Namaste
Informasi tentang Dhamma bagi kita sekarang jauh lebih mudah diperoleh ketimbang dengan pendahulu kita. Sekarang kita tinggal tanya saja pada Mr. Google maka dengan cepat beliau melayani keinginan kita, tapi bagi pendahulu kita serpihan Dhamma sekecil apapun menjadi pusaka yang luar biasa bagaikan seorang arkeolog yang menemukan serpihan tulang Dino atau benda purbakala lainnya.
Serpihan tadi menjadi daya tarik untuk penyelidikan lebih lanjut, hal ini membuat mereka lebih arif.
Namun yang kita temukan sekarang adalah Gunung Dhamma sehingga serpihan kecil Dhamma seringkali terlupakan, padahal kita hanya memandang gunung (baca Dhamma) yang menjulang tinggi dari kejauhan tanpa melihat krikil kecil yang menghalangi jalan kita.
Kita terpukau dengan keindahan gunung (versi kita) sehingga kita banyak cerita tentang gunung padahal kita belum pernah mendaki gunung, bahkan kita tidak punya pengetahuan tentang gunung yang baik namun kita sering kali terjebak pada debat kusir soal gunung.
Pengalaman orang mendaki gunung berbeda satu sama lain, karena waktu yang berbeda, musim yang berbeda, sisi pendakian yang berbeda, kondisi pribadi (kesehatan dsb) yang berbeda dan lain sebagainya. Seorang pendaki gunung yang baik selalu berbicara sesuai pengalamannya sehingga dia juga mampu membimbing orang lain untuk mendaki gunung tersebut dengan aman, bukan malah terjebak pada perdebatan yang berkepanjangan.
Kitab suci Tipitaka tidak ditulis, dicetak atau diterbitkan oleh Buddha, Tipitaka adalah hasil kompilasi para Bhikkhu setelah Buddha parinibbāna, Tipitaka dikumpulkan dan kemudian disusun setelah terlebih dahulu dicocokkan melalui pengulangan secara lisan oleh para bhikkhu berdasarkan daya ingat mereka (tradisi pengulangan sabda Buddha masih kuat dilaksanakan oleh para Bhikkhu secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya).
Anehnya ketika orang membaca sutta maka dengan cepat dia menyatakan bahwa sutta ini sahih sedangkan yang lainnya tidak sahih, mungkin lebih arif apabila seseorang menyatakan sutta ini lebih cocok baginya ketimbang yang lain, dengan demikian nuansa kosombongan tidak akan muncul dalam batin orang tersebut.
Seringkali kita lupa bahwasanya Buddha membabarkan Dhamma dengan pelbagai cara yang arif (upāyakosalla) pada orang yang berbeda tingkat batinnya.
Pada orang bijak Buddha menerangkan Dhamma secara singkat, pada yang lainnya mungkin panjang lebar, sedangkan pada yang lainnya mungkin disertai contoh atau perumpamaan dsb.
Semoga hal ini menjadi bahan renungan bagi kita semua
Sukhi hotu
Andi