Gini loh bro,
saya pikir, bagaimana bagi seseorang yang telah terikat oleh "keluarga"
jika kehidupan berkeluarga adalah kita sendiri yg memutuskan.
namun bagaimana dengan kelahiran didalam keluarga? siapa yg mau? tak ada kan...
nah, kemarin terlintas ,
lalu bagaimana dengan seseorang yg ingin melepas keduniawian?
namun masih ada katakanlah tanggungan, entah itu ortu/adik/kakak/istri/anak/dll
nah kapan? saat yg tepat untuk ,melepas?
jika harus menunggu tanggungan ini beres, keburu hilang dong kesempatan itu!
dear bro andry
Ada cerita mengenai kakak dan adik yang akan berdana kepada seorang buddha.
Dana itupun jumlahnya sama besar, dimana yang membedakan hanyalah citta/pikiran mereka saat berdana saja
Si Adik berdana sambil berpikir "semoga dengan dana ini, akan membuat saya merealisasi nibbana"
sementara si Kakak berpikir "Semoga dengan dana ini, akan membuat saya merealisasi nibbana. Tapi kalau belum nibbana, alam surga juga boleh lah"
Perbedaan pikiran ini saja, membuat si Adik lebih cepat mencapai nibbana sementara si Kakak baru mencapai setelah kehidupan beberapa Buddha (dapat dibayangkan berapa lamanya), dengan tentunya juga singgah di alam surga
moral cerita adalah "tetapkan satu tujuan", ga usah melenceng kiri dan kanan.
Sama seperti bertekad mencapai nibbana, ga perlu berniat ke alam surga.
Sudah pasti jika melakukan cara2 yang sesuai dengan jalan menuju nibbana, PASTI akan singgah ke alam surga
Jadi kalau sudah menetapkan tujuan untuk hidup suci, lakukan cara-cara untuk mencapainya misalnya dengan menjaga sila, banyak melakukan bhavana, menjaga perbuatan,ucapan dan pikiran, dan lain sebagainya
Jangan takut, Kesempatan akan selalu ada, selama dia konsisten dengan tujuan yang ingin dicapainya
Mengenai menikah : saya ingin sharing karena saya baru menikah
sebelum menikah, banyak rekan buddhis yang sudah menikah, bilang bahwa mereka merasa pernikahan menjadi "beban"
sementara bagi saya, setelah menikah, saya bisa lebih banyak diskusi dengan istri saya mengenai abhidhamma (citta, cetasika, dsbnya), walau juga banyak akusala timbul karena pola pikir 2 orang yang berbeda.
Sejujurnya dengan semakin banyaknya diskusi, membuat keyakinan/saddha, juga pengetahuan dhamma kami menjadi bertambah karena kami selalu saling mengingatkan jika ada yang melakukan akusala (semoga bisa menjadi seperti Sumitta dan Sumedha
)
Semoga bisa bermanfaat yah