mengembangkan berbagai kemampuan supernormal seperti mata dewa yang, seperti yang kita bahas dalam bab sebelumnya, hanya dapat dikembangkan pada tingkat Bodhisattva ketiga [dari Dasabhumi atau 10 tingkat Bodhisattva dalam Mahayana], dan dipikirkan dalam teks lain sebagai alat di mana seseorang dapat melihat para Buddha dari 10 penjuru arah. Para Buddha yang dilihat dalam pratyutpanna samadhi dikatakan dapat dipahami dengan perumpamaan mimpi. Ini memungkinkan karena semua [fenomena] adalah kosong dari wujud yang hakiki, dan oleh sebab itu semuanya hanya [produk] pikiran [Mind Only = Hanya Pikiran, sebuah ajaran dalam Mahayana bahwa semua fenomena yang kita rasakan, amati hanyalah berasal dari pikiran kita].

Catatan:
1. Terjemahan oleh Saddhatissa 1985: vv. 1133, 1136. Cf. terjemahan oleh Norman (Sutta Nipata
1984).
2. Visuddhimagga 7: 2, dalam Buddhaghosa 1975, mengutip dari rumusan standar yang ditemukan dalam Kanon Pali [Buddhanussati]. Harrison 1992a: 228–31 berpendapat bahwa anusmrti [anussati] lebih baik diterjemahkan sebagai ‘commemoration’ (peringatan) daripada ‘recollection’ (perenungan).
3. Buddhaghosa 1975: 230. Cf. Harrison 1992a: 218.
4.Patut dicatat tentang ungkapan ‘tujuan bahagia’ dan juga ‘kediamana para Buddha’. Apa, atau, di mana, kediaman para Buddha? Seperti yang akan kita lihat, ‘Tanah Murni’ yang paling terkenal di mana dalam ajaran Mahayana seorang Buddha saat ini berdiam mengajar Dharma disebut Sukhavati, secara harfiah ‘Tempat Bahagia’. Di sanalah seseorang dapat tinggal dalam hadapan para Buddha, bebas dari rasa takut.
5. Terjemahan dalam Chang 1983: 110. Dari bahasa Cina. Cf. terjemahan oleh Conze 1973b: 101.
6. Ungkapan aktual ‘Tanah Murni’ diterjemahkan dalam bahasa Cina jingtu (ching-t’u; bahasa Jepang: jodo), dan ini tampaknya tercipta di Cina.
7. Perhatikan bahwa para Buddha adalah jamak; Amitayus di sini diberikan hanya sebagai contoh. Terjemahan dalam Harrison 1990: 68. Lihat juga Harrison 1978.

14
Diskusi Umum / Tradisi India dan Bumi Bulat
« on: 26 November 2018, 08:17:07 AM »
Copas tulisan dari FB:

Quote from: Eka Wirajhana
Ketika Tradisi India membantai TUHAN "agama Langit"

Di Satapatha Brahmana, Yajnavalka [900-800 SM] menyampaikan bahwa bumi berbentuk pari-mandala atau seluruhnya bulat [SB 7.1.1.37: "ayaṃ vaí loko gā́rhapatyaḥ parimaṇḍalá u vā́ ayáṃ lokáḥ/dunia ini adalah Gārhapatya, dunia ini seluruhnya bulat tak diragukan lagi"], bentuk matahari seluruhnya bulat/pari-mandala [SB 9.1.2.40: "asau va ādityo hŕ̥dayaṃ ślakṣṇá eṣá ślakṣṇaṃ hŕ̥dayam parimaṇḍalá eṣá parimaṇḍalaṃ/matahari dan inti matahari halus, inti halus matahari seluruhnya bulat, Ia (matahari) seluruhnya bulat] matahari mengikat planet-planet [SB 8.7.3.10: "tadasāvāditya imāṃlokāntsūtre samāvayate tadyattatsūtraṃ vāyuḥ/kemudian di sana matahari mengikat planet-planet ke dirinya dengan ikatan. ikatan ini sama dengan vayu (getar/gerak/tarik/angin)"]. Arti "mandala" = lingkaran, bentuk putaran/lengkungan yang membulat.[1]

Penggunaan kata "mandala" juga terdapat di teks Buddhis Hinayana/Theravada, misal "pathavimaṇḍala" (SNP 5.1, AN 7.62, SN 3.25, DN 21, DN 5), "jāṇumaṇḍala" (AN 5.196, AN 4.21, DN 14), "nalāṭamaṇḍala" (SNP 3.7, MN 91, 92, DN 3) dan "mandalāgga/maṇḍal’āgra". Arti mandalaagra = pedang/golok berbentuk lengkung membulat. Kata "Pathavi" = bumi/daratan; "jāṇu" = lutut; "nalāṭa" = dahi. Jadi, objek 3 dimensi ini (bumi, lutut dan dahi) bentuknya lengkung membulat

Selain kata "mandala", juga digunakan kata "gola"/bola dan "cakra"/lingkaran untuk menunjukan suatu benda yang berbentuk bulat [2], misal:

"Cakrācāsaħ pariņaham pŗthivyā"/Orang-orang berdiam di sekeliling permukaan bumi [Rig Veda 1.33.8]
"Madhye samantāņđasya bhūgolo vyomni tisthati"/Di tengah jagat/Brahmanda, Bulatan bumi berdiam kokoh di ruang angkasa [Surya Sidhantha 12.32, 1000 SM]
"Bhūgolaħ sarvo vŗttaħ"/Bola Bumi bulat di sekelilingnya [Astronom Indian, Aryabhatta (476 M), Aryabhattiyam, Golapada, sloka ke 6]
"Paňca mahābhūtam ayastrārāgaņa paňjare mahigolah"/5 element menyebabkan bumi di ruang angkasa seperti bola besi tergantung di dalam kandang [Astronom India, Varahamihirä, Abad ke-6 M, Pancha Sidhanthika, Bab 13-sloka 1]

Bahwa bumi berbentuk bulatan tampaknya sudah merupakan pengetahuan umum di India. misalnya lewat penjelasan ahli matematik India, Bhaskarachrya, 1150 M, dalam bukunya, “Leelavathi” yang menjawab pertanyaan seorang gadis cilik bernama Leelavathi:

"Apa yang matamu lihat bukanlah realitas. Bumi tidaklah datar seperti yang kau lihat. Ia Bulat. Ketika kau menggambarkan lingkaran besar dan dilihat dari ¼ lingkaran, engkau akan melihat suatu garis lurus. Namun sebenarnya lengkungan. Sama juga dengan Bumi adalah berbentuk bulat"

Juga bahkan diketahui bahwa bumi BEROTASI dan MENGELILINGI MATAHARI:

"ahastā yad apadī vardhata kṣāḥ śacībhirvedyānām śuṣṇaṃ pari pradakṣiṇid/bumi tanpa tangan dan kaki, dengan kekuatan tertentu bergerak berputar kearah kanan sekitar matahari".(ahasta = tanpa tangan; apadi = tanpa kaki; śacībhirvedyānām = tahu dengan kekuatan tertentu; Kshaa = Bumi (Nigantu 1.1); Vardhat = bergerak; Shushnam Pari = Sekitar matahari; Pradakshinit = memutar ke kanan) [Rig Veda 10.22.14]

Aitareya Brahmana [3] menyampaikan bahwa di saat yang sama, ketika matahari bersinar di suatu tempat, maka di tempat lain di belahan lainnya adalah malam hari:

"Atha yad enam prātar udetīti manyante rātrer eva tad antam itvā atha ātmānaṃ viparyasyate, ahar eva avastāt kurute rātrīm parastāt. Sa vai esha na kadācana nimrocati. Na ha vai kadācana nimrocaty etasya ha sāyujyaṃ sarūpatāṃ salokatām aśmute ya evaṃ veda" ["Matahari tidak pernah terbenam maupun terbit. Ketika manusia berpikir bahwa matahari tengah terbenam, Ia hanya tampak berubah (viparyasyate). Setelah sampai di penghujung siang dan membuat malam di bawah dan siang di sisi yang lainnya. Kemudian ketika manusia berpikir matahari terbit di pagi hari, Ia tampak berubah sendiri, setelah mencapai penghujung malam dan membuat siang di bawah dan malam di sisi lainnya. Sebenarnya Matahari tidaklah pernah tenggelam. Siapapun yang tahu ini bahwa matahari tidak pernah terbenam, Ia menikmati persatuan dan kesamaan alami dengannya dan berdiam di alam yang sama"]

Dalam Kitab komentar Sumangala Vilāsinī/DA, karya Buddhagosa, abad ke-5 M:

Ketika matahari terbit di Jambudipa adalah waktu jaga malam ke-2 [22.00-02.00] di Aparagoyāna. Ketika matahari terbenam di Aparagoyana adalah saat tengah malam di Jambudipa. Siang hari di Jambudipa, adalah ketika matahari terbenam di Pubbavideha dan tengah malam di Uttarakuru [DPPN: DA III.868]

Veda tampaknya tahu bahwa terdapat banyak matahari, misal: "kati agnayaḥ kati sūryāsaḥ/Berapa jumlah Api dan Matahari?" [Rig Veda 10.88.18], "sapta diśo nānāsūryāḥ/7 arah banyak matahari" [RV 9.114.3]. Tradisi India, tampaknya telah tahu tentang area semesta yang gelap yang tidak dapat ditembus cahaya, juga tentang suara dapat merambat di angkasa luar dan terdapat triliunan galaxy, serta variasi bentuk galaxy, sekurannya nampak dalam kitab Buddhism:

Area gelap Semesta yang tidak tembus cahaya:
"antara batasan loka (lokantarikā), tanpa udara (aghā), luas/tak berbatas (asaṃvutā), gelap (andhakārā), gelap gulita (andhakāratimisā), dimana cahaya matahari2 bulan2 yang sangat kuat-perkasa tak dapat menjangkau (yatthapimesaṃ can­dima­sūriyā­naṃ evaṃ­ma­hiddhi­kā­naṃ evaṃma­hā­nubhā­vā­naṃ ābhā nānubhonti)" [SN 56.46; AN 4.127; MN 123; DN 14] -> area tidak berpenghuni di antara sahassadhāloka

Suara dapat merambat di angkasa luar dan triliunan galaksi:
“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini; di hadapan Beliau aku mempelajari ini: ‘Abhibhū, seorang siswa Sang Bhagavā Sikhī, sewaktu sedang menetap di alam brahmā, menyampaikan suaranya ke 1000 sistem dunia (sahassilokadhātuṃ).’ Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya? [4]”

“Ia adalah seorang siswa, Ānanda. Tathāgata adalah tidak terukur (appameyyā)

sejauh, Ananda, (Yāvatā, ānanda,) matahari-rembulan membawa kesekitar, menjelajahi arah cahayanya (candimasūriyā pariharanti, disā bhanti virocanā) sejauh 1000 dunia (tāva sahassadhā loke). 1000 dunia ini terdapat 1000 rembulan, 1000 matahari, 1000 raja pegunungan Sineru, 1000 Jambudīpa, 1000 Aparagoyāna, 1000 Uttarakuru, 1000 Pubbavideha, dan 1000 4 mahasamudra (alam asura); 1000 4 raja dewa, 1000 para deva yang dipimpin oleh 4 raja dewa, 1000 Tāvatiṃsa, 1000 Yāma, 1000 Tusita, 1000 para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, 1000 para deva yang mengendalikan ciptaan para deva lain, 1000 alam brahmā. Inilah Ananda yang disebut 1000 dunia kecil (sahassī cūḷanikā lokadhātu) [5]

Ananda, 1000 dunia kecil sejauh 1000 dunia ini (sahassī cūḷanikā lokadhātu tāva sahassadhā loko) dinamakan "dvisahassī majjhimikā lokadhātu".

Ananda, 1000 dunia menengah sejauh 1000 dunia (dvisahassī majjhimikā lokadhātu tāva sahassadhā loko) dinamakan "tisahassī mahāsahassī lokadhātu".

Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat menyampaikan suara-Nya (saranena) hingga di Tisahassi mahasahassi lokadhatu [AN 3.80/culanika sutta]

Ragam bentuk semesta:
"..Pada saat itu, Bodhisattva melanjutkan, "Para Murid Buddha, system dunia memiliki aneka bentuk dan karakteristik. Mereka bisa bulat atau persegi, atau tidak bulat atau tidak persegi. Variasinya tak terbatas. Beberapa berbentuk seperti pusaran air, seperti semburan api gunung berapi, seperti pepohonan atau bunga, seperti Istana atau seperti suatu mahluk hidup, seperti Buddha. Variasinya sebanyak partikel debu.." [Avatamsaka Sutra, bab 4. Perkembangan sutra mahayana sekitar konsili ke-3, 247 SM, terjemahan ke bahasa China mulai abad ke-2 M]

--

Ketika tuhan agama langit kr****n dan islam mengklaim diri super benar, menyatakan bahwa bumi itu datar, diciptakan duluan dari langit, siang malam baru ada beberapa waktu kemudian setelah terciptanya matahari dan bulan, malah mengatakan bahwa bintang sebagai alat pelempar setan dan seterusnya, kemudian, memaksakan seluruh dunia harus tunduk menyembahNYA, maka ini adalah suatu tindakan TIDAK TAHU DIRI, karena bahkan Tradisi INDIA (dan YUNANI), pengetahuan para manusia telah jauh mengalahkan pengetahuan tuhannya kr****n dan islam.

----
Note:

[1] Lihat juga: https://insa.nic.in/writereaddata/UpLoadedFiles/IJHS/Vol33_3_1_SCKak.pdf dan http://www.keplersdiscovery.com/Ancients.html

[2] Sanskrit-English, William Monier: bhūgola: -gola m. 'earth-ball', the terrestrial globe. BhP. -vidyā f. knowledge of the terrestrial globe, geography MW. bhūcakra: -cakra n. 'earth-circle', the equator or equinoctial line. Arti "bhu" = bumi dan "gola" = bulatan, globe, globular, bola

[3] Aitareya Brahmana, abad ke-9/8 SM, III.44, Translasi Dr Haug, di kutip di "Indian Wisdom", Monier Williams, 1893, Ed.4, Ch.2, hal.35: https://books.google.co.id/books?id=CgBAAQAAMAAJ&pg=PA35#v=onepage&q&f=false atau juga di AB 4.29

[4] bukti suara dapat merambat di angkasa luar: https://www.telegraph.co.uk/news/science/space/12169511/Nasa-releases-recording-of-strange-space-music-heard-by-Apollo-10-astronauts.html . Untuk penjelasan: https://gizmodo.com/there-actually-is-sound-in-outer-space-1738420340 dan https://www.forbes.com/sites/startswithabang/2017/05/03/there-is-sound-in-space-thanks-to-gravitational-waves/#296aa9c64049

[5] Sahassilokadhātuṃ = sahassī cūḷanikā lokadhātu: 1000 alam Brahma beserta ribuan alam di bawahnya. Dvisahassilokadhātuṃ = Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu: 1000 x 1000 = 1.000.000. Tisahassiloka-dhātuṃ = Tisahassi Mahasahassi lokadhatu: 1.000.000 x 1000 = 1.000.000.000

Gimana pendapat teman2? Apakah benar kitab2 kuno India sudah mengetahui bumi itu bulat (bola) sebelum sains modern menemukannya?

15
Studi Sutta/Sutra / DA 11 & 12 (sutra Dirgha Agama tanpa paralel)
« on: 31 May 2018, 08:59:57 AM »
Berikut adalah terjemahan Dirgha Agama kotbah 11 dan 12 yang tidak memiliki padanan Pali:

Dīrghāgama 11
Kotbah Meningkat Satu per Satu

Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī di Hutan Jeta, taman Anāthapiṇḍada, bersama dengan perkumpulan besar dari seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Aku akan mengajarkan kalian Dhamma yang mulia, yang ungkapannya pada awal, pertengahan, dan akhirnya adalah benar keseluruhannya, yang mengandung makna dan diberkahi dengan kemurnian kehidupan suci, yaitu, hal-hal yang meningkat satu per satu. Dengarkanlah dan perhatikan apa yang akan kuajarkan kepada kalian.” Kemudian para bhikkhu menerima pengajaran itu dan mendengarkan.

1. Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Hal-hal yang meningkat satu per satu [adalah sebagai berikut]: satu hal yang membawa keberhasilan besar, satu hal yang seharusnya dilatih, satu hal yang seharusnya dipahami, satu hal yang seharusnya dilenyapkan, dan satu hal yang seharusnya direalisasikan.

1.1 “Apakah satu hal yang membawa keberhasilan besar? Yaitu: tidak mengabaikan hal-hal yang bermanfaat.

1.2 “Apakah satu hal yang seharusnya dilatih? Yaitu: perhatian terus-menerus pada jasmani sendiri.

1.3 “Apakah satu hal yang seharusnya dipahami? Yaitu: dikontak oleh arus-arus [kekotoran batin]

1.4 “Apakah satu hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu: kesombongan ‘aku’.

1.5 “Apakah satu hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu: pembebasan pikiran yang tidak terhalangi.

2. “Selanjutnya, dua hal yang membawa keberhasilan besar, dua hal yang seharusnya dilatih, dua hal yang seharusnya dipahami, dua hal yang seharusnya dilenyapkan, dan dua hal yang seharusnya direalisasikan.

2.1 “Apakah dua hal yang membawa keberhasilan besar? Yaitu: memiliki rasa malu dan takut berbuat jahat.

2.2 “Apakah dua hal yang seharusnya dilatih? Yaitu: ketenangan dan pandangan terang.

2.3 “Apakah dua hal yang seharusnya dipahami? Yaitu: nama dan bentuk.

2.4 “Apakah dua hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu: ketidaktahuan dan ketagihan terhadap kelangsungan.

2.5 “Apakah dua hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu: pengetahuan dan pembebasan.

3. “Selanjutnya, tiga hal yang membawa keberhasilan besar, tiga hal yang seharusnya dilatih, tiga hal yang seharusnya dipahami, tiga hal yang seharusnya dilenyapkan, dan tiga hal yang seharusnya direalisasikan.

3.1 “Apakah tiga hal yang membawa keberhasilan besar? Yang pertama adalah bergaul dengan para sahabat baik, kedua adalah [memasang] telinga untuk mendengarkan Dharma, dan ketiga adalah menjadi terampil dalam Dharma [sesuai dengan] Dharma.

3.2 “Apakah tiga hal yang seharusnya dilatih? Yaitu tiga konsentrasi: konsentrasi pada kekosongan, konsentrasi pada tanpa-tanda, dan konsentrasi pada tanpa-nafsu.

3.3 “Apakah tiga hal yang seharusnya dipahami? Yaitu: perasaan menyakitkan, perasaan menyenangkan, dan perasaan netral.

3.4 “Apakah tiga hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu tiga jenis ketagihan: ketagihan terhadap kesenangan indera, ketagihan terhadap kelangsungan, dan ketagihan terhadap pemusnahan.

3.5 “Apakah tiga hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu tiga pengetahuan: pengetahuan tentang ingatan kehidupan lampau, pengetahuan mata dewa, dan pengetahuan lenyapnya arus-arus [kekotoran batin].

4. “Selanjutnya, empat hal yang membawa keberhasilan besar, empat hal yang seharusnya dilatih, empat hal yang seharusnya dipahami, empat hal yang seharusnya dilenyapkan, dan empat hal yang seharusnya direalisasikan.

4.1 “Apakah empat hal yang membawa keberhasilan besar? Yang pertama adalah berdiam di negeri tengah (madhyadeśa), kedua adalah bergaul dengan para sahabat baik, ketiga adalah pengendalian diri, dan keempat adalah telah menanam akar-akar kebajikan pada masa lampau.

4.2 “Apakah empat hal yang seharusnya dilatih? Yaitu empat penegakan perhatian: Sehubungan dengan jasmani internal seorang bhikkhu merenungkan jasmani, dengan tekun tanpa lalai, dengan perhatian penuh yang tidak jatuh, dengan meninggalkan nafsu dan ketidaksenangan terhadap dunia; sehubungan dengan jasmani eksternal ia merenungkan jasmani, dengan tekun tanpa lalai, dengan perhatian penuh yang tidak jatuh, dengan meninggalkan nafsu dan ketidaksenangan terhadap dunia; sehubungan dengan jasmani internal dan eksternal ia merenungkan jasmani, dengan tekun tanpa lalai, dengan perhatian penuh yang tidak jatuh, dengan meninggalkan nafsu dan ketidaksenangan terhadap dunia. Perenungan perasaan ... pikiran ... dan objek-objek pikiran juga seperti ini.

4.3 “Apakah empat hal yang seharusnya dipahami? Yaitu empat jenis makanan: potongan makanan [dari bahan makanan yang bisa dimakan], makanan kontak, makanan pikiran [yang disertai kehendak], dan makanan kesadaran.

4.4 “Apakah empat hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu empat jenis kemelekatan: Kemelekatan pada kesenangan indera, kemelekatan pada diri, kemelekatan pada aturan moralitas, dan kemelekatan pada pandangan.

4.5 “Apakah empat hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu empat buah pertapaan: buah pemasuk-arus, buah sekali-kembali, buah tidak-kembali, dan buah Kearhatan.

5. “Selanjutnya, lima hal yang membawa keberhasilan besar, lima hal yang seharusnya dilatih, lima hal yang seharusnya dipahami, lima hal yang seharusnya dilenyapkan, dan lima hal yang seharusnya direalisasikan.

5.1 “Apakah lima hal yang membawa keberhasilan besar? Yaitu lima faktor pengerahan usaha: yang pertama adalah keyakinan terhadap Sang Buddha, Sang Tathāgata, arhat, yang memiliki sepuluh gelar; kedua adalah tidak memiliki penyakit, dengan tubuh yang selalu tenang; ketiga adalah jujur tanpa kebengkokan, benar-benar membangkitkan jalan menuju Nirvāṇa dari Sang Tathāgata; keempat adalah memiliki pikiran terpusat yang tidak bingung, [dapat] mengulangi kembali tanpa lupa; kelima adalah terampil dalam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena, dan dengan latihan mulia melenyapkan akar-akar duḥkha.

5.2 “Apakah lima hal yang seharusnya dilatih? Yaitu lima indria: indria keyakinan, indria semangat, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan.

5.3 “Apakah lima hal yang seharusnya dipahami? Yaitu lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati: kelompok jasmani yang dilekati, perasaan ... persepsi ... bentukan .... dan kelompok kesadaran yang dilekati.

5.4 “Apakah lima hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu lima rintangan: rintangan nafsu keinginan indera, rintangan kebencian, rintangan kemalasan dan kelambanan, rintangan kegelisahan dan kekhawatiran, dan rintangan keragu-raguan.

5.5 “Apakah lima hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu lima kelompok yang melampaui latihan (aśaikṣa): kelompok moralitas yang melampaui latihan, kelompok konsentrasi yang melampaui latihan, kelompok kebijaksanaan yang melampaui latihan, kelompok pembebasan yang melampaui latihan, dan kelompok pengetahuan dan penglihatan pembebasan yang melampaui latihan.

6. “Selanjutnya, enam hal yang membawa keberhasilan besar, enam hal yang seharusnya dilatih, enam hal yang seharusnya dipahami, enam hal yang seharusnya dilenyapkan, dan enam hal yang seharusnya direalisasikan.

6.1 “Apakah enam hal yang membawa keberhasilan besar? Yaitu: enam prinsip penghormatan. Jika seorang bhikkhu mengembangkan enam prinsip penghormatan, yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati, untuk hidup rukun dalam komunitas dan tanpa perselisihan, yang tidak berbeda dari berlatih sendiri. Apakah enam hal itu? Demikianlah seorang bhikkhu terus-menerus berperilaku dengan cinta kasih (maitrī), dengan melingkupinya pada [teman-temannya] dalam pengembangan kehidupan suci, berkembang dalam pikiran berbelas kasih – ini disebut prinsip penghormatan, yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati, untuk hidup rukun dalam komunitas dan tanpa perselisihan, tidak berbeda dari berlatih sendiri.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu berkata dengan cinta kasih ...

“[Selanjutnya], ia berpikir dengan cinta kasih ...

“[Selanjutnya], ia berbagi dengan yang lain barang-barang perlengkapannya sendiri, sampai dengan apa yang tersisa dalam mangkuknya, tanpa menyimpannya dari mereka ...

“Selanjutnya, seorang bhikkhu tidak melanggar aturan moralitas yang dilatih oleh para mulia, tidak melalaikannya dan tanpa noda [sehubungan dengan hal ini], seperti yang dipuji oleh para bijaksana, sepenuhnya diberkahi dengan penegakan aturan moralitas ...

“[Selanjutnya], ia menyempurnakan pandangan benar, yang mulia dan melampaui, dan yang sepenuhnya melenyapkan duḥkha, dengan melingkupi [pikirannya] kepada semua [teman-teman] dalam kehidupan suci – ini disebut prinsip penghormatan, yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati, untuk hidup rukun dalam komunitas dan tanpa perselisihan, tidak berbeda dari berlatih sendiri.

6.2 “Apakah enam hal yang seharusnya dilatih? Yaitu enam perenungan: perenungan terhadap Sang Buddha, perenungan terhadap Dharma, perenungan terhadap Sangha, perenungan terhadap moralitas, perenungan terhadap kedermawanan, dan perenungan terhadap para dewa.

6.3 “Apakah enam hal yang seharusnya dipahami? Yaitu enam landasan internal: landasan mata, landasan telinga, landasan hidung, landasan lidah, landasan badan, dan landasan pikiran.

6.4 “Apakah enam hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu enam jenis ketagihan: ketagihan terhadap bentuk, ketagihan terhadap suara, ketagihan terhadap bebauan, ketagihan terhadap rasa kecapan, ketagihan terhadap sentuhan, dan ketagihan terhadap objek-objek pikiran.

6.5 “Apakah enam hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu enam pengetahuan yang lebih tinggi: yang pertama adalah pengetahuan lebih tinggi dari kemampuan batin, kedua adalah pengetahuan lebih tinggi dari telinga dewa, ketiga adalah pengetahuan lebih tinggi mengetahui pikiran orang lain, keempat adalah pengetahuan lebih tinggi mengingat kehidupan-kehidupan lampau, kelima adalah pengetahuan lebih tinggi tentang mata dewa, dan keenam adalah pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan arus-arus [kekotoran batin].

7. “Selanjutnya, tujuh hal yang membawa keberhasilan besar, tujuh hal yang seharusnya dilatih, tujuh hal yang seharusnya dipahami, tujuh hal yang seharusnya dilenyapkan, dan tujuh hal yang seharusnya direalisasikan.

7.1 “Apakah tujuh hal yang membawa keberhasilan besar? Yaitu tujuh jenis harta: harta keyakinan, harta moralitas, harta rasa malu [berbuat jahat], harta rasa takut berbuat jahat, harta pembelajaran, harta kedermawanan, dan harta kebijaksanaan. Ini adalah tujuh jenis harta.

7.2 “Apakah tujuh hal yang seharusnya dilatih? Yaitu: tujuh faktor pencerahan. Demikianlah seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian yang bergantung pada kebosanan, bergantung pada lenyapnya, dan bergantung pada keterasingan; ia mengembangkan [faktor pencerahan] [penyelidikan] fenomena ... ia mengembangkan [faktor pencerahan] semangat ... ia mengembangkan [faktor pencerahan] sukacita ... ia mengembangkan [faktor pencerahan] ketenangan ... ia mengembangkan [faktor pencerahan] konsentrasi ... ia mengembangkan [faktor pencerahan] keseimbangan yang bergantung pada kebosanan, bergantung pada lenyapnya, dan bergantung pada keterasingan.

7.3 “Apakah tujuh hal yang seharusnya dipahami? Yaitu: tujuh stasiun kesadaran. Jika makhluk-makhluk hidup berbeda jasmaninya dan berbeda persepsinya, [seperti beberapa] dewa dan manusia – ini adalah stasiun kesadaran pertama.

“Selanjutnya, terdapat makhluk-makhluk hidup yang berbeda jasmaninya tetapi sama persepsinya, seperti para dewa Brahmā pada saat pertama kali mereka terlahir – ini adalah stasiun kesadaran kedua.

“Selanjutnya, terdapat makhluk-makhluk hidup yang sama jasmaninya tetapi berbeda persepsinya, seperti para dewa Ābhāsvara – ini adalah stasiun kesadaran ketiga.

“Selanjutnya, terdapat makhluk-makhluk hidup yang sama jasmaninya dan sama persepsinya, seperti para dewa Śubhakṛtsna – ini adalah stasiun kesadaran keempat.

“Selanjutnya, terdapat makhluk-makhluk hidup yang berkembang dalam landasan ruang [tanpa batas] – ini adalah stasiun kesadaran kelima.

“Selanjutnya, terdapat makhluk-makhluk hidup yang berkembang dalam landasan kesadaran [tanpa batas] – ini adalah stasiun kesadaran keenam.

“Selanjutnya, terdapat makhluk-makhluk hidup yang berkembang dalam landasan kekosongan – ini adalah stasiun kesadaran ketujuh.

7.4 “Apakah tujuh hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu tujuh jenis kecenderungan tersembunyi: kecenderungan tersembunyi pada ketagihan terhadap kesenangan indera, kecenderungan tersembunyi pada ketagihan terhadap penjelmaan, kecenderungan tersembunyi pada pandangan, kecenderungan tersembunyi pada kesombongan, kecenderungan tersembunyi pada penolakan, kecenderungan tersembunyi pada ketidaktahuan, dan kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan.

7.5 “Apakah tujuh hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu: tujuh kekuatan seorang yang telah melenyapkan arus-arus [kekotoran batin]. Demikianlah, seorang bhikkhu yang telah melenyapkan arus-arus memahami dan melihat sebagaimana adanya keseluruhan duḥkha, munculnya, lenyapnya, kepuasannya, bahayanya, dan jalan keluar [darinya].

“Ia merenungkan kesenangan indera bagaikan lubang yang berapi atau bagaikan sebilah pisau atau pedang, [sehingga ketika] ia mengetahui mengetahui kesenangan indera dan melihat kesenangan indera, ia tidak [memunculkan] nafsu terhadap kesenangan indera dan pikirannya tidak berdiam dalam kesenangan indera. Di sini setelah lebih jauh menyelidikinya dengan baik dan setelah memperoleh pengetahuan sebagaimana adanya, penglihatan sebagaimana adanya, ia tidak membangkitkan nafsu indera di dunia, hal-hal yang jahat dan tidak bermanfaat, dan ia tanpa arus-arus [kekotoran batin].

“Ia mengembangkan empat penegakan perhatian, terus-menerus mengembangkannya dan selalu melatihnya ... lima indria ... lima kekuatan ... tujuh faktor pencerahan ... jalan mulia berunsur delapan, terus-menerus mengembangkannya dan selalu melatihnya.

8. “Selanjutnya, delapan hal yang membawa keberhasilan besar, delapan hal yang seharusnya dilatih, delapan hal yang seharusnya dipahami, delapan hal yang seharusnya dilenyapkan, dan delapan hal yang seharusnya direalisasikan.

8.1 “Apakah delapan hal yang membawa keberhasilan besar? Yaitu: delapan sebab dan kondisi untuk memperoleh kebijaksanaan dalam kehidupan suci yang belum diperoleh, dan untuk meningkatkan kebijaksanaan dalam kehidupan suci yang telah diperoleh. Apakah delapan hal itu?

“Dalam hal ini seorang bhikkhu berdiam bergantung pada Sang Bhagavā, atau bergantung pada seorang guru senior, atau bergantung pada seorang sahabat yang bijaksana dalam kehidupan suci, dan dengan memiliki kasih sayang dan penghormatan [terhadap mereka] ia membangkitkan rasa malu dan takut berbuat jahat – ini adalah sebab dan kondisi pertama untuk memperoleh kebijaksanaan dalam kehidupan suci yang belum diperoleh, dan untuk meningkatkan kebijaksanaan dalam kehidupan suci yang telah diperoleh.

“Selanjutnya, dengan berdiam bergantung pada Sang Bhagavā ... pada waktu yang tepat ia menanyakan pertanyaan: ‘Apakah makna dari ajaran ini? Bagaimanakah seseorang memunculkannya?’ Sang Bhagavā mengungkapkan kepadanya makna mendalamnya – ini adalah sebab dan kondisi kedua ....

Setelah ia mendengar ajaran itu, jasmani dan pikirannya menjadi gembira dan tenang – ini adalah sebab dan kondisi ketiga ....

“Ia tidak terlibat dalam berbagai pembicaraan yang tidak bermanfaat yang menghalangi sang jalan. Ketika ia tiba di antara perkumpulan [para bhikkhu], ia mengajarkan Dharma sendiri atau ia mengundang yang lain untuk mengajarkannya; namun ia juga tidak mengabaikan keheningan luhur – ini adalah sebab dan kondisi keempat ....

“Ia sangat terpelajar, mengingat tanpa lupa ajaran-ajaran mendalam yang baik pada awalnya, pertengahan, dan akhirnya, yang mengandung makna dan kebenaran, dan diberkahi dengan kehidupan suci; apa yang ia dengar memasuki pikirannya dan pandangannya tidak berubah-ubah – ini adalah sebab dan kondisi kelima ....

“Ia mengembangkan semangat untuk pelenyapan keadaan-keadaan tidak bermanfaat dan setiap hari meningkatkan keadaan-keadaan bermanfaat, ia berusaha dan tetap kokoh, tidak mengabaikan hal-hal [bermanfaat] ini – ini adalah sebab dan kondisi keenam ....

“Selanjutnya, ia mengetahui muncul dan lenyapnya fenomena, melalui kebijaksanaan yang dibangkitkan oleh para mulia, dan dapat melenyapkan duḥkha sepenuhnya – ini adalah sebab dan kondisi ketujuh ....

“Selanjutnya, ia merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati, ciri-ciri munculnya dan ciri-ciri lenyapnya: ini adalah bentuk jasmani, ini adalah munculnya bentuk jasmani, dan ini adalah lenyapnya bentuk jasmani; ini adalah perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran, ini adalah munculnya kesadaran, dan ini adalah lenyapnya kesadaran – ini adalah sebab dan kondisi kedelapan untuk memperoleh kebijaksanaan dalam kehidupan suci yang belum diperoleh, dan untuk meningkatkan kebijaksanaan dalam kehidupan suci yang telah diperoleh.

8.2 “Apakah delapan hal yang seharusnya dilatih? Yaitu [faktor-faktor] jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

8.3 “Apakah delapan hal yang seharusnya dipahami? Yaitu delapan kondisi duniawi: untung dan rugi, tidak terkenal dan terkenal, pujian dan celaan, penderitaan dan kebahagiaan.

8.4. “Apakah delapan hal yang seharusnya dilenyapkan? Yaitu delapan [faktor jalan yang] salah: pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, pencaharian salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah.

8.5 “Apakah delapan hal yang seharusnya direalisasikan? Yaitu delapan pembebasan: dengan memiliki bentuk, seseorang merenungkan bentuk – ini adalah pembebasan pertama; tidak mempersepsikan bentuk secara internal, seseorang merenungkan bentuk secara eksternal – ini adalah pembebasan kedua. Pembebasan melalui kemurnian – ini adalah pembebasan ketiga. Melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi hambatan, seseorang berdiam dalam landasan ruang [tanpa batas] – ini adalah pembebasan keempat. Melampaui landasan ruang [tanpa batas], seseorang berdiam dalam landasan kesadaran [tanpa batas] – ini adalah pembebasan kelima. Melampaui landasan kesadaran [tanpa batas], seseorang berdiam dalam landasan kekosongan – ini adalah pembebasan keenam. Melampaui landasan kekosongan, seseorang berdiam dalam landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi – ini adalah pembebasan ketujuh. Melampaui landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, seseorang berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan – ini adalah pembebasan kedelapan.

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 10
anything