Buddhisme dan Kehidupan > Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film

Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm

(1/6) > >>

Elin:


Ajahn Brahmavamso dilahirkan di London pada tahun 1951. Ia menganggap dirinya seorang Buddhis saat berusia 17 tahun melalui buku-buku Buddhis yang dibacanya ketika masih di sekolah. Ketertarikannya dalam ajaran Buddha dan meditasi berkembang ketika mempelajari Teori Fisika di Universitas Cambridge. Setelah menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya dan mengajar selama setahun, beliau mengunjungi Thailand untuk menjadi seorang bhikkhu. Beliau ditahbiskan di Bangkok pada usia 23 tahun oleh Kepala Vihara Wat Saket. Kemudian berturut-turut selama 9 tahun, beliau mempelajari dan berlatih tradisi meditasi hutan di bawah bimbingan Ajahn Chah. Pada tahun 1983, beliau diminta untuk membantu pembangunan sebuah vihara hutan dekat Perth, Australia bagian Barat. Ajahn Brahm sekarang adalah Kepala Vihara Bodhinyana dan Pembimbing Spiritual Buddhist Community di Australia bagian Barat.


** Ketikan terjemahan bisa rekan2 DC upload file nya dlm format .pdf
Elin sudah upload ke http://www.4shared.com/file/93914447/17519497/Kebijaksanaan_dalam_Keheningan.html


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Elin:
MELAKUKAN SUATU KESALAHAN BUKANLAH HAL YANG BESAR

Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Dalam kehidupan ini, kita sering lupa bahwa melakukan kesalahan bukanlah hal yang besar. Dalam Ajaran Buddha tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Tidaklah mengapa menjadi tidak sempurna. Bukankah hal ini luar biasa? Ini berarti kita mempunyai kebebasan sebagai seorang manusia, daripada beranggapan bahwa diri kita sendiri merupakan seorang yang luar biasa dan hebat, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Alangkah mengerikan bukan, jika kita berpikir bahwa kita tidak diperbolehkan untuk melakukan kesalahan, karena pada dasarnya kita selalu melakukan kesalahan, kemudian kita berusaha menyembunyikannya dan mencoba untuk menutupinya. Sehingga rumah pun bukan lagi tempat yang damai, tenang dan nyaman. Tentu saja kebanyakan orang yang ragu-ragu akan berkata, “Jika kamu memperbolehkan orang untuk melakukan kesalahan, bagaimana mereka akan belajar? Mereka bahkan akan terus melakukan lebih banyak kesalahan lagi.” Tetapi sebenarnya bukan demikian caranya bekerja. Untuk mengilustrasikan hal ini, ketika saya masih remaja, ayah saya berkata kepada saya bahwa ia tidak akan mencampakkan saya maupun menutup pintu rumahnya bagi saya, tidak peduli apapun yang saya lakukan; saya akan selalu diterima di sana, bahkan jika saya melakukan kesalahan terburuk sekalipun. Ketika saya mendengar hal itu, saya memahami itu adalah ungkapan cinta, ungkapan penerimaan. Hal ini menginspirasi saya dan saya begitu menghormatinya sehingga saya tidak ingin menyakitinya, saya tidak ingin menimbulkan masalah baginya dan oleh sebab itulah saya bahkan berusaha lebih keras untuk menjadi lebih bernilai dalam keluarga.

Sekarang jika kita dapat menerapkan hal demikian terhadap orang-orang yang hidup di sekeliling kita, kita akan tahu bahwa hal ini akan memberikan kebebasan dan ruang untuk menenangkan dan mendamaikan diri, serta menghilangkan semua ketegangan. Dengan kenyamanan demikian, timbullah rasa hormat dan peduli kepada orang lain. Jadi saya menantang kamu untuk mencoba memperbolehkan orang-orang untuk melakukan kesalahan – katakanlah pada pasanganmu, orang tuamu atau anak-anakmu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, tidak peduli apapun yang kamu lakukan.” Katakan juga kepada dirimu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukku.” Perbolehkanlah dirimu untuk melakukan kesalahan juga. Dapatkah kamu mengingat semua kesalahan yang telah kamu lakukan dalam seminggu terakhir ini? Bisakah kamu membiarkannya, masih bisakah kamu menjadi seorang sahabat bagi dirimu sendiri? Hanya pada saat kita memperbolehkan diri kita sendiri untuk melakukan kesalahan, kita akan merasa nyaman.

Itulah yang kita sebut dengan kasih sayang, Metta, cinta. Sesuatu yang tanpa pamrih. Jika kamu hanya mencintai seseorang karena mereka melakukan sesuatu yang kamu sukai atau karena mereka selalu memuaskan segala pengharapanmu, maka tentu saja cinta itu tidak akan begitu berarti. Hal itu hanya seperti transaksi bisnis cinta, “Saya akan mencintaimu jika kamu memberikan imbalan kepadaku sebagai gantinya.”

Ketika pertama kali saya menjadi seorang bhikkhu, saya beranggapan para bhikkhu haruslah sempurna. Saya pikir mereka tidak pernah boleh melakukan kesalahan; ketika duduk saat meditasi, mereka harus selalu duduk dengan tegak. Tetapi bila kamu pernah duduk pukul 04.30 dini hari, terutama setelah bekerja keras sehari sebelumnya, kamu akan merasakan kelelahan yang teramat sangat, tubuhmu akan menggelongsor, kamu bahkan akan terangguk-angguk karena rasa kantuk. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Dapatkah kamu merasakan betapa nyamannya perasaanmu, ketika semua ketegangan dan tekanan sirna di saat kamu memperbolehkan dirimu untuk melakukan kesalahan?

Masalahnya kita cenderung membesar-besarkan kesalahan dan melupakan keberhasilan, sehingga menciptakan begitu banyak beban berat dan rasa bersalah. Sebaliknya kita harus mengalihkannya kepada keberhasilan kita, hal-hal baik yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita; kita dapat menyebutnya sifat Buddha dalam diri kita. Jika kamu beralih kepadanya, maka ia akan tumbuh berkembang; sebaliknya jika kamu mengalihkannya kepada kesalahan, mereka juga akan tumbuh berkembang. Jika kamu merenungkan pikiran apapun dalam batin, pikiran apapun itu, ia akan tumbuh berkembang dan berkembang, bukankah demikian? Maka sebaiknya kita mengalihkan pikiran kita dan merenungkan hal-hal positif di dalam diri kita, kemurnian, kebajikan, sumber cinta yang tanpa pamrih – dengan berkeinginan untuk membantu, bahkan mengorbankan kenyamanan kita untuk kepentingan makhluk lain. Ini adalah sebuah cara agar kita bisa menghormati nurani kita, hati kita. Dengan memaafkan kesalahan, kita akan merenungkan kemuliaannya, kemurniannya, dan kebaikannya. Kita bisa menerapkan hal yang sama pada orang lain, kita bisa merenungkan kebajikan mereka dan mengamatinya tumbuh berkembang.

Inilah apa yang kita sebut dengan Kamma – perbuatan; cara kita berpikir mengenai kehidupan, cara kita berbicara mengenai kehidupan, dan apa yang kita lakukan dengan kehidupan. Dan apa yang kita lakukan benar-benar terserah kepada kita, bukan sesuai kehendak suatu makhluk gaib luar biasa di atas sana yang menentukan kamu akan bahagia atau tidak. Kebahagiaanmu sepenuhnya berada di tanganmu, dalam kekuasaanmu. Inilah yang kita maksudkan dengan Kamma. Sama seperti ketika memanggang kue, Kamma menggambarkan bahan-bahan apa yang kamu miliki, apa yang harus kamu lakukan dengannya. Jadi jika seseorang memiliki Kamma yang kurang beruntung, mungkin ini merupakan hasil dari perbuatan lampau mereka, sehingga mereka tidak memiliki banyak bahan. Mungkin mereka hanya memiliki sejumlah terigu yang sudah tersimpan lama, satu atau dua butir kismis, dan sejumlah mentega tengik dan – bahan lain yang diperlukan untuk kue itu? – sejumlah gula… jadi dengan semua bahan itulah kita bekerja. Dan orang lain mungkin memiliki kamma yang sangat bagus, semua bahanbahan yang kamu idamkan: tepung gandum berkualitas, gula merah dan semua jenis buah-buah kering dan kacang. Tetapi pada akhirnya kue itu akan tetap dihasilkan… Bahkan dengan bahan-bahan yang amat kurang sekalipun, ada sebagian orang yang dapat menjadikannya kue yang indah. Mereka mengaduk semua bahan itu, memasukkannya ke dalam pemanggang – hmm.. lezat! Bagaimana mereka melakukannya? Sebaliknya ada orang yang mungkin mempunyai segalanya, malah menghasilkan kue yang rasanya tidak karuan.

Jadi Kamma menggambarkan bahan-bahan, sesuatu yang kita miliki untuk diolah; tetapi tidak menjelaskan apa yang harus kita perbuat dengan bahan bahan tersebut. Jadi jika seseorang bijaksana, tidaklah menjadi soal bahan apapun yang ia miliki untuk diolah.Kamu masih dapat membuat sebuah kue yang indah – asalkan kamu tahu caranya.

Tentu saja hal pertama yang harus diketahui, bahwa selalu mengeluhkan bahan-bahan yang kamu miliki adalah alternatif terakhir dalam membuat kue yang bagus. Kadang-kadang di vihara, jika ada satu bahan yang kurang, orang-orang yang sedang memasak akan mencari ke dapur dan cukup menggunakan apapun yang ada. Bahan itu bisa serba guna dan kamu akan memperoleh kue-kue yang sangat aneh, tetapi semuanya terasa lezat, ini dapat terjadi karena orang-orang telah belajar seni menggunakan apa yang mereka miliki dan menghasilkan sesuatu dengannya.

Jadi ke mana arah Kamma? Apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah menjadi kaya dan berkuasa? Tidak. Meditasi ini, ajaran Buddha ini, arah yang kita tuju, adalah ke arah pencerahan. Kita sedang menggunakan bahanbahan yang kita miliki untuk mencapai pencerahan. Tetapi sebenarnya apa arti pencerahan itu? Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Suatu ketika ada seorang guru Rusia bernama Gurdjief, yang memiliki sebuah komunitas di Prancis. Didalam komunitasnya, ada seorang pria yang benar-benar menjengkelkan. Ia selalu mengganggu orang-orang dan menyusahkan mereka. Maka komunitas itu mengadakan pertemuan dan mereka meminta Gurdjief mengusirnya, mengeluarkannya, karena dia selalu menciptakan percekcokan dan membuat orang-orang tidak bahagia. Tetapi Gurdjief tidak pernah mau. Akan tetapi kemudian, setelah ia meninggal, mereka baru menyadari bahwa sebenarnya ia lah yang membayar pria itu untuk menetap di sana! Setiap orang yang ada di sana harus membayar untuk makanan dan tempat tinggal. Tetapi Gurdjief sebenarnya membayar pria itu agar menetap di sana – untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang itu. Jika kamu hanya bisa bahagia ketika kamu hidup dengan orang-orang yang kamu suka, kebahagiaanmu itu sama sekali tidak bernilai, karena kamu belum bergejolak. Sama seperti segelas air berlumpur, ketika belum diaduk, bukankah kelihatannya jernih? Tetapi seketika setelah diguncang, lumpur muncul dari dasar gelas dan air menjadi keruh. Alangkah baiknya kamu menggoyangkan gelasmu untuk melihat apa yang sebenarnya terdapat didalamnya. Maka pada saat masih hidup, Gurdjief  membayar pria ini untuk mengguncang setiap orang untuk melihat apa yang terdapat di dalamnya.

Indikator yang sangat bagus untuk menilai sejauh mana tahap kehidupan spiritual seseorang adalah dengan melihat sebaik apa ia berhubungan dengan orang lain – terutama dengan orang yang tidak menyenangkan. Bisakah kamu merasa damai ketika seseorang menyusahkanmu? Bisakah kamu melepaskan kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang, terhadap suatu tempat atau terhadap dirimu sendiri? Pada akhirnya kita harus bisa melakukannya, jika tidak kita tidak akan pernah mendapatkan pencerahan, kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian.

Bayangkan bagaimana rasanya dengan berkata, “Saya tidak akan pernah merasa jengkel lagi, saya tidak akan menentang atau menolak seseorang maupun kebiasaan-kebiasaan mereka. Jika saya tidak bisa melakukan sesuatu terhadap hal ini, saya akan belajar hidup damai dengan sesuatu yang tidak saya sukai. Daripada selalu mengalihkan diri dari kepedihan dan mencari kesenangan, saya akan belajar menerima kepedihan itu dengan damai.” Bayangkan hal itu!

Kadang-kadang orang berpikir bahwa jika kamu tidak marah maka kamu cenderung seperti sayuran, kamu terus membiarkan orang lain menginjakmu, kamu hanya akan menjadi seseorang yang duduk berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Tetapi tanyakan pada dirimu sendiri, “Bagaimana perasaanmu setelah marah? Apakah kamu merasa berapi-api, penuh semangat?” Kita akan kelelahan ketika marah; kemarahan menghabiskan begitu banyak energi kita. Bahkan ketika kita merasa jengkel atau berpikiran negatif terhadap seseorang atau suatu tempat, itupun sudah menghabiskan energi. Maka jika kita tidak ingin merasa begitu letih dan tertekan, sebagai percobaan, kita bisa mencoba untuk tidak merasa jengkel. Lihat betapa kita akan menjadi lebih sigap dan lebih bergairah. Kemudian kita dapat memancarkan energi itu dalam bentuk kepedulian terhadap sesama dan juga terhadap diri kita sendiri. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan hal ini. Jika kamu benar-benar ingin mendapatkan jalur cepat menuju pencerahan, cobalah dengan menghentikan kejengkelan dan kemarahan.

Jadi bagaimana kita menghentikannya? Pertamatama, dengan menginginkannya berhenti. Tetapi kebanyakan dari kita tidak menginginkan berhentinya kemarahan dan kejengkelan tersebut – dengan alasan yang tidak jelas kita menyukainya. Ada sebuah cerita pendek yang menarik mengenai dua orang bhikkhu yang tinggal bersama-sama di sebuah vihara selama bertahun-tahun, mereka bersahabat karib. Kemudian merekapun meninggal dengan perbedaan kurun waktu beberapa bulan. Salah seorang dari bhikkhu tersebut terlahir kembali di alam surga, sedangkan yang satunya lagi terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran. Ia yang berada di alam surga mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, menikmati semua kesenangan surgawi. Kemudian ia mulai memikirkan sahabatnya, “Saya ingin tahu di manakah sahabat lama saya?” Maka ia menerawang semua alam surga, akan tetapi ia tidak menemukan jejak sahabatnya. Kemudian ia menerawang alam manusia, tetapi ia juga tidak menemukan jejak sahabatnya di sana. Jadi ia mencarinya di alam binatang dan kemudian serangga. Akhirnya ia menemukannya, sahabatnya terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran… Wah! Ia berpikir, “Saya akan membantu sahabat saya. Saya akan turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan membawanya ke alam surga, sehingga ia juga bisa menikmati kesenangan surgawi dan hidup dalam kebahagiaan di alam-alam yang menyenangkan ini.”

Jadi ia pun turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sahabatnya. Cacing kecil itu menggeliat keluar dan bertanya, “Siapa kamu?”, “Saya adalah sahabatmu. Kita pernah hidup bersama sebagai bhikkhu pada kehidupan yang lampau, dan saya bermaksud membawamu ke alam surga yang kehidupannya menyenangkan dan penuh kebahagiaan.” Tetapi cacing itu membalas, “Pergilah, menjauhlah!”, “Tetapi saya sahabatmu, dan saya tinggal di alam surga,” dan ia pun menjelaskan alam surga kepadanya. Tetapi cacing itu berkata, “Tidak, terima kasih. Saya cukup gembira di sini, dalam tumpukan kotoran saya. Silakan pergi.” Kemudian makhluk surga ini berpikir, “Jika saya bisa memegangnya dengan erat dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri.” Maka ia pun memegang erat cacing itu dan mulai menariknya, dan semakin kuat ia menariknya, semakin kuat pula cacing itu melekat pada tumpukan kotorannya.

Apakah kamu dapat memetik pesan moral dari cerita di atas? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita? Ketika seseorang mencoba menarik kita keluar, kita terus menggeliat kembali kedalam, karena inilah yang menjadi kebiasaan kita, kita suka berada di dalamnya. Kadang-kadang kita sebenarnya melekat kepada kebiasaan-kebiasaan lama kita, kemarahan kita dan keinginan kita. Kadang-kadang kita ingin marah.

Jadi lain kali ketika kamu marah, berhentilah dan amati. Sadarlah sesaat dengan memperhatikanbagaimana perasaan itu. Ambil keputusan, peringatkan dirimu sendiri. “Lain kali ketika saya marah, saya akan merasakannya, bukannya menjadi sok pintar, menempuh caraku sendiri atau melukai orang lain”. Hanya memperhatikan bagaimana perasaan itu. Seketika setelah kamu memperhatikan kemarahan tersebut dengan hatimu – bukan dengan kepalamu – maka kamu akan menginginkannya berhenti, karena hal ini sangatlah menyakitkan, memedihkan, dan penuh penderitaan.

Hanya jika orang-orang bisa lebih mawas diri, lebih sadar – menyadari bagaimana rasanya, bukan dengan berpikir mengenainya, maka tidak akan ada persoalan lagi. Mereka akan melepaskan kemarahan dengan sangat cepat karena kemarahan itu panas, membakar. Tetapi kita cenderung melihat dunia ini dengan kepala daripada dengan hati kita. Kita memikirkannya, tetapi kita sangat jarang merasakannya, mengalaminya. Meditasi mulai membimbingmu berhubungan kembali dengan hatimu; dan keluar dari pemikiran dan keluh kesah, tempat dimana semua kemarahan dan keinginan berasal.

Ketika kamu memulainya dari hatimu, kamu bisa merasakannya sendiri, kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, kamu bisa peduli terhadap dirimu sendiri. Ketika saya memulainya dari hati, saya juga bisa menghargai perasaan orang lain. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, ketika kita menghargai perasaan orang lain pula. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, dengan menghargai perasaan mereka, melihat sesuatu dari mereka untuk dicintai, dihormati.

Orang-orang marah karena mereka terluka, merasa tidak nyaman, tetapi jika kita bahagia, kita tidak akan pernah bisa marah pada orang lain, hanya jika kita merasa tertekan, lelah, frustrasi, susah, ketika ada rasa sakit dalam hati kita, saat itulah kita bisa marah kepada orang lain. Jadi ketika seseorang marah kepada saya, timbul rasa kasih sayang dan kebaikan saya terhadap orang itu, karena saya menyadari mereka sedang terluka.

Pertama kali saya mengunjungi seseorang yang dianggap telah tercerahkan, saya berpikir, “Wah! Lebih baik saya bermeditasi sebelum saya berada dalam jarak sepuluh mil darinya, karena ia pasti bisa membaca pikiran saya dan hal ini tentu saja sangat memalukan!” Akan tetapi seorang yang tercerahkan tidak akan bertindak kejam dan menyakitimu. Seorang yang tercerahkan akan menerimamu dan memberimu rasa nyaman. Itulah perasaan yang luar biasa, bukankah demikian; hanya dengan menerimamu apa adanya. Kamu hanya perlu menenangkan diri, tidak ada kemarahan dan kejengkelan. Yang ada hanyalah pengertian yang mendalam, pencerahan yang luar biasa, bahwa kamu baik-baik saja. Betapa banyak kepedihan yang bisa disingkirkan dari kehidupan manusia, betapa besar kebebasan yang bisa diberikan kepada orangorang untuk hidup di dunia, untuk melayani dunia, untuk mencintai dunia ini, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka baik-baik saja. Mereka tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah bertindak benar, mengubah diri mereka, selalu takut berbuat kesalahan. Ketika kamu merasa nyaman dengan dirimu, kamu akan merasa nyaman dengan orang lain, tidak menjadi soal siapapun mereka.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

hatRed:
trims ya, dah cape2 terjemahin...  <:-P

sobat-dharma:
Thank u sis, it's a nice gift :)

Elin:
MEDITASI : INTI AJARAN BUDDHA

Hari ini saya ingin berbicara secara mendalam mengenai sifat ajaran Buddha. Saya sangat sering membaca di surat-surat kabar dan buku-buku mengenai hal-hal aneh yang terdapat dalam ajaran Buddha. Maka di sini, saya akan menunjukkan inti sebenarnya dari ajaran Buddha, bukan sebagai suatu teori melainkan sebagai suatu pengalaman.

Apa yang Bukan Inti Ajaran Buddha

Psikoterapi – Saya tahu bahwa sebagian orang beranggapan ajaran Buddha itu merupakan suatu bentuk psikoterapi, suatu jalan untuk menerapkan tingkah laku yang bijaksana dan terampil agar hidup lebih damai di dunia ini. Tentu saja, di dalam literatur ajaran Buddha yang kaya terdapat banyak hal yang dapat membantu manusia mengurangi permasalahan hidup. Melalui tingkah laku bijaksana dan niat penuh kasih sayang, Buddha mengajarkan sebuah cara efektif dalam menghadapi permasalahan di dunia. Ketika metode Buddha ini benar-benar berhasil, mereka memberikan keyakinan dan kepercayaan diri kepada orang-orang bahwa ada sesuatu yang benar-benar berharga bagi mereka di jalur Buddhis ini.

Saya sering merenungkan mengapa orang-orang datang ke sini, ke Buddhist Society pada setiap Jumat malam. Ini disebabkan mereka mendapatkan sesuatu dari sini. Sesuatu yang mereka dapatkan dari ajaran-ajaran ini adalah cara hidup yang lebih damai, perasaan yang lebih bahagia terhadap diri mereka sendiri dan rasa penerimaan yang lebih terhadap orang lain. Ajaran Buddha ibarat sebuah terapi permasalahan kehidupan, yang benar-benar menunjukkan hasil. Akan tetapi, bukan ini ajaran Buddha sebenarnya, ini hanyalah salah satu dari efek sampingnya.

Filosofi – Sebagian orang mengenal ajaran Buddha dan mengetahui bahwa ajaran itu merupakan filosofi yang mengagumkan. Mereka bisa duduk mengelilingi meja kopi setelah saya memberikan ceramah dan mereka bisa saja berbincang-bincang selama berjam-jam, tetapi masih belum dekat ke arah pencerahan. Orang-orang sangat sering membahas hal hal yang sangat berjiwa besar, otak mereka dapat berbicara dan berpikir mengenai topik yang begitu mulia. Kemudian mereka keluar dan menyumpahi mobil pertama yang memotong jalan mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Mereka langsung melupakan apa yang mereka perbincangkan begitu saja.

Ritual – Selain melihat ajaran Buddha sebagai filosofi, banyak orang memandangnya sebagai agama. Ritual ajaran Buddha sangatlah bermakna dan tidak seharusnya dihilangkan hanya karena seseorang berpikir bahwa ritual itu tidak penting lagi. Saya sadar, orang orang yang terkadang sangat bangga, bahkan sombong dan berpikir mereka tidak membutuhkan ritual apapun. Tetapi sebenarnya ritual itu mempunyai potensi psikologis. Sebagai contoh, ritual akan berguna dalam masyarakat bagi dua orang yang hendak menjalani kehidupan bersama, mereka melangsungkan upacara pernikahan tertentu. Dalam upacara tersebut ada sesuatu yang terjadi di dalam pikiran, sesuatu terjadi di dalam hati. Ada sebuah komitmen mendalam yang menggema dengan mengetahui bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Dalam upacara dan ritual kematian, semua ritual lantunan, perenungan dan kata-kata baik sesungguhnya bermakna bagi orang yang terlibat di dalamnya. Ritual membantu mereka untuk dapat menerima kepergian seseorang yang mereka kasihi dengan lapang dada. Ritual membantu mereka mengakui kenyataan yang telah terjadi, bahwa perpisahan akhir dengan orang tersebut telah terjadi. Dan dalam penerimaan itulah, mereka akan merasa damai.

Dengan cara yang sama, di vihara kami, dalam upaya memaafkan orang lain dan menyembuhkan luka lama, sering dilaksanakan upacara pengampunan. Di gereja ka****k, mereka mempunyai upacara pengakuan dosa. Rincian yang detil mengenai upacara pengampunan itu tidaklah penting, yang terpenting adalah pengampunan telah diberikan, dengan cara-cara fisik melalui upacara atau ritual. Dibandingkan jika kamu hanya berkata, “Oh, maafkan saya”, bukankah akan sangat berbeda apabila permintaan maaf tersebut dibarengi dengan memberikan hadiah atau seikat bunga? Atau bukankah hal ini akan menjadi berbeda apabila kita menemuinya dan berkata “Oh, apa yang saya lakukan pada hari itu benar-benar tidak bisa dimaafkan, bersediakah kamu menerima undangan makan malam dariku malam ini” atau “ini ada dua lembar tiket nonton.” Akan lebih bermakna dan lebih efektif jika kamu merangkai sebuah upacara pengampunan yang indah daripada hanya dengan menggumamkan beberapa patah kata.

Bahkan ritual bersujud kepada rupang Buddha memiliki arti penting. Ini adalah sebuah praktik kerendahan hati. Ini berarti, “Saya belum tercerahkan dan masih ada sesuatu yang belum saya pahami dalam upaya pencapaian cita-citaku.” Hal ini sama seperti kerendahan hati seseorang ketika mereka pergi ke sekolah atau universitas dan mereka mengakui bahwa dosen-dosen dan profesor-profesor mengetahui lebih banyak hal daripada mereka. Jika kamu membantah para profesor ketika kuliah, apakah kamu akan belajar sesuatu? Kerendahan hati bukanlah ketaatan yang berlebihan, yang menampik harga dirimu, tetapi kerendahan hati adalah sikap menghormati berbagai kualitas diri orang yang berbeda-beda. Kadang-kadang tindakan bersujud, jika dilakukan dengan penuh kesadaran, merupakan sebuah upacara, sebuah ritual yang dapat membangkitkan suatu rasa suka cita yang amat luar biasa. Sebagai seorang bhikkhu banyak orang bersujud kepadaku dan saya juga bersujud kepada banyak orang yang lainnya. Selalu ada seseorang yang dapat kamu berikan sujud, tidak peduli betapa seniornya kamu. Setidaknya selalu ada Buddha untuk disujud. Saya menikmati bersujud. Ketika ada seorang bhikkhu yang lebih senior daripada saya, bersujud adalah sebuah cara yang indah untuk mengatasi keakuan dan sikap menghakimi, terutama ketika saya mesti bersujud kepada seorang bhikkhu yang benar-benar payah (kalau bhikkhunya baik, mudah saja untuk disujud). Ini adalah sebuah ritual yang jika dilakukan dengan cara yang benar bisa menghasilkan begitu banyak manfaat. Setidaknya, saya memberitahukan orang-orang di vihara, jika kamu banyak bersujud maka bisa menguatkan otot perutmu dan tidak akan kelihatan bergeledur! Tetapi bersujud lebih daripada sekadar demikian. Maka ritual-ritual Buddhis ini bermanfaat, tetapi ajaran Buddha jauh melebihi hal itu.


Meditasi dan Pencerahan

Ketika kamu bertanya apa sebenarnya ajaran Buddha itu, ini adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab dengan beberapa patah kata. Kamu harus kembali kepada proses meditasi karena itulah yang terpenting, titik pangkal ajaran Buddha, inti ajaran Buddha. Sebagaimana yang dapat diketahui oleh setiap orang yang pernah mengenal ajaran Buddha, Buddha adalah seorang manusia yang mencapai pencerahan ketika bermeditasi di bawah sebatang pohon. Beberapa menit yang lalu kamu juga melakukan meditasi yang sama selama setengah jam. Mengapa kamu belum tercerahkan? Pencerahan Buddha itulah yang menciptakan agama Buddha. Itulah artinya, itulah pokoknya. Ajaran Buddha adalah segala hal mengenai pencerahan, bukan hanya sekadar menjalankan hidup sehat, atau hidup bahagia, atau belajar untuk menjadi bijaksana dan mengucapkan hal-hal yang cerdas kepada teman-temanmu di sekeliling meja kopi. Sekali lagi, ajaran Buddha adalah segala sesuatu mengenai Pencerahan ini.

Pertama-tama kamu harus mendapatkan perasaan atau indikasi mengenai apa sebenarnya pencerahan itu. Kadang-kadang orang-orang datang kepadaku dan berkata, “Saya telah tercerahkan”, dan kadang-kadang saya menerima surat dari orang-orang yang berisi, “Terima kasih atas pengajaranmu, ketahuilah bahwa saya telah tercerahkan sekarang.” Dan kadang-kadang saya mendengar pandangan orang mengenai para pengajar atau para guru “Oh yah, tentu saja mereka telah tercerahkan” tanpa benar-benar mengetahui apa makna perkataan tersebut. Kata tercerahkan berarti terbukanya kebijaksanaan, suatu pemahaman tentang lenyapnya semua penderitaan. Orang yang belum melepaskan semua penderitaan tidak akan pernah tercerahkan. Apabila seseorang masih menderita, berarti mereka masih belum melepaskan segala kemelekatan mereka. Orang yang masih mencemaskan harta bendanya, yang masih menangisi kematian dari orang yang ia kasihi, yang masih marah, dan yang masih menikmati kesenangan indrawi seperti seks, mereka belum tercerahkan. Pencerahan adalah sesuatu yang melampaui dan bebas dari semua hal tersebut.

Kadang kala ketika seorang bhikkhu membicarakan hal ini, dengan mudahnya ia dapat membuat orang-orang berdalih. Para bhikkhu kelihatan seperti “Wowsers” [Wowser berarti orang yang luar biasa fanatik, pembunuh kesenangan, berpantang minuman keras, perusak permainan. (Kamus Oxford Australia)], demikian yang mereka katakan di Australia. Mereka tidak nonton film, mereka tidak berhubungan intim, tidak memiliki kerabat, tidak bertamasya pada hari libur, tidak punya kesenangan apapun. Benar-benar gerombolan wowsers! Tetapi hal menarik yang diperhatikan orang banyak adalah bahwa kebanyakan orang yang paling damai dan bahagia yang dapat kamu temui adalah para bhikkhu dan biarawati yang hadir dan duduk serta memberikan ceramah di sini setiap Jumat malam. Para bhikkhu sangat berbeda dengan wowsers, alasannya ada kebahagiaan lain yang diketahui para bhikkhu, yang telah ditunjukkan oleh Buddha kepada mereka. Kamu semua dapat merasakan kebahagiaan yang sama ketika praktik meditasimu mulai tinggal landas.


Pelepasan

Buddha mengajarkan bahwa kemelekatan menyebabkan penderitaan dan pelepasan adalah sumber dari kebahagiaan dan merupakan jalan menuju pencerahan. Lepaskanlah! Sering kali orang menanyakan bagaimana caranya melepaskan? Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan tidak akan dapat dijawab dengan kata-kata. Jadi saya menjawab pertanyaan tersebut dengan berkata, “Sekarang waktunya untuk bermeditasi, duduk bersila, dan hiduplah pada saat ini”, karena hal ini mengajarkan mereka bagaimana cara melepaskan. Lebih lanjut, waktu terpenting dalam bermeditasi adalah saat-saat terakhir. Selalu camkan hal ini. Pada beberapa menit terakhir tanyakan pada dirimu, “Bagaimana perasaan saya?”, “Seperti apakah perasaan ini dan mengapa?”, “Bagaimana ini dapat terjadi?”

Orang bermeditasi karena meditasi mengasyikkan dan menyenangkan. Mereka tidak bermeditasi untuk “memperoleh sesuatu”, bahkan walaupun bila kamu bermeditasi ada banyak keuntungan yang dapat diraih seperti manfaat kesehatan atau mengurangi tekanan dalam hidupmu. Meditasi mengurangi sikap intoleran dan kemarahanmu. Tetapi ada sesuatu yang lebih dari semua itu – yaitu hanyalah sekelumit kesenangan. Ketika saya masih sebagai bhikkhu muda, hal inilah yang menjadikan saya seorang Buddhis yang sebenarnya. Membaca buku memang sangat mengispirasi, tetapi membaca buku saja tidaklah cukup. Ketika saya bermeditasilah, saya menjadi damai, sangat damai, luar biasa damai, sesuatu memberitahuku bahwa inilah pengalaman yang paling mendalam dalam hidupku. Saya ingin merasakan hal ini lagi. Saya ingin menyelidikinya lebih lanjut. Mengapa? Karena sebuah pengalaman meditasi yang mendalam adalah senilai dengan seribu ceramah, atau argumen, atau buku-buku, atau teori-teori. Hal yang kamu baca dibuku adalah pengalaman orang lain, bukan pengalamanmu. Mereka hanyalah kata-kata dan mungkin bisa memberikan inspirasi, tetapi pengalaman nyata diri sendirilah yang dapat benar-benar menggugah. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan karena akan mengguncangkan hal-hal yang terpendam dalam dirimu selama ini. Dengan menapaki jalur meditasi ini, sebenarnya kamu sedang belajar bagaimana sebenarnya cara melepaskan.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version