Mungkin saya sedikit kualified hahaha
Saya telah menjadi samanera sejak 26 November 2000. Itu berarti sudah lebih dari 10 tahun. Tiga tahun saya lewati di Indonesia dan selebihnya berada di Sri Lanka. Kalau ditanya suka-dukkha menjadi bhikkhu tentu saya juga tidak bisa menjawab tetapi kalau suka-duka menjadi samanera tentu saya mengerti. Karena itu, ini mungkin OOT tetapi saya ingin sharing bagaimana suka-duka menjadi samanera.
Di Indonenesia, tidaklah begitu dihormati karena umat selalu mengharapkan seorang samanera segera mendapatkan upasampada. Karena itu, setiap bertemu samanera, tipikal pertanyaan yang diajukan adalah "Kapan diupasampada?" "Kapan menjadi bhikkhu?" "Mengapa tidak menjadi bhikkhu?" Selama 3 tahun berada di Indonesia, bahkan ketika pulang, saya sering mendapatkan pertanyaan semacam itu. Selama ini umat tidak mengerti dampak psikologis yang dialami oleh samanera. Apa yang diketahui oleh umat hanyalah samanera itu perlu segera mendapatkan upasampada dan menjadi bhikkhu. Dampaknya fatal. Para samanera ingin sesegera mungkin mendapatkan upasampada; kalau STI dianggap lamban untuk memberikan upasampada, mereka tidak segan-segan lari ke luar negeri untuk mendapatkan upasampada. Saya rasa umat juga perlu memikirkan implikasi semacam ini.
Selain dihujani dengan pertanyaan yang tanpa disadari oleh umat mendesak samanera untuk segera mendapatkan upasampada, samanera juga harus turut berperan aktif dalam membina umat. Samanera harus terjun ke daerah-daerah untuk memberikan ceramah. Ketika sedang memberikan ceramah, belum tentu umat memberikan rasa hormat yang sama seperti saat seorang bhikkhu memberikan ceramah. Sering kali saya menemukan, umat merasa ada sesuatu yang kurang apabila seorang samanera yang memberikan ceramah. Ada baiknya pola pikir semacam ini perlu diubah. Saat seseorang sedang memberikan ceramah, janganlah respect kepada orangnya, entah itu bhikkhu, samanera atau romo atau umat biasa. Tetapi, respectlah kepada Dhamma. Saya masih ingat, suatu ketika Pandita Sayadaw dikritik karena vihara beliau sangat mewah. Ruangan Dhammasala kedap suara, didindingi dengan kaca import yang sangat mewah dari luar negeri. Apa komentar beliau? "Kemewahan itu bukan untuk saya, tetapi untuk Dhamma."
Sikap umat Buddha Indonesia sangat berbeda dengan di Sri Lanka. Selama tujuh tahun lebih berada di Sri Lanka, tidak ada satu pun umat yang pernah bertanya kepada saya apakah saya bhikkhu atau samanera. Para profesor dan pembimbing private yang sangat dekat tidak pernah menanyakan hal itu. Apa yang mereka ketahui saya mengenakan jubah. Itu sudah lebih dari cukup untuk mereka. Lalu bagaimana mereka memanggil saya? Bagi mereka yang berbahasa Inggris, mereka memanggil saya "Reverend" atau "Venerable". Bagi yang berbahasa Sinhala, mereka memanggil saya "Sadhu" atau "hamdruwo" atau Swamivahanse". Panggilan semacam ini adalah umum untuk semuanya, baik para bhikkhu maupun samanera. Tidak ada yang dibedakan.
Para Samanera di Sri Lanka, tidak dituntuk untuk segera mendapatkan upasampada. Ada salah seorang samanera di hutan yang telah menjadi samanera sejak tahun 1975. Hingga beberapa tahun lalu, dia tetap menjadi samanera, dan dia sangat menikmati kehidupan menjadi samanera. Dengan menjadi samanera, dia dapat mengembara dengan bebas dari satu hutan ke hutan yang lain. Untuk mendaptkan upasampada juga tidak mudah. Biasanya, di setiap group, upasampada hanya dilakukan sekali dalam setahun. Dan sebelum upasampada, setiap samanera yang ingin mendapatkan upasampada perlu menjalani test. Bagi para samanera yang tinggal di kota, dia perlu hafal seluruh syair dalam Dhammapada beserta artinya. Tidak hanya itu, dia juga harus mampu menggunakan setiap syair untuk bahan ceramah. Apabila mereka lulus tes ini, barulah mereka bisa mendapatkan upasampada. Bagi para samanera di hutan, mereka harus lulus tes meditasi secara praktik dan vinaya secara tertulis. Untuk tes meditasi, mereka harus bermeditasi minimal 6 bulan saat menjadi pandupalasa dan dilanjutkan saat setelah menjadi samanera. Setelah para bhikkhu puas, mereka harus diberi pelajaran vinaya baik vinaya para bhikkhu maupun bhikkhuni. Untuk bisa lulus tes, mereka harus menguasai minimal 35% vinaya para bhikkhu dan bhikkhuni.
Saya sangat menikmati kehidupan saya di Sri Lanka. Saya tidak perlu ceramah. Tugas utama saya, hanya mendampingi para bhikkhu untuk menghadiri undangan makan, baca paritta dan menghadiri acara funeral. Kalau saya tidak bisa membaca paritta, ya saya cukup diam. Tidak masalah. Kalau di hutan justru jauh lebih baik. Saya tidak perlu membaca paritta, saya tidak perlu ikut acara undangan makan, juga tidak perlu menghadiri funeral. Tugas utama saya, cukup menjadi asisten guru meditasi, membantu beliau membersihkan kamarnya, menata buku di perpustakaan atau melakukan sesuatu yang lain bila ada yang perlu dilakukan. Selebihnya, waktu adalah milik saya. Saya boleh bermeditasi dan wajib bermeditasi. Oleh karena itu, saya tidak suka tinggal di Indonesia. Saya lebih senang tinggal di Sri Lanka, tetapi sayang STI tidak mengizinkan saya untuk tinggal di Sri Lanka selamanya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang para samanera juga diminta untuk memberikan ceramah. Namun, orang Sri Lanka sangat respect saat mereka mendengarkan ceramah. Prof. A.A. Jayasuriya adalah seorang profesor yang telah membuat banyak muridnya menjadi guru besar di universitas terkenal, nama mereka bahkan terkenal di dunia. Namun, setiap hari uposatha dia duduk dengan tenang dari pagi jam 6 hingga sore jam 6. Selama 12 jam, dia akan mendengarkan ceramah siapa pun yang berceramah. Dia tidak pernah mengkritik siapa pun penceramahnya. Banyak juga profesor lain yang juga sangat hebat dalam menguasai agama Buddha mendengarkan ceramah dengan penuh ketulusan dan rasa respect. Mungkin di sinilah perbedaan antara orang yang telah mengerti banyak tentang Dhamma dan mana yang belum.