//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada  (Read 36517 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #105 on: 04 December 2012, 04:27:23 PM »
[-X [-X [-X [-X [-X [-X

perhatikan yang di bolddisini master djoe sedang mengajarkan, sdr KK harus angguk2 dong

sepertinya master djoe tidak termasuk manusia yang di bold biru lho, kita tidak akan celaka lho ada yang membimbing ;D
Benar2 typical. "Kalo setuju, berarti mengerti. Kalo mempertanyakan berarti ga paham."

Iye aja deh. Buat master:  :yes:

Offline cumi polos

  • Sebelumnya: Teko
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.130
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
  • mohon transparansinya
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #106 on: 04 December 2012, 04:50:20 PM »
sy tunggu deh masternya supaya tampil lagi....gw juga mau mencicipin ajarannya master Djoe... :-[
merryXmas n happyNewYYYY 2018

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #107 on: 04 December 2012, 07:13:36 PM »
Kalo saya gak salah menangkap dari thread2 sebelumnya, inti permasalahan yang dibahas adalah mengapa pandangan Mahayana bisa menyimpulkan "rupa adalah kosong" dan "kosong adalah rupa".

Untuk ungkapan pertama (rupa adalah kosong) dapat diterima bahwa fenomena rupa adalah kosong dari diri (anatta, versi Buddhisme awal) atau kosong dari keberadaan yang inheren (saling kebergantungan/paticcasamuppada, versi Madhyamika). Jadi rupa itu memang bersifat kosong. Demikian juga kelompok kehidupan/khanda lainnya (perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan mental/sankhara, dan kesadaran/vinnana) bersifat kosong. Ini yang dijelaskan pada artikel di atas.

Untuk ungkapan kedua (kosong adalah rupa), agak sulit diterima karena bagaimana sifat (lakkhana) kekosongan itu bisa sama dengan/mengandung sifat rupa? Dalam hal ini Buddhisme awal tidak menganggap kekosongan (anatta) juga bersifat rupa walaupun rupa bersifat kosong (anatta). Jadi logikanya A bersifat B tetapi B tidak bersifat A. Kalo diperluas, mengapa kekosongan juga bersifat vedana, sanna, sankhara dan vinnana. Kenapa kosong bisa bersifat rupa (atau sifat kelompok kehidupan lainnya) ini yang tidak dijelaskan dalam artikel di atas.

Sedangkan sdr. Joe dalam menjelaskan "isi = kosong" dan "kosong = isi" sepertinya terpaku pada sifat "isi" (wujud) yang biasanya dianggap berlawanan dengan "kosong" (krn isi = tidak kosong dlm pengertian sehari-hari) bukan sifat "rupa". Ditambah lagi menyamakan "bukit = lembah" yang dlm pengertian sehari-hari bukit itu lawannya lembah (alias bukit = bukan lembah). Sehingga muncul argumen dari lawan diskusi: berarti "laki-laki = perempuan", "baik = buruk", "buddha = putthujana", dst. Seharusnya sdr. Djoe menjelaskan bagaimana bukit itu bersifat kosong (bukit = kosong) dan bagaimana kosong juga bersifat bukit (kosong = bukit) sehingga bisa dijelaskan kenapa laki-laki bersifat kosong dan kosong bersifat laki-laki.....

Just IMHO.... :)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #108 on: 04 December 2012, 08:44:25 PM »
Saya tidak minta penjelasan menurut Google, tapi saya bertanya menurut anda, apa karuna itu, dan apa korelasinya dengan shunyata? Bagaimana bisa karuna muncul setelah memahami shunyata?
Tujuan dan target ini maksudnya apa, dan apa hubungannya dengan pengetahuan shunyata dan klesha?
Lalu hukum alam ini apa definisinya, dan mengapakah dengan mengetahuinya, LDM bisa tidak 'memimpin'?
OK.

Sebenarnya literatur Mahayana banyak tersedia secara online tanpa harus menunggu penjelasan saya.

Karuna muncul dari memahami sunyata, karena setelah sadar bahwa semua akibat yang saya terima saat ini adalah berasal dari saya sendiri, maka saya bisa menciptakan sebab untuk kebahagiaan saya (di masa mendatang), dengan melakukan praktek welas asih (karuna). Contoh paling sederhana: Anda bahagia saat sekeliling Anda bahagia (khususnya yang memiliki keterkaitan emosi dengan Anda), Anda bahagia setelah berhasil menolong seseorang, atau bahagia saat berhasil membahagiakan orang lain.

Tujuan dan target dalam kehidupan (bukan hanya dalam satu kehidupan).

Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Silakan cermati yang saya garis bawahi di atas, itu menjawab pertanyaan yang lain.

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #109 on: 04 December 2012, 08:47:24 PM »
Sepertinya pembahasan meruncing pada "kosong = isi, isi = kosong".

Baiklah, saya akan buat thread khusus untuk membahas ini, semoga ini bisa menambah wawasan dharma kita semua.

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #110 on: 04 December 2012, 09:04:12 PM »
Kalo saya gak salah menangkap dari thread2 sebelumnya, inti permasalahan yang dibahas adalah mengapa pandangan Mahayana bisa menyimpulkan "rupa adalah kosong" dan "kosong adalah rupa".

Untuk ungkapan pertama (rupa adalah kosong) dapat diterima bahwa fenomena rupa adalah kosong dari diri (anatta, versi Buddhisme awal) atau kosong dari keberadaan yang inheren (saling kebergantungan/paticcasamuppada, versi Madhyamika). Jadi rupa itu memang bersifat kosong. Demikian juga kelompok kehidupan/khanda lainnya (perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan mental/sankhara, dan kesadaran/vinnana) bersifat kosong. Ini yang dijelaskan pada artikel di atas.

Untuk ungkapan kedua (kosong adalah rupa), agak sulit diterima karena bagaimana sifat (lakkhana) kekosongan itu bisa sama dengan/mengandung sifat rupa? Dalam hal ini Buddhisme awal tidak menganggap kekosongan (anatta) juga bersifat rupa walaupun rupa bersifat kosong (anatta). Jadi logikanya A bersifat B tetapi B tidak bersifat A. Kalo diperluas, mengapa kekosongan juga bersifat vedana, sanna, sankhara dan vinnana. Kenapa kosong bisa bersifat rupa (atau sifat kelompok kehidupan lainnya) ini yang tidak dijelaskan dalam artikel di atas.

Sedangkan sdr. Joe dalam menjelaskan "isi = kosong" dan "kosong = isi" sepertinya terpaku pada sifat "isi" (wujud) yang biasanya dianggap berlawanan dengan "kosong" (krn isi = tidak kosong dlm pengertian sehari-hari) bukan sifat "rupa". Ditambah lagi menyamakan "bukit = lembah" yang dlm pengertian sehari-hari bukit itu lawannya lembah (alias bukit = bukan lembah). Sehingga muncul argumen dari lawan diskusi: berarti "laki-laki = perempuan", "baik = buruk", "buddha = putthujana", dst. Seharusnya sdr. Djoe menjelaskan bagaimana bukit itu bersifat kosong (bukit = kosong) dan bagaimana kosong juga bersifat bukit (kosong = bukit) sehingga bisa dijelaskan kenapa laki-laki bersifat kosong dan kosong bersifat laki-laki.....

Just IMHO.... :)

Seperti yang telah saya sampaikan bahwa hal tesebut berindikasi terjadinya kesalahan pemahanan teks Prajnaparamita entah siapa yang memulai (mungkin Nagarjuna, siapa tahu). Rupa na prthak sunyata. imo na prthak yang seharusnya berarti 'tidak terpisahkan' menjadi 'tidak berbeda'.

Jika menggunakan pengertian “tidak terpisahkan” maka pemahamannya tidak mengalami pertentangan walaupun kalimatnya dibolak-balik. Sehingga menjadi: Rupa tidak terpisahkan dengan Sunyata, Sunyata tidak terpisahkan dengan rupa. Jadi dengan satu kalimat singkat: Sunyata dan Rupa tidak terpisahkan.

Ketika menggunakan perngertian “tidak berbeda” maka pemahamannya mengalami pertentangan ketika kalimatnya dibalik. Kecuali ada penambahan: apanya yang tidak berbeda. Misalnya kekosongan dari sunyata tidak berbeda dengan kekosongan dari rupa. Jika kalimatnya dibalik maka tidak ada pertentangan.

Saya rasa sudah cukup penjelasan saya, dan sudah saatnya saya untuk berhenti.

Thanks _/\_
« Last Edit: 04 December 2012, 09:09:34 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #111 on: 04 December 2012, 09:15:22 PM »
Seperti yang telah saya sampaikan bahwa hal tesebut berindikasi terjadinya kesalahan pemahanan teks Prajnaparamita entah siapa yang memulai (mungkin Nagarjuna, siapa tahu). Rupa na prthak sunyata. imo na prthak yang seharusnya berarti 'tidak terpisahkan' menjadi 'tidak berbeda'.

Jika menggunakan pengertian “tidak terpisahkan” maka pemahamannya tidak mengalami pertentangan walaupun kalimatnya dibolak-balik. Sehingga menjadi: Rupa tidak terpisahkan dengan Sunyata, Sunyata tidak terpisahkan dengan rupa. Jadi dengan satu kalimat singkat: Sunyata dan Rupa tidak terpisahkan.

Ketika menggunakan perngertian “tidak berbeda” maka pemahamannya mengalami pertentangan ketika kalimatnya dibalik. Kecuali ada penambahan: apanya yang tidak berbeda. Misalnya kekosongan dari sunyata tidak berbeda dengan kekosongan dari rupa. Jika kalimatnya dibalik maka tidak ada pertentangan.

Saya rasa sudah cukup penjelasan saya, dan sudah saatnya saya untuk berhenti.

Thanks _/\_


Betul, sampai detik ini, saya belum menemukan penjelasan yang memuaskan dari ungkapan ini selain dari penjelasan anda ini sama seperti pada thread2 sebelumnya.....

_/\_
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #112 on: 04 December 2012, 09:23:32 PM »
Betul, sampai detik ini, saya belum menemukan penjelasan yang memuaskan dari ungkapan ini selain dari penjelasan anda ini sama seperti pada thread2 sebelumnya.....

_/\_

Coba kita bahas bersama, di thread khususnya: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23523.new.html#new

Selain dugaan bahwa ungkapan tersebut adalah misinterpretasi, ada penjelasan lain yang sebenarnya tidak mempermasalahkan apakah kosong=isi, dan isi=kosong.

Mari kita bahas disana.

Terima kasih.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #113 on: 05 December 2012, 08:38:58 AM »
Sebenarnya literatur Mahayana banyak tersedia secara online tanpa harus menunggu penjelasan saya.

Karuna muncul dari memahami sunyata, karena setelah sadar bahwa semua akibat yang saya terima saat ini adalah berasal dari saya sendiri, maka saya bisa menciptakan sebab untuk kebahagiaan saya (di masa mendatang), dengan melakukan praktek welas asih (karuna). Contoh paling sederhana: Anda bahagia saat sekeliling Anda bahagia (khususnya yang memiliki keterkaitan emosi dengan Anda), Anda bahagia setelah berhasil menolong seseorang, atau bahagia saat berhasil membahagiakan orang lain.

Tujuan dan target dalam kehidupan (bukan hanya dalam satu kehidupan).

Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Silakan cermati yang saya garis bawahi di atas, itu menjawab pertanyaan yang lain.
Lagi-lagi, lagi-lagi sikap seperti itu.

Master Syndrome sepertinya menular.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #114 on: 05 December 2012, 10:25:24 AM »
Kalo saya gak salah menangkap dari thread2 sebelumnya, inti permasalahan yang dibahas adalah mengapa pandangan Mahayana bisa menyimpulkan "rupa adalah kosong" dan "kosong adalah rupa".
Untuk masalah kalimat, saya sangat setuju dengan om Kelana. "Tidak terpisahkan" itu bukan berarti "adalah" ataupun "sama dengan."


Quote
Untuk ungkapan pertama (rupa adalah kosong) dapat diterima bahwa fenomena rupa adalah kosong dari diri (anatta, versi Buddhisme awal) atau kosong dari keberadaan yang inheren (saling kebergantungan/paticcasamuppada, versi Madhyamika). Jadi rupa itu memang bersifat kosong. Demikian juga kelompok kehidupan/khanda lainnya (perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan mental/sankhara, dan kesadaran/vinnana) bersifat kosong. Ini yang dijelaskan pada artikel di atas.

Untuk ungkapan kedua (kosong adalah rupa), agak sulit diterima karena bagaimana sifat (lakkhana) kekosongan itu bisa sama dengan/mengandung sifat rupa? Dalam hal ini Buddhisme awal tidak menganggap kekosongan (anatta) juga bersifat rupa walaupun rupa bersifat kosong (anatta). Jadi logikanya A bersifat B tetapi B tidak bersifat A. Kalo diperluas, mengapa kekosongan juga bersifat vedana, sanna, sankhara dan vinnana. Kenapa kosong bisa bersifat rupa (atau sifat kelompok kehidupan lainnya) ini yang tidak dijelaskan dalam artikel di atas.
Mengapa ada "[objek] tidak terpisahkan dari shunya" dan juga "shunya tidak terpisahkan dari [objek]"?

Ini untuk menghindari interpretasi [objek] adalah himpunan bagian dari shunya, dan shunya mencakup hal lain di luar [objek] (dan sebaliknya). 

Jika hanya frasa pertama yang digunakan, maka rentan interpretasi: "Rupa tidak terpisahkan dari kosong, namun kosong bisa terpisahkan dari rupa."
(e.g. "Teh manis tidak terpisahkan dari gula, namun gula bisa terpisahkan dari teh manis." <- bukan begini)

Setiap kalimat itu menjelaskan satu konteks yang berdiri sendiri. Analisis "objek1 tidak terpisahkan dari shunya" tidak bisa dihubungkan dengan "objek2 tidak terpisahkan dari shunya." Sama seperti kita analisis 'rupa itu anitya', 'vedana itu anitya', konteks rupa dan vedana itu terpisah, maka tidak bisa disamakan 'rupa = vedana', namun sesuai konteks, sehubungan dengan 'rupa', maka 'anitya tidak terlepas dari rupa', dan sehubungan dengan 'vedana', maka 'anitya tidak terlepas dari vedana'. 


Quote
Sedangkan sdr. Joe dalam menjelaskan "isi = kosong" dan "kosong = isi" sepertinya terpaku pada sifat "isi" (wujud) yang biasanya dianggap berlawanan dengan "kosong" (krn isi = tidak kosong dlm pengertian sehari-hari) bukan sifat "rupa". Ditambah lagi menyamakan "bukit = lembah" yang dlm pengertian sehari-hari bukit itu lawannya lembah (alias bukit = bukan lembah). Sehingga muncul argumen dari lawan diskusi: berarti "laki-laki = perempuan", "baik = buruk", "buddha = putthujana", dst. Seharusnya sdr. Djoe menjelaskan bagaimana bukit itu bersifat kosong (bukit = kosong) dan bagaimana kosong juga bersifat bukit (kosong = bukit) sehingga bisa dijelaskan kenapa laki-laki bersifat kosong dan kosong bersifat laki-laki.....

Just IMHO.... :)
Just IMHO juga, kekusutan yang terjadi, karena mereka yang merasa telah menjelaskan dengan baik tidak memahami 'kosong' dalam kata dan makna (yang terlihat seringkali diremehkan dan dianggap hanya konvensi), padahal komunikasi yang baik dimulai dari pemahaman kata kendatipun kata hanyalah 'penunjuk'.

Yang dibahas dengan carut-marut di sini adalah 3 jenis 'kekosongan':
- Pertama kosong dalam artian "Ākāśā/Akasha", yang adalah 'ruang kosong' yang ditempati unsur-unsur lain. Kosong ini ada dalam ranah materi, tidak bersifat relatif terhadap persepsi, dan memang bisa diukur, tergantung parameternya saja.

- Ke dua kosong dalam makna "Ākiṃca" yang timbul dari peluruhan persepsi kita, dan tentu saja sifatnya internal & relatif. Misalnya karena persepsi patrilineal, kita membedakan anak cowok lebih 'untung' dari cewek. Bagi orang yang tidak berpola pikir demikian, maka bisa dibilang ia kosong dari persepsi patrilineal. Dalam hal yang halus, ini merujuk pada lenyapnya diskriminasi 'kesadaran & luar kesadaran' dalam Arupa jhana 3, maka hanya ada persepsi 'kosong'.

- Ke tiga barulah kosong dalam makna "Śūnya/Shunya" yang merujuk pada konsep Nagarjuna tersebut. Seperti pernah saya tulis, konsep ini adalah 'sanggahan' terhadap klasifikasi Abhidharmika terhadap fenomena Samsāra dan nirvana yang seolah terpisah, sehingga ada Samvrti Satya dan Paramārtha Satya. Ini mengesankan 'nirvana' adalah satu elemen yang terpisah, berdiri sendiri, di luar samsara. Nagarjuna mengupas bahwa "nirvana" ini bukanlah terpisah, lepas dari fenomena dalam samsara, namun sebuah pemahaman terhadap samsara itu sendiri yang hakikatnya adalah kosong, tidak memiliki 'inti' dan 'ada' karena muncul bergantungan ditopang oleh kondisi-kondisnya.

Dengan memahami kata-kata yang hanya konvensional ini, maka pemakaian juga akan sesuai konteks dan dengan sendirinya interpretasi shunya adalah ruang kosong tidak benar-benar kosong, pria = wanita, dan lain sebagainya bisa terhindarkan.

« Last Edit: 05 December 2012, 10:27:49 AM by Kainyn_Kutho »

 

anything