jika anda jujur mengatakan bahwa para arhat masih ber "metta" dan krn "ke metta an" nya mereka "bertindak", ...
saya pikir para arhat tsb belum pas jika dikatakan para "Arhat betulan"!!!
ika.
Arahat (betulan) melakukan tindakan secara spontan, bukan bertindak karena metta atau ke-metta-an.
Yang melihat/merasakan/menilai dia/mereka melakukan metta adalah orang awam, bukan dia sendiri.
Arahat yang merasa dia melakukan tindakan metta, namanya "arahat bohongan".
Budhi
Ryu mode on
Sumber : RAPB Buku 1 Hal 69
ParamiApakah Pàramã ?
Jawaban pertanyaan ini adalah: kebajikan-kebajikan mulia seperti dàna, sãla, dan lain-lain, tidak melibatkan kemelekatan, kesombongan maupun pandangan salah, namun dibangun dengan dasar welas asih yang mulia dan kebijaksanaan yang terampil dalam mengumpulkan jasa, inilah yang disebut Pàramã.
Penjelasan lebih lanjut: Sewaktu memberi dàna, jika dinodai oleh kemelekatan, dengan berpikir “ini adalah danaku”; jika dinodai oleh kesombongan, dengan berpikir “dàna ini adalah milikku”; jika dinodai oleh pandangan salah, “dàna ini adalah aku,” dàna semacam ini disebut telah dinodai oleh kemelekatan, kesombongan, dan pandangan salah. Hanya dàna yang tidak dinodai oleh kemelekatan, kesombongan, dan pandangan salah yang dapat disebut Kesempurnaan. (penjelasan yang sama berlaku untuk sãla)
Lebih jauh lagi, untuk dapat disebut Pàramã, tindakan kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain, tidak hanya harus bebas dari kemelekatan, kesombongan, dan pandangan salah, akan tetapi juga harus dibangun atas dasar welas asih yang mulia (Mahàkaruõà) dan kebijaksanaan yang terampil dalam mengumpulkan kebajikan (Uppàya-kosalla ¥àõa).
70
Riwayat Agung Para Buddha
Mahàkaruõà: Bodhisatta harus mampu mengembangkan perasaan welas asih yang tidak terbatas kepada semua makhluk, dekat atau jauh, seolah-olah mereka adalah anaknya sendiri. Tidak membeda-bedakan teman ataupun musuh, ia harus menganggap semua makhluk mengalami penderitaan dalam saÿsàra di mana mereka terbakar oleh api kemelekatan, kebencian, dan keraguan, oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, kesakitan, kesusahan, dan keputus-asaan. Dengan merenungkan hal-hal ini, ia harus mengembangkan welas asih yang besar terhadap mereka. Welas asih ini haruslah sangat besar sehingga memungkinkannya untuk menolong semua makhluk dari saÿsàra meskipun dengan mengorbankan dirinya sendiri. Welas asih seperti inilah yang disebut welas asih yang luar biasa yang membentuk dasar dari semua Kesempurnaan.
Bodhisatta dalam kehidupannya sebagai Sumedhà sang petapa telah mencapai tingkat-tingkat spiritual pada waktu bertemu dengan Buddha Dãpaïkarà sehingga ia dapat mencapai kebebasan jika ia menginginkannya. Namun sebagai seorang manusia luar biasa yang memiliki welas asih yang tertinggi, ia rela mengalami banyak penderitaan dalam saÿsàra selama jangka waktu yang sangat lama empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa untuk memenuhi Kesempurnaan dengan tujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan.
Upàya-kosalla ¥àõa: adalah kebijaksanaan yang terampil dalam melakukan jasa seperti dàna, sãla, dan lain-lain, sehingga dapat menjadi alat dan mendukung dalam mencapai Kebuddhaan. Seseorang dari keluarga yang baik yang ingin mencapai Kebuddhaan harus melakukan kebajikan-kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain dengan satu tujuan yaitu mencapai Kebuddhaan. (Ia tidak boleh mengharapkan keuntungan yang dapat mengarah pada penderitaan dalam saÿsàra). Kebijaksanaan yang memungkinkannya untuk mencapai Kebuddhaan adalah satu-satunya Buah dari kebajikan yang dilakukannya yang disebut Upàya-kosalla ¥àõa.
Mahàkaruõà dan Upàya-kosalla ¥àõa yang telah dijelaskan di
71
Pàramã
atas adalah dasar untuk mencapai Kebuddhaan dan untuk melatih Kesempurnaan. Seseorang yang ingin mencapai Kebuddhaan pertama-tama harus berusaha untuk memiliki dua dasar ini.
Hanya kebajikan-kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain yang dikembangkan di atas dasar dua prinsip ini yang dapat menjadi Kesempurnaan sejati.
Mengapa Disebut Pàramã?
Mungkin ada pertanyaan mengapa sepuluh kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain disebut Pàramã.
Jawabannya adalah: dalam bahasa Pàëi, kata Pàramã terdiri dari parama dan i, Parama berarti ‘yang tertinggi’, di sini digunakan dalam hubungannya dengan para Bodhisatta, karena mereka adalah makhluk yang tertinggi yang memiliki kebajikan dàna, sãla, dan lain-lain yang luar biasa.
Atau, karena mereka memenuhi dan menjaga kebajikan-kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain; karena mereka bertindak seolah-olah mereka terikat dan menarik makhluk-makhluk lain kepada mereka melalui kebajikan-kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain; karena mereka membersihkan makhluk-makhluk lain dengan menghapuskan kotoran batin makhluk-makhluk lain dengan penuh semangat; karena mereka dengan pasti melanjutkan ke Nibbàna tertinggi; karena mereka mengetahui kelahiran berikutnya seperti mereka memahami kehidupannya yang sekarang; karena mereka mempraktikkan kebajikan-kebajikan seperti sãla dan lain-lain dalam cara yang tiada bandingannya seolah-olah kebajikan-kebajikan ini tertanam dalam batin mereka; karena mereka menaklukkan dan menghancurkan semua “makhluk-makhluk asing” kotoran batin yang mengancam mereka, para Bodhisatta disebut “Parama.”
Bodhisatta yang tiada bandingnya yang memiliki kebajikan-kebajikan seperti dàna, sãla, dan lain-lain. Pernyataan ini adalah untuk menyebutkan “Orang ini adalah Bodhisatta; ia adalah Parama, makhluk yang tinggi.” Dengan demikian kebajikan-kebajikan
72
Riwayat Agung Para Buddha
seperti dàna, sãla, dan lain-lain, disebut juga “Parama.”
Sekali lagi, hanya para Bodhisatta yang dapat melakukan perbuatan jasa seperti dàna, sãla, dan lain-lain dengan tiada bandingannya. Karena itulah perbuatan-perbuatan ini disebut Pàramã, yang berarti kewajiban-kewajiban Bodhisatta (Paramànaÿ kammaÿ Pàramã), atau kekayaan-kekayaan Bodhisatta (Paramànaÿ ayaÿ Pàramã).