Kalo saya gak salah menangkap dari thread2 sebelumnya, inti permasalahan yang dibahas adalah mengapa pandangan Mahayana bisa menyimpulkan "rupa adalah kosong" dan "kosong adalah rupa".
Untuk masalah kalimat, saya sangat setuju dengan om Kelana. "Tidak terpisahkan" itu bukan berarti "adalah" ataupun "sama dengan."
Untuk ungkapan pertama (rupa adalah kosong) dapat diterima bahwa fenomena rupa adalah kosong dari diri (anatta, versi Buddhisme awal) atau kosong dari keberadaan yang inheren (saling kebergantungan/paticcasamuppada, versi Madhyamika). Jadi rupa itu memang bersifat kosong. Demikian juga kelompok kehidupan/khanda lainnya (perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan mental/sankhara, dan kesadaran/vinnana) bersifat kosong. Ini yang dijelaskan pada artikel di atas.
Untuk ungkapan kedua (kosong adalah rupa), agak sulit diterima karena bagaimana sifat (lakkhana) kekosongan itu bisa sama dengan/mengandung sifat rupa? Dalam hal ini Buddhisme awal tidak menganggap kekosongan (anatta) juga bersifat rupa walaupun rupa bersifat kosong (anatta). Jadi logikanya A bersifat B tetapi B tidak bersifat A. Kalo diperluas, mengapa kekosongan juga bersifat vedana, sanna, sankhara dan vinnana. Kenapa kosong bisa bersifat rupa (atau sifat kelompok kehidupan lainnya) ini yang tidak dijelaskan dalam artikel di atas.
Mengapa ada "[objek] tidak terpisahkan dari shunya" dan juga "shunya tidak terpisahkan dari [objek]"?
Ini untuk menghindari interpretasi [objek] adalah himpunan bagian dari shunya, dan shunya mencakup hal lain di luar [objek] (dan sebaliknya).
Jika hanya frasa pertama yang digunakan, maka rentan interpretasi: "Rupa tidak terpisahkan dari kosong, namun kosong bisa terpisahkan dari rupa."
(e.g. "Teh manis tidak terpisahkan dari gula, namun gula bisa terpisahkan dari teh manis." <- bukan begini)
Setiap kalimat itu menjelaskan satu konteks yang berdiri sendiri. Analisis "objek1 tidak terpisahkan dari shunya" tidak bisa dihubungkan dengan "objek2 tidak terpisahkan dari shunya." Sama seperti kita analisis 'rupa itu anitya', 'vedana itu anitya', konteks rupa dan vedana itu terpisah, maka tidak bisa disamakan 'rupa = vedana', namun sesuai konteks, sehubungan dengan 'rupa', maka 'anitya tidak terlepas dari rupa', dan sehubungan dengan 'vedana', maka 'anitya tidak terlepas dari vedana'.
Sedangkan sdr. Joe dalam menjelaskan "isi = kosong" dan "kosong = isi" sepertinya terpaku pada sifat "isi" (wujud) yang biasanya dianggap berlawanan dengan "kosong" (krn isi = tidak kosong dlm pengertian sehari-hari) bukan sifat "rupa". Ditambah lagi menyamakan "bukit = lembah" yang dlm pengertian sehari-hari bukit itu lawannya lembah (alias bukit = bukan lembah). Sehingga muncul argumen dari lawan diskusi: berarti "laki-laki = perempuan", "baik = buruk", "buddha = putthujana", dst. Seharusnya sdr. Djoe menjelaskan bagaimana bukit itu bersifat kosong (bukit = kosong) dan bagaimana kosong juga bersifat bukit (kosong = bukit) sehingga bisa dijelaskan kenapa laki-laki bersifat kosong dan kosong bersifat laki-laki.....
Just IMHO....
Just IMHO juga, kekusutan yang terjadi, karena mereka yang merasa telah menjelaskan dengan baik tidak memahami 'kosong' dalam kata dan makna (yang terlihat seringkali diremehkan dan dianggap hanya konvensi), padahal komunikasi yang baik dimulai dari pemahaman kata kendatipun kata hanyalah 'penunjuk'.
Yang dibahas dengan carut-marut di sini adalah 3 jenis 'kekosongan':
- Pertama kosong dalam artian "Ākāśā/Akasha", yang adalah 'ruang kosong' yang ditempati unsur-unsur lain. Kosong ini ada dalam ranah materi, tidak bersifat relatif terhadap persepsi, dan memang bisa diukur, tergantung parameternya saja.
- Ke dua kosong dalam makna "Ākiṃca" yang timbul dari peluruhan persepsi kita, dan tentu saja sifatnya internal & relatif. Misalnya karena persepsi patrilineal, kita membedakan anak cowok lebih 'untung' dari cewek. Bagi orang yang tidak berpola pikir demikian, maka bisa dibilang ia kosong dari persepsi patrilineal. Dalam hal yang halus, ini merujuk pada lenyapnya diskriminasi 'kesadaran & luar kesadaran' dalam Arupa jhana 3, maka hanya ada persepsi 'kosong'.
- Ke tiga barulah kosong dalam makna "Śūnya/Shunya" yang merujuk pada konsep Nagarjuna tersebut. Seperti pernah saya tulis, konsep ini adalah 'sanggahan' terhadap klasifikasi Abhidharmika terhadap fenomena Samsāra dan nirvana yang seolah terpisah, sehingga ada Samvrti Satya dan Paramārtha Satya. Ini mengesankan 'nirvana' adalah satu elemen yang terpisah, berdiri sendiri, di luar samsara. Nagarjuna mengupas bahwa "nirvana" ini bukanlah terpisah, lepas dari fenomena dalam samsara, namun sebuah pemahaman terhadap samsara itu sendiri yang hakikatnya adalah kosong, tidak memiliki 'inti' dan 'ada' karena muncul bergantungan ditopang oleh kondisi-kondisnya.
Dengan memahami kata-kata yang hanya konvensional ini, maka pemakaian juga akan sesuai konteks dan dengan sendirinya interpretasi shunya adalah ruang kosong tidak benar-benar kosong, pria = wanita, dan lain sebagainya bisa terhindarkan.