ya oleh karena itu saya memberikan perbandingan ingin tahu sejauh apa ajaran Buddha itu mengajarkan Dhamma yang benar dengan membandingkan dengan ajaran lain, atau hanya tafsir dari orang2 yang tidak bertanggung jawab memainkan seakan2 perkataan Buddha tapi bukan perkataan Buddha.
Kalau hal ini, sepertinya susah diketahui sebab bagaimanapun "Buddha" tidak ada, jadi hanyalah sebuah gambaran dalam pikiran saja. Sama saja seperti sosok "Tuhan" yang sekarang (dikatakan) sudah tidak berkomunikasi lagi dengan manusia. Masing-masing membentuk "image" Tuhan dalam pikiran (ada yang pemaaf, ada yang pendendam, dll), lalu mencoba membandingkannya dengan "image" Tuhan dalam agama lain. Bisa saja terjadi perbandingan-perbandingan, tetapi "image" Tuhan yang sebenar-benarnya sendiri, siapa yang tahu?
Pembacaan Sutra, bulu bebek, patung dan doa seakan2 memberikan manfaat tapi apabila dijabarkan toh malah ada syarat2 lain yang membuat hal2 yang katanya bisa malah menjadi remang2 dengan HARUS ada sila lah, HARUS ada perenungan lah, HARUS ada niat dari yang membaca lah, HARUS ada keyakinan dari yang mau akur ah, ajdi saya rasa ini adalah dhamma remang2 bukannya Dhamma halus yang seperti papa bond bilang.
kalau semua itu harus selaras bukankah Ritual bulu bebek menjadi tidak berarti?
untuk apa Buddha mengajarkan dhamma yang "abu2" ?
Dengan penyelidikan yang ilmiah bisa langsung diketahui apakah benar ada gunanya. Dengan sila yang cukup, tekad menjaga keharmonisan, pengendalian diri, apakah cukup untuk memberikan keharmonisan atau perlu tambahan baca-baca sutra/ritual tertentu? Saya rasa kita semua sudah punya jawabannya masing-masing.
Mengenai yang "abu-abu" itu, Bro Gandalf pernah bilang kalau tata cara itu adalah berdasarkan tradisi setempat saja, jadi belum tentu perlu seperti di sutra itu persis (1008x, kudu bebek mandarin, dsb). Yang saya tidak tahu, apakah dalam Mahakaruna Dharani Sutra selengkapnya itu ada dijelaskan seperti itu atau tidak. Jika ada, berarti pembelajaran memang seharusnya tidak langsung ke "ritual bulu bebek", tapi ke pengertiannya dulu.
Jika tidak, maka sungguh disayangkan sebab bagian "bulu bebek" itu sangat condong ke "ritual" ketimbang "pengertian".
sedangkan dalam dhammapadda ada tertulis :
Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke arama-arama (hutan-hutan), ke pohon-pohon dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.
Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah perlindungan yang utama. Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan bebas dari penderitaan.
Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu:
Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukka, serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.
Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.
Kebanyakan orang mencari2 ritual untuk inilah itulah, apakah Buddha mengajarkan Ritual2? atau ini hanya muridnya yang mengajarkan?
Ini kembali lagi 'kan kata-kata dari "Buddha versi Dhammapada". Kata-kata "Buddha versi Mahakaruna dharani" bisa jadi berbeda. Beda lagi misalnya dengan kata-kata dari "Buddha versi I Kuan Tao", dll. Merk-nya saja yang sama, namun image di pikiran pasti berbeda. Bahkan saya yakin image "Buddha versi dhammapada" saya dan Bro ryu, pastilah tidak 100% sama.
ya hal itu memang hak masing2, hanya adalah tidak bijaksana apa yang bukan perkataan buddha dijadikan menjadi perkataan Buddha, itu hanya akan menjadi lelucon, sama seperti buku Anthony de mello yang memberikan ilustrasi dengan menggunakan tokoh2 agama yang terkenal pembaca mungkin akan memaklumi walau ceritanya bohong karena itu hanya ilustrasi, tapi apabila ada sebuah buku/sutra yang diyakini oleh seluruh umat buddha ternyata hanyalah sutra palsu walaupun ada manfaatnya tapi sungguh menggenaskan melihat wajah ajaran Buddha seperti ini.
Kalau "Buddha versi saya" mengajarkan tidak perlu merasa kecewa dengan sikap-sikap yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan, atau bahkan jika ada yang terang-terangan memalsukan ajaran secara tidak tahu malu; tetapi sadarilah memang itulah kenyataannya makhluk yang dipenuhi LDM, yang cenderung "menetapkan kebenaran sesuai keinginan" bukan "menyadari kebenaran sesuai kenyataan". Jadi terlepas dari orang itu benar atau salah menurut standard masing-masing, tetap yang kita lihat hanyalah kebenaran fakta apa adanya saja.