Di kerajaan itulah, mereka menikah di antara sesama saudara, kecuali Putri yang tertua menikah dengan Raja dari Devadha.
Ada yang saya ingin tanyakan.apakah menikah dengan saudara itu dosa?
Tergantung perkembangan sistem etika pada jaman tsb. Apakah manusia purba tidak berpakaian adalah dosa?
makasih udah ngasih pendapat.pertanyaan saya selanjutnya.apakah dosa itu diukur dari etika?berarti pada jaman dahulu itu dibenarkan pernikahan saudara?saya minta infonya yang bisa saya baca,mana tau ada diajarkan oleh sang buddha.maklum,saya belum tau apa-apa soal buddha...
Pertama-tama, ada pemahaman yang berbeda antara Agama Buddha dengan agama lain mengenai istilah "dosa". Dalam agama lain, "dosa" berarti perbuatan jahat, perbuatan najis, ataupun hal kotor yang dilarang oleh Tuhan. Sedangkan dalam Agama Buddha, "dosa" adalah kosakata dari Bahasa Pali yang mengandung arti sebagai "kebencian"; termasuk pula mencakup semua aktivitas menolak. Membenci orang lain, membenci suatu negara; dalam pandangan Agama Buddha merupakan bentuk dari dosa. Tidak menyukai pelajaran Matematika, tidak senang karena hujan turun; dalam pandangan Agama Buddha juga merupakan bentuk dari dosa.
Menikah antar sesama saudara kandung bukan merupakan perbuatan tercela. Di bawah ikatan pernikahan, sepasang suami-istri bersikap sebagai pasangan hidup; hubungan mereka bisa dikatakan sebagai interaksi antar saudara. Bahkan ketika sepasang pria dan wanita menikah; secara ikatan keluarga, mereka juga "mendapatkan" orangtua yang baru (ayah dan ibu mertua). Ini menunjukkan bahwa sepasang suami-istri bisa dikatakan sebagai "saudara". Tanyakanlah pada teman Anda yang sudah berkeluarga. Jika mereka adalah pasangan yang harmonis, mereka akan bersikap atau pernah berkomentar bahwa dalam keseharian, mereka sudah seperti saudara dekat.
Berangkat dari pemahaman ini, bisa kita lihat bahwa pernikahan antar saudara kandung pun sebenarnya tidak bermasalah. Tetapi dari segi biologi, pernikahan sedarah rentang menyebabkan kelainan genetik pada keturunannya. Meskipun ada juga beberapa kasus yang tidak mendapat dampak dari resiko kelainan genetik ini. Selain itu, secara etika masyarakat, pernikahan sedarah dilihat sebagai perbuatan tercela. Apalagi pengaruh dari agama lain yang mendiskreditkan pernikahan sedarah. Di India pada masa itu, pernikahan antar saudara biasa hanya dilakukan oleh kaum bangsawan. Dengan tujuan untuk menjaga kemurnian darah biru dan menjaga tahta kerajaan di dalam silsilah keluarga. Tentunya tradisi seperti ini sudah mulai ditinggalkan pada masa kini.
Dalam Agama Buddha, suatu perbuatan disebut terpuji atau tercela berdasarkan niatnya. Jika suatu perbuatan didasari niat buruk, maka sekecil apapun keburukan yang dilakukan; tetaplah dilihat sebagai perbuatan tercela. Sebaliknya jika suatu perbuatan didasari niat baik, maka sekecil apapun kebaikan yang dilakukan; tetaplah dilihat sebagai perbuatan terpuji.
Sang Buddha tidak pernah menganjurkan menikah antar sesama saudara. Sang Buddha lebih menaruh konsentrasi pengajaran-Nya ke bidang spiritual, yakni realitas kehidupan dan jalan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Mengenai Kebenaran, Sang Buddha menjelaskan 2 jenis Kebenaran, yaitu:
1) Kebenaran relatif (Sammuti Sacca)
Yaitu kebenaran yang terkondisikan oleh keadaan waktu, tempat dan persepsi masyarakat. Misalnya: di suatu negeri, membunuh orang yang memberontak adalah benar. Tapi di negeri yang lain, kebenaran itu bisa saja dinyatakan sebagai kesalahan.
2) Kebenaran sejati (Paramattha Sacca)
Yaitu kebenaran yang sifatnya sejati dan tidak akan berubah kapan pun, di mana pun dan oleh siapa pun. Misalnya: fakta bahwa dunia ini adalah tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha) dan tanpa substansi inti (anatta).