Ketika seseorang menggunakan jarinya menunjuk ke bulan, maka seharusnya yang kita perhatikan adalah bulan, bukan orang atau jarinya. Orang yang menunjuk dan telunjuk yang digunakan untuk menunjuk adalah alat belaka, sedangkan intisarinya adalah bulan tersebut yang ditunjuk.
Buddha dan ajaran-Nya adalah orang dan jari yang menunjuk, sedangkan praktik adalah bulannya.
Semoga paham. Mohon maaf, kalau Anda tidak paham lagi, saya tidak bisa membantuk lagi. Terimakasih.
Saudara Sobat ketika pada zaman Buddha, orang melihat pertama kali adalah "figur" Buddha, jadi saya menganggap perumpaaan anda tidak tepat dan tidak ada kolerasinya dengan pertanyaan yang di ajukan...Kalau anda memang tidak ada perumpaan yang lebih mengena lagi, maka anggap saja pertanyaan ini tidak mampu dijawab oleh anda dan tidak mampu dimengerti oleh saya.Terima kasih.
Tapi cara memuja/mengidolakan Triratna sebagai figur, telah menjadikannya tidak berbeda dengan agama lain itu memperlakukan Tuhannya.
Itu urusan agama lain, bukan urusan kita, buat apa pula kita bahas agama yang lain ?Kemudian siapa yang mengindolakan Tiratana ?
Maksudmu Triratna jadi kayak jimat gitu. Boleh juga Kalau kamu mau menghayati demikian, ya boleh juga. Kalau dianalogikan dengan perlindungan dari sesuatu, inilah pemahaman saya: dengan menyerahkan diri secara total pada praktik Buddhadharma (mengembangkan sila, samadhi, dan prajna), maka saya melindungi diri dari perilaku buruk yang berasal dari lobha, moha, dan dosa. Saya berlindung bukan pada figur tertentu, tetapi berlindung pada praktik Buddhadharma (sila, samadhi, prajna), di mana saya berserah diri secara total.
Saya merasa tidak ada kalimat saya yang mengandung/mengatakan bahwa menggangap Tiratana sebagai "jimat", saya juga kurang paham apa arti luas dari kata "jimat" menurut Anda sendiri, bisa dijelaskan apa maksud Anda mengatakan hal tersebut terhadap pernyataan saya tentang "perlindungan" ?
Kemudian sekali lagi dan telah berkali - kali Anda hanya berputar-putar saja, Anda mengatakan Anda menjalankan praktik BuddhaDhamma, saya to the point saja, "darimana anda belajar praktik BuddhaDhamma" ? "Apakah kalau Buddha tidak nyata, Anda tetap menjalani praktik BuddhaDhamma ?" "Percayakah anda kepada Buddha yang mengajarkan praktik BuddhaDhamma ?" Mohon dijawab.thanks
Saya tidak terlalu ingat cerita itu. Silahkan ceritakan dulu lebih lengkap.
Silakan di search di google...thanks
Karena saya tidak berserah pada Buddha dalam bentuk figur historis (yang bisa nyata atau tidak nyata), tapi berserah diri secara total pada Buddha sebagai hakikat kebuddhaan (kualitas Kebuddhaan) di dalam diri setiap makhluk, yang berarti itu adalah berserah secara total pada kebijaksanaan dan cinta kasih. Kebijaksanaan dan cinta kasih tidak perlu dibuktikan sebagai nyata atau tidak nyata, karena ia ada dalam praktik nyata sehari-hari.
Adalah sangat aneh pernyataan Anda, Anda tidak membuktikannya sebagai nyata atau tidak nyata, tetapi anda mempraktikannya, jadi apa yang Anda praktikkan ? Anda tidak memiliki Saddha ya ?Saya tidak menasumsikan Buddha sebagai sesosok figur, yang menasumsikan dan mengatakannya sebagai sesosok figur kan Anda...Thanks.
Tidak.
Jadi, tentunya kalimat "Buddha is the best" tidak memiliki masalah lagi bagi anda bukan ? :-)
Justru karena sudah membaca, tapi tidak melihat koherensi maknanya, maka saya meminta Anda untuk menjabarkannya dengan lebih logis dan sistematis.
Nah, sekarang di baca lagi, semoga dapat dimengerti yah... :-)
Saya tidak sedang berusaha menjadi "bijak", hanya menyampaikan apa adanya pandangan saya, karena itu bisa jadi buat Anda terdengar "tidak bijak." Kembali ke contoh yang Anda buat:
Ketika Anda mencoba langsung ke cafe, memang Anda sedang berehipassiko. Ketika itu dilaksanakan, referensi dari teman Anda hanyalah tinggal jadi pengetahuan yang akan terbukti atau tidak terbukti kebenarannya tatkala kita benar-benar langsung mencoba hidangan di cafe tersebut. Jika kita tetap bisa imparsial, tidak bias, dan obyektif, maka kita dapat menilai dengan tepat apa rasa makanan tersebut menurut pengalaman kita sendiri tanpa diinterupsi oleh ingatan akan penilaian dari teman kita. Jika itu yang terjadi, maka ini namanya ehispassiko: karena disertai dengan kesadaran jernih tanpa penilaian yang bias.
Akan tetapi, apa jadinya kalau ternyata penilaian teman Anda tersebut kemudian mempengaruhi secara total komentar Anda akan makanan di cafe tersebut? "karena saya sangat percaya dan yakin dengan teman saya, pasti apa yang dikatakan oleh teman saya pasti selalu benar." Kemudian tatkala kita mencoba makanan di cafe yang direferensikan tersebut, persepsi kita tentang makanan lantas dipaksakan oleh asumsi tersebut, maka dalam pikiran muncul asumsi: "Temanku berkata makanan di cafe ini enak, karena temanku tidak mungkin salah, maka makan di cafe ini pasti enak, tidak mungkin tidak enak." Hal demikian hanya membuat kita semakin jauh dari pengalaman asli (orisinil) kita sendiri, karena semua penilaian atas pengalaman kita kemudian direpresi oleh keinginan kita mempertahankan keyakinan akan kebenaran figur teman kita. Ini bukan lagi ehipassiko, tapi kepercayaan buta yang muncul dari sikap favoritisme atas teman yang kita yakini (positif di mata kita).
Bias tidak bias, itu menurut Anda bukan ?banyak kasus dimana umat berkeyakinan bergaul dengan umat yang tidak berkeyakinan, setelah dijelaskan kualiatas2 Buddha Dhamma dan Sangha, mereka menjadi tertarik untuk mengundang Buddha, setelah Buddha datang dan membabarkan Dhamma, mereka turut menjadi berkeyakinan terhadap Tiratana, jadi menurut anda itu "dinterupsi" oleh penilaian pihak lain tidak ?
Dari mana ketidakpercayaan itu muncul, justru dari adanya asumsi yang telah diyakininya dalam kepalanya. Kalau si petapa adalah orang yang tanpa tendensi, obyektif, imparsial, tanpa bias, maka ia akan menyelidiki lebih jauh lagi siapa Sang Buddha. Namun, dikarenakan si petapa penuh asumsi di kepalanya, 'Tidak mungkin ada yang demikian, karena dalam pengetahuan saya tidak mungkin demikian", yang diyakini sebagai benar demikian, maka ia tidak tertarik lagi mencari tahu.
Nah, coba dibaca komentar anda sebelumnya, "Apakah kita masih perlu langsung memakan sebuah makan tanpa menyelidikinya dulu, seperti anjuran anda sebelumnya ?"
Dalam kasus kalau kepercayaannya pada figur memang demikian, tapi saya lebih mementingkan praktik (demikian saya berkomitmen pada diri saya) daripada berspekulasi apakah guru saya adalah Arahat atau bukan, cerah atau tidak.
Praktiknya Anda dapatkan darimana ?Apakah sama seperti asumsi Anda, Anda langsung makan sebuah makanan tanpa menyelidikinya, seperti itu kah Anda ?dan Anda tetap "ngotot" dengan tindakan Anda tersebut, sehingga saya memberi asumsi anda ibarat seseorang yang "mengindolakan ajaran Buddha tanpa peduli dengan eksistensi Buddha atau Ajaran itu sendiri"..
Sangat penting untuk mempercayai/mengetahui bahwa para Arahat masih nyata dan ada, dengan kepercayaan seperti itulah orang akan mempraktikan Ajaran Buddha dan melatih diri untuk mencapai kesucian yang sama, tidak seperti anda yang menjalankan sebuah praktik
tanpa kepedulian terhadap eksistensi Buddha atau Arahat, dan menurut saya itu sangat aneh dan tidak wajar..
ya, yang diselidiki adalah makanannya, bukan siapa si pembuat makanan, bukan pula ingatan kita akan referensi teman kita akan makanan tersebut.
Nah, oleh sebab itu, ingatlah jangan memakan langsung makanan direstoran tanpa menyelidikinya terlebih dahulu ya bro Sobat.. :-), sama juga seperti ajaran Buddha, jangan langsung menelan bulat-bulat tanpa ehipassiko terlebih dahulu, sama seperti Anda yang menjalankan praktik BuddhaDhamma tanpa peduli dengan eksistensi Buddha.Semoga dapat dimengerti yach...Thanks
Sudah dijawab di atas kan. Tidak akan terpengaruh.
Wah, pertanyaan yang ini agak membingungkan. Mohon diperjelas.
Menurut saya pertanyaanya cukup jelas, saya ulangi sekali lagi ya...
1.) Apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?
2.) Apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?
nah, apakah dengan begini sudah lebih jelas ?silakan dijawab...thanks