//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?  (Read 5502 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« on: 16 November 2010, 10:32:11 AM »
dulu sudah pernah di posting, sy re-post lagi...

----
Spoiler: ShowHide


Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
oleh: Toeti Adhitama, wakil pemimpin redaksi Media Indonesia
dimuat di Media Indonesia, kolom Redaksi.. tanggal: ...

Kambing cilik yang tak bersalah itu dituntun diajak berdemonstrasi. Dia berkali-kali mengembik. Entah bertanya, entah menangis kebingungan. Dia mungkin  merasa bahaya mengancamnya. Benar juga. Tiba-tiba tubuhnya diangkat, keempat kakinya dipegang kuat-kuat oleh manusia-manusia yang ramai mengerumuni. Dia meronta ingin lepas, ingin berontak, ingin menjerit kuat-kuat, namun sia-sia. Dalam sekejap… melayanglah nyawanya.
Jutaan penonton televisi menyaksikan adegan sadis itu dengan berbagai tanda tanya, “Sadis bener”, gumam mereka. “Apa maunya?” Sebagian, saya yakin, mengatakan dengan geram dan hati serasa diiris. Tetapi, seperti tersihir, mereka tetap ditempat untuk menyaksikan kelanjutan adegan, menyaksikan kepala kambing yang dipenggal dan berdarah-darah itu dipasang diatas meja, disorot kamera televisi berkali-kali. Narasi dibalik adegan tak terlalu dipedulikan. Yang penonton tahu, kepala kambing itu untuk ketua KPU.
Faktanya, perasaan kita umumnya belum bersedia menerima tindakan sadis didepan mata, terhadap binatang sekalipun. Misalnya, setiap hari Idul Korban, ratusan kambing dan sapi kita jadikan Korban. Ritual agama ini mengandung niat luhur, yakni memberi kesempatan kepada mereka yang jarang makan daging untuk menikmatinya.
Namun, tetap saja kita tidak tega ketika mendengar jeritan kambing-kambing yang disembelih. Secara pribadi, saya selalu bersedih pada hari-hari menjelang hari Idul Korban. Binatang-binatang itu diikat dan dijajakan disepanjang jalan untuk kemudian dijadikan Korban. Lihat mata binatang-binatang itu, betapa sayu dan sendunya. Bukan tidak mungkin mereka telah berhari-hari bermimpi buruk menjelang ajal mereka.
Saya ingat pengalaman waktu kecil di zaman revolusi. Menjelang suatu hari Lebaran, ibu terpaksa menyembelih ayam-ayam piaraan kamiuntuk hidangan Lebaran. Padahal ayam-ayam itu milik kami, anak-anak. Masing-masing ayam kami beri nama. Sedihnya bukan alang-kepalang bahwa ayam-ayam itu harus mati. Ketika ayam yang dipanggang itu dihidangkan, tidak ada dari kami anak-anak yang mau menyentuhnya. Itu kami lakukan secara spontan, tanpa rembukan. Ketika ibu sia-sia membujuk kami untuk mau memakannya, saya lihat ayah menyeka air matanya.
Manusia memang subjektif. Dalam keadaan normal, puluhan ton daging dilahap penduduk Jakarta tiap harinya. Tetapi, jangan kita disuruh melihat upacara penyembelihannya. “Itu sadisme,” kata kita. Seperti anggapan kita ketika dilakukan penyembelihan kambing cilik waktu itu.
Apakah mempertontonkan sadisme tidak melanggar kode etik jurnalistik media elektronik? Adegan serupa pernah saya lihat disiarkan TV swasta beberapa tahun lalu, mempertontonkan penyembelihan kerbau dalam upacara adat di Sulawesi Selatan. Saya ingat dengan hati gusar saya langsung menelepon stasiun TV tersebut, mencurahkan unek-unek yang saya rasakan. Jawabannya defensive dan tidak jelas.
Aneh, bahwa disatu pihak kita begitu meributkan foto wanita-wanita setengah telanjang yang dianggap merusak akhlak anak-anak. Padahal kita tahu, sekitar 60% anak-anak Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di desa-desa, sudah terbiasa melihat wanita-wanita bertelanjang dada. Dilain pihak, kita tenang-tenang membiarkan anak-anak menyaksikanperbuatan-perbuatan sadistis, apakah lewat media elektronik, atau langsung didepan mata, seperti yang sedang terjadi di ajang-ajang kekerasan Indonesia saat ini. Anak-anak tak berdosa itu ibarat anak-anak kambing yang terpaksa pasrah terhadap lingkungannya.
Saya juga mempertanyakan sikap dan perilaku sadistis orang-orang muda. Selama ini justru kesewenangan dan kekerasanlah yang mereka hujat dan mereka lawan. Tetapi mengapa mereka menjadi terhanyut ikut melakukan kekerasan? Pendidikankah yang salah? Lingkungankah yang salah? Setiap terjadi tawuran pelajar, misalnya, pertanyaan-pertanyaan itu serasa berkejaran.
Di Negara-negara yang berbudaya mapan, sudah menjadi tradisi keluarga untuk mendidik anak-anak agar saying pada binatang. Keluarga dengan anak-anak kecil yang tidak mememiliki binatang piaraan dirasakan tidak sempurna. Banyak film mereka mempertontonkan hubungan kasih saying yang mendalam antara anak-anak dan binatang-binatang piaraan. Banyak pula didirikan perkumpulan-perkumpulan penyayang binatang. Karena itu di Inggris pernah terjadi heboh besar ketika Ratu Elizabeth merestui tradisi berburu dinegeri itu. Beliau dihujat habis-habisan oleh perkumpulan-perkumpulan penyayang binatang.
Sebenarnya yang menjadi anggota kepanduan di Indonesia mengenal pula tradisi ini. KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) di zaman Belanda, Pandu Rakyat di zaman merdeka, maupun Pramuka di masa Orde Baru, mengajarkan pada warga kepanduan, dari yang kurcaci sampai yang tua-tua, agar menghormati orang tua dan menyayangi binatang. Ajaran yang bagus itu mengasah perasaan kita supaya sensitif dan protektif terhadap mereka yang tidak berdaya.
Maka kalau kita kembali menyoal kambing cilik yang dijadikan korban, ada tanda tanya besar: pertanda apa ini? Ketika Pak Ghalib diberi ayam betina, itu masih bisa diterima. Tetapi, menyampaikan symbol yang berdarah-darah, apa maksudnya?
Dilihat dari sudut ritual agama, menurut sejarah, korban biasanya dipersembahkan untuk menyampaikan permohonan, rasa syukur atau untuk meredam kemarahan dewa-dewa atau yang berkuasa. Misalnya persembahan pada musim semi dimaksudkan agar panen bisa berlimpah. Persembahan itu bisa berupa sayur mayur, buah-buahan, atau darah. Dulunya, banyak dipraktekkan persembahan hewan korban. Tetapi dalam perjalanansejarah berbagai agama, tradisi ini semakin berkurang. Agama Buddha, misalnya, melarangnya. Korban nyawa manusia juga pernah dipraktekkan pada saat-saat genting. Pada tahun-tahun terakhir kerajaan Aztec, misalnya, pernah dilakukan pengorbanan nyawa manusia secara masal. Pengorbanan semacam ini tidak pernah terjadi lagi.
Maka sungguh aneh rasanya jika di zaman modern sekarang ini ada yang memulai kebiasaan member korban berdarah-darah sebagai symbol pernyataan suka atau tidak suka. Kita semua patut mengetuk hati nurani: patutkah hal seperti ini terjadi dalam suatu masyarakat yang mengaku tidak terkebelakang, mengaku berbudi luhur, dan mengaku berbudaya tinggi? Rasanya sangat tidak patut. *** 

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #1 on: 16 November 2010, 11:43:08 AM »
Saya pernah nonton acara yang judulnya Rahasia Sunnah. Misalnya, orang-orang yang pekerjaannya membutuhkan banyak tenaga seperti tukang bangunan, maka mereka boleh batal dan menggantinya di hari ketika mereka tidak bekerja. Tapi kalo mereka kerja nonstop alias gak ada hari libur, mereka boleh tidak berpuasa namun harus memberi sedekah (sy lupa ukuran untuk jumlah sedekahnya).

Nah, apakah potong kambing/sapi adalah wajib di hari Idul Adha ini? Sy uda googling, ketemu satu artikel katanya sih Sunnah (gak wajib). Di bagian lain dikatakan, kalo mampu tapi gak melaksanakan akan kena hukum makruh ??? apa tuh ya? Tapi, gak tau juga artikel ini valid atau gak.

Jika wajib, ada yang tahu apakah boleh untuk tidak memotong kambing/sapi lalu menggantinya dengan bersedekah?

(Tolong jangan memberi jawaban yang mendiskreditkan agama lain)
« Last Edit: 16 November 2010, 11:45:21 AM by Mayvise »

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #2 on: 16 November 2010, 12:44:17 PM »
Saya pernah nonton acara yang judulnya Rahasia Sunnah. Misalnya, orang-orang yang pekerjaannya membutuhkan banyak tenaga seperti tukang bangunan, maka mereka boleh batal dan menggantinya di hari ketika mereka tidak bekerja. Tapi kalo mereka kerja nonstop alias gak ada hari libur, mereka boleh tidak berpuasa namun harus memberi sedekah (sy lupa ukuran untuk jumlah sedekahnya).

Nah, apakah potong kambing/sapi adalah wajib di hari Idul Adha ini? Sy uda googling, ketemu satu artikel katanya sih Sunnah (gak wajib). Di bagian lain dikatakan, kalo mampu tapi gak melaksanakan akan kena hukum makruh ??? apa tuh ya? Tapi, gak tau juga artikel ini valid atau gak.

Jika wajib, ada yang tahu apakah boleh untuk tidak memotong kambing/sapi lalu menggantinya dengan bersedekah?

(Tolong jangan memberi jawaban yang mendiskreditkan agama lain)
kenapa sis tanyanya di sini ? lebih tepat kalau tanyanya ke kyai.
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #3 on: 16 November 2010, 01:12:30 PM »
^ ^ ^ hahaha... :)) Mungkin aja ada yang tau. Siapa tau sebelum saya penasaran, sudah pernah ada yang penasaran duluan (lalu sudah menemukan jawabannya) ;D

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #4 on: 16 November 2010, 01:28:57 PM »
^ ^ ^ hahaha... :)) Mungkin aja ada yang tau. Siapa tau sebelum saya penasaran, sudah pernah ada yang penasaran duluan (lalu sudah menemukan jawabannya) ;D
sebenarnya pikiran kita sama.. dulu sempat terpikir untuk bertanya ini pas di bangku kuliah ke teman2.. tapi lupa..
makanya dengan pertanyaan sis.. gw jadi ingat lagi ;D
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #5 on: 16 November 2010, 05:42:38 PM »
Besok mungkin adalah hari dimana lebih banyak yang mati daripada bencana alam yg terbesar di indonesia
There is no place like 127.0.0.1

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #6 on: 16 November 2010, 07:17:16 PM »
so, apa yg bisa umat buddhis lakukan?
Samma Vayama

Offline Mr.Jhonz

  • Sebelumnya: Chikennn
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.164
  • Reputasi: 148
  • Gender: Male
  • simple life
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #7 on: 16 November 2010, 07:26:55 PM »
so, apa yg bisa umat buddhis lakukan?
Menjalankan sila dengan tekun,agar tidak terlahir dialam binatang?
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

Offline kevin_kin

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 132
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • newbie newbie newbie
Re: Mengapa Mesti Berdarah-Darah?
« Reply #8 on: 16 November 2010, 08:28:17 PM »
so, apa yg bisa umat buddhis lakukan?

berharap mereka yang memotong sadar dan yang di potong terlahir di alam yg lebi baik
In the sky, there is no distinction of east and west; people create distinctions out of their own minds and then believe them to be true.