//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Peacemind

Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8 9 10 11 12 13 ... 65
76
Game / Re: game bahasa Pali
« on: 14 April 2011, 09:59:40 AM »
Teratai..

ambuja

77
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 14 April 2011, 09:45:57 AM »
Tentu saja akan digeliat-belut lagi, karena saya memang tidak berniat bertaruh pada hal yang tidak pasti.

[belut mode]Menurut saya kisah itu meragukan karena dalam berbagai Buddhapada (jejak kaki Buddha), tidak ada tanda bekas pisau bedahnya Jivaka tuh.[/belut mode]


Jadi heran nih..... Yang disayembarakan adalah untuk mencari PERNYATAAN DALAM TIPITAKA sebagai evidence, tapi kok jadinya malah menyambung minta bukti-bukti lain. Sebenarnya jika yang disayembarakan adalah sekedar "PERNYATAAN', tidaklah penting untuk membuktikan apakah ada bekas pisau bedahnya atau tidak. Juga tidak penting apakah sebuah pernyataan yang dikutip benar-benar terjadi ataukah tidak.  Juga tidak penting apakah pernyataan tersebut disetujui oleh Buddha atau tidak, atau disetujui pihak tertentu atau tidak. Di sini yang dicari adalah pernyataan dalam tipitaka yang membenarkan bla bla...... dan bukan evidences lain...

78
Game / Re: game bahasa Pali
« on: 14 April 2011, 08:26:17 AM »
Mampu....

pakkhī?

79
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 14 April 2011, 08:22:14 AM »
Samanera Peacemind yang saya hormati,  ^:)^  Setahu saya kisah itu ada juga di Jataka, disebabkan perbuatan inilah Sang Buddha sering menderita sakit punggung. (Kalau tidak salah ini adalah salah satu perbuatan buruk yang pernah dilakukan oleh Bodhisatta selain menghina Buddha kassapa, menghancurkan patta seorang PaccekaBuddha dll).

Mettacittena,    _/\_



Kisah yang mana? Pegulat? Apapun kisahnya, dalam Jātaka tidak ada satupun kisah karena Jātaka hanya berisi syair-syair. Semua kisah ada di dlm Jātaka aṭṭhakathā. Syair yang saya kutip ada di dlm Jātaka. Artinya, syair tersebut termasuk isi Tipitaka dan tentunya memenuhi syarat pertanyaan yang disayembarakan. Kisah yang anda ceritakan, jika ada, ada didalam Jātaka aṭṭhakathā. Artinya, kisah itu bukan berada di dalam Tipitaka, dan tentunya tidak memenuhi syarat pertanyaan yang disayembarakan.. hehe.... ;D

80
Game / Re: game bahasa Pali
« on: 13 April 2011, 08:28:49 PM »
sutta=tidur,wejangan

suddha ??

lebih tepatnya artinya 'bersih'.
jelas?

Saddhu

Kata saddhu memang tidak ada di Pali. Mungkin yang dimaksud sādhu? Jika sādhu, kata ini berarti 'baik', dll.

vihaṅgama?

81
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 13 April 2011, 08:00:10 PM »
Samanera yang saya hormati,   ^:)^ Bila cerita Jataka ini boleh dijadikan pembenaran maka saya juga mau menuntut bro Kainyn dan  bro Indra:

"Di masa lampau suatu ketika ada seorang ahli gulat datang ke kota tempat Bodhisatta berada, karena ia merasa hebat lalu ia menantang seisi kota, tak ada yang sanggup mengalahkannya. Kemudian teman-teman meminta Bodhisatta untuk bertanding melawan ahli gulat tersebut (karena beliau adalah yang terkuat di kota tersebut). Bodhisatta dalam pergulatan tersebut kemudian mematahkan punggung pegulat tersebut untuk memberi pelajaran. So.... 20 jutakah ini? hehehe....

Mettacittena,   _/\_

Kalau pun ada cerita demikian, tetap saja anda tidak memenangkan sayembara karena cerita demikian tidak terdapat dalam Tipitaka. Sedangkan syair yang kutip yang berisi tentang pembenaran untuk melukai orang lain (penjudi jahat) dikutip dari Tipitaka. ;D

82
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 13 April 2011, 07:57:44 PM »
[belut kulit minyak kelapa mode]Buddha mengatakan penjudi tersebut bijaksana maksudnya karena tidak menelan dadu. Moral dari cerita: penjudi pinter: tidak telan dadu; penjudi bodoh: telan dadu. Penjelasan: karena dadunya selain tidak enak ditelan, berisiko:
1. tercemar kuman karena yang main itu belum tentu cuci tangan sebelum judi
2. dibuat oleh pabrik yang tidak higienis di mana tikus berkeliaran dan 'menyampah' di mana-mana
3. mengandung bahan tercemar radiasi dari kebocoran PLTN di Fukushima
4. diolesi racun oleh saingan
[/belut kulit minyak kelapa mode]


Dari keseluruhan cerita, Buddha mengatakan Dirinya sebagai penjudi bijaksana di kehidupan lampau bukan karena Beliau tidak menelan dadu, melainkan karena Beliau berhasil memberikan pelajaran ke penjudi yang satunya dengan melukainya melalui racun yang dioleskan di dadu. Sang Buddha juga tidak mengatakan bahwa penjudi tersebut bodoh.

Ok, sekarang lupakan alasan yang berbelit-belit, dan kita kembali kepada pertanyaan yang disayembarakan. Pertanyaan yang disayembarakan adalah siapapun yang menemui pernyataan di dalam Tipitaka yang menyetujui / membenarkan perbuatan yang dengan sengaja melukai atau membunuh makhluk secara fisik akan diberi hadiah.

Syair yang saya kutip adalah PERNYATAAN. Pernyataan ini terdapat dalam TIPITAKA. Pernyataan ini juga MEMBENARKAN PERBUATAN YANG DENGAN SENGAJA MELUKAI MAKHLUK LAIN apalagi dengan adanya kata 'GILA' yang mana merupakan ungkapan suruhan untuk menelan. Ini menunjukkan suatu perbuatan dengan sengaja untuk melukai makhluk lain yang dalam hal ini adalah seorang penjudi jahat (pāpadhuttaka). Sesuai dengan ketentuan pertanyaan yang disayembarakan, semua persyaratan sudah ada.

83
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 13 April 2011, 01:48:34 PM »

Itu pelajaran dari bodhisatta, bukan oleh Buddha. Dalam jataka juga bodhisatta bisa membunuh orang, tapi sekali lagi itu hanya cerita yang dikisahkan saja. Buddha sendiri tidak menyuruh orang melakukan hal tersebut.

[belut mode]Justru itu adalah ajaran bagi penjudi agar hati-hati dalam menelan dadu, harus dites dulu sebelum ditelan.[/belut mode]


Syair di atas diucapkan oleh Sang Buddha sendiri di Tipitaka. Syair tersebut kemudian diperjelas oleh Sang Buddha melalui ceritanya di masa lampau dan di cerita tersebut, Sang Buddha tidak memiliki objection bahwa perbuatan-Nya di masa lampaunya salah. Justru dalam ceritanya, tampak sekali Sang Buddha membenarkan perbuatannya di masa lampau. Bahkan di akhir khotbah Beliau mengklaim sendiri, "Saya adalah penjudi bijaksana pada masa itu (paṇḍitadhutto  ahameva  ahosiṃ). See.... bukan hanya membenarkan perbuatan-Nya di masa lampau, bahkan beliau mengatakan sebagai penjudi bijaksana. (Belut geliat mode on juga). hehehe....

84
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 13 April 2011, 12:49:45 PM »
7jt + 20jt dari kumis dan kutu jadi 27 jt =))

Wah.. bisa bikin party besar-besaran nih....  :)) :)) :))

85
Ini meragukan dan sangat jauh dari apa yang pernah saya nonton di national geographic ttg terbentuknya Bumi..

Demikianlah yang pernah saya dengar dan nonton...
Berdasarkan penelitian para ilmuwan dunia, bahwa usia bumi sejak awal terbentuknya hingga saat ini sekitar 5 milyar tahun, katanya.. dan diperkirakan bumi ini akan hancur berkeping2 sekitar 5 milyar tahun dari sekarang, katanya..
Hal ini sepertinya sesuai dengan ucapan Sang Buddha yang mengatakan bahwa usia bumi kita ini sekitar 5 milyar tahun juga?? CMIIW...

So, video tersebut hanya rekayasa belaka.. sepertinya...

Yang dibold di atas, saya baru mendengarnya. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

86
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 13 April 2011, 12:31:00 PM »
Saya dapat jawaban lain. Kutipan di bawah ini saya ambil dari Littajātaka, Jātaka. Di sutta ini, ada syair sebagai berikut:

"Littaṃ paramena tejasā, gilamakkhaṃ puriso na bujjhati;
gila re gila pāpadhuttaka, pacchā te kaṭukaṃ bhavissatīti.".

Yang bisa diartikan sebagai berikut:

Ia tidak mengetahui dadu yang ditelannya diolesi dengan racun yang panas;
Telan, telanlah penjudi jahat! Setelah itu anda akan terbakar di dalam!".

Syair di atas diucapkan oleh Bodhisatta dan diulangi oleh Sang Buddha ketika Beliau menceritakan kepada muridnya. Dalam Jātaka Aṭṭhakathā, diceritakan bahwa suatu saat Bodhisatta berjudi dengan dadu dengan seorang penjudi. Namun tiap kali si penjudi terdesak kalah, ia selalu menelan dadu dan berpura-pura dadu hilang. Bodhisatta tahu bahwa dadu tersebut ditelan. Kemudian, ia mengolesi dadu tersebut dengan racun untuk memberikan pelajaran. So.... 7 jutakah ini? hehehe.....

87
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 12 April 2011, 11:59:15 PM »
Kalau saya, Samanera, bukan karena mengenal atau tidak ajaran Buddha sehingga menyimpulkan adanya kiasan dalam terjemahan syair versi yang Sdr. Kainyn sampaikan, tetapi karena tidak adanya kata penentu waktu sebagai penghubung kalimat-kalimat yang terpisah oleh tanda koma. Sedangkan dalam versi Samanera, ada kata penunjuk waktu yaitu kata “setelah” sehingga ada kesan adanya urutan peristiwa.

Satu pertanyaan, mohon petunjuk Samanera untuk pembelajaran saya yang tidak mahir bahasa Pali ini, dimanakah yang mengindikasikan adanya kata “setelah” pada syair tersebut. Jika tidak ada, sekali lagi jika tidak ada, maka tidak menutup kemungkinan penambahan kata “setelah” ini pun karena pikiran kita telah terpengaruh oleh kisah yang ada di dalam atthakatha yang pernah kita baca yang di dalamnya terurai kisah dengan urutan peristiwa.

Thanks

NB: bukan syair 194, 195 tapi 294, 295 _/\_

Yap betul.. syair 294 dan 295... Thanks untuk koreksinya. Mengenai bahasa Pali, kata kerja dasar atau akar kata dari kata kerja, jika ditambah akhiran 'tvā', diartikan 'setelah'. Sebagai contoh, gacchati - ia pergi, gantvā - setelah pergi; karoti - ia melakukan, katvā - setelah melakukan; chindati - ia memotong, chetvā - setelah memotong; patati - ia jatuh, patvā - setelah jatuh; suṇati - ia mendengar, sutvā - setelah mendengar; dll. Untuk dua syair di atas, kata yang digunakan adalah 'hantvā - setelah membunuh' yang berasal dari akar kata 'han'.  Kata kerja orang ketiga pertama adalah hanati - ia membunuh.

88
Diskusi Umum / Re: Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 12 April 2011, 10:39:42 PM »
Samanera yang saya hormati,   ^:)^ Entah mungkin Mettalanka yang salah terjemahkan, copy paste terjemahannya berikut:

Verse 295: Having killed mother, father, the two brahmin kings and having destroyed the hindrances of which the fifth (i.e., doubt) is like a tiger-infested journey, the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.

Semua yang di dalam tanda kurung itu diambil dari kitab komentar. Bahkan kata veyagghapañcamaṃ yang diartikan sebagai the hindrances of which the fifth is like a tiger-infested journey di atas, secara sederhana, hanya bermakna 'harimau sebagai kelima". Veyaggha = harimau, pañcama = kelima. Kitab komentar menjelaskan bahwa harimau di sini bermakna lima rintangan karena seperti halnya jalan yang ada harimaunya berbahaya, demikian pula, lima rintangan batin merupakan bahaya pikiran. Mettalanka menambahkan terjemahan setelah mengacu kepada kitab komentar.

Quote
Tapi walaupun syair yang sebenarnya sama seperti yang Samanera muat, tetap saja syair ini tak memenuhi term and condition. Saya copas lagi term and conditionnya:

(membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.)

Mari kita kaji, siapakah nama dua raja Khattiya yang membunuh ayah-ibu dan menghancurkan kerajaan beserta penduduknya tersebut....? Apa nama kerajaan yang dihancurkannya....?
Siapakah nama dua raja makmur yang membunuh ayah-ibu dan membunuh harimau...?

Bila ada namanya tentu saja term and conditionnya otomatis terpenuhi.

Mettacittena,   _/\_

Yang namanya membunuh makhluk hidup kan tidak harus mengetahui namanya kan? hehe....

89
Buddhisme untuk Pemula / Re: Apa sih Anjali ?
« on: 12 April 2011, 10:17:33 PM »
Añjali adalah merangkapkan kedua tangan di depan dada atau wajah sebagai tanda menghormat kepada mereka yang patut dihormati.

90
Meditasi / Re: Vipassana Jhana
« on: 12 April 2011, 10:09:19 PM »
Jika memang ada vipassana yang menghasilkan kondisi jhana, maka yang jelas para arahat telah mencapai kondisi jhana demikain. Ini disebabkan seorang arahat tidak melekat lagi terhadap obyek apapun. Ia melihat setiap obyek sebagai muncul dan lenyap. Pada saat mencapai kondisi Jhana pun, batin seorang arahat tidak akan terpaku dan memegang kepada satu obyek saja. Ini berbeda dengan para puthujjana yang mana masih memerlukan obyek terpaku untuk mencapai jhana. Oleh karena hal ini, dikatakan pula bahwa ketika seorang arahat memasuki jhana para dewa pun bahkan tidak bisa melihat obyek yang dipegang seorang arahat (ada sutta yang mengatakan demikian, tapi saya lupa tempat dan nama sutta itu).

Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8 9 10 11 12 13 ... 65