Para filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan dari Dunia Barat mungkin telah bersiap-siap untuk menyetujui pendapat bahwa Buddhisme telah memajukan filsafat ilmu pengetahuan, seperti yang argumentasinya telah saya kemukakan dimuka tadi. Tetapi mereka mungkin berkeadaan sangat ragu-ragu tentang yang dilakukan oleh buddhisme dengan istilah Kasunyataan yang bersifat hakiki atau yang paling tinggi (= Ultimate Truth), yang akan disumbangkan oleh Buddhisme terhadap ilmu pengetahuan itu. Didalam keinginan mereka untuk menggaris bawahi bahwa ilmu pengetahuan itu hanya membicarakan kasunyataan yang relative, mereka (para sarjana, para ahli ilmu pengetahuan) itu telah memisahkan, atau mengeluarkan dari lingkupnya, semua yang absolut dan yang hakiki, dari filsafat mereka. Mungkin mereka merasa bahwa filsafat ilmu pengetahuan-nya Madhyamika itu dengan menggaris bawahi pengalaman yang total, dan kurang begitu menghargai pengalaman keindriaan, serta menamakan itu sebagai kasunyataan yang absolut, berkeadaan jauh dari bersifat revolusioner; hal yang demikian itu dikatakan sebagai bersifat "mystic" yang tidak usah dikemukakan, karena kurang perlu, dan bersifat kabur. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa mereka berkata secara tepat, apabila mereka mengatakan bahwa pengalaman yang total itu merupakan satu-satunya kasunyataan yang absolut, atau yang hakiki, dan filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu bersifat begitu revolusioner.
Pertama, dengan mengemukakan perlunya dimiliki pandangan bahwa filsafat ilmu pengetahuan yang sempurna itu hendaklah memiliki kasunyataan yang hakiki atau yang paling tinggi, dan kasunyataan yang relative, dapat mencegah filsafat ilmu pengetahuan terpecah, menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat "material" di satu fihak, dan religi yang bersifat "spiritual" dan philosophi metaphysis, di fihak satunya lagi. Pandangan filsafat ilmu pengetahuan, yang sempurna, hendaklah memiliki kedua aspek tersebut diatas.
Karena keterpecahan yang demikian itu benar-benar telah terjadi di Dunia Barat, maka kita telah mengalami penderitaan tentang dualisme itu, hingga sekarang ini. Di Dunia Barat itu perkembangan filsafat ilmu pengetahuan berjalan secara sangat lambat. Ilmu pengetahuan itu secara setingkat demi setingkat memperbedakan dirinya dari pandangan yang bersifat religious atau metaphysis mengenai kasunyataan dan pengetahuan, tetapi tidak perlu menyerang pandangan tersebut. Banyak sarjana-sarjana yang juga telah menerima kasunyataan religious tersebut, dan beberapa lainnya tetap melanjutkan bersikap demikian, bahkan hingga sekarang. Pandangan yang secara setingkat demi setingkat muncul, adalah bahwa ilmu pengetahuan itu membicarakan sejenis kasunyataan, yang bersifat praktis, dan menyangkut masalah sehari-hari, yang membicarakan bekerjanya dunia material, sedang religi, filsafat metaphysis, syair-syair, seni dan musik, itu membicarakan kasunyataan yang tidak terikat waktu, yang membicarakan dunia rohani.
Sebagai hasilnya, maka ilmu pengetahuan itu telah memperoleh reputasi yang diberi cap berkeadaan dangkal, dan bersifat tehnis, serta didalam beberapa hal bersifat terbatas dan tidak lengkap. Orang-orang mencari-cari disana-sini, tentang apa yang kurang pada ilmu pengetahuan; mereka mencarinya didalam tempat-tempat yang tampaknya kurang tepat, yaitu pada astrology, pada alchemy, dan pada black magic, tetapi juga mencarinya pada kesenian, serta pada Religi-Religi yang sudah mantap, untuk mencari yang bersifat transcendent, karena sesuatu yang sifatnya tidak mengalami perubahan-perubahan itu akan memberikan tempat yang damai bagi mereka. Namun usaha-usaha penyelidikan mereka itu biasanya sia-sia belaka.
Filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme telah menyatukan kasunyataan "material" dan kasunyataan "spiritual" didalam filsafat yang terpadu. Dengan melakukan hal yang demikian itu, filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme dapat melenyapkan sifat kekakuan yang menekan dari kasunyataan materialnya ilmu pengetahuan, dan dapat melenyapkan sifat spiritualnya dari semua sifat metaphysisnya ilmu pengetahuan, dan membawanya kembali ke pengalaman langsung, yang dihayati di dunia nyata ini, dan sekarang ini.
Didalam Buddhisme, perkataan rohani (= spirit), apabila digunakan, berarti pengalaman aktual yang bersifat total. Itu tidak pernah berarti essensi, atau roh (= soul), atau suatu alam ideal yang makhluk yang bersifat abadi (= immortal being). Apabila perkataan "spiritual" dipakai pada Buddhisme, maka itu yang dimaksudkan adalah pengalaman. Itu menunjukkan bukan terhadap sesuatu pengalaman yang khusus, tetapi kepada pengalaman total, dan terhadap pemahaman yang langsung atas pengalaman total, melalui penghayatan Penerangan Sempurna. Pengalaman yang sama, yang menjadi basis ilmu pengetahuan, didalam keseluruhannya, menjadi basis dari kebebasan.
Didalam Buddhisme aliran Mahayana, yang dinamai zat (= matter), adalah pengalaman yang dikonseptualisasikan. Agar supaya membentuk suatu model yang bersifat simbolis atau konseptual, dari pengalaman, yaitu misalnya pengalaman mengenai dunia, atau tubuh, atau otak, tugas kita akan terasa enak, tidak sukar, apabila kita mau menganggap pengalaman itu sebagai zat (= matter = stuff), Dunia material itu sesungguhnya tidak berat, padat, atau menekan. Itu hanyalah merupakan suatu model konseptual dari pengalaman, yang juga ada didalam pengalaman. Jadi, istilah rupa, yang dipergunakan oleh Buddhisme aliran Theravada, itu berarti zat (= matter), dan oleh aliran Mahayana, berarti bentuk (= form), atau model konseptual.
Filsafat pengetahuannya Mahayana, tentang alam, itu terbagi menjadi roh (= spirit) dan zat (= matter), dan mentransformasikannya menjadi kekosongan (= emptiness) dan bentuk (= form), yaitu menjadi pengalaman total dan model-model konseptual. Dan itu mentransformasikan pandangan yang religious dari dunia material, yang muncul dari dan berada didalam dunia spiritual, menjadi pandangan ilmiah tentang model-model konseptual, yang muncul dari dan berada didalam pengalaman aktual yang bersifat total.
Itu cukup bersifat revolusioner, tetapi filsafat ilmu pengetahuannya Mahayana, memiliki keterangan lebih lanjut. Dengan mengatakan bahwa pengalaman aktual yang bersifat total, itu saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, maka itu membuat tidak bersuaranya semua metaphysika, baik yang ada didalam, maupun yang ada diluar, dari ilmu pengetahuan. Itu memperkuat fakta bahwa kasunyataan yang ilmiah itu tidak pernah lebih dari kasunyataan yang relative, yang memiliki nilai yang besar, tetapi diterangkan lebih lanjut, dan dikatakan bahwa suatu kasunyataan, yang verbal, atau yang numerical, yang sifatnya religious, dan philosophis, atau jenis lainnya semacam itu, dapat juga tidak pernah meng-claim untuk berkeadaan lebih besar nilainya dari pada kasunyataan yang bersifat empiris dan relative. Itu menolak validitasnya sesuatu kasunyataan yang absolut dan yang hakiki lainnya, dengan pernyataan oleh sesuatu system non-ilmiah dari fikiran, karena adalah tidak mungkin ada sesuatu, yang berada diatas, disebelah sananya, atau diluar pengalaman yang bersifat total.
Penolakan Pangeran Siddhartha terhadap Ke-Aku-an Hindu (= Hindu Self) itu mungkin dapat diperluas sampai kepada Yang Absolut dari sesuatu filsafat yang metaphysis, Dewa, Surga, dan Neraka, saya fikir, oleh karena itu juga "Diri saya"; semuanya adalah konsep-konsep, hanya kata-kata, yang terdapat didalam pengalaman. Semua kumpulan fikiran, - dari Agama-Agama, Filsafat-Filsafat, dan Buddhisme itu sendiri semuanya adalah model-model konseptual, dan semua terbuka bagi testing secara langsung, terhadap pengalaman dengan sifat ketatnya dari methode ilmiah. Bahkan apabila Surga dan Neraka itu ternyata, setelah dibuktikan secara ilmiah, benar-benar ada, itu tetap hanya merupakan bagian dari pengalaman total, dan tidak akan dapat didalam cara apa pun, melebihi, atau bersifat transcendent, diatas pengalaman total.
Nagarjuna, bahkan melangkah lebih lanjut lagi, - yaitu didalam arah bersaing dengan yang absolut lainnya, didalam system pemikiran lainnya. Beliau tidak menyampaikan argumentasinya dari sudut pandangan ilmiahnya sendiri, dan menyadari bahwa itu adalah hanya salah satu dari banyak sudut pandangan ilmiah lainnya. Nagarjuna mempergunakan methode dialectic, yaitu beliau menyampaikan seperangkat uraian, untuk membuktikan ketidak-benaran dari semua filsafat metaphysis, atas dasar istilahnya sendiri. Inilah sebabnya mengapa tulisan-tulisan Nagarjuna itu penuh dengan begitu banyak hal-hal yang sangat cemerlang, tetapi dengan analisa philosophis yang sangat sukar.
Dia membuktikan bahwa tidak ada religi atau philosophi yang secara logis dapat mendukung pernyataannya sendiri, dengan mengatakan bahwa pengetahuannya meliputi kasunyataan yang absolut, dan dengan demikian memungkinkan filsafat ilmu pengetahuannya meng-claim bahwa hanya filsafat ilmu pengetahuannya sendiri yang merupakan filsafat pengetahuan yang valid.
Kalau kita ringkaskan semua yang telah kita kemukakan diatas itu, maka dapatlah kita jelaskan bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu sungguh-sungguh bersifat revolusioner, dengan alasan-alasan sebagai berikut ini :
Ilmu-ilmu pengetahuan mengetahui bahwa kasunyataan yang ilmiah adalah bersifat relative atau empiris, serta didasarkan pada pengalaman yang aktual. Buddhisme juga menerima kasunyataan empiris, dan mendapati bahwa itu terdapat pada sunyata. Saya percaya bahwa Sunyata itu menunjuk kepada pengalaman yang aktual, dan dengan demikian Buddhisme juga berkata bahwa kasunyataan yang empiris itu haruslah terdapat pada pengalaman yang aktual.
Saya percaya bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu bersifat revolusioner, karena tidak didasarkan kepada pengalaman keindiriaan, tetapi didasarkan kepada pengalaman total; dan karena Buddhisme mengatakan bahwa hanya pengalaman aktual yang total saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, atau yang paling tinggi. Ini mencegahnya untuk tidak mengalamai pecahnya menjadi ilmu pengetahuan yang sifatnya "material", yang berat, dan prosaic, serta religi, philosophi, dan seni, yang sifatnya "spiritual", liberal, dan transcendent. Itu mencakup yang bersifat "material", dan yang bersifat "spiritual", technology dan liberal, yang keduanya terdapat pada satu filsafat ilmu pengetahuan. Lagi pula, itu secara khusus menolak kasunyataan yang religious, dan metaphysis, dan mengemukakan claimnya bahwa hanya filsafat ilmu pengetahuan (= philosophy of science) saja, satu-satunya yang valid, dari filsafat pengetahuan (= philosophy of knowledge) yang ada.
Kalau Dunia Barat itu sangat hebat didalam hal systematisasinya dan applikasinya kasunyataan empiris, maka Dunia Timur, memiliki, pada Buddhisme, suatu filsafat ilmu pengetahuan yang lebih tua dan lebih maju dari pada yang dimiliki Dunia Barat. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan itu perlu ditulis ulang kembali. Pangeran Siddhartha, yang kemudian menjadi Buddha, itu adalah merupakan filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan, yang pertama, yang memberikan kepada Dunia Timur, tradisi ilmiah setua seperti yang dimiliki oleh Dunia Barat, dan sumbangan utamanya kepada Dunia Filsafat, adalah berupa meletakkan dan membuat filsafat ilmu pengetahuan bersifat universal dan revolusioner.
(Sumber:
http://samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=907&multi=T&hal=0)
REFERENSI:
1. T.R.V. Murti "The Central Philosophy of Buddhisme" (= Filsafat Central-nya Buddhism), Penerbitan: George Allen and Unwin, London, 1960, yang terhadap mana, artikel ini banyak menggambil bahan
2. Madhyamika Karika,
Bab. 13.8 Diterjemahkan dari "Early Madhyamika in India and China" (= Madhyamika pada masa-masa awal di India dan China), oleh Richard H. Robinson
3. Samyutta-Nikaya II
Bab : XX.7 Pali Text Society (= Perhimpunan Studi Naskah-Naskah berbahasa Pali)
4. Madhyamakavatara
Bab. VI
5. M.K. Bab. 13.7 Lihat catatan diatas.