//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: [Miris] Waisak di Borobudur Jadi Ajang Foto Hunting Tanpa Etika  (Read 3225 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Gw baru baca ada fotografer yg menulis di suatu situs fotografi sbb :

(awal kutipan)
"... ceritanya malam ini saya membaca berita di kompasiana, ada berita yang menarik sekali untuk dibaca, yang berjudul "Beradabnya (sebagian) fotografer kita"

Di berita itu disebutkan teryata ada beberapa fotografer yang "mungkin" mengatas-namakan agar mendapatkan FPE (nyomot dari istilah di FN happy), mereka melupakan etika serta toleransi.

Berikut Beritanya :

Sabtu, 5 Mei 2012. 04.30 WIB.
Saya standby di Stasiun Tugu di Yogyakarta, menjemput kawan-kawan ACI yang ikut merayakan Waisyak di Candi Mendut dan Candi Borobudur hingga keesokan harinya. Bersamaan dengan mereka, para fotografer tumpah ruah dari kereta asal Jakarta. Backpack, kamera, kamera dan kamera. Beberapa dikalungkan atau ditenteng keliling stasiun. Dari situ saya tahu, akan banyak sekali pemburu foto Waisyak di Borobudur.

Minggu, 6 Mei 2012. 09.00 WIB.
Saya ke Candi Mendut untuk mengantar Diki, seorang kawan penganut Buddha mengikuti detik-detik perayaan Waisyak. Sudah banyak fotografer yang bertengger, siap membidik, di tiap sudut Candi Mendut. Mereka tampak handal dengan kamera dan lensa canggih.

Siapa sangka, apa yang saya lihat selanjutnya adalah perburuan. Para fotografer itu berburu dengan buas. Buas, dalam konteks ini, adalah mengambil gambar dengan jarak superdekat. Dekat dengan siapa? Tentu saja para Banthe yang sedang berdoa. Misal, dari belakang altar yang menghadap langsung Banthe pemimpin doa. Atau, berjongkok di depan mereka dengan jarak yang amat dekat, mengambil gambar lekat-lekat, di depan muka sang Banthe yang sedang khusyuk berdoa!

Pulang dari Candi Mendut, saya ceritakan hal yang menjanggal di hati itu kepada Gilang. Teman saya yang juga seorang fotografer itu rupanya merasakan hal yang sama. Katanya, beberapa fotografer memang mengambil foto secara serampangan. Mengganggu upacara sembahyang yang harusnya berlangsung khidmat.

Minggu, 6 Mei 2012. 16.00 – 23.30 WIB.

Candi Borobudur sudah dijejali turis dan fotografer. Semakin malam, perburuan semakin sengit. Suara jepretan kini dibarengi dengan sinar flash yang menyilaukan. Saya sendiri berada di posisi para Banthe itu, di altar sebelah kanan, persis di depan paduan suara Walubi. Para Banthe lain sedang melantunkan kidung doa di depan altar Buddha. Sementara para fotografer memotret dari samping kiri dan kanan, tak sampai satu meter jauhnya. Beberapa Banthe sampai mengerjapkan mata terkena sinar flash yang menyilaukan.

Saya mengikuti Pradhakshina, ketika para umat Buddha mengeliling candi sebanyak tiga kali. Ketika prosesi itu pun, para fotografer mengikuti. Hujan flash kembali mengguyur, bertubi-tubi. Banyak mata mengerjap. Banyak mata pula, punya fotografer, yang membara.

Saya sempat menegur salah satu fotografer dengan flash menyilaukan dari kameranya. Kepada saya ia bersungut. Di saat bersamaan ia juga melantunkan sumpah serapah.

Sebenarnya malam itu, cahaya dari altar sangat terang. Pencahayaan di Borobudur pun sangat memungkinkan bagi para fotografer untuk tidak menggunakan sinar flashnya. Sebutlah saya amatir, tapi itulah yang saya lihat: beberapa fotografer memang tidak peka.

Ah, sebagai umat Muslim, saya jadi membayangkan bagaimana rasanya dihujani flash seperti itu ketika sedang shalat. Saya sendiri pun, walaupun bukan fotografer, juga ikut memotret pakai kamera pocket. Saya juga merasakan sulitnya mencari momen.Tapi saya tak tahan melihat tingkah mereka yang mengambil gambar tanpa perasaan. Saya menyebut mereka, pathetic. Tidak manusiawi.

Waisyak. Betapa seluruh dunia tahu kalau Buddha adalah agama yang dekat dengan alam. Keseimbangan lahir-batin tercermin dalam kesakralannya beribadah. Waisyak adalah perayaan tertinggi mereka, bagian dari agama mereka, yang apik bila dijadikan objek tulisan apalagi terekam kamera. Tapi, Waisyak kali ini berbeda. Tak hentinya saya mengelus dada. Saya tak tega umat Budha dieksploitasi sebegitu rupa seenaknya. Bagaimanapun Waisyak adalah upacara keagaamaan yang sakral, bukan ladang perburuan photo tanpa aturan.

Berita di tulis oleh :Farchan Noor Rachman.

Beberapa point yang saya tangkap disini adalah :

    Fotografer yang melakukan itu hanya mempelajari tehnik fotografi dan tidak pernah belajar Etika ber-fotografi.
    Perbedaan antara upacara agama dengan pariwisata beda seujung kuku sehingga mereka merasa mereka berhak mendapatkan gambar terbaik dengan mengorbankan toleransi umat ber-agama.
    Arogansi : karena diceritakan oleh penulis, bahwa ada beberapa fotografer yang ditegur, malah mengumpat.

Pertanyaan yang muncul bagi saya adalah : pengunaan lampu Flash yang frontal dari berbagai fotografer dari penjuru dunia berkumpul di satu area apakah sangat diperlukan ???

Bolehkah sekiranya rekan-rekan fotografer  dapat memberikan pendapat tentang hal ini....

sambil nunggu pendapat, saya ngopi-ngopi dulu... "
[/i](akhir kutipan)

Gw bukan pendukung atau simpatisan Walubinya SHM yg tahun ini Waisakan di Borobudur, tapi kejadian yang ditulis di atas sungguh membuat gw prihatin.
Bagaimana tanggapan rekan-rekan di sini ?
« Last Edit: 18 May 2012, 03:52:39 PM by sanjiva »
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

Offline Mas Tidar

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.262
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
Re: [Miris] Waisak di Borobudur Jadi Ajang Foto Hunting Tanpa Etika
« Reply #1 on: 18 May 2012, 04:32:25 PM »
UUD = ujung ujungnya Dhuit
Saccena me samo natthi, Esa me saccaparamiti

"One who sees the Dhamma sees me. One who sees me sees the Dhamma." Buddha

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: [Miris] Waisak di Borobudur Jadi Ajang Foto Hunting Tanpa Etika
« Reply #2 on: 19 May 2012, 02:14:04 PM »
Gw kira bukan UUD, karena yg UUD cari duit (fotografer profesional) seperti wartawan media pasti sudah tahu etika.

Disinyalir fotografer yg 'buas' kayak gini biasanya amatiran, apalagi baru pegang kamera DSLR, masih bau kencur (kalau sudah ahli pasti tahu bahwa cahaya cukup tidak perlu pakai flash, nanti malah over exposure atau flat).  Sudah gitu gabung di klub fotografi, hunting foto rame2 timbullah psikologi massa, leburnya identitas pribadi.  Sama kayak kelompok tawuran yg berani berkelahi di tengah jalan karena merasa berkelompok, tapi giliran sendirian jadi ciut nyalinya.  Tidak merasa kalau tingkah polahnya sudah mengganggu kekusyukkan dan kenyamanan orang agama lain untuk beribadah.

Selesai hunting, foto hasil buruan diposting di forum fotografi, dikomentari, dipuji dan diberi nilai.  Makin tinggi nilainya akan terpilih sebagai foto terbaik hari itu.  Sayangnya karena teknik nomor dua tapi angle ekstrim dan jarak close up yg dinomorsatukan, jarang foto beginian yg dapat score tinggi  :|
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »