//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - GandalfTheElder

Pages: 1 2 3 4 [5]
61
Theravada / Sambhogakaya dalam Tradisi Theravada
« on: 20 September 2008, 12:52:01 PM »
Selama ini kita kenal Sambhogakaya hanya ada di tradisi Mahayana dan Vajrayana. Di dalam Theravada hanya dikenal 2 tubuh lainnya saja yaitu Manussabuddha (Nirmanakaya dalam Mahayana) dan Dhammakaya (Dharmakaya dalam Mahayana). Tradisi Theravada tidak mengenal adanya Sambhogakaya. Tapi sebenarnya apakah yang dialami Acariya Mun Bhuridatta itu Sambhogakaya?

Sambhogakaya dalam Tradisi Theravada?

Tinggal di Goa Sarira, Acariya Mun sering dikunjungi oleh para Savaka Arahant, yang muncul di hadapannya melalui samadhi nimitta. Masing-masing savaka Arahant memberikan pembabaran Dhamma untuk membantunya, menerangkan praktek-praktek tradisi dari para Arya.

…………

Seorang savaka Arahant, setelah memberikan pembabaran tersebut dan meninggalkannya, Acariya Mun dengan rendah hati menerima ajaran Dhamma tersebut. Ia waspada dalam mengkontemplasi setiap aspek dari ajaran tersebut, memisahkan tiap-tiap poin dan menganalisa semuanya dengan cermat, satu demi satu. Ketika lebih banyak savaka Arahant yang datang untuk mengajarinya (Dhamma) dengan cara ini, maka ia (Acariya Mun) mendapatkan banyak pemahaman baru ke dalam praktek hanya dengan mendengarkan pembabaran (para savaka Arahant tersebut). Mendengarkan pembabaran Dhamma yang sangat menakjubkan ini, semangat Acariya Mun untuk bermeditasi meningkat, sehingga banyak meningkatkan pemahamannya terhadap Dhamma.

Acariya Mun dikisahkan mencapai tingkatan Anagami ketika ia bermeditasi di goa tersebut, setelah mendengarkan pembabaran para savaka Arahant.

=============================================================================

Pada malam hari ketika Acariya Mun mencapai vimutti, sekelompok Buddha, diikuti oleh para pengikut Arahanta Mereka, datang untuk mengucapkan selamat padanya karena telah mencapai vimuttidhamma. Pada suatu malam, seorang Buddha, diikuti oleh 10000 pengikut Arahant, datang untuk berkunjung; malam hari berikutnya, ia dikunjungi oleh Buddha yang lain, yang diikuti pula oleh 100000 Arahant. Setiap malam, ia dikunjungi oleh Buddha yang berbeda, yang datang untuk memberikan apresiasi pada Acariya Mun, diikuti oleh pengikut Arahant dengan jumlah yang berbeda-beda.

Acariya Mun berkata bahwa jumlah dari pengikut Arahant bermacam-macam tergantung dari kusala kamma / parami yang dikumpulkan oleh Buddha tersebut, sebuah faktor yang membedakan satu Buddha dengan Buddha lainnya. Jumlah Arahant yang mengikuti setiap Buddha tidak merepresentasikan jumlah seluruh dari pengikut Arahant-Nya, mereka hanya menunjukkan parami yang dimiliki oleh masing-masing Buddha. Di antara para pengikut Arahant tersebut, terdapat sedikit samanera.

…………..

Acariya Mun menjawab bahwa ia tidak memiliki keraguan tentang sifat sejati dari Buddha dan para Arahant. Apa yang masih menjadi pertanyaan baginya adalah: Bagaimana mungkin Sang Buddha dan para Arahant, yang telah mencapai anupadisesa-nibbana, yang tanpa sisa dan bebas dari realita konvensional, masih muncul dalam wujud tubuh. Sang Buddha menjelaskan persoalan ini padanya:

Jika mereka yang telah mencapai anupadisesa nibbana hendak berinteraksi dengan Arahant lainnya, yang telah membersihkan hati mereka namun masih memiliki tubuh fisik yang sementara ini, maka mereka harus secara sementara mengambil wujud ‘duniawi’ dengan tujuan untuk membuat kontak. Namun, jika semua perhatian telah mencapai anupadisesa nibbana, yang tanpa sisa dan tanpa realita konvensional, maka  penggunaan wujud konvensional tidak lagi dibutuhkan. Maka dari itu perlu untuk mengambil wujud konvensional ketika berhadapan dengan realita konvensional, namun ketika dunia konvensional telah dilampaui secara sempurna, maka tidak ada lagi masalah yang timbul.

Semua Buddha mengetahui kejadian yang berkaitan dengan masa lalu dan masa depan dengan nimitta yang menyimbolkan realita konvensional dari kejadian yang ditanyakan. Sebagai contoh, ketika seorang Buddha berkeinginan untuk mengetahui kehidupan-kehidupan Buddha-Buddha yang sebelum-Nya, maka ia harus mengambil nimitta dari tiap Buddha, dan keadaan-keadaan tertentu yang mana Ia alami, sebagai alat untuk membawa langsung pada pengetahuan tersebut. Jika sesuatu eksis di luar dunia relatif dari realita konvensional, yaitu vimutti, maka tidak ada simbol yang dapat merepresentasikannya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang Buddha-Buddha masa lampau bergantung pada konvensi duniawi yang memberikan dasar umum bagi pengertian, seperti yang digambarkan oleh kedatanganku kali ini. Hal tersebut diperlukan bahwa Aku dan para semua pengikut Arahant-Ku muncul dalam wujud sementara kita, agar yang lainnya, seperti dirimu, dapat memiliki cara untuk menentukan seperti apakah wujud kita. Jika kita tidak muncul dengan wujud ini, maka tiada seorangpun yang dapat melihat kita.

Pada saat ketika diperlukan untuk berinteraksi dengan realita konvensional, maka vimutti harus dimanifestasikan dengan cara-cara konvensional yang cocok/benar. Dalam kasus vimutti yang murni, ketika dua citta yang telah termurnikan saling berinteraksi satu sama lain, maka yang muncul hanya esensi kualitas dari mengetahui – yang tidak mungkin dijelaskan dengan cara apapun. Maka ketika kita ingin menunjukkan sifat dari kesucian sempurna, maka kita harus menggunakan cara-cara kovensional untuk membantu kita menggambarkan pengalaman dari vimutti. Kita dapat berkata bahwa vimutti adfalah “kondisi pabhassara (bercahaya dengan sendirinya) bebas dari semua nimitta yang merepresentasikan kebahagiaan sempurna”, secara singkat, namun pernyataan ini sudah banyak digunakan dan hanya merupakan metafora konvensional. Seseorang yang mengetahui dengan jelas hal tersebut dalam hatinya, maka tidak akan mungkin memiliki keraguan terhadap vimutti. Oleh karena karakteristik yang sebenarnya tidak akan mungkin dapat dijabarkan, vimutti tidak dapat dibayangkan di dalam artian relatif dan konvensional. Meskipun begitu, vimutti bermanifestasi secara konvensional dan vimutti yang eksis di dalam kondisi asal mulanya, diketahui dengan jelas dan sempurna oleh Arahant. Hal ini mencakup vimutti yang memanifestasikan dirinya dengan cara menggunakan aspek-aspek konvensional di bawah keadaan tertentu, dan vimutti yang eksis di dalam tingkatan asal mulanya yaitu tidak berkondisi. Apakah kamu menanyakan hal ini karena kamu ragu ataukah sebagai sebuah percakapan saja?


Acariya Mun menjawab: “Aku tidak memiliki keraguan terhadap aspek konvensional dari semua Buddha, ataupun aspek yang tidak berkondisi. Pertanyaanku hanyalah merupakan sebuah cara konvensional untuk menunjukkan penghormatan. Meskipun tanpa kedatangan Anda dan para pengikut Arahant, aku tidak memiliki keraguan di mana letak Buddha, Dhamma dan Sangha yang sesungguhnya berada. Ini adalah keyakinanku yang sangat jelas bahwa siapapun yang melihat Dhamma melihat Tathagata. Ini berarti bahwa Sang Buddha, Dhamma dan Sangha masing-masing menunjukkan tingkatan kemurnian yang sama, yang sepenuhnya bebas dari realita konvensional, yang dikenal sebagai Tiga Permata (Triratna).”

Salah satu kritik terhadap Acariya Mun adalah bahwa Kanon Pali tidak mencantumkan satu kejadianpun yang mendukung pernyataan Acariya Mun, bahwa para Arahant yang telah parinibbana datang untuk mendiskusikan Dhamma dengannya dan menunjukkan cara mereka mencapai Nibbana.

Acariya Mun kemudian berkata bila kita menerima bahwa Tipitaka tidak memegang monopoli atas Dhamma, maka tentu saja mereka yang mempraktekkan ajaran Buddha dengan benar akan dengan sendirinya mengetahui segala aspek dari Dhamma, sesuai dengan kemampuan alami mereka, tanpa peduli apakah dicantumkan dalam Tipitaka atau tidak.

(Dikutip dari Biografi Spiritual Yang Mulia Acariya Mun Bhuridatta Thera karya Acariya Maha Boowa Nanasampanno)

Tubuh Cahaya Buddha

Tubuh Cahaya Buddha (Sambhogakaya) adalah cahaya penuh keindahan yang ada pada tubuh Buddha. Ini adalah aspek yang meliputi kebahagiaan semua Buddha dalam Kebenaran, kebahagiaan dalam mengajarkan Kebenaran, dan membawa yang lain merealisasikan Kebenaran. Karena semua Buddha telah praktek tak terhitung lamanya dan telah memperoleh kesempurnaan Kebijaksanaan dan Belas Kasih, masing-masing mempunyai Kedamaian, Kegembiraan, dan Kebahagiaan yang tak terkira, seperti yang dituangkan dalam Sambhogakaya. Para Buddha biasanya tidak nampak dalam tubuh ini karena kita tidak dapat "mencema" akibat keterbatasan pengertian kita. Malahan, para Buddha berwujud Nirnanakaya.

Sambhogakaya adalah 'tubuh rahmat' atau tubuh cahaya yang sering dinyatakan dengan perwujudan surgawi yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan Bodhisattva.

Dengan bulan sebagai perumpamaan dari Buddha, maka Sambhogakaya itu seperti bulan purnama yang tidak terhalang awan, yang bersinar terang dalam cahaya totalnya.

Siapakah Acariya Mun

Acariya Mun (1870-1949 M), beserta gurunya, Ajahn Sao Kantasilo (bhikkhu dari aliran Dhammayuttika), adalah para pelopor Tradisi Hutan di Thailand (tradisi Kammatthana). Acariya Mun dipercaya telah mencapai tingkat Arahat.

Beliau adalah guru dari Acariya Maha Boowa. Yang Mulia Acariya Mun Bhuridatta Thera adalah seorang tokoh terkemuka dalam Buddhisme Theravada Thai zaman sekarang.

Riwayat singkatnya dapat dibaca di Dawai 48 yang file pdfnya dapat didownload di Dhammacitta.

 _/\_
The Siddha Wanderer

62
Arsitektur Buddhis / Vihara Bergaya Gothik (Wat Ratchabophit)
« on: 20 September 2008, 07:28:24 AM »
Apa itu Arsitektur Gothik?

Setelah era perkembangan Romanika berlangsung dengan semarak dan semangat kedaerahan, kemudian lahir dan tumbuhlah masa arsitektur Gothik yang berlangsung pada abad XII-XVI. Arsitektur Gothik adalah arsitektur yang tumbuh dari arsitektur Romanika yang menyimpang dari aturan-aturan klasik (Yunani dan Romawi).

Pada era arsitektur Gothik, ada upaya para pakar untuk mendudukkan dan sekaligus meluruskan arsitektur sebagai ilmu bangunan.

Hal yang patut dicatat dan diingat adalah penemuan struktur gereja yang dikenal dengan flying buttress yaitu semacam balok miring yang melayang dan menyalurkan beban atap, memperkokoh bangunan, dan sekaligus menjadi elemen estetika. Disamping sebagai unggulan flying buttress, juga menjadi ciri gereja Gothik bersama ciri-ciri lainnya seperti menara lonceng yang lebih tinggi dengan era Romanika, serta penggunaan busur-busur yang lancip. Beberapa negara yang menjadi tumpuan perkembangan arsitektur Gothik adalah Prancis, Inggris, Jerman, Itali, Spanyol, Belgia, dan Belanda.

Contohnya adalah Notre Dame:



Periode ini dimulai penyebarannya dari Prancis. Sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya, yaitu adanya kecenderungan untuk menambah ketinggian langit-langit hingga jauh melebihi skala manusia, maka pada periode ini bentuk yang dianut merupakan bentuk arsitektur vernakular Eropa dengan beberapa penyempurnaan.



Altar di Notre Dame

Tatanan denah dan bentuk globalnya lebih bebas dibandingkan dengan Bizantium dan Romanesque.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada periode ini di antaranya:
Ketinggian langit-langit yang jauh melebihi skala manusia, terutama pada gereja-gereja dan katedral.
Bentuk busur yang meruncing, dikarenakan keinginan untuk menciptakan atap meruncing sebagai ciri arsitektur vernakular Eropa. Hal ini merupakan tuntutan iklim salju.


(Notre Dame Cathedral)

Pengembangan bentuk rib vaults—bentuk kubah yang menyerupai rusuk. Salah satu pembeda arsitektur Gothic dengan periode sebelumnya adalah sistem konstruksi kolom dan langit-langit tidak terpisah. Jadi antara kolom dan rusuk penyangga atap menyatu. Sebagai pengembangan dari struktur busur silang yang banyak digunakan pada periode sebelumnya, bentuk busur rusuk dapat dikatakan terinspirasi dari bentuk ranting pohon. Pada perkembangan selanjutnya, susunan rusuk yang terjadi malah menyerupai kipas.



Gloucester Cathedral, tempat syuting film Harry Potter

Di samping itu, diameter kolom menjadi besar karena sebenarnya kolom besar tersebut merupakan gabungan dari beberapa kolom kecil-kecil yang langsung menopang rusuk. Meskipun sama-sama berukuran besar, pada arsitektur Yunani hal ini lebih dikarenakan kebutuhan struktural untuk menopang beban atap dan entablature yang sangat besar. Kolomnya berkembang menjadi kolom strutural dan non struktural.

Bukaan-bukaan yang lebar, sehingga arsitektur Gothik identik dengan permainan cahaya di interior. Permainan cahaya ini bertujuan untuk menambah keagungan dan unsur spiritual.

Marilah kemudian kita lihat seperti apa Wat Ratchabophit itu.

 _/\_
The Siddha Wanderer

63
Beberapa saat yang lalu ada sebuah artikel di buddhistchannel.tv berjudul "Planning the Demise of Buddhism" di mana sekarang sekarang para umat Kristiani sedang mengarahkan segala tenaganya untuk memojokkan agama Buddha dengan menerbitkan buku-buku beserta web-web yang bertujuan secara khusus membawa para umat Buddhis menuju Kristianitas. Namun yang terjadi adalah para penulis dan pembuat web-web tersebut mempunyai pengetahuan yang sangat rendah akan agama Buddha

Ada 3 buku Kristiani yang sangat populer, yang bertujuan untuk menyanggah agama Buddha:

1. The Lotus and The Cross (Teratai dan Salib), Percakapan Yesus dengan Buddha oleh Dr. Ravi Zacharias
2. Unexpected Way: On Converting from Buddhism to Catholicism oleh Paul Williams
3. Peoples of the Buddhist World: A Christian Prayer Guide oleh Paul Hattaway

Berikut cover ketiga buku tersebut:



Profil penulis:
1.  Dr. Ravi Zacharias mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Trinity International University di Deerfield, Illinois. Ia menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu ia memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Ia mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY, maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Ia juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Ia sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.
2. Paul Williams sebelumnya adalah seorang Buddhis. Ia mempelajari filosofi Buddhis di Wadham College, Universitas Oxford dan ia menjadi Profesor Agama India di Universitas Bristol, Inggris. peneletiannya berpusat pada ajaran Buddha aliran Madhyamika. Namun ia akhirnya beralih kayakinan menjadi seorang ka****k Roma dan menulis buku Unexpected Way.
3. Paul Hattaway adalah pemimpin dari Asia Harvest, sebuah badan yang bertujuan untuk 'menananmkan' gereja di Asia.

Sanggahan Umat Buddha atas Lotus and The Cross dan Unexpected Way:

Umat Buddha tidak diam saja ketika mengetahui ada 2 buku seperti di atas. Muncul tulisan untuk menyanggah isi kedua buku tersebut.

Sanggahan Umat Buddha atas Lotus and The Cross:
http://unknowingmind.pbwiki.com/f/Dissent_Lotus_and_Cross_Final.pdf

Sanggahan Umat Buddha atas Unexpected Way:
http://www.arsdisputandi.org/publish/articles/000299/article.pdf

Bahkan pendiri Sonrise Center For Buddhist Studies, sebuah lembaga Kristaini yang bertujuan untuk mempelajari agama Buddha sebagai bekal untuk mengubah keyakinan umat Buddha adalah seorang mantan Nichiren Shoshu, sebuah aliran yang bahkan tidak diakui oleh para umat Buddhis mainstream.

 _/\_
The Siddha Wanderer

64
Arsitektur Buddhis / Vihara Maha Karya Tadao Ando - Honpuku-ji
« on: 07 September 2008, 08:22:22 AM »
Vihara Air (Shingonshu Honpukuji - 本福寺と水御堂 )
Hyogo, Jepang



Vihara ini dibangun sebagai tempat peribadahan umat Buddhis sekte Shingon (Zhenyan). Vihara ini dicapai dari jalan panjang yang mendaki.

Seseorang akan diarahkan oleh 2 dinding beton yang berwarna putih yang sederhana dan tidak difinishing, menuju ke sebuah tempat yang tampak seperti kolam teratai. Air yang diam dan tenang di kolam tersebut memberikan ketenangan sebuah meditasi dan pembersihan pikiran. Air di kolam tersebut juga bagaikan garis horizon yang tak terbatas dengan memantulkan alam sekelilingnya seperti pegunungan, langit, padi dan hutan bambu.

Tangga dari beton yang memotong tepat di tengah lingkaran kolam, turun menuju sebuah ruang yang gelap di bawah kolam. Dari terang menuju gelap, sebuah perpindahan kesan ruang sekaligus memberikan sebuah batasan ruang yang baru yaitu area suci dari sebuah Vihara Buddhis.

Berlawanan dengan warna monokromatik dari dinding dan tangga beton yang putih, interior dari vihara tersebut dipenuhi dengan warna. Ruang yang melingkar diisi oleh cahaya merah kejinggaan, yangs eolah-olah berdenyut dari pusat vihara tersebut, sebuah area yang paling penting yaitu tempat altar utama yang menyimpan sebuah Buddha rupang.

Seseorang tidak langsung memasuki ruang utama vihara secara langsung, namun mereka harus berjalan memutar terlebih dahulu. Semakin dekat dengan altar utama, maka warnanya akan semakin terang dan dengan sendirinya ketika seseorang mengikuti jalur yang dibatasi oleh dinding-dinding beton yang sangat mulus, menuju ke sumber cahaya.

Warna merah vermilion menjadi semakin terang ketika matahari terbenam dan cahaya matahari masuk melewati jendela yang menghadap ke arah barat. Cahaya dari arah barat memiliki arti simbolik karena Sang Buddha berasal daris ebelah barat (India). Sebelumnya telah ada Vihara yang dibangun dengan menggunakan cahaya dari barat sebagai elemen simboliknya yaitu Vihara Jodo-ji di Hyogo yang dibangun oleh arsitek Bhiksu Chogen pada tahun 1192 M.

Di dekat Vihara Air, juga terdapat Awaji Yumebutai, sebuah kompleks yang terdiri dari hotel, kapel, taman, restoran, rumah kaca dan sebagainya yang dirancang oleh Tadao Ando.

Siapakah Tadao Ando?

Tadao Ando, sebuah nama yang pasti diketahui oleh semua arsitek di seluruh dunia. Pemahamannya terhadap ruang, bahan, dan desain memukau semua kalangan arsitek di dunia. Tadao Ando adalah salah satu arsitek terkenal dunia dengan filosofinya yang sangat mendalam.

Tadao Ando (安藤 忠雄 Andō Tadao?, lahir 13 September 1941 di Osaka, Jepang) adalah seorang arsitek Jepang. Profesor Emeritus Universitas Tokyo. Pemenang Penghargaan Arsitektur Pritzker. Konsultan bagi gerakan Forum Parlementer untuk Jepang Baru (Congressional Forum for New Japan atau 21 Seiki Rinchō). Ciri khas karyanya berupa dinding dan konstruksi dari beton ekspos tanpa finishing.

Lahir di distrik Minato, Osaka sebagai putra kembar. Dibesarkan kakek dan nenek dari pihak ibu di distrik Asahi, nama keluarga Ando diperolehnya dari keluarga ibunya. Adik kembarnya bernama Takao Kitayama, memiliki perusahaan konsultan dan desain, Kitayama & Company di Tokyo. Arsitek Kojiro Kitayama berkolaborasi dengan Peter Eisenman adalah adik bungsunya.

Ando pernah kuliah malam hari di Jurusan Arsitek Osaka Institute of Technology Junior College namun tidak sampai selesai. Great Ando adalah nama ring sewaktu menjadi petinju profesional. Uang hadiah dari bertinju dipakainya untuk mengembara ke Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia.

Arsitektur sering dikatakan dipelajarinya secara otodidak dengan membaca buku dan mengamati karya-karya arsitektur dalam perjalanannya di banyak negara. Walaupun demikian, setelah lulus dari sekolah menengah teknik, Ando pernah berkuliah di sekolah seni Setsu Mode Seminar yang didirikan Setsu Nagasawa. Selain itu, ia pernah bekerja di sebuah biro arsitek, serta mengikuti kursus interior secara tertulis. Sebelum mendesain bangunan, Ando pernah menangani interior sejumlah kafe di wilayah Kansai.

Pada tahun 1969, Ando mendirikan biro arsitek Tadao Ando Architects & Associates di Osaka. Kantornya banyak menerima pesanan bangunan rumah tinggal. Karya-karya awalnya termasuk Kebun Mawar di distrik Ikuta, Kobe (1977) dikerjakan bersama Yasuhiro Hamano dari Team Hamano. Penghargaan Institut Arsitek Jepang diterimanya untuk desain rumah tinggal sederhana di Osaka, Sumiyoshi no Nagaya (Azuma House) pada tahun 1979. Sejak itu pula, Ando mengembangkan gaya arsitektur berupa bentuk-bentuk geometris dari beton ekspose tanpa finishing.

Pada tahun 1980-an, karya Ando terus bermunculan di wilayah Kansai (termasuk Kitano Ijinkan di Kitano-chō, Kobe, dan kawasan Shinsaibashi, Osaka), pusat perbelanjaan, kuil, serta gereja. Bangunan fasilitas publik dan museum seni banyak dihasilkannya pada tahun 1990-an. Ando juga diundang sebagai profesor tamu di luar negeri, seperti di Universitas Yale (1987), Universitas Columbia (1988), Universitas Harvard (1889), dan Universitas South California (2002). Sejak tahun 1997, Ando menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Tokyo, dan setelah pensiun mendapat gelar Profesor Emeritus (2003), serta gelar Tokubetsu eiyo kyōju (Profesor Kehormatan Luar Biasa Universitas Tokyo) pada tahun 2005.

 _/\_
The Siddha Wanderer

65
Studi Sutta/Sutra / Mahaparinirvana Sutra dan Mahaparinibbana Sutta
« on: 06 September 2008, 07:05:27 AM »
Untuk lebih jelasnya, saya akan memberikan data-data Mahaparinirvana lebih lanjut. Postingan ini merupakan respon atas postingan bro.dilbert dalam board kepercayaan lain.

Ada 2 versi Mahaparinirvana Sutra (versi Sansekerta, bukan Pali) yang masuk ke Tiongkok yaitu versi Mahayana dan versi Sarvastivada.

Versi Mahayana

1. Mahaparinirvana Sutra terjemahan Dharmaraksha dari Dinasti Liang Utara (397-439 M). Versi ini disebut sebagai versi utara, terdiri dari 40 volume dan 13 bab. Sutra ini mengajarkan tentang Dharmakaya, Nirvana yang memiliki berbagai aspek seperti abadi (nitya), kebahagiaan (sukha), dan diri sejati (mahatman). Semua makhluk hidup memiliki sifat Ke-Buddhaan di dalamnya. Ini adalah Sutra yang berkenaan tentang Tathagatagarbha.
2. Mahaparinirvana Sutra terjemahan Faxian and Buddhabhadra pada Dinasti Jin Timur (317-420). Terjemahan ini terdiri dari 6 volume dan korespon dengan terjemahan Dharmaraksha. Terjemahan ini juga disebut Parinirvana Sutra 6 volume.
3. Mahaparinirvana Sutra versi selatan diterjemahkan oleh Huiguan, Huiyuan dari Dinasti Liu Song (420-279 M). Versi ini adalah revisi dari versi utara Mahaparinirvana Sutra yang diterjemahkan oleh Faxian dan Buddhabhadra.
4. Epilog Mahaparinirvana Sutra, 2 volume, yang diterjemahkan oleh Jnanabhadra dan Huining pada zaman Dinasti Tang (618-907 M), di mana dikisahkan Sakyamuni Buddha menjelaskan praktek yang dapat dilaksanakan para pengikuitnya setelah Ia Parinirvana. Sutra ini mengisahkan kremasi tubuh Buddha, pembagian abunya dan lain-lain.

4 Versi di atas yang saya maksudkan.

Versi Sarvastivada / Nikaya

Versi inilah yang dekat dengan dengan Mahaparinibbana Sutta dari Theravada. Isi dari Sarvastivada Mahaparinirvana ini mirip dengan Theravada Mahaparinibbana.

Ada 5 versi terjemahan Tiongkok:
1. Parinirvana Sang Buddha Sutra (2 volume), terjemahan Po Fa-tsu dari Dinasti Jin Barat (265-316);
2. Parinirvana Sutra (2 volume), penerjemah tak diketahui
3. Mahaparinirvana Sutra (3 volume), terjemahan Faxian dari Dinasti Jin Timur;
4. Legacy Teachings Sutra (1 volume), terjemahan Kumarajiva di Dinasti Jin Akhir (384-417 M)
5. Sutra of Preaching Travels dalam Dirghagama Sutra, salah satu dari sutra Agama Tiongkok, yang diterjemahkan oleh Buddhayashas dan Chu Fo-nien di Dinasti Jin Akhir.

35 volume Vinaya Sarvastivada yang diterjemahkan oleh Yijing, sangat mirip dengan 4 versi Nikaya di atas (tidak termasuk Legacy Teachings Sutra).

================================================================================

Jelas sekali ada perbedaan 2 versi Mahaparinirvana. Yang satu adalah versi Sarvastivada dan yang satunya lagi adalah versi Mahayana. Yang Mahayana mengisahkan tentang ajaran Tathagatgarbha sedangan yang Sarvastivada dan Theravada tidak sama sekali.

Meskipun kalau memang benar ada pengaruh, maka Mahaparinirvana sutra versi Mahayana dapat dikatakan berasal dari versi Sarvastivada, bukan Theravada 'Mahaparinibbana'.

Timbul pertanyaan apakah versi Sarvastivada berasal dari Theravada? Belum tentu. Kalau menurut saya, saya katakan tidak. Kenapa?

1. Theravada tidak ada di India. Theravada hanya ada di Srilanka (selatan India). Sedangkan Sarvastivada berada di India Utara (Kashmir).
2. Theravada dan Sarvastivada sama-sama tuanya. Keduanya sama-sama merupakan bagian dari Sthaviravada (Tetua). Namun keduanya dipisahkan oleh kondisi geografis. Jadi tidak ada persoalan sutra ini berasal dari sutta itu.

Apalagi Mahayana Mahaparinirvana Sutra juga berasal dari Asia Tengah yang notabene berada di India Utara, jauh sekali dengan Srilanka. Bahkan para peneliti menghubungkan asal Mahaparinirvana Sutra versi Mahayana dengan Mahasanghika!

 _/\_
The Siddha Wanderer

66
Arsitektur Buddhis / Manjusri Bodhisattva, Sang Arsitek Dunia
« on: 05 September 2008, 08:42:38 PM »
Namo Manjusri Bodhisattvaya,

Manjusri, Sang Arsitek Dunia

Dalam legenda bangsa Nepal, Manjusri Bodhisattva dikenal sebagai seorang Arsitek Dunia. Istana-istana di alam surga (devaloka) dan neraka (naraka) dirancang oleh Manjusri sang arsitek. Bahkan daratan bumi beserta samudranya yang luas semunya dikonstruksi oleh Manjusri. Untuk membantu pekerjaannya, Manjusri beremanasi menjadi deva Visvakarman (dewata arsitek Hindu). Bersama dengan Visvakarman, Manjusri membangun dunia ini. Kota Kathmandu adalah salah satu maha karya Beliau. Manjusri adalah Bodhisattva agung yang membawa kebudayaan dari Pancha Sirsha Parvata di Cina (Wutai Shan di Tiongkok) ke Nepal.

Berdasarkan atas amanat Adi Buddha (Dharmakaya), Manjusri membangun dunia ini dengan kebijaksanaan dan pengetahuannya yang seluas samudra. Manjusri juga mengirimkan emanasinya berupa kura-kura besar berwarna emas sebelum terbentuknya dunia, di mana kura-kura tersebut adalah pondasi dari dunia ini.

Dikisahkan setelah kedatangan Visvabhu (Vessabhu) Buddha di Nagavasa, Manjusri bermeditasi pada perubahan dunia ini dan dengan pengetahuan agungnya menemukan Svayambhu-jyotirupa, yang dengan sendirinya ada, dalam wujud api muncul keluar dari bunga teratai di danau Nagavasa. Kemudian Manjusri berfleksi pada dirinya sendiri; “Biarkanlah aku berdiam di tempat suci tersebut dan namaku akan diagungkan di seluruh dunia.” Dan pada saat itu juga, dengan mengumpulkan para pengikutnya yang terdiri dari para petani dan seorang raja bernama Dharmakar yang mengambil wujud sebagai deva Visvakarman, bersama dengan dua istrinya (Devi). Orang-orang tersebut berangkat meninggalkan Sirsha Parvata menuju Naga Vasa. Setelah tiba dan mengadakan puja pada “Yang Ada dengan Sendirinya” (Svayambhu), ia mulai bernamaskara mengitari danau dan berdoa memohon pertolongan Svayambhu. Ketika sampai pada lingkaran kedua, ketika ia mencapai pusat batas pegunungan di sebelah selatan, ia menjadi puas karena telah menemukan tempat yang terbaik untuk mengeringkan air di danau tersebut. Dengan pedangnya, Manjusri membelah gunung tersebut dan air mengalir keluar melalui belahan gunung tersebut. Akhirnya dasar dari danau tersebut menjadi kering. Ia kemudian turun dari pegunungan dan mulai berjalan mengelilingi lembah (Kathmandu).

Manjusri adalah arsitek dunia, sedangkan Padmapani (Avalokitesvara) adalah pembentuk semua mahluk hidup yang ada di bumi ini. Dalam Manjusri Namasamgiti, Manjusri dipanggil sebagai Adi Buddha, sang Dharmakaya (nama lain dari Nirvana atau Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha).

Adanya Adi Buddha, Manjusri dan Avalokitesvara berusaha memberitahu kita bahwa kita ada bukan karena kebetulan saja. Dalam dunia samsara ini, tidak semata-mata hanya ada penderitaan saja. Namun di baliknya ada suatu kebijaksanaan dan cinta kasih, yang membuat dunia ini menjadi indah. Kebijaksanaan (Manjusri) dan cinta kasih (Avalokitesvara) itu membawa kita pada Pencerahan Sejati (Adi Buddha). Oleh karena itu legenda Manjusri sebagai arsitek ini janganlah dipahami sebagai suatu kisah yang theistik, tetapi pahamilah bahwa legenda tersebut mencoba untuk mengatakan pada kita bahwa sebenarnya kebijaksanaan itu dapat ditemukan dalam semua hal, sebagaimana halnya “Buddha ada di mana-mana”. Bahwa cinta kasih yang merupakan sifat dari Tathagatagarbha itu ada dalam diri semua makhluk. Menyadari bahwa Nirvana dan Samsara tidaklah berbeda, seseorang alhirnya mencapai Pencerahan Sejati.

Di Timur Jauh, Manjusri juga beremanasi sebagai seorang Bhiksu Jepang bernama Gyoki (668-749 M). Mahabhiksu Gyoki sangat aktif dalam kegiatan sosial, bahkan turut membangun jalan-jalan, jembatan, irigasi dan terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan bangunan dan arsitektur vihara-vihara Buddhis.

Apa itu Vastu dan Silpa Shastra?

Pada masa sekarang ini telah banyak buku-buku tentang ilmu dan desain arsitektur yang muncul. Pengetahuan tentang arsitektur berkembang seiring dengan zaman. Tak jarang pula, Feng Shui yang merupakan ilmu arsitektur Tiongkok kuno, pun sangat sering dipakai di masa sekarang ini dalam merancang desain arsitektural yang modern. Tidak hanya di Tiongkok, di India sendiri, sejak zaman dahulu kala telah terbentuk ilmu arsitektural dan bangunan bernama Vastu.

Vastu Shastra adalah ilmu arsitektur kuno dari India. Kata ‘Vastu’ artinya tempat tinggal (shelter), sedangkan ‘Shastra’ adalah pengetahuan. Tujuannya adalah menyelaraskan bentuk dan tata letak suatu bangunan dengan unsur alam (api, air, tanah, udara, ether) dan medan magnet bumi agar tercapai kesejahteraan, kebahagiaan, kemakmuran dan kesehatan. Dengan kata lain Vastu adalah ‘Feng Shui’nya bangsa India.

Ada 4 kategori dari Vastu: bhumi (bumi tempat bangunan dibangun), prasada (struktur), yana (barang yang berpindah) dan sayana (furnitur). Teks-teks Vastu Shastra ada banyak mulai dari : Manasara Silpa Shastra (oleh Manasara), Mayamatam (oleh Maya), Viswakarma Vaastushastra (oleh Viswakarma), Samarangana Sutradara (oleh Raja Bhoja), Aparajita Priccha (dialog antara Viswakarma dan anaknya Aparajita, ditulis oleh Bhuvanadevacharya) dan Silparatna.

Vastu Shastra juga mencakup perencanaan tapak, orientasi, zoning, ruang dan hubungan yang proporsional antara bagian-bagian dari sebuah bangunan.


 _/\_
The Siddha Wanderer

67
Pengembangan DhammaCitta / Bikin Sub-board baru? "Buddhist Arch"
« on: 04 September 2008, 06:54:23 PM »
Bagaimana kalau bikin sub-board baru tentang Arsitektur Buddhis baik yang modern maupun sebelum Revolusi Industri. Sub-board tersebut bisa dimasukkan ke dalam board Pojok Seni. Bagaimana tanggapan temen-temen, terutama bro.medho sbg admin... hehe....

Mumpung saya juga mahasiswa Arsitek, jadi saya bisa ikutan mengisi board tersebut. Karena saya rasa kita sebagai umat Buddhis seringkali kurang memahami arsitektur vihara-vihara yang telah ada sampai saat ini, baik dari segi sejarah maupun elemen-elemen lainnya.

 _/\_
The Siddha Wanderer

68
PANDANGAN AGAMA HINDU TERHADAP SANG BUDDHA

“Sebagai Sang Buddha, Engkau (Sri Krishna) menunjukkan welas asih terhadap semua makhluk hidup yang menderita di dunia ini.”(Sri Dasavatara Stotra, Gita Govinda, Sri Jayadeva, 1200 M)

“Sri Narayana muncul sebagai Buddha ketika Kali Yuga dimulai”
(Narasimha Purana)

“Setelah Kali Yuga berlangsung 3600 tahun, Sang Buddha, avatar dari Vishnu, penyelamat Dharma, akan muncul di daerah Magadha dari rahim Anjani, ayahnya adalah Hemasadana/ Ia akan melakukan berbagai tugas mulia dan berkuasa atas bumi yang terdiri dari 7 pulau, selama 64 tahun. Kemudian, melindungi keagungan-Nya beserta dengan pengikut-Nya, Ia akan pergi ke kediaman-Nya.”
(Skanda Purana)

“Tuhan muncul sebagai anak dari Suddhodhana. Ia menyatakan dirinya sebagai Buddha dan membabarkan ajaran Shunyavada.”
(Mahabaratha Tatparya Nirnaya, Oleh Sri Madhvacarya)

Kemudian pikiran ini muncul di dalam benak Sela: 'Kata "Buddha" amat langka. Di dalam kitab Veda kami, memang tertulis tiga puluh dua tanda seorang manusia agung. Tetapi hanya ada 2 kondisi bagi manusia seperti itu, tidak ada yang lain: Jika menjalani kehidupan perumah tangga, dia akan menjadi seorang raja, kaisar, penguasa yang adil. Tetapi jika dia meninggalkan kehidupan perumah tangga untuk menjalani kehidupan tak-berumah, dia akan menjadi orang suci, orang yang sepenuhnya tercerahkan, orang yang telah menghapus selimut kekotoran batin.' 'O Keniya, berdiam di manakah Sang Buddha sekarang?' 'O Sela, di mana terletak batas hutan.'
(Sela Sutta, Sutta Nipata, Khuddaka Nikaya)

Ada 2 pandangan mengenai sang Buddha dalam agama Hindu. Dasar dari pandangan tersebut ada dalam kitab-kitab Purana. Satu pandangan mengatakan bahwa Sang Buddha adalah avatar Vishnu yang bertujuan mengembalikan umat manusia pada kebajikan dan jalan Veda. Pandangan yang pertama ini adalah pandangan yang positif.

Pandangan kedua adalah pandangan yang negatif, karena Sang Buddha dianggap merupakan titisan Mayamoha yang diciptakan Vishnu untuk sekedar memperdayai para asura yang menentang para devata. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kedua pandangan tersebut, marilah kita lihat satu persatu dalam pembahasan di bawah ini.

Ramalan Sang Buddha dalam Bhagavata Purana

“Aku memberikan penghormatanku yang tulus pada Sang Buddha.”
(Bhagavata Purana 8.3.12)

Kitab Bhagavata Purana, atau lebih dikenal sebagai Srimad Bhagavatam, dengan sangat rinci menguraikan berbagai penjelmaan Tuhan (avatar) beserta ciri dan tugas yang harus diemban oleh masing-masing penjelmaan itu. Yang paling banyak dikenal adalah Dasa avatara atau 10 penjelmaan Sri Vishnu (Sri Narayana).

Dalam Bhagavata Purana disebutkan 22 penjelmaan Sri Vishnu yang terkemuka. Sang Buddha, pendiri agama Buddha merupakan avatar yang keduapuluh satu, yang diramalkan akan muncul pada awal jaman Kali Yuga. Sedangkan avatar ke-22 adalah Kalki, yang baru akan muncul nanti pada akhir Kali Yuga, kurang lebih 427.000 tahun mendatang. Sejumlah Purana yang lain juga ikut meramalkan kedatangan Sang Buddha.

Srimad Bhagavatam tersebut disusun oleh Rsi Vyasa tidak lama setelah mulainya jaman Kali atau Kali Yuga. Sang Buddha disebut-sebut telah diramalkan dalam Srimad Bhagavatam sekitar 2500 tahun sebelumnya.

Dalam Srimad Bhagavatam 1.3.24. Setelah Rsi Sukha (putra Rsi Vyasa) menjelaskan 20 avatar Sri Vishnu yang telah muncul, beliau kemudian meramalkan kelahiran dan misi kemunculan Sang Buddha. Perhatikan kata bhavisaty dalam ayat berikut. Bhavisyati dalam bahasa Sanskerta berarti akan terjadi. Ini menunjukkan bahwa yang disampaikan dalam Srimad Bhagavatam itu, pada saat itu masih berupa ramalan. Karenanya, kita juga memiliki kitab yang bernama Bhavisya Purana, yang banyak memuat peristiwa yang akan terjadi dimasa mendatang.

Ayat yang meramalkan kemunculan Buddha Gautama adalah sebagai berikut :
Kemudian, pada awal Kaliyuga, Tuhan akan muncul sebagai Sang Buddha, putra Anjana, di Propinsi Gaya, hanya dengan maksud mengelabui orang yang iri kepada orang yang setia dan percaya kepada Tuhan. (Bhagavata Purana, 1.3.24)

Ketika membaca ayat tersebut, kita akan langsung menemukan ketidakcocokan dengan sejarah Buddhis yang ada. Selama ini kita mengetahui bahwa Sang Buddha adalah putra dari Raja Suddhodana dan Ratu Mahamaya, bukan Anjana. Lagipula Sang Buddha juga lahir di Lumbini, bukan di Gaya. Apakah yang diramalkan dalam Srimad Bhagavatam sepenuhnya salah? Sebenarnya tidak.

Siapakah Anjana? Anjana adalah nenek Pangeran Siddharta, oleh karena itu dengan kata lain bisa saja disebut sebagai “putra” Anjana. Gaya adalah tempat di mana Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna dan di tempat inilah Sang Buddha memang “lahir”. Karena yang lahir di Lumbini adalah Pangeran Siddharta, bukan Buddha.

Kepada para atheis yang saat itu, setelah menguasai pengetahuan ilmiah Veda, melenyapkan penghuni dari planet-planet yang berbeda,  terbang dengan tak terlihat di langit menggunakan penemuan (roket-roket) yang dibuat dengan baik dan disiapkan oleh ilmuwan Maya (iblis) dan pada mereka yang memiliki pikiran sesat,  Tuhan (Vishnu) akan mewujudkan diri-Nya secara atraktif sebagai Buddha dan akan membabarkan pedoman-pedoman moral dari agama.
(Srimad Bhagavatam 2)

Misi, Kebebasan dan Ajaran Sang Buddha

Menurut ramalan Srimad Bhagavatam, Sang Buddha disebut akan melakukan sammohaya sura-dvisam atau mengelabui para atheis yang iri kepada orang yang percaya dan taat kepada Tuhan.

Dengan membabarkan filosofi ajaran yang spekulatif, Sri Vishnu, dalam wujud Buddha,  akan mengelabui para pelaku yang memalukan dari upacara pengorbanan Veda.
 (Bhagavata Purana 11.4.22)

Menurut paham Hindu, meskipun merupakan avatar Vishnu, namun selama 45 tahun sisa hidupnya, Buddha Gautama mengajarkan pahamnya sendiri tentang ahimsa dan mengkritik upacara-upacara yang mengorbankan hewan yang dibenarkan dalam Veda. Pada waktu Sang Buddha muncul, rakyat umum sudah tidak percaya kepada Tuhan dan lebih suka daging hewan daripada segala makanan lainnya. Dengan dalih kurban menurut Veda, setiap tempat secara nyata dijadikan rumah potong hewan, dan orang menyembelih binatang tanpa batas aturan.

“Ia (Vishnu) akan mewujudkan avatar-nya yang ke-21 sebagai Sang Buddha untuk membawa umat manusia kembali pada jalan yang bajik, dengan bersabda menentang ritual-ritual dan membuktikan serta menunjukkan bahwa tidak tepat bagi para pencari (kebebasan) untuk terikat dengan hal-hal tersebut.”
(Garuda Purana)

Misi utama Buddha menurut kitab-kitab Hindu adalah untuk menghentikan kegiatan penyembelihan binatang, yang mengatasnamakan Veda untuk pembenarannya. Tindakan menolak Veda itu memang harus dilakukan oleh Sang Buddha, karena tidak ada pilihan lain. Kalau dibaca sekilas, Veda menganjurkan penyembelihan binatang. Karena itu, saat Buddha mengajarkan untuk menghentikan kegiatan penyembelihan binatang, orang-orang Hindu akan menentangnya dengan dalih-dalih yang mengutip ayat-ayat Veda. Demikianlah menurut agama Hindu, sangat sulit bagi Sang Buddha untuk memurnikan kembali ajaran Veda, hingga akhirnya Beliau harus meninggalkan agama Hindu.

Sri Jayadeva Gosvami, seorang penyair rohani dan acarya Vaishnava yang sangat termashur di seluruh India, yang hidup pada sekitar abad ke-15 mengakui Sang Buddha sebagai avatar Vishnu dalam syairnya, Dasavatara Stotra, sebagai berikut :

Wahai Kesava, Oh Tuhan Penguasa Alam Semesta! Oh, Sri Hari (Krishna) yang telah menjelma dalam bentuk Buddha. Segala pemujian kepada-Mu! O, Buddha Yang murah hati, Engkau menentang pemotongan hewan-hewan yang tidak bersalah yang dilakukan atas nama aturan korban suci menurut Veda.

Sang Buddha mengajarkan bahwa orang hendaknya tidak mengikuti ajaran Veda, dan menegaskan karma buruk sebagai akibat membunuh binatang. Orang-orang tersebut, yang tidak percaya kepada Tuhan mengikuti prinsip-prinsip Buddha, dan untuk sementara mereka dilatih disiplin moral dan prinsip tidak melakukan kekerasan (ahimsa) yang merupakan langkah-langkah pendahuluan untuk maju lebih lanjut pada jalan menuju kepada Tuhan.

Beliau mengelabui orang yang tidak percaya kepada Tuhan, sebab para atheis pada waktu itu yang mengikuti prinsip-prinsip Buddha tidak percaya kepada Tuhan, tetapi mereka menaruh kepercayaannya kepada Sang Buddha, sedangkan Sang Buddha adalah penjelmaan Tuhan.

Karena itulah, dalam Bhagavata Purana tersebut, Sang Buddha diramalkan akan melakukan sammohya sura-dvim, atau mengelabui orang yang selalu iri kepada mereka yang percaya dan setia memuja Tuhan. Mereka yang percaya dan yakin kepada Sang Buddha, dapat memperoleh Kebebasan dan Keselamatan.

Prithivi (Dewi Bumi), yang sedang mendengarkan cerita yang diceritakan oleh Sri Varaha, dengan perhatian, hormat dan gembira bertanya pada-Nya apakah mungkin bagi semua orang untuk melihat Sri Narayana dengan kasat mata. Sri Varaha menjawab, “Sri Narayana telah mewujudkan diri dalam 10 Avatar dengan berbagai macam bentuk seperti Matsya (ikan), Kachchap (kura-kura), Varaha (babi hutan), Narasimha (setengah manusia setengah singa), Vamana (kurcaci), Parashurama, Rama, Krishna, Buddha dan Kalki. Avatar terakhir, Kalki, masih akan datang. Seorang manusia dapat menyadari Sri Narayana dengan mempunyai devosi penuh kepada salah satu dari 10 Avatar tersebut.
(Varaha Purana)

Walaupun umat Hindu dapat meyakini Sang Buddha, namun mereka tidak dapat meyakini ajaran-Nya. Umat Hindu memandang ajaran Sang Buddha bersifat hanya sementara, sebagai pendahuluan. Walaupun Sang Buddha adalah titisan Vishnu, namun ajaran Beliau tidak dapat sepenuhnya membawa manusia pada Kebebasan Sejati, sebagaimana dikutip dalam kitab Narada Purana:

Hal ini juga berlaku bagi seseorang yang mengkritik gurunya atau kitab-kitab Veda yang suci. Seorang brahmana yang menyimpang ke dalam ajaran agama Buddha, tidak dapat berharap untuk mendapatkan kebebasan / keselamatan melalui meditasi / penebusan dosa.
(Narada Purana)

Agama Hindu dan agama Buddha memang mempunyai konsep dasar yang sangat berbeda. Sang Buddha mengajarkan mengenai Anatman (Anatta) dan tidak mengakui Tuhan Pencipta. Sedangkan agama Hindu mengakui adanya Atman (Atta) dan meyakini adanya Tuhan Pencipta.

 _/\_
The Siddha Wanderer

69
Mahayana / Guan Gong (Sangharama Bodhisattva)
« on: 30 July 2008, 06:46:37 PM »
Namo Buddhaya,

Beberapa saat yang lalu ada diskusi mengenai Guan Gong. Dan barusan pula hari kelahiran Guan Gong (26 Juli) - tanggal 24 bulan 6 Imlek. Film tentang Three Kingdom (Sam Kok) juga sedang main di bisokop-bioskop - "Red Cliff" karya John Woo.

Hari tahun Guan Di jatuh pada tanggal 13 bulan 2 dan pada tanggal 13 bulan 5 Imlek, di Singapura dan Malaysia. Sedangkan di Hongkong, Taiwan dan Daratan Tiongkok memperingati kelahirannya pada tanggal 24 bulan 6 Imlek, tanggal 13 bulan 1 Imlek sebagai hari kenaikkannya.

Saya akan memposting artikel mengenai Sangharama yang saya tulis di majalah Sinar Dharma (anda juga bisa membacanya via online lewat www.becsby.org) dengan beberapa tambahan :

Bodhisattva Sangharama (伽蓝菩薩)        
Oleh: Hendrick

Sejarah Singkat

Sebagian besar orang bisa saja tidak mengenal nama Bodhisattva Sangharama, tetapi begitu melihat citra rupang seorang jendral gagah perkasa dengan jenggot panjang indah bergemulai dan paras muka merah lebam berkilau, maka mereka pasti akan langsung tahu. Ya, Bodhisattva Sangharama adalah Guan Yu alias Guan Gong (Kwan Kong).

Siapa tidak tahu Guan Yu? Banyak orang mengetahuinya dari cerita Sam Kok (Kisah Tiga Negara) dan game Dynasty Warrior. Namun, tahukah kita bagaimana latar belakang Guan Yu hingga dinobatkan sebagai Dharmapala (Pelindung Dharma) dalam tradisi Mahayana Tiongkok?

Guan Yu / 關羽 (160 - 219 M), alias Yun Chang (雲長), lahir pada tanggal 24 bulan 6 Imlek,  adalah penduduk asal Jiezhou, Hedong (sekarang Yuncheng, Propinsi Shanxi). Sejak kecil dididik dalam bidang kesusastraan dan sejarah. Beliau sangat menggemari kitab sejarah Chunqiu (Musim Semi dan Gugur) dan Zuozhuan (kitab sejarah karya Zuo Qiuming). Guan Yu memiliki 3 anak: Guan Ping (關平) , Guan Xing (關興) dan Guan Suo (関索).

Salah satu watak istimewa yang dimiliki Guan Yu adalah jiwa setia dan ksatria, beliau berani membela yang lemah dan tertindas. Tahun 184, Guan Yu melarikan diri dari kampung halamannya setelah membunuh orang demi membela kaum lemah. Beliau menuju wilayah Zuo, kemudian berkenalan dengan Liu Bei (劉備) dan Zhang Fei(張飛). Liu Bei adalah anggota keluarga Kaisar Kerajaan Han yang sedang merekrut prajurit untuk membasmi pemberontakan Serban Kuning. Karena memiliki cita-cita yang sama, maka mereka bertiga menjalin tali persaudaraan yang dikenal dengan sebutan Tiga Pertalian Setia di Taman Bunga Persik. Semenjak itu, mereka bertiga berkomitmen sehidup semati memperjuangkan cita-cita penegakan hukum demi membersihkan Kerajaan Han dari gerogotan korupsi dan pengkhianatan.

Namun Kerajaan Han yang telah berdiri kokoh selama 400 tahun itu akhirnya terpecah menjadi 3 kerajaan, yang mana Liu Bei sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan menyatakan diri sebagai penerus Dinasti Han. Era inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan San Guo (Sam Kok - Tiga Negara). Perjuangan keras tiga bersaudara Taman Bunga Persik untuk mempersatukan Tiongkok tidak berhasil. Begitulah hingga usia 60 tahun, Guan Yu bersama putranya, Guan Ping, akhirnya gugur dalam pertempuran.

Meskipun demikian, rasa hormat terhadap Guan Yu tidak serta merta lenyap seiring dengan gugurnya pahlawan berparas merah lebam ini. Keberanian, kesetiaan dan jiwa ksatria beliau menjadi kisah harum dalam masyarakat Tionghoa selama turun temurun. Selain itu, dalam kalangan spiritual, dikenal pula kisah perjodohan Guan Yu dengan ajaran Buddha, sebuah ajaran kebenaran sejati yang menembus kepekatan misteri dimensi ruang dan waktu. Ya, Guan Yu menjadi siswa Buddha setelah beliau gugur.         

Awal Mula Sebagai Pelindung Dharma
Kisah berikut ini terjadi beberapa ratus tahun setelah gugurnya Guan Yu. Berdasarkan catatan sejarah Buddhis - Fozhu Tongji (佛祖統紀 - Taisho Tripitaka 2053), pada tahun 592 M, (Dinasti Sui, era Kai Huang ke-12), disebutkan bahwa pada suatu malam, langit tiba-tiba menjadi cerah, bulan terlihat jelas sekali, Guan Yu bersama Guan Ping dan sekelompok makhluk gaib muncul di hadapan Master Tripitaka Zhiyi (智顗 - pendiri aliran Tiantai Tiongkok) yang sedang bermeditasi di Bukit Yuquan. Guan Yu berkata, “Saya Guan Yu dari era akhir Dinasti Han. Ini adalah putra saya, Guan Ping. Kami terus berkelana setelah meninggal. Yang Arya, dengan tujuan apakah anda datang ke sini? Master Zhiyi menjawab, “Aku datang ke sini untuk membangun vihara.”

Guan Yu menjawab, “Yang Arya, izinkanlah kami untuk membantumu. Tidak jauh dari sini, terdapat lahan yang kokoh tanahnya. Saya dan putra saya dengan senang hati akan membangun vihara di sana untuk anda. Mohon lanjutkan meditasinya, vihara akan selesai dalam waktu 7 hari saja.” Setelah Master Zhiyi selesai bermeditasi, terlihat sebuah vihara yang sangat indah muncul persis di tempat yang ditunjukkan oleh Guan Yu. Vihara itu kemudian diberi nama Vihara Yuquan (玉泉寺).

Suatu hari Guan Yu datang ke Vihara Yuquan untuk mendengarkan Master Zhiyi membabarkan Dharma, setelah itu beliau memohon untuk dapat menjadi siswa Buddha dengan menerima Trisarana dan Panca Sila Buddhis. “Aku sangat beruntung mendapat kesempatan mendengarkan Dharma dan beraspirasi mempraktikkan Jalan Bodhi (pencerahan) mulai dari sekarang. Mohon izinkanlah saya untuk menerima Sila dari Anda,” demikian ucap Guan Yu kepada Master Zhiyi. Master Zhiyi kemudian membangun sebuah kuil untuk Guan Yu di sebelah barat laut vihara. Sebuah batu ukiran yang bertajuk tahun 820 M di Vihara Yuquan mengisahkan tentang pertemuan antara Guan Yu dan Zhiyi tersebut. Di dinding kuil yang didirikan Zhiyi untuk Guan Yu, terdapat tulisan: "Di balik wajah merahnya, terdapat hati bagaikan batu merah delima. Guan Gong menunggang kuda melebihi kecepatan angin. Tetapi sejauh ia berkuda, ia melayani Sang Raja Api. Dengan lampu minyak Ia belajar sejarah, di mana ia mempercayakannya pada golok naga hijaunya. Kebijaksanaannya yang mendalam akan membawa terang bagi hari-hari yang ada."

Selain kisah di atas, ada satu versi lain tentang kisah bagaimana Guan Yu menjadi seorang pemeluk agama Buddha. Dikatakan bahwa pada suatu malam Guan Yu menemui Bhiksu Zhikai(智鎧), murid dari Tiantai Master Zhiyi, dan menerima Trisarana dari Bhiksu Zhikai. Kemudian Bhiksu Zhi Kai melaporkan perjumpaan dengan Guan Yu tersebut kepada Yang Guang, Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai Kaisar Sui Yang Di - 隋煬帝). Pangeran Yang Guang memberikan Guan Yu gelar “Sangharama Bodhisattva”. Itulah asal muasal dari mana gelar Sangharama diberikan kepada Guan Yu.

Pada kisah lainnya, seperti dalam Catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan Yi - 三国演义), Guan Yu muncul di hadapan Bhikshu Pujing (普淨) di malam saat gugur karena dipenggal oleh pihak Sun Quan, Raja Wu. Tubuhnya dikubur di dekat Bukit Yuquan yaitu di Jingzhou. Di sela-sela kegalauan atas kehilangan kepala, raga halus Guan Yu bergentayangan mencari kembali kepalanya. Bhiksu Pu Jing dengan kekuatan batinnya melihat Guan Yu turun dari angkasa menunggang kuda sambil menggenggam golok besar Naga Hijau, bersama dengan 2 pria, Guan Ping dan Zhou Cang. Semasa hidupnya saat dalam pelarian dari kubu Cao Cao, Guan Yu pernah ditolong oleh Pujing di Vihara Zhen-guo. Lalu Bhiksu Pujing memukul pelana kuda dengan kebutan cambuknya seraya berkata, “Di mana Yun Chang?” Seketika itu juga Guan Yu tersadarkan.

Guan Yu kemudian memohon petunjuk untuk dapat terbebas dari kegelapan pengembaraan batin. Pujing memberi nasehat, “Dulu salah atau sekarang benar tak perlu dipersoalkan lagi, karena terjadi pada saat sekarang tentunya ada sebab pada masa lalu.” Pujing lalu melanjutkan, “Sekarang engkau meminta kepalamu, menuntut atas kematianmu di tangan Lu Meng, namun kepada siapa Yan Liang, Wen Chou dan penjaga lima perbatasan serta banyak lagi lainnya yang telah kau bunuh, meminta kembali kepala mereka?” Kata-kata Pujing itu terasa sangat menyentak.

Setelah tersadarkan dari kegalauannya, Guan Yu lalu menjadi pengikut Buddhis. Sejak itu Guan Yu sering muncul melindungi masyarakat di sekitar Bukit Yuquan. Sebagai rasa terima kasih kepada Guan Yu, para penduduk membangun kuil di puncak Bukit Yuquan.

Awal mula jodoh karma antara Bhiksu Pujing dengan Guan Yu, diceritakan dalam satu legenda. Alkisah kelahiran lampau Guan Yu adalah raja naga yang dengan welas asih membantu rakyat yang mengalami bencana kekeringan dengan menurunkan hujan. Setelah sang raja naga meninggal, Bhiksu Pujing membantu membacakan doa-doa di hadapan jasadnya dan akhirnya raja naga tersebut terlahir kembali menjadi Guan Yu.

Gubuk rumput tempat tinggal Pujing kemudian dibangun menjadi sebuah Vihara yang akan bernama Vihara Yuquan. Sebelumnya Vihara Yuquan ini bernama Vihara Fuchuan shan yang dibangun oleh raja Liang Xuandi pada abad ke-6 M. Namun karena sebab-sebab tertentu, vihara tersebut rusak dan bobrok. Kemudian pada abad ke-6 juga, Zhiyi berniat membangun kembali vihara baru di lokasi tersebut dengan nama Vihara Yuquan. Dalam pembangunan kembali ini dikisahkan Zhiyi mendapat bantuan dari Guan Yu, beserta pihak kerajaan seperti dari Pangeran Yang Guang dan ayahnya, Raja Sui Wendi yang memegang pemerintahan pada masa itu. Vihara Yuquan ini di dalam kompleksnya terdapat kuil Guan Miao (kuil untuk Guan Yu). Ini adalah salah satu tempat pemujaan Guan Yu yang tertua, juga merupakan vihara tertua di Dangyang. Tempat penampakan raga halus Guan Yu ditandai dengan sebatang pilar batu yang bertuliskan: “Di sini tempat Guan Yun Chang dari Dinasti Han menampakkan diri.” Pilar batu itu adalah hadiah dari kaisar Wan Li masa Dinasti Ming dan masih bisa dilihat sampai sekarang. Guan Yu sebagai dewa juga pernah bertanya jawab dengan kakak seperguruan Patriarch Ch’an ke-6, Shen Xiu (神秀).

Dalam Sutra Saptabuddha Ashtabodhisattva Maha Dharani Sutra (Sutra tentang Mantra Sakti Mahadharani yang dibabarkan 7 Buddha dan 8 Bodhisattva) tercatat bahwa ada 18 Sangharama (Qielan Shen) sebagai pelindung lingkungan vihara, yaitu: Meiyin, Fanyin, Tian’gu, Tanmiao,  Tanmei, Momiao, Leiyin, Shizi, Miaotan, Fanxiang, Renyin, Fonu, Songde, Guangmu, Miaoyan, Cheting, Cheshi, dan Bianshi.

Guan Yu sendiri bukanlah sosok yang tercatat dalam Sutra Mahayana sebagai Sangharama. Term Sangharama sendiri mengandung pengertian sebagai tempat tinggal anggota Sangha, atau lebih umum dikenal sebagai vihara. Secara etimologi, istilah Sangharama telah dikenal sejak masa kehidupan Buddha. Selain 18 dewa Sangharama yang telah disebutkan di atas, dua tokoh yang dianggap sebagai pelindung utama Sangharama adalah Anathapindika dan Pangeran Jeta, penyokong Vihara Jetavanarama pada masa kehidupan Buddha.

Secara kualitatif, Guan Yu memiliki pengabdian yang setara dengan para Pelindung Sangharama, pun karena memiliki komitmen yang besar untuk melindungi lingkungan vihara, maka tidaklah mengherankan bila kemudian diapresiasi secara khusus oleh Mahayana Tiongkok sebagai Bodhisattva Sangharama. Ada juga yang menyebut sebagai Bodhisattva Satyadharma Kalama. Pada tahun 1081 M, tokoh politik Song Utara dan umat Buddha bernama Zhang Shangying (張商英)menyebut Guan Yu sebagai Pelindung Dharma.

Di kalangan Mahayana Tiongkok, Guan Yu sering ditampilkan berdiri berpasangan dengan Dharmapala Veda (Weituo Pusa) yang juga merupakan Pelindung Dharma. Keduanya mendampingi rupang Buddha atau Avalokitesvara.

H.H Gyalwa Karmapa ke-17, pemimpin dari Karma Kagyud pernah menulis buku Sadhana kepada Sangharama Maha Dewa Guan Gong. Selain itu, Ven. Hai Tao juga  pernah memberikan ceramah mengenai Guan Gong. Belakangan ini di luar negeri, terdapat beberapa upacara Sangharama yang diadakan dan dihadiri bersama oleh Sangha Mahayana dan Vajrayana. Bahkan di Guandi Miao di Jepang, setiap kali pada perayaan hari raya Guan Gong (Kantei-tan/Guandi Dan) selalu dipimpin para Bhiksu Mahayana. Tidak seperti di vihara-vihara Mahayana Tiongkok, di Jepang, jarang ditemukan vihara yang memiliki altar Guan Yu. Hanya vihara-vihara beraliran Obaku Zen yang mendirikan Garando (Aula Sangharama), yaitu aula untuk Guan Gong, di kompleks viharanya, contohnya seperti Vihara Manpuku-ji.

Pemujaan Guan Yu Hingga ke Tibet
Pemujaan Guan Yu juga meluas sampai ke Tibet (terutama di aliran Gelugpa dan Nyingmapa). Altar beliau ada di vihara-vihara Tibet, seperti Mahavihara Tsurphu, sejak kunjungan Maha Ratna Dharmaraja Karmapa V ke Tiongkok atas undangan Kaisar Yong Le. Dulu di Tibet, Guan Yu sebagai Sangharama dikenal dengan nama Karma Hansheng (噶瑪漢神).

Dalam lukisan Thangka Buddhisme Vajrayana, biasanya Guan Gong didampingi oleh Zhou Chang, Guan Ping, Liu Bei, Zhao Yun, Chitu Ma (kuda Guan Gong) dan Ma She Ye (penjaga kuda Guan Gong). Di atas kepala Guan Gong terdapat figur Amitayus Buddha (mungkin disebabkan karena ada beberapa kalangan yang menganggap Guan Yu sebagai Pengawal Tanah Suci Sukhavati Amitabha Buddha) dan terkadang figur Amitayus digantikan oleh figur seorang Guru dari sekte Gelug (Topi Kuning).

Di Tibet dan Mongolia, pemujaan Guan Di (Dewa Guan Yu) diasosiasikan sebagai Raja Gesar dari Ling yang dikenal merupakan emanasi Guru Padmasambhava. Pengasosiasian tersebut dimulai sejak zaman Dinasti Qing (Manchu). Lobsang Palden Yeshe, Panchen Lama ke-6 (1738 - 1780 M) adalah yang pertama kali mengatakan bahwa Guan Di adalah Gesar. Oleh karena itu Guan Di Miao (Kuil Guan Gong) di Lhasa disebut juga dengan nama Gesar Lhakhang. Ada juga yang percaya bahwa Guan Di dan Gesar adalah inkarnasi masa lalu dari Panchen Lama.

Guan Gong dipandang sebagai Dewa Pelindung Dinasti Qing, sedangkan Vajrayana Buddhis sekte Gelug adalah agama yang dianut anggota kerajaan Dinasti Qing. Demikianlah Guan Gong (Yang Mulia Guan Yu) dihormati baik oleh kalangan Mahayana maupun Vajrayana (Tantrayana) sebagai Bodhisattva Dharmapala (Pelindung Dharma). Bahkan dalam kepercayaan masyarakat, diyakini Guan Gong kelak akan menjadi seorang Buddha bernama Ge Tian (Ge Tian Gu Fo - 蓋天古佛).

Pemujaan di Kalangan Umat Tao dan Kong Hu Cu
Guan Yu dihormati oleh ketiga agama (Buddha, Tao dan Khonghucu). Dalam kitab Taois Guansheng Dijun Baohua (關聖帝君寶誥) – Alamar Mulia Guansheng Dijun disebutkan bahwa Guan Gong, “Memegang Kekuasaan San Jiao (Tridharma) Konghuchu, Buddha dan Tao”.

Pemujaan Guan Yu juga luas di kalangan umat Tao dan Konghucu sebagai Guansheng Dijun (關聖帝君), Guan Gong (關公), dan Guan Di (關帝). Penghormatan ini tampak nyata sekali di banyak kelenteng. Sejak Dinasti Song para Taois memuja Guan Yu sebagai Dewata Pelindung Malapetaka Peperangan, sedang umat Konghucu menghormati sebagai Dewa Kesusasteraan - Wenheng Dadi (文衡大帝).

Pemujaan Guan Gong mulai meluas di kalangan Taois pada abad ke 12 M. Menurut sejarawan Boris Riftin dan Barend J. Ter Haar, pemujaan Guan Yu di kalangan Buddhis lebih awal daripada di kalangan Taois. Bahkan di dinding kuil Guan Miao di Vihara Yuquan terdapat tulisan "Tian Xia Di Yi Guan Miao" (天下第一關廟), yang berarti Kuil pertama Guan Yu di bawah Langit.

Pemujaan ini mulai popular pada masa Dinasti Ming. Guan Di dipuja karena kejujuran dan kesetiaannya, pun dipandang sebagai dewa pelindung perdagangan, dewa pelindung kesusasteraan dan dewa pelindung rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan. Julukan dewa perang yang umumnya dialamatkan kepada Guan Di, harus diartikan sebagai dewa yang mencegah terjadinya peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak Guan Yu yang budiman. Di kalangan rakyat, Guan Yu juga dianggap sebagai Dewa Rezeki - Wuchai Shen (武财神).

Bagaimana mungkin Guan Yu sebagai seorang jenderal yang sering berperang dan membunuh akhirnya dihormati sebagai Bodhisattva? Meskipun tampak kontradiktif, namun semua ini tak lebih hanyalah masa lalu yang telah sirna setelah disadarkan oleh nasehat bhiksu suci. Penyadaran ini seperti halnya kisah kehidupan Angulimala di masa kehidupan Buddha.   

Sifat Keteladanan Guan Yu
Meskipun pemujaan Guan Yu tersebar di berbagai kalangan, seperti lingkungan ibadah, kepolisian, bahkan hingga kalangan mafia yang konon dikatakan meneladani sikap kesetiakawanan Guan Yu, namun tidak berarti aspek negatif dari dunia mafia lalu dikaitkan dengan sosok Guan Yu. Ini hanyalah cermin kebebasan orang dalam memilih tokoh pemujaan. Terlepas dari hal ini, ada baiknya kita melihat sifat mulia yang tercermin dari sosok Guan Yu, yang bisa menjadi teladan bagi kita semua.

1. Patriotis
2. Menjaga norma susila
3. Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan
4. Tidak silau akan nama dan harta
5. Tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
6. Tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
7. Berjiwa altruis (mementingkan orang lain)

Guan Yu bukan saja telah menjadi sosok yang identik dengan pemujaan spiritual, pun adalah penyatu kultur masyarakat Tiongkok di manapun berada dan menjadi sebuah maskot tentang semangat pengabdian, kesetiaan dan sikap lurus.

Sebagai penutup, kita kutip sebuah sajak yang dilantunkan sebagai apresiasi terhadap Guan Yu dalam Penuntun Kebaktian Sore kalangan Mahayana Tiongkok:
“Pemimpin Sangharama, yang mempunyai wibawa dan keagungan menata seluruh vihara. Dengan penuh sujud dan kesetiaan menjalankan Buddha Dharma. Selalu melindungi dan mengayomi Dharma Raja Graha. Tempat Suci selalu damai tenteram selamanya.Namo Dharmapala Garbha Bodhisattva Mahasattva Mahaprajnaparamita.”

Dharani Sangharama Bodhisattva Kumalaraja Guan / Qielanpusa Guanshengdijun Zancou  (伽藍菩薩關聖帝君讚咒)

伽藍菩薩顯威靈,精忠義勇護法城,十方三界同欽敬,關聖帝君敬讚禮;
Qie lan pu sa xian wei ling , jing zhong yi yong hu fa cheng , shi fang san jie tong qin jing , guan sheng di jun jing zan li ;

敬關帝,頌關公,帝君原是真英雄!虎牢關前戰呂布,白馬坡上誅猛將,
Jing guan di , song guan gong , di jun yuan shi zhen ying xiong ! hu lao guan qian zhan lu: bu , bai ma po shang zhu meng jiang,

水淹七軍擒于禁,單刀赴會震江東!桃園結義忠仁勇,今古英雄說關公,
Shui yan qi jun qin yu jin , chan dao fu hui zhen jiang dong ! tao yuan jie yi zhong ren yong , jin gu ying xiong shuo guan gong ,

中陰得道成菩薩,尊者奉佛護伽藍,護國護民護正法,到處威靈顯神勇!
Zhong yin de dao cheng pu sa , zun zhe feng fo hu qie lan , hu guo hu min hu zheng fa , dao chu wei ling xian shen yong !

聞名諸魔皆退避,降伏羣邪護世間!護佑慈航護我眾,關帝威靈我敬誦;
Wen ming zhu mo jie tui bi , jiang fu qun [xie;ye] hu shi jian ! hu you ci hang hu wo zhong , guan di wei ling wo jing song ;

喃嘸伽藍尊者關聖帝君菩薩摩訶薩。
Nanwu Qielan Zunzhe Guansheng Dijun Busa Mohesa
Namo Sangharama Aryaraja Guan Bodhisattva Mahasattva!

(陳果齊敬題於香江與眾結緣)
(Chen Guo Qi jing Ti Yu Xiang Jiang Yu Zhong Jie Yuan)

Gatha Ge Tian Gu Fo (Buddha Ge Tian)

佛號唱誦-
Fo hao chang sung
南無正氣神  關聖帝君
Namo Zhengchi shen Guansheng Dijun
南無救劫菩薩  思主公
Namo Jiujie Pusa SizhuGong
南無蓋天古佛  中天主宰
Namo Getiangu Fo  Zongtian Zhuzai

 _/\_
The Siddha Wanderer


70
Memikirkan apa makna hidup ini membuat J.K. Rowling sangat menyukai kata-kata Sang Buddha mengenai kebenaran akan penderitaan.

Dalam sebuah wawancara dengan The Times (3 Juni 2000), J.K. Rowling mengatakan, “Semua orang menginginkan kehidupan yang mudah. Tak diragukan lagi hal ini memang benar. Tapi, kalian tahu tentang Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Buddha: yang pertama adalah ‘Hidup ini adalah penderitaan (Dukkha Ariyasacca)’. Aku sangat menyukai kata-kata itu. Aku suka sekali kata-kata Buddha tersebut. Karena kupikir itu BENAR. Kehidupan memang tidaklah mudah. Namun karena penderitaan itulah yang akan membantu kita dalam mendapatkan kebahagiaan. Mengetahui tentang kebenaran tersebut membantu kita semua dalam menenangkan kekacauan hidup. Lalu ajaib sekali, engkau akan menemukan jalanmu kembali.”

J.K. Rowling ingin menyampaikan pada kita bahwa kita harus mau dan siap menderita untuk berkembang. Karena J.K. Rowling sendiri telah mengalami berbagai macam penderitaan dalam hidupnya, namun karena penderitaan itulah, maka buku Harry Potter yang sekarang ini ada!

(Atas: Sumber : Majalah Sinar Dharma Vol.6 No.1 Edisi Maghapuja, Maret-Mei 2008)
http://www.becsby.org

Yang lebih menarik, buku terakhir Harry Potter yaitu Deathly Hallows tampaknya juga mengungapkan beberapa ajaran Buddhis seperti hakekat Keshunyataan dan Tiga Akar Kejahatan. Dalam bab King’s Cross, Dumbledore mengatakan pada Harry, “Pikirkan balik. Ingat apa yang dilakukannya (Voldemort), dalam ketidaktahuannya (moha), dalam ketamakan (lobha) dan kekejamannya (dosa).”

Konsep Ke-Tuhanan Buddhis juga dapat dilihat pada kata kunci ruang rekreasi Ravenclaw, “Mana yang lebih dulu, phoenix atau nyala apinya?” Dan jawabannya adalah, “Lingkaran tidak mempunyai awal”.

Sedangkan kekosongan (Shunya) dari segala fenomena diungkapkan dengan pertanyaan, “Ke mana perginya barang-barang yang hilang?” Dan jawaban yang diberikan Professor McGonagall adalah “Ke dalam ketiadaan (shunya), yang berarti, segalanya.”

Pikiran adalah pelopor dan sumber segala fenomena, begitulah ajaran Sang Buddha dan dalam bab King’s Cross juga, Dumbledore berkata kepada Harry, “Tentu saja ini terjadi dalam kepalamu, Harry, tapi kenapa pula itu harus berarti tidak nyata?”

_/\_
The Siddha Wanderer

71


Proposal Kegiatan Festival Seni Budaya Buddhist 2008
(25 - 30 Juni 2008)
Supermall Ballroom - Convention Center (SSCC)
Supermall Pakuwon Indonesia SurabayaJl.
Puncak Indah Lontar No.2 Surabaya

Latar Belakang
Negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami ujian yang hebat yang sepertinya tidak berkesudahan. Krisis demi krisis di semua lini: politik, ekonomi, budaya sedang menyerbu dari segala penjuru. Ketahanan fisik dan mental sangatlah dibutuhkan supaya tidak ikut terseret kondisi pesimisme yang seolah-olah terus-menerus mendera kita.

Dalam kerangka itulah umat Buddhis khususnya, ingin berbuat sesuatu untuk mengatasi permasalahan yang ada walaupun masihlah sangat terbatas kemampuannya.

Dengan diadakannya Festival Seni Budaya Buddhist 2008 ini, umat Buddha ingin berturut serta menyumbang pikiran dan tenaga dengan cara mengingatkan  kembali nilai-nilai kebajikan dan keluhuran bangsa yang terkesan semakin hari semakin luntur.

Festival ini juga ingin memperkenalkan dan menyegarkan warisan-warisan kesenian dan budaya Buddhis asli Indonesia yang sampai sekarang masih ada. Dengan adanya festival ini umat Buddha diharapkan dapat membangun rasa optimisme di dalam menghadapi segala permasalahan dengan terus menerus mengaplikasikan Dhamma kedalam kesehariannya.

Visi & Misi
1.       Memperkenalkan secara benar ajaran Buddha Gautama (Buddha Dhamma) kepada masyarakat umum
2.       Memperkenalkan dan mendekatkan kegiatan-kegiatan seni dan budaya Buddhis kepada masyarakat umum.
3.       Dengan adanya informasi ini diharapkan ajaran dapat  bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan dapat memberikan pandangan benar untuk hidup lebih berbahagia.

Dasar Pemikiran
Beraneka budaya yang ada di Indonesia serta kerukunan hidup beragama antara agama-agama yang ada menambah kaya khasanah dan keragaman budaya yang unik di Indonesia. Islam dengan mayoritas pemeluknya disusul dengan kr****n, ka****k, Hindu dan Buddha mempunyai ajaran dan budaya yang telah lama dianut dan dipercaya oleh umatnya masing-masing. Untuk lebih mengenalkan budaya dan ajaran serta dalam rangka memperingati Hari Raya Waisak 2548 yang jatuh pada tanggal 20 Mei 2008. Maka kami menyelenggarakan acara ”Festival Seni Budaya Buddhis 2008”. Agar dapat menambah Welas Asih di berbagai umat ataupun masyarakat umum.

Tema Kegiatan
” Senantiasa Menebar Welas Asih ” 

Kegiatan Festival
Secara umum materi dibagi dalam dua kelompok besar:
1.  Kelompok pertama berkaitan dengan informasi Buddha Dhamma yang  disajikan dalam 3 urutan :
a. Informasi tentang Buddha:
i.  riwayat hidup sang Buddha, mulai dari beliau dilahirkan sampai Parinibbana
ii. bukti-bukti sejarah yang hingga sekarang masih dapat ditemukan

b. Informasi tentang Dhamma:
i.  ajaran inti
ii. aplikasinya dalam kehidupan nyata sehari-hari

c. Informasi tentang Sangha:
i.  dalam negeri (Theravada, Mahayana dan Vajrayana)
ii. luar negeri

2.  Kelompok kedua berkaitan dengan kegiatan umat Buddha, baik dari segi sosial, politik, seni dan budaya, di Indonesia maupun di luar negeri .
a. Peninggalan relik – relik suci
b. Peninggalan sejarah ajaran Buddhis di Indonesia
c. Pagelaran seni dan budaya
d. Seminar dijadwalkan setiap hari dengan topik terlampir
e. Bazaar pernak-pernik Buddhis

Detail Festival
Tanggal : 25-30 Juni 2008 (5 hari)
Lokasi : Supermall Ballroom – Convention Centre (SSCC)             
Supermall Pakuwon Indah Surabaya 
Jl. Puncak Indah Lontar No.2 Surabaya - Indonesia
Jam operasional : 08.00 – 21.00 setiap hari
Target Pengunjung : + 50.000 Pengunjung

Sponsor dan Promosi
- Media cetak dan elektronik
Advertisement Koran / majalah·         
2 Stasiun Radio·         Television 

- Media promosi

Buku panduan: dibagikan kepada seluruh peserta·         
Brosur: disebarluaskan ke vihara-vihara/tempat umum·         
Poster: disebarluaskan ke vihara-vihara/tempat umum·         
Backdroup Panggung 

- Media luar·         
Umbul-umbul·         
Baliho·         
Spanduk
Dokumentasi rekaman kegiatan seluruh acara, secara profesional. 

Festival 2003 yang lalu
Tanggal             :  25 -  30 Juni 2003
Lokasi               :  Plaza Tunjungan Surabaya
Jumlah pengunjung:
·         40.000 orang: meliputi seluruh etnik bangsa.
·         Tempat tinggal dominan di Surabaya, Gresik dan sekitarnya
·         Pengunjung juga berasal dari kota-kota di Jawa Timur seperti: Madiun, Malang, Banyuwangi, Blitar
·         Ada juga berasal dari luar Jawa Timur seperti: Samarinda, Denpasar, Semarang

Informasi menarik lainnya: adanya lelang lukisan bertemakan kehidupan  Buddhis keseharian yang terjual habis.

Penutup
Demikian proposal ini disampaikan secara sederhana, kami yakin belum menyentuh pada hal tekinis secara detail . Untuk itu kami bersedia mempresentasikan lebih lanjut usulan ini jika diberi kesmpatan untuk itu. Atas perhatian dan kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih.

Informasi lanjutan:
Sekretariat BEC
Telp      : (031) 734 5135
Fax:      : (031) 734 5143
Email    : becsurabaya [at] yahoo.com
Website: www.becsby.org 

 _/\_
The Siddha Wanderer

72
Sebelumnya saya pernah memposting soal ini di milis samaggiphala. Berikutnya saya meninjau lebih lanjut mengenai masalah ini. Berikut saya babarkan mengenai apakah Pangeran Siddharta memang benar-benar berpoligami atau tidak.

Empat Istri Sang Bodhisatta (Pangeran Siddharta)

Di dalam Mulasarvastivada Vinaya disebutkan Pangeran Siddharta menikahi 2 putri Sakya lainnya yaitu Gopika/Gopa dan Mrgarajamya dan mempunyai 60000 selir (Yasodhara, Gopa dan Mrgaja masing-masing diikuti 20000 selir. Namun tentu, Yasodhara adalah istri utamanya.

Mulasarvastivada Vinaya (Vinaya yang dipakai oleh Vajrayana Tibetan) adalah kitab Vinaya yang terbesar. Mulasarvastivada (Mula=Akar + Sarvastivada) adalah salah satu aliran yang terbentuk (abad ke 3 atau 4 Masehi) paling telat dibandingkan 18 sekte Buddhis awal yang merupakan perkembangan dari aliran Sarvastivada. Shantaraks**ta,
kepala vihara Nalanda dan yang membawa agama Buddha ke Tibet selain Padmasambhava adalah bhiksu yang ditahbiskan menurut Mulasarvastivada Vinaya.
 
Terjemahannya:
“Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara, Gopika dan Mrgaja serta 60000 selirnya, [oleh karena itu] sekarang aku akan bercinta dengan Yasodhara” Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil.”

Dalam buku The Red Thread: Buddhist Approaches to Sexuality dan The Power of Denial, dikatakan bahwa Pangeran Siddharta juga mempunyai seorang anak dari istrinya yang lain, Gopa dan Mrgaja. Sehingga Pangeran Siddharta mempunyai 3 anak dari 3 istrinya yang bernama Upavana, Rahula dan Sunnakkhatta. Namun tentang 3 anak ini sangat jarang sekali disebutkan dan berasal dari teks-teks yang lebih kemudian, sehingga kebenarannya diragukan. Lagipula dalam kanon Tipitaka Pali, Upavana dan Sunnakkhatta adalah bhikkhu murid Sang Buddha, bukan anak beliau. Sumber yang menyatakan akan adanya 3 anak ini juga tidak jelas.

Selain itu terdapat satu lagi putri yang disebut-sebut juga sebagai selir Pangeran Siddhartha, yaitu bernama Manodhara dan Utpalavarna (Uppalavana).

Ada pula yang mengatakan bahwa 4 istana Musim ditempati oleh masing- masing satu istri dan mempunyai banyak selir di kerajaan-kerajaan dulu bukanlah suatu hal yang aneh atau jarang. Namun tentu saja bagi umat Buddha akan merasa aneh kalau pangeran Siddharta mempunyai selir atau mempunyai 4 istri.

Dalam Mulasarvastivada Vinaya disebutkan juga bagaimana Bodhisattva Gotama memperoleh ketiga istrinya tersebut.
1.   Pangeran Siddharta memilih sendiri Yasodhara di antara para putri Sakya lainnya
2.   Kereta Pangeran siddharta berhenti di bawah teras/balkon Gopa. Ayah Siddharta, Raja Suddhodhana mengambil Gopa dan memberikannya pada Siddharta
3.   Tujuh hari sebelum meninggalkan istana, ketika pangeran Siddharta kembali ke istana setelah melihat 4 penampakan, ia bertemu dengan Mrgaja yang melantukan syair “Nibbuta nuna sa mata” (Nibbuta-pada). Mrgaja tak lain adalah Kisagotami. Pangeran Siddharta menghadiahkan perhiasannya pada Mrgaja (Kisagotami) sebagai tanda terima kasih. Melihat hal itu, Raja Suddhodhana mengambilnya dan memberikannya kepada Pangeran Siddharta.

Jelas bahwa yang dicintai oleh Pangeran Siddharta dan yang dipilih sendiri hanyalah Yasodhara. Ia tetap setia kepada Yasodhara sedari dulu sejak ikrar mereka di depan Buddha Dipamkara. Sedangkan istri lainnya diberikan padanya oleh Raja Suddhodana, ayahnya. Pangeran Siddharta pun tak bisa menolak, karena hal itu merupakan kebiasaan (tradisi) yang harus diikuti seorang pangeran pada masa itu.

Adapun alasan seorang pangeran berpoligami pada masa Siddharta Gotama hidup adalah karena:
1.   Untuk mempertahankan garis keturunan (apabila ada anak yang meninggal atau istri yang tidak dapat punya anak, maka dapat digantikan yang lain)
2.   Untuk dapat memilih lebih dari satu istana sebagai tempat tinggal, masing-masing tinggal seorang istri, sehingga mengurangi kemungkinan sang pangeran diserang oleh musuh.
3.   Untuk mencegah adanya pengaruh yang berlebihan oleh seorang istri terhadap pemerintahan
4.   Untuk menunjukkan ciri dan harga diri seorang bangsawan

Yasodhara Adalah Gopa

Dalam Rahulamatrjataka disebutkan bahwa Bodhisattva sakyamuni mempunyai 2 orang istri, yang pertama adalah Gopa atau Gopika, yang kedua adalah Yasodhara Rahulamata. Gopa tetap perawan (bandhya) dan tidak memiliki anak.

Gopa adalah nama istri pangeran Siddharta dalam kitab Lalitavistara, Hsiu hsing Pen Chi Ching (T 184), Tai tzu jui ying pen chi ching (T 185), I chu pusa pen chi ching (T 188) dan Pu yao ching (t 186).

Yasodhara adalah nama istri pangeran Siddharta dalam Buddhacarita karangan Asvaghosa dan Mahavastu dari tradisi Mahasanghika serta Fa kuang ta chuang yen ching (T 187), Yinkuo ching (T 189), Chinghsu mohoti ching (T 191), Fo pen hsing Chi ching (T 190). Rahulamata (ibu Rahula) dipakai dalam kitab Nidanakatha dan kitab-kitab Pali. Selain itu kitab-kitab Pali juga menggunakan nama Bhaddakaccana.

Sedangkan Gopika disebutkan dalam Sakka Panha Sutta:
“Bhante saya sendiri telah melihat dan menyaksikan hal ini. Demikian pula hal ini, di Kapilavattu ada seorang anak wanita keturunan Sakya bernama Gopika yang yakin dan percaya kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan melaksanakan Sila. Ia membuang pikiran wanitanya dan mengembangkan pikiran kepriaan, ketika ia meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam kehidupan yang menyenangkan di alam surga Tavatimsa sebagai anak kami. Di situ ia dikenal sebagai 'Gopaka devaputto, Gopaka devaputto'.”

Namun tentu yang dimaksud Gopika dalam teks-teks riwayat Sang Buddha bukanlah Gopika dalam Sakka Panha Sutta.

Uniknya, nama lain Yasodhara adalah Gopa atau Gopika. Jadi, sebenarnya Yasodhara dan Gopika adalah seorang yang sama. Apalagi Gopa dan Yasodhara disebutkan sama-sama sebagai anak dari Dandapani. Gopa dan Yasodhara juga sama-sama disebut Rahulamata (ibu dari Rahula). Mimpi Gopa dalam Lalitavistara serta Mimpi Yasodhara dalam Mulasarvastivada Vinaya juga sama. Dalam kamus-kamus agama Buddha juga disebutkan bahwa Gopa adalah nama lain dari Yasodhara. Oleh karena itu tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Gopa dan Yasodhara adalah seorang yang sama. Di sini mungkin terlihat kesalahan pencatatan sejarah, mengingat Mulasarvastivada Vinaya ditulis sangat telat.

NB: Dalam kitab Tipitaka Pali disebutkan bahwa Yasodhara (Bimbadevi) adalah anak dari Suppabuddha, bukan Dandapani. Sedangkan Dandapani adalah saudara kandung laki-laki dari Suppabuddha. Sedangkan dalam kitab-kitab Mahayana menyebutkan Yaoshara sebagai anak Dandapani daripada Suppabuddha.

Hubungan Suami-Istri Siddharta dan Gopa (Yasodhara)

Berikut salah satu kutipan dari Mulasarvastivada Vinaya:
"And it occurred to him: `Lest others say that the Prince Sakyamuni was not a man, and that he wandered forth without `paying attention' to Yasodhara, Gopika, Mrgaja, and his other sixty thousand wives, let me now make love to Yasodhara’ He did so, and Yasodhara became pregnant."

Bahkan menurut buku Red Thread juga, disebutkan bahwa ternyata ada anggapan bahwa Pangeran Siddharta mempelajari berbagai metode rahasia Tantrik Seks dari istrinya Gopa (Gopika) atau Yasodhara:
“One, in particular, Gopa, now takes the front seat (or the main bed). Tantric Buddhists argued that the Buddha, before leaving the palace, learnt from her all the secrets of sex, although in this case sex was not aimed at procreation.”

Dan dalam Chandamaharoshana Tantra disebutkan bahwa Pangeran Siddharta dan Gopa (Yasodhara) melakukan hubungan seksual (penyatuan vajra dan teratai) dan mengalami kebahagiaan. (diambil dari buku Courtesans and Tantric Consorts).

Maka dari itu dalam Chandamaroshana Tantra dan Mulasarvastivada Vinaya dikatakan  bahwa Rahula terlahir dari hubungan ayah dan ibunya (Siddharta dan Yasodhara).

Namun tidak demikian dalam Lalitavistara, Pangeran Siddharta menyentuh perut Gopa dan secara ajaib Gopa menjadi hamil.

Dalam Sutra Upaya Kausalya disebutkan:
“Mengapa Bodhisattva [Pangeran Siddharta] memiliki seorang istri dan selir-selir?.... Bodhisattva tidak melakukannya karena nafsu keinginan. Mengapa? Karena ia seorang manusia yang bebas dari nafsu keinginan. Bila ia tidak tampak memiliki seorang istri dan selir-selir pada saat itu, para makhluk mungkin akan berkata, “Bodhisattva bukanlah seorang lelaki”. Bila mereka memiliki perasaan curiga yang demikian, tentu mereka sudah melakukan pelanggaran yang sangat besar. Karena itu, untuk mencegah munculnya kecurigaan mereka, Bodhisattva tampak menikahi seorang wanita dari suku Sakya dan mendapatkan seorang anak bernama Rahula. Bila seseorang mengatakan bahwa Rahula dilahirkan dari hubungan antara ayah dan ibunya, [ia salah;] .... Kenyataannya adalah segera setelah kehidupannya di surga berakhir, Rahula turun dari surga dan masuk ke rahim ibunya. Ia tidak dilahirkan dari hubungan ayah dan ibunya. Lagipula Rahula sebelumnya telah membuat tekad sumpah untuk menjadi seorang anak dari seorang Bodhisattva yang kelak mencapai ke-Buddhaan pada waktu kehidupan itu.”

Mrgaja adalah Kisagotami

Dalam Abhiniskramana Sutra disebutkan bahwa Pangeran Siddharta memiliki 2 istri yaitu Yasodhara dan Gotami. Gotami di sini adalah Kisagotami, yang tak lain adalah Mrgaja.

Dalam naskah Pali disebutkan juga tentang Mrgaja (Kisagotami), namun BUKAN istri Sang Bodhisattva.

Mrgaja /Mrgi adalah nama Sansekerta bagi Kisagotami. Menurut Thervada, Kisagotami ini bukanlah istri Sang Bodhisatta, namun setidaknya memiliki keterkaitan dengan Beliau. Kisagotami ini adalah seorang Putri Khattiya dari Kapilavatthu yang berparas cantik. Ia adalah sepupu Pangeran Siddharta. Pangeran Siddhartha yang begitu mendengar kabar bahwa anaknya telah lahir, segera kembali ke istana. Dari serambi, Kisagotami melihat Pengeran Siddharta dengan tunggangannya tengah berlalu melewati wismanya. Kisagotami terpesona melihat ketampanan dan ketenangan Sang Pangeran, kemudian dengan gembira dan bahagia ia mengutarakan syair "nibbuta-pada". Sang Pangeran gembira ketika mendengar kata “nibbuta” yang berarti pemadaman penderitaan dan tercapainya kedamaian. Sebagai penghargaan, Sang Pangeran memberikan kalung yang sangta indah seharga seratus ribu dari lehernya kepada Kisagotami. Namun tampaknya Kisagotami salah menyangka bahwa Sang Pangeran menyukainya.

Sedangkan menurut Mulasarvastivada, Mrgaja (Kisagotami) juga menyebutkan syair “nibbuta-pada” dan akhirnya dinikahkan oleh Suddhodhana dengan anaknya, pangeran Siddharta.

Jadi, Berapakah Istri Pangeran Siddharta?

Istri pangeran Siddharta dalam teks2 Buddhis:
Tipitaka Pali (Theravada): Yasodhara saja (Bhaddakaccana, Rahulamata. Bimbadevi)
Lalitavistara (Sarvastivada) : Gopa (Yasodhara) saja
Mulasarvastivada Vinaya (Mulasarvastivada): Yasodhara, Gopika, Mrgaja
Abhinishkramana Sutra (Mahayana) : Yasodhara dan Gotami (Kisagotami)
Fo pen hsing Chi ching/Buddhacarita (Mahayana): Yasodhara
Mahavastu (Mahasanghika): Yasodhara

Dapat dilihat dari data di atas bahwa sebenarnya ke-4 istri Pangeran Siddharta adalah:
1.   Yasodhara = Gopa (Gopika)
2.   Mrgaja = Kisagotami (Gotami)
3.   Manodhara
4.   Utpalavarna

Manodhara dan Utpalavarna sangat jarang disebutkan sebagai selir Pangeran Siddharta dalam teks-teks Buddhis, bahkan asal usul mereka pun sulit ditelusuri. Bahasa Pali dari Utpalavarna adalah Uppalavanna. Uppalavanna adalah siswi Arahat terkemuka dari Buddha Gotama, jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan menjadi istri Pangeran Siddharta. Oleh karena itu saya menolak bahwa Manodhara dan Utpalavarna adalah istri (selir) Sang Bodhisattva Gotama.

Mengenai Mrgaja atau Kisagotami, sekali lagi saya memakai acuan Tipitaka Pali (sebagai acuan yang paling awal) di mana Kisagotami TIDAK MENIKAH dengan Pangeran Siddharta. Hanya Mulasarvastivada Vinaya, Abhinishkramana maupun Fo pen hsing Chi ching yang mengatakan bahwa Kisagotami adalah selir Pangeran Siddharta dan ketiga teks tersebut semuanya muncul pada berabad-abad setelah munculnya Tipitaka Pali.

Oleh karena itu saya setuju dengan kanon Pali, bahwa Upalavanna dan Kisagotami BUKAN istri sang Bodhisattva.

Jadi, tentu, pernikahan Pangeran Siddharta Gotama adalah MONOGAMI. Baik kanon Pali Theravada maupun kitab Lalitavistara dari tradisi Sarvastivada keduanya setuju bahwa istri Pangeran Siddharta hanyalah 1 orang saja yaitu Yasodhara (Gopa/Gopika).

Bahkan teks2 Buddhis yang menyebutkan bahwa Pangeran Siddharta beristri 2 atau 3 pun selalu mencantumkan nama Yasodhara sebagai salah satu istri Pangeran Siddharta. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa semua sekte Buddhis setuju bahwa istri pangeran Siddharta adalah Yasodhara. Sedangkan tidak semua sekte Buddhis setuju bahwa pangeran Siddharta beristri 2, 3 atau 4, contohnya yaitu Theravada dan Sarvastivada sepakat bahwa istri pangeran Siddharta hanyalah 1 orang saja.

Karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa Pangeran Siddharta dan Yasodhara selalu saling setia bahkan sampai beberapa kali masa perputaran dunia terbentuk dan hancur.

Kesetiaan terhadap 1 orang dan Monogami dapat dilihat dalam kutipan Candakinnara Jataka:
“Kemudian Raja Suddhodana mulai menceritakan kesetiaan putri Yasodhara: "Dengarkanlah, Yang mulia, ia mendengar bahwa anda mengenakan jubah kuning, ia juga ikut mengenakan jubah kuning; rangkaian bunga dan sebagainya tidak lagi dipergunakan, ia pun tidak lagi mengenakan rangkaian bunga; dan sebagainya dan duduk di tanah. Ketika anda memasuki kehidupan non-duniawi ia menjadi janda; dan menolak hadiah dari Raja lain yang menyukainya. Demikian setia hatinya padamu." Demikianlah Raja Suddhodana mengungkapkan kesetiaan putri Yasodhara dalam berbagai cara.
Sang Bhagava menanggapi, "Tidak heran, Maharaja! bahwa dalam kehidupanku yang terakhir Ia mencintai-Ku, dan setianya hanya kepada-Ku saja. Dalam kehidupan yang lampau, ketika terlahir sebagai Kinnara (mahluk yang badannya sebelah atas adalah manusia dan sebelah bawah bagai burung), ia setia hanya kepadaku seorang." Lalu Sang Bhagava, atas permintaan Raja Suddhodana menceritakan kejadian di kehidupan yang lampau.”


Banyak dari 18 sekte Buddhisme Awal menyatakan bahwa istri Pangeran Siddharta adalah Yasodhara saja, di sini termasuk Theravada. Bahkan dalam Mulasarvastivada Vinaya, menurut Profesor Andre Bareau, menunjukkan profil Yasodhara yang lebih lengkap. Kisah kesetiaan dan kasih sayang yang dijalin oleh Sang Bodhisatta dengan Yasodhara satu sama lain malah lebih ditonjolkan di Mulasarvastivada daripada sekte lainnya.

Semua sekte termasuk Mulasarvastivada mengakui kesetiaan yang dipegang teguh oleh Pangeran Siddharta dan Yasodhara. Pangeran Siddharta dan Yasodhara digambarkan saling setia dan mencintai satu sama lain, sejak pertemuan mereka (Sumedha dan Sumitta), berikar di depan Dipankara Buddha untuk saling menyokong satu sama lain dengan cinta kasih.

Bahkan walaupun Pangeran Siddhartha berpoligami, dilihat dari kutipan Vinaya di atas, jelas bahwa Pangeran Siddhartha hanya melakukan (maaf) “hubungan suami-istri” hanya dengan Yasodhara dan anaknya hanya ada 1 yaitu Rahula yang dilahirkan oleh Putri Yasodhara. Dalam Mulasarvastivada Vinayapun disebutkan, walaupun Pangeran Siddharta mempunyai banyak selir, namun yang dipilihnya sendiri tetaplah Yasodhara seorang, sedangkan selir-selir lainnya hanyalah pemberian ayahnya saja untuk mencegah sang Pangeran meninggalkan keduniawian.

Di sini jelas bahwa dalam teks Buddhis yang menunjukkan bahwa Sang Pangeran mempunyai selir, tetap mengakui kesetiaan dan cinta Pangeran Siddharta terhadap Yasodhara, SATU-SATUNYA istri yang dicintai Sang Pangeran, sejak ikrar mereka di hadapan Buddha Dipamkara.

Kalau menurut saya pribadi, kesetiaan yang diajarkan Sang Buddha dalam kisah Nakulamata dan Nakulapita tentunya dijalankan sendiri oleh Sang Buddha sendiri pada masa karir Bodhisattanya di mana beliau menyempurnakan Dasa Parami.

Massa membelah diri memberikan jalan untuk Megha (Sumedha – kelahiran lampau Siddharta) dan gadis (Sumitta -  kelahiran lampau Yasidhara) itu. Megha mengandeng tangan Sang Gadis. Bersama mereka membungkuk hormat di hadapan Guru (Buddha) Dipankara. Sang Guru menatap Megha lalu berkata ,’Aku memahami ketulusan hatimu, dapat kulihat engkau memiliki keteguhan hati yang besar untuk menelusuri jalur spritual guna mencapai penerangan sempurna dan menyelamatkan semua mahkluk. Berbahagialah, suatu hari dalam kehidupan mendatang engkau akan mencapai sumpahmu.
“ Setelah itu Guru Dipankara memandang gadis yang sedang berlutut di sisi Megha dan berkata kepadanya,’ Engkau akan menjadi sahabat terdekat Megha dalam kehidupan ini maupun banyak kehidupan mendatang. Ingatlah untuk menepati janjimu. Engkau akan membantu suamimu merealisasikan sumpahnya.’

(Jalur Tua Awan Putih – Sumpah Teratai)

 _/\_
The Siddha Wanderer

73
Izinkan saya untuk membagi artikel mengenai Guanyin. Banyak yang bingung apakah Guanyin (Avalokitesvara) adalah Bodhisattva Buddhis atau Dewi agama Tao. Apalagi banyak juga sumber-sumber berbahasa Indonesia yang mengatakan bahwa Guanyin sebenarnya telah ada pada zaman Tiongkok purba, seperti:

Menurut jindeyuan.org disebutkan mengenai Avalokitesvara Bodhisattava (Guan Yin):

“Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.”

Atau

“Demikianlah seorang Dewi Welas Asih yang Asli Tiongkok 白衣大士 (Pek Ie Tai Su) menyatu dengan Avalokitesvara, jadilah Dewata Buddhis khas Tiongkok, bahkan ciri-ciri ke-India-annya hilang sama sekali.”
 
Bahkan di beberapa forum diskusi, banyak timbul pandangan bahwa Guanyin berasal dari agama Tao. Daloam buku-buku Widya Karya yang diterbitkan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) juga disebutkan:
“Agama Buddha (asli) di India pada hakekatnya tak “mengenal”nya, kalaulah ada penyebutan Avalokitesvara Bodhisattva itupun “gelar” yang diberikan pada Guanshiyin dengan nama itu (yang di India disandang oleh seorang Bodhisattva pria).”

Dan:
“Bila Guanshiyin dihubungkan dengan Shenming dari Miao Shan jelas pemujaannya pra-agama Buddha masuk ke Tiongkok, ditambah dengan pemuja penganut Dao (yang dengan Ru memang bergandeng), maka Guan Yin adalah Shan Ming orang Tiongkok (asli).”

Bahkan belakangan ini Ketua Umum MATAKIN (Budi S. Tanuwibowo) mengeluarkan pernyataan, “Kwan Im Po Sat (Bodhisattva Avalokitesvara) tidak jelas kuburannya / makamnya sehingga diragukan keberadaan dan kebenaran-Nya”

Dalam surat permohonan maafnya, Budi S. Tanuwibowo menggunakan istilah “Dewi Kwan Im”, bukan lagi “Kwan Im Po Sat”, dan berkata:
“Mengenai siapa Beliau, ada beberapa versi: apakah seorang Dewi, atau tokoh suci di jaman purba yang hidup ratusan tahun sebelum Nabi Kong Zi. Namun semua itu tidak mengurangi hormat yang tinggi kepada Beliau. Secara spirit Beliau menjadi lambang welas asih yang universal dan melintasi batas-batas agama. Ini menjadi keyakinan saya dan juga keyakinan banyak orang yang mengagumi dan menghormati Beliau.”

Banyaknya pernyataan-pernyataan tersebut menjadikan kebingungan, sehingga banyak orang yang meragukan Guanyin sebagai Bodhisattva Buddhis.

Menanggapi kebingungan tersebut maka saya akan menjawab satu persatu pokok permasalahan mengenai Guan Yin dengan berdasarkan penelitian para sejarawan.

 _/\_
The Siddha Wanderer

74
Perkenalan / Permisii... Salam kenal.....
« on: 22 March 2008, 08:38:48 AM »
Saya baru join ni group... salam kenal semua =).....
Udah tau forum Dhammacitta dan tertarik join dari dulu... cumanya dulu koneksinya lama banget... tp sekarang udah cepett hehe... jadi ya joinan aja....hehe..... Mohon bimbingannya ya...   ;D

 _/\_
The Siddha Wanderer

Pages: 1 2 3 4 [5]