//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: EA 12.1 Jalan Menuju Satu (Padanan Satipatthana Sutta)  (Read 1533 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
EA 12.1 Jalan Menuju Satu (Padanan Satipatthana Sutta)
« on: 22 August 2020, 10:46:03 AM »
Berikut adalah terjemahan Ekottarika Agama bab 12 sutra pertama (EA 12.1) yang merupakan padanan dari MN 10 Satipatthana Sutta dan diterjemahkan dari teks Mandarin dengan membandingkan beberapa terjemahan yang ada di Suttacentral dan terjemahan bahasa Inggris dari Dharma Pearls

=====================================================================================

EKOTTARIKĀGAMA 12.1

[Jalan Menuju Satu]

Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Buddha berdiam di Sāvatthī di taman milik Anāthapiṇḍika dalam Hutan Jeta.
Saat itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, “Terdapat ‘jalan menuju satu’ (ekāyana-magga) yang memurnikan perilaku semua makhluk, melenyapkan dukacita, tanpa gangguan [pikiran], mencapai kebijaksanaan mulia, dan merealisasi Nirvāṇa. Ini adalah untuk melenyapkan lima rintangan dengan merenungkan empat penegakan perhatian. Mengapakah ia disebut ‘menuju satu’? Karena ia membawa pada keterpusatan pikiran. Ini disebut ‘menuju satu’. Mengapakah ia disebut ‘jalan’? Karena ia adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan: pandangan benar, pikiran benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, ucapan benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut ‘jalan’. Ini adalah ‘jalan menuju satu’.

“Apakah lima rintangan yang dilenyapkan? Yaitu, rintangan keinginan indria, rintangan permusuhan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, rintangan kemalasan dan kelambanan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah lima rintangan yang dilenyapkan.

“Apakah merenungkan empat penegakan perhatian? Di sini, seorang bhikkhu merenungkan jasmani secara internal, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]; merenungkan jasmani secara eksternal, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia].; merenungkan jasmani secara internal dan eksternal, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]. Ia merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan mengalami sukacita di dalamnya, merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal, serta merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal. Ia merenungkan pikiran secara internal dan mengalami sukacita di dalamnya, merenungkan pikiran secara eksternal, serta merenungkan pikiran secara internal dan eksternal. Ia merenungkan objek-objek pikiran secara internal, merenungkan objek-objek pikiran secara eksternal, serta merenungkan objek-objek pikiran secara internal dan eksternal dan mengalami sukacita di dalamnya.

[I. Perenungan Jasmani]

[1. Bagian-Bagian Tubuh]


“Bagaimanakah seorang bhikkhu merenungkan jasmani secara internal dan mengalami sukacita di dalamnya? Di sini, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini menurut sifat dan fungsinya; dari kepala sampai kaki, dari kaki sampai kepala, ia merenungkan jasmani ini sepenuhnya tidak murni dan tidak layak untuk dilekati. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmani ini terdiri atas rambut [kepala], bulu [tubuh], kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, otak, lemak, usus, lambung, jantung, hati, limpa, dan ginjal; ia mengamati dan menyadari semuanya. Kotoran, air seni, muntahan yang belum maupun sudah ditelan, air mata, ludah, ingus, pembuluh darah, minyak sendi, dan empedu; semuanya harus diamati dan dipahami sebagai yang tidak layak untuk dilekati. Demikianlah, para bhikkhu, kalian seharusnya merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia].

[2. Unsur-Unsur]

“Selanjutnya, seorang bhikkhu lebih lanjut merenungkan: ‘Apakah jasmani ini terdiri dari unsur tanah, air, api, dan udara?’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini. Lebih lanjut, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dengan membedakannya berdasarkan unsur-unsurnya: ‘Jasmani ini terdiri dari empat unsur.’ Bagaikan seorang tukang jagal atau muridnya memotong daging sapi dan mengamati: ‘Ini adalah kaki, ini adalah jantung, ini adalah persendian, ini adalah kepala.’ Demikian juga, bhikkhu itu membedakan unsur-unsur ini dan merenungkan jasmani ini terdiri dari unsur tanah, air, api, dan udara. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya.

[3. Lubang Kekotoran]

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini memiliki berbagai lubang yang menghasilkan kekotoran. Bagaikan seseorang yang mengamati taman bambu atau mengamati sekumpulan alang-alang, demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini memiliki berbagai lubang yang menghasilkan banyak kekotoran.

[4. Perenungan Tanah Perkuburan]

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang telah meninggal dunia satu malam, dua malam, tiga malam, empat malam, lima malam, enam malam, atau tujuh malam dengan tubuh yang membengkak, berbau busuk, dan menjijikkan. Lebih lanjut, ia mengamati jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Jasmaniku tidak terhindarkan dari kemalangan ini.’ Lebih lanjut, seorang bhikkhu merenungkan mayat tersebut terlihat dimangsa oleh burung gagak dan burung nasar, atau terlihat dimangsa oleh macan, serigala, anjing, dan dipenuhi oleh belatung. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Jasmaniku tidak terbebas dari kemalangan ini.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang separuh dimangsa dan berserakan di atas tanah, berbau busuk, dan menjijikkan. Lebih lanjut, ia mengamati jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Jasmaniku tidak terbebas dari keadaan ini.’ Lebih lanjut, ia merenungkan mayat tersebut hanya berupa tulang dengan daging telah lenyap dan berlumuran darah. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmani ini tidak berbeda dengan jasmani tersebut. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini. Lebih lanjut, ia merenungkan mayat yang dibungkus oleh otot dan urat [bagaikan] kayu bakar yang diikat bersama. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang tulang dan persendiannya berserakan dan terpisah di tempat yang berbeda; tulang tangan dan kaki masing-masing pada satu tempat; tulang tempurung lutut, tulang pinggang, tulang ekor, tulang lengan, tulang bahu, tulang iga, tulang belakang, tulang leher, dan tulang tengkorak [masing-masing pada satu tempat]. Lebih lanjut, [ia merenungkan] jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Diriku tidak terhindarkan dari kondisi ini. Jasmaniku juga mengalami kehancuran.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani dan mengalami sukacita di dalamnya.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan mayat yang berwarna putih pucat dan putih kehijauan. Lebih lanjut, ia merenungkan jasmaninya tidak berbeda dengan mayat tersebut: ‘Diriku belum terbebas dari kondisi ini.’ Inilah yang disebut seorang bhikkhu merenungkan jasmaninya sendiri.

“Selanjutnya, seorang bhikkhu seakan-akan melihat mayat berupa tulang yang memar membiru, yang tidak seharusnya diinginkan, atau dengan warna yang sama dan tidak dapat dibedakan dengan debu. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmaninya sendiri dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]: ‘Jasmani ini tidak kekal dan mengalami kelapukan.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani secara internal, merenungkan jasmani secara eksternal, dan merenungkan jasmani secara internal dan eksternal, dengan memahami tiada yang memilikinya.

[II. Perenungan Perasaan]

“Bagaimanakah seorang bhikkhu merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal? Di sini, ketika seorang bhikkhu mengalami perasaan menyenangkan, ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan menyakitkan, ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan menyakitkan.’ Ketika mengalami perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan duniawi yang menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan duniawi yang menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan duniawi yang menyakitkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan duniawi yang menyakitkan.’ Ketika mengalami perasaan duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’ Ketika mengalami perasaan non-duniawi yang menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan non-duniawi yang menyenangkan.’ ’ Ketika mengalami perasaan non-duniawi yang menyakitkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan non-duniawi yang menyakitkan.’ Ketika mengalami perasaan non-duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan,  ia menyadari: ‘Aku mengalami perasaan non-duniawi yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan secara internal.

“Selanjutnya, ketika seorang bhikkhu mengalami perasaan menyenangkan, saat itu ia tidak mengalami perasaan menyakitkan, maka ia menyadari: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan. Ketika mengalami perasaan menyakitkan, saat itu ia tidak mengalami perasaan menyenangkan, maka ia menyadari: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan.’ Ketika mengalami perasan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, saat itu tidak ada dukacita maupun sukacita, maka ia menyadari: ‘Aku merasakan perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyakitkan.’ Ia mengalami sukacita dalam [merenungkan] munculnya fenomena, merenungkan lenyapnya fenomena, dan merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena. Demikian juga, ketika perasaan itu muncul, ia mengetahui dan mengamatinya, dengan merenungkan asal mulanya. Dengan tidak bergantung pada apa pun, ia mengalami sukacita di dalamnya dan tidak memunculkan ketamakan terhadap dunia. Dalam hal ini, ia tidak mengalami ketakutan; karena tanpa ketakutan, ia secara langsung merealisasi Nirvāṇa: ‘Kelahiran kembali telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi mengalami penjelmaan.’ Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan secara internal dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau dan tanpa kesedihan [terhadap dunia], merenungkan perasaan secara eksternal, serta merenungkan perasaan secara internal dan eksternal dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan secara internal dan eksternal.

[III. Perenungan Pikiran]

“Bagaimanakah seorang bhikkhu merenungkan fenomena pikiran sebagai pikiran dan mengalami sukacita di dalamnya? Di sini, ketika seorang bhikkhu memiliki pikiran dengan nafsu, ia menyadari terdapat pikiran dengan nafsu. Ketika memiliki pikiran tanpa nafsu, ia menyadari terdapat pikiran tanpa nafsu. Ketika memiliki pikiran dengan kebencian, ia menyadari terdapat pikiran dengan kebencian. Ketika memiliki pikiran tanpa kebencian, ia menyadari terdapat pikiran tanpa kebencian. Ketika memiliki pikiran dengan delusi, ia menyadari terdapat pikiran dengan delusi. Ketika memiliki pikiran tanpa delusi, ia menyadari terdapat pikiran tanpa delusi. Ketika memiliki pikiran dengan kerinduan, ia menyadari terdapat pikiran dengan kerinduan. Ketika memiliki pikiran tanpa kerinduan, ia menyadari terdapat pikiran tanpa kerinduan. Ketika memiliki pikiran dengan kemelekatan, ia menyadari terdapat pikiran dengan kemelekatan. Ketika memiliki pikiran tanpa kemelekatan, ia menyadari terdapat pikiran tanpa kemelekatan. Ketika memiliki pikiran yang kacau, ia menyadari terdapat pikiran yang kacau. Ketika memiliki pikiran yang tidak kacau, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak kacau. Ketika memiliki pikiran yang berhamburan, ia menyadari terdapat pikiran yang berhamburan. Ketika memiliki pikiran yang tidak berhamburan, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak berhamburan. Ketika memiliki pikiran yang meliputi segalanya, ia menyadari terdapat pikiran yang meliputi segalanya. Ketika memiliki pikiran yang tidak meliputi segalanya, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak meliputi segalanya. Ketika memiliki pikiran yang luhur, ia menyadari terdapat pikiran yang luhur. Ketika memiliki pikiran yang tidak luhur, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak luhur. . Ketika memiliki pikiran yang tidak terbatas, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak terbatas. Ketika memiliki pikiran yang terbatas, ia menyadari terdapat pikiran yang terbatas. Ketika memiliki pikiran yang terkonsentrasi, ia menyadari terdapat pikiran yang terkonsentrasi. Ketika memiliki pikiran yang tidak terkonsentrasi, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak terkonsentrasi. Ketika memiliki pikiran yang tidak terbebaskan, ia menyadari terdapat pikiran yang tidak terbebaskan. Ketika memiliki pikiran yang terbebaskan, ia menyadari terdapat pikiran yang terbebaskan. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik pikiran.

“Ia merenungkan munculnya fenomena, merenungkan lenyapnya fenomena, dan merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena. Ia mengalami sukacita dalam perenungan [muncul dan lenyapnya] fenomena. Ia tidak bergantung pada apa yang dapat disadari, yang dapat dilihat, yang dapat dipikirkan, dan yang tidak dapat dipikirkan sehingga ia tidak memunculkan ketamakan terhadap dunia. Tidak memunculkan ketamakan [terhadap dunia], ia tidak mengalami ketakutan. Tanpa ketakutan, ia mencapai [kondisi] tanpa sisa [kemelekatan]. Tanpa sisa [kemelekatan], ia secara langsung merealisasi Nirvāṇa: ‘Kelahiran kembali telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi mengalami penjelmaan.’ Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau dan tanpa kesedihan [terhadap dunia]; ia menegakkan perhatian dengan merenungkan pikiran secara eksternal serta merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dan eksternal. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik pikiran sebagai pikiran.

[IV. Perenungan Objek Pikiran]

[1. Tujuh Faktor Pencerahan]


“Bagaimanakah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran? Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan penyelidikan (vīmaṃsā), berdasarkan kebosanan (virāga), berdasarkan lenyapnya, dan meninggalkan kualitas-kualitas buruk. Ia mengembangkan faktor pencerahan [penyelidikan] fenomena, mengembangkan faktor pencerahan kegigihan, mengembangkan faktor pencerahan sukacita, mengembanngkan faktor pencerahan ketenangan, mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi, dan mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan penyelidikan, berdasarkan kebosanan, berdasarkan lenyapnya, dan meninggalkan kualitas-kualitas buruk. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

[2. Jhāna-Jhāna]

“Selanjutnya, dengan terbebas dari kenikmatan indria, meninggalkan kualitas-kualitas buruk dan tidak bermanfaat, dengan awal dan kelangsungan pikiran, dengan ketenangan dan kenikmatan, seorang bhikkhu berdiam dalam jhāna pertama dan mengalami sukacita di dalamnya. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

“Selanjutnya, dengan meninggalkan awal pikiran, dengan kelangsungan pikiran, kenikmatan yang muncul dari dalam, dan keterpusatan pikiran, seorang bhikkhu mencapai tanpa awal dan kelangsungan pikiran, penuh perhatian, dengan ketenangan, kenikmatan, dan kedamaian, ia berdiam dalam jhāna kedua dan mengalami sukacita di dalamnya. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

“Selanjutnya, dengan meninggalkan pemikiran, mengembangkan keseimbangan, selalu mengalami kenikmatan pada jasmani, seorang bhikkhu berdiam dalam jhāna ketiga, yang dicari oleh para bijaksana: ‘Ia [berdiam] seimbang, penuh perhatian, damai, dan murni.’ Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran.

“Selanjutnya, dengan meninggalkan kesakitan dan kenikmatan, tidak lagi mengalami kesedihan dan kebahagiaan, tanpa dukacita dan tanpa sukacita, seimbang, penuh perhatian, damai, dan murni, seorang bhikkhu berdiam dengan gembira dalam jhāna keempat. Demikianlah seorang bhikkhu menegakkan perhatian dengan merenungkan karakteristik objek pikiran sebagai objek pikiran. Ia berlatih [merenungkan] munculnya fenomena, berlatih [merenungkan] lenyapnya fenomena, dan berlatih [merenungkan] muncul dan lenyapnya fenomena dan mengalami sukacita di dalamnya. Ia secara langsung memperoleh penegakan perhatian pada objek pikiran yang sedang muncul, yang dapat diketahui dan dapat dilihat, dengan melenyapkan pikiran-pikiran kacau, tidak bergantung pada apa pun, dan tidak memunculkan ketamakan pada dunia. Tidak memunculkan ketamakan [pada dunia], ia tidak mengalami ketakutan. Tanpa ketakutan, [ia secara langsung merealisasi Nirvāṇa:] ‘Kelahiran kembali telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi mengalami penjelmaan.’ Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya.

“Para bhikkhu, dengan bergantung pada ‘jalan menuju satu’, semua makhluk mencapai kemurnian [perilaku], meninggalkan dukacita, tanpa kesedihan dan ketamakan [terhadap dunia], mencapai kebijaksanaan [mulia], dan merealisasi Nirvāṇa. Inilah adalah untuk melenyapkan lima rintangan dengan mengembangkan empat penegakan perhatian.”

Pada waktu itu, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.
« Last Edit: 22 August 2020, 11:14:30 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa