In The Death Of Night
Oleh: Ajahn Chah
LIHATLAH KETAKUTAN MU... Suatu hari, ketika malam menjelang, tiada yang lainnya... Jika saya berunding dengan diri sendiri, saya tak akan pernah pergi, jadi saya mengajak seorang pa-kow dan pergi.
"Jika tiba saatnya mati maka biarlah mati. Jika pikiranku bandel dan bodoh maka biarlah ia mati..." begitulah saya memikirkan untuk diri sendiri. Sesungguhnya di dalam hati saya tidak ingin pergi tetapi saya paksakan diri". Bila demikian keadaannya, lalu jika kamu tunggu sampai semuanya beres maka kamu tak akan pernah pergi. Kapan kamu akan melatih dirimu?" Oleh karena itu saya pergi juga.
Sebelumnya saya tidak pernah tinggal di tanah perkuburan. Ketika saya sampai di sana, tiada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan saya. Si pa-kow ingin berada di samping saya tetapi tidak saya berikan. Saya menyuruhnya diam di kejauhan. Sebenarnya saya ingin dia berada di dekat saya untuk menemani, tetapi tidak saya lakukan. Saya biarkan ia pergi, kalau tidak saya akan mengharapkan dukungannya.
"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini".
Saya takut, tetapi saya tertantang. Bukannya saya tidak takut, tetapi saya punya semangat. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.
Ketika hari mulai gelap saya mendapat kesempatan, yaitu orang-orang datang membawa sesosok jenazah. Beruntunglah saya! Saya bahkan tak bisa merasakan kaki saya menyentuh tanah, saya begitu ingin keluar dari sana. Mereka menginginkan saya melakukan upacara pemakaman tersebut tetapi saya tak mau terlibat, saya hanya menyingkir. Tak lama kemudian, setelah mereka pergi, saya kembali dan menemukan bahwa mereka telah mengubur jenazah tepat di samping tempat saya.
Sekarang apa yang harus saya kerjakan? Ini bukannya karena di sini dekat desa, yang sekitar tiga kilometer jaraknya.
"Baik, jika saya akan mati, biarlah saya mati..."
Jika kalian tak pernah berani melakukannya, kalian tak akan pernah mengetahui bagaimana sesungguhnya. Ini sungguh merupakan satu pengalaman.
Ketika hari bertambah gelap saya bigung kemana harus lari di tengah daerah pekuburan.
"Oh, biarlah mati. Orang lahir dalam kehidupan ini hanyalah untuk mati".
Segera setelah matahari terbenam sang malam mengisyaratkan agar saya masuk kedalam "glot" ("Glot" —payung besar milik "dhutanga" Thai atau para bhikkhu yang berdiam di hutan, yang digantungkan di pohon, di mana mereka memasang jala nyamuk (kelambu) sebagai tempat tinggal selama berada di hutan.). Saya tidak ingin melakukan meditasi berjalan sedikit, saya hanya ingin masuk kedalam kelambu saya. Setiap kali saya berusaha jalan ke arah kuburan tampaknya ada sesuatu yang mendorong saya kembali dari belakang, yang mencegah saya berjalan. Tampaknya perasaan takut dan semangat saya bersaing ketat. Tetapi saya lakukan itu. Begitulah cara kalian melatih diri sendiri.
Ketika hari telah gelap, saya masuk kedalam kelambu saya. Rasanya bagaikan saya mempunyai tembok berlapis tujuh di sekeliling saya. Melihat mangkuk saya yang setia di sisi saya bagaikan melihat seorang teman lama. Kadangkala hanya sebuah mangkuk bisa menjadi teman! Keberadaannya di sisi saya sungguh menyenangkan. Paling tidak saya mempunyai mangkuk sebagai teman.
Sepanjang malam saya duduk di dalam kelambu mengamati badan jasmani. Saya tidak rebahan ataupun tertidur sejenak, saya hanya duduk tenang. Saya tidak bisa mengantuk walaupun saya ingin bisa mengantuk, saya begitu takut. Ya, saya takut, meskipun demikian saya melakukannya. Saya duduk sepanjang malam.
Sekarang siapa yang punya keberanian untuk praktek seperti itu? Cobalah dan alamilah. Jika pengalamannya seperti ini, siapa yang berani pergi dan tinggal di daerah perkuburan? Jika kalian tidak menjalankannya sendiri, kalian tidak memperoleh hasil, kalian belum praktek sesungguhnya. Kali ini saya sudah mempraktekkannya.
Ketika fajar menyingsing saya merasa, "Oh! Saya berhasil!" Saya begitu gembira, saya hanya ingin siang hari, tanpa malam hari sama sekali. Saya ingin memusnahkan sang malam dan menyisakan siang hari saja. Saya begitu senang, saya telah berhasil. Saya berpikir, "Oh, sesungguhnya tidak ada apapun, hanya ada ketakutan saya, itulah semuanya".
Setelah pergi berpindapata dan makan, saya merasa baikan. Matahari bersinar, membuat saya merasa hangat dan enak. Saya beristirahat dan berjalan sebentar. Saya berpikir, "malam ini saya akan bermeditasi dengan lebih baik dan tenang, karena saya sudah melaluinya malam tadi. Mungkin tidak ada yang lebih dari itu".
Selanjutnya, ketika lewat tengah hari, tahukah kalian apa yang terjadi? Datang lagi jenazah yang lain, kali ini jenazah yang besar (Pada malam pertama tampaknya jenazah seorang anak keci). Mereka membawa jenazah itu dan memperabukannya tepat di sebelah tempat saya, tepat di depan "glot" saya. Ini bahkan lebih buruk dari kemarin malam!
"Baik", saya pikir, "dengan membawa jenazah dan membakarnya di sini akan membantu praktek saya".
Tetapi saya tetap tidak melakukan upacara apapun untuk mereka, saya tunggu mereka sampai pergi sebelum melihatnya.
Membakar badan/jenazah itu untuk saya amati sepanjang malam, tak dapat saya katakan bagaimana sebenarnya. Kata-kata tidak dapat menggambarkannya. Tak ada yang bisa saya sampaikan untuk menggambarkan rasa takut saya. Di kegelapan malam, ingat itu. Api pembakaran jenazah berkelip-kelip merah dan hijau serta nyala api meletup-letup pelan. Saya ingin melakukan meditasi jalan di depan jenazah itu tetapi saya hampir tidak bisa melakukannya. Akhirnya saya masuk ke dalam kelambu saya. Bau busuk dari daging yang terbakar tetap ada sepanjang malam.
Dan hal ini, sebelum semuanya benar-benar terjadi...
Ketika nyala api berkelip-kelip lemah saya membelakangi api itu. Saya lupa tentang tidur, saya bahkan tak bisa memikirkannya, mata saya kaku ketakutan. Dan tak ada orang yang bisa ditoleh, hanya ada saya. Saya harus percaya pada diri sendiri. Saya tak bisa berpikir harus ke mana, tak ada tempat untuk berlari pada malam yang kelam itu.
"Baik, saya akan duduk dan mati di sini. Saya tak akan pindah dari tempat ini".
Di sini, berbicara dengan pikiran biasa, apakah ia mau melakukannya? Apakah ia akan membawa kalian pada situasi semacam itu? Jika kalian berusaha untuk menimbang-nimbang, kalian tak akan pernah pergi. Siapa yang mau melakukan hal ini? Jika kalian tidak mempunyai keyakinan yang kuat pada ajaran Sang Buddha, kalian tak akan pernah melakukannya.
Sekarang, sekitar pukul sepuluh malam, saya duduk membelakangi api. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi terdengar suara langkah kaki terseret dari api di belakang saya. Apakah peti jenazahnya telah hancur? Atau mungkin seekor anjing mendekati jenazah itu? Tetapi tidak, suara itu lebih mirip langkah pasti seekor kerbau.
"Oh, tak apalah..." Tetapi selanjutnya ia mulai berjalan ke arah saya, persis seperti orang! Ia berjalan di belakang saya, langkahnya berat, seperti seekor kerbau, tetapi bukan...! Gemerisik daun di bawah langkah kaki tampak berputar ke depan. Baik, saya hanya bisa bersiap untuk yang terburuk, kemana lagi harus pergi? Tetapi semuanya tidak terjadi, ia hanya berkeliling di depan dan selanjutnya pergi ke arah pa-kow. Selanjutnya semua tenang. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ketakutan membuat saya berpikir tentang berbagai kemungkinan.
Satu setengah jam kemudian, saya kira, langkah kaki tersebut datang kembali dari arah pa-kow. Persis seperti orang! Ia datang tepat ke arah saya, kali ini menuju ke arah saya bagaikan mau menubruk saya! Saya memejamkan mata dan tak mau membukanya.
"Saya akan meninggal dengan mata terpejam".
Ia lebih mendekat sampai akhirnya berhenti di hadapan saya dan duduk tidak bergerak. Saya merasa seolah-olah ia melambai-lambaikan tangan di depan mata saya yang terpejam. Oh! Memang begitu! Saya membuang segalanya, lupa semua tentang Buddho, Dhammo dan Sangho. Saya melupakan semuanya, hanya ada rasa takut dalam diri saya, menumpuk sepenuhnya. Pikiran saya tak bisa pergi kemana pun, hanya ada rasa takut. Sejak saya dilahirkan saya belum pernah mengalami rasa takut seperti ini. Buddho dan Dhammo telah menyingkir, saya tidak tahu kemana. Hanya ada rasa takut yang mengalir di dada sampai terasa menyesakkan.
"Baik, biarlah begitu, tak ada yang bisa dikerjakan".
Saya duduk bagaikan tidak menyentuh tanah dan hanya mengamati apa yang terjadi. Rasa takut begitu menguasai saya, bagaikan kendi yang penuh terisi air. Jika kalian mengisi kendi hingga penuh, lalu menuang sedikit lagi, kendi itu akan meluap. Begitu pula, rasa takut berkembang dalam diri saya sampai mencapai titik puncak dan mulai meluap.
"Mengapa aku begitu takut?" Suara dalam diri saya bertanya.
"Saya takut akan kematian", suara yang lain menjawab.
"Baik, sekarang di manakah kematian itu? Mengapa panik? Cari di mana tempat kematian. Di manakah kematian?"
"Mengapa, kematian ada di dalam diriku!"
"Jika kematian ada di dalam diriku, kemanakah kamu akan lari untuk menghindarinya? Jika kamu lari kamu mati, jika kamu tetap di sini kamu mati. Kemana pun kamu pergi ia pergi bersamamu karena kematian berada di dalam dirimu, tidak ada tempat bagimu untuk melarikan diri. Apakah kamu takut atau tidak, kamu akan mati, tidak ada tempat untuk menghindari kematian".
Segera setelah saya berpikir begitu, pemahaman saya sepenuhnya berubah. Semua rasa takut hilang semudah membalikkan telapak tangan. Ini sungguh menakjubkan. Begitu besar rasa takut tadinya toh itu bisa hilang begitu saja! Rasa tidak takut muncul di tempat rasa takut tadi. Sekarang batin saya bangkit lebih tinggi dan lebih tinggi sampai saya merasakan bagaikan berada di awan.
Segera setelah saya mengalahkan rasa takut, hujan mulai turun. Saya tidak tahu hujan macam apakah itu, anginnya begitu kencang. Tetapi saya tidak takut mati lagi. Saya tidak takut bahwa dahan-dahan di pohon bisa jatuh menimpa saya. Saya tidak mempedulikannya. Hujan bergemuruh bagaikan aliran air yang deras di musim panas, sungguh lebat. Ketika hujan reda semuanya basah kuyub.
Saya duduk tidak bergerak.
Lalu apakah yang saya lakukan selanjutnya, dengan keadaan basah kuyub seperti itu? Saya menangis! Air mata membasahi kedua pipi saya. Saya menangis karena berpikir, "Mengapa aku duduk di sini bagaikan anak yatim piatu atau anak yang ditinggalkan, duduk, berbasah kuyub di bawah hujan bagaikan orang yang tidak memiliki apapun, bagaikan orang bujangan?".
Selanjutnya saya berpikir, "Semua orang yang duduk nyaman di rumah saat ini mungkin sama sekali tidak menduga bahwa ada seorang bhikkhu yang duduk di sini, berbasah kuyub di bawah curah hujan sepanjang malam seperti ini. Apakah tujuannya semua itu?" Dengan berpikir begitu saya mulai menyesali akan air mata yang telah mengalir.
"Air mata ini bukanlah barang yang baik, biarlah mereka mengalir keluar semuanya".
Beginilah cara saya berlatih.
Sekarang saya tidak tahu bagaimana saya bisa menjelaskan hal-hal seterusnya. Saya duduk... duduk dan mendengar. Setelah mengalahkan perasaan saya, saya hanya duduk dan mengamati semua hal yang muncul dalam diri saya, begitu banyak hal yang bisa diketahui tetapi tidak mungkin untuk dijabarkan. Dan saya merenungkan kata-kata Sang Buddha.... Paccattam veditabbo viññuhi.(Baris terakhir ungkapan tradisional Pali yang mencantumkan sifat-sifat Dhamma.) "Ia yang bijaksana akan mengetahui untuk dirinya sendiri".
Bahwa saya sudah menahan penderitaan seperti itu dan duduk di bawah curah hujan... siapakah yang mengalami bersama saya? Hanya saya saja yang bisa mengetahuinya. Begitu banyak air mata namun rasa takut lenyap. Siapakah yang bisa menjadi saksi? Mereka yang berada di rumahnya di kota tak bisa mengetahuinya, hanya saya yang bisa melihatnya. Itu merupakan pengalaman pribadi. Meskipun saya ceritakan pada orang lain mereka tidak akan mengerti sepenuhnya, itu merupakan sesuatu untuk dirasakan oleh tiap-tiap orang untuk dirinya sendiri, lebih banyak saya merenungkan hal ini, ia menjadi lebih jelas. Saya menjadi lebih kuat, keyakinan saya menjadi lebih kokoh, sampai fajar menyingsing.
Sang fajar ketika saya membuka mata, semua tampak kuning.
Semalam sesungguhnya saya ingin buang air kecil tetapi perasaan telah menghalanginya. Pada pagi hari ketika saya bangkit dari duduk di manapun yang saya lihat tampak kuning, seperti sinar matahari pagi pada hari lain. Ketika saya buang air kecil, ada darah di sana.
"Eh? Apakah usus saya sobek atau ada sesuatu?" Saya agak takut... "Mungkin benar ada yang sobek di dalam".
"Baik, lalu kenapa? Jika memang sobek siapa yang harus disalahkan?" Segera suatu suara berkata. "Jika sobek tetap sobek, jika saya mati tetap mati. Saya hanya duduk di sini, saya tidak melakukan kejahatan apapun. Jika akan meledak, biarlah meledak", kata suara itu.
Batin saya bagaikan sedang berdebat dan berperang dengan dirinya sendiri. Satu suara dari sisi lain berkata, "Hei, ini berbahaya!" Suara yang lain akan menjawab, menegur dan mengesampingkannya.
Air seni saya tercemar oleh darah.
"Hmm. Di manakah saya bisa mendapatkan obat?"
"Saya tak akan mempedulikan hal itu. Bagaimanapun, seorang bhikkhu tak mungkin memotong tanaman untuk obat. Jika saya mati, lalu kenapa? Apa lagi yang harus dilakukan? Jika saya mati ketika sedang berlatih seperti ini maka saya sudah siap. Jika saya mati karena melakukan keburukan itu tidak baik, tetapi mati karena berlatih seperti ini saya siap".
Jangan ikuti suasana-hati kalian. Lihatlah dirimu sendiri. Praktek ini membutuhkan pertaruhan kehidupan kalian. Kalian harus sudah menangis paling tidak dua atau tiga kali. Itu baik, itulah praktek. Jika kalian mengantuk dan ingin berbaring maka jangan biarkan sampai tertidur. Singkirkan rasa kantuk sebelum kalian berbaring. Tetapi lihatlah diri kalian, kalian tidak mengetahui bagaimana cara berlatih.