BUKALAH laman milik PLN di
www.pln.co.id, maka akan ditemukan moto perusahaan listrik negara itu tertulis jelas: LISTRIK UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK. Jadi, kalau realitasnya listrik saat ini byar-pet, itulah gambaran kehidupan bangsa ini sekarang.
Hari Selasa (8/7) lalu sebuah berita gembira datang dari Paris, Perancis. Tim Antarmuka ITB menjadi juara Imagine Cup 2008 dalam kategori Rural Innovation Achievement Award. Mereka menang dalam ajang kompetisi perangkat lunak (software) tingkat dunia yang digelar Microsoft Corp untuk sistem desain perangkat lunak Butterfly karya mereka.
Pada saat bersamaan di Tanah Air, warga Jakarta dan sekitarnya sedang panik menghadapi rencana pemadaman listrik secara bergilir oleh PLN selama dua minggu penuh. Tidak tanggung-tanggung, setiap hari listrik bakal dimatikan selama 14 jam, dibagi dalam dua giliran, yakni pukul 08.00-15.00 dan 15.00-22.00 (meski berita terakhir menyebutkan pemadaman akhirnya bisa dipersingkat menjadi hanya dua jam per hari).
Inilah ironi terbaru bangsa yang sedang memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Bagaimana bisa mengembangkan potensi teknologi masa depan, yang dimiliki para mahasiswa ITB itu, tanpa listrik?
Kehilangan progres
Simak cerita Erwin Wiyono (21), mahasiswa Universitas Bina Nusantara (Binus)—universitas yang terkenal dengan pendidikan ilmu-ilmu komputer dan teknologi informasi. Jauh sebelum PLN mengumumkan rencana pemadaman massal di Jakarta dan sekitarnya, Erwin sudah sering menjadi korban pemadaman listrik secara mendadak. ”Pernah listrik mati dari jam 9 malam baru nyala lagi jam 7 pagi. Terus jam 2 siang mati lagi sampai malam,” ujar mahasiswa asal Malang, Jawa Timur, yang indekos di dekat kampus Universitas Binus di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat, ini.
Tidak cuma sekali dua kali Erwin terpaksa kehilangan data dan progres tugas dari dosennya hanya karena listrik mati. Di kos-kosannya, komputer Erwin tidak dilengkapi uninterruptible power supply (UPS) yang akan menjaga komputer tetap menyala beberapa menit setelah listrik mati untuk mencegah data hilang. ”Waktu pindah dari Malang, UPS-nya tidak saya bawa. Saya mikir-nya di Jakarta pasti lebih bagus jaringan listriknya dibanding Malang. Ee, ternyata salah...,” tutur mahasiswa Jurusan Teknik Industri Sistem Informasi ini.
Edi Santoso Jaya, Manajer Teknologi Informasi Lembaga Pendidikan Bina Nusantara Pusat, mengatakan, hampir semua ilmu yang diajarkan di Universitas Binus berkaitan dengan komputer. ”Jadi, secanggih apa pun ilmu yang kami ajarkan, tidak ada artinya kalau listrik mati,” ungkapnya.
Tergantung solar
Untuk mencegah proses akademis di Binus terganggu listrik yang byar-pet, pihaknya telah menyiapkan generator set (genset) yang akan menyala paling lama dalam jeda lima menit setelah aliran listrik PLN putus. Namun, generator berkapasitas 150.000 kVA itu haus bahan bakar. ”Di satu kompleks kampus saja, generator seperti itu butuh 8.000 liter solar untuk beroperasi terus-menerus selama tiga hari. Padahal, lembaga pendidikan seperti kami ini diharuskan membeli solar nonsubsidi, yang harganya sekitar Rp 10.000 per liter. Jadi, bisa dibayangkan biaya yang harus kami keluarkan hanya untuk beli solar,” ungkap Edi.
Mengandalkan genset yang boros bahan bakar minyak (di tengah harga minyak mentah dunia yang terus naik entah sampai kapan) menjadi satu-satunya pilihan untuk selamat dalam kondisi krisis listrik ini. Mulai dari instalasi-instalasi vital semacam bandar udara (bandara) dan rumah sakit hingga industri skala besar dan kecil sampai tingkat rumah tangga kini harus benar- benar memiliki genset yang siap pakai kalau tidak ingin terjadi bencana.
Trisno Heryadi, Manajer Humas PT (Persero) Angkasa Pura 2—yang mengoperasikan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, mengatakan, bandara sebenarnya masuk kategori obyek vital yang mendapat prioritas dari PLN untuk tidak pernah dipadamkan listriknya. Meski demikian, tetap saja pintu gerbang utama negara itu pernah mengalami pemadaman listrik.
”Untuk mengantisipasi hal-hal yang unpredictable seperti itulah kami sudah menyiapkan generator dalam desain bandara sejak awal. Sewaktu-waktu listrik PLN mati, kami masih punya sumber listrik untuk menyalakan radar dan peralatan pemandu navigasi di ATC (air traffic controller),” papar Trisno.
Tak tergantikan
Tentu saja sebagus-bagusnya kualitas genset tetap tidak bisa menggantikan kapasitas listrik PLN. Genset di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), misalnya, hanya mampu menghidupkan 60-70 persen peralatan listrik di rumah sakit berkapasitas 1.400 pasien itu. ”Kalau listrik padam, genset otomatis jalan. Kami memprioritaskan pelayanan untuk menghidupkan peralatan yang menjaga jiwa pasien, seperti di kamar bedah, ICU, ICCU, dan kamar bayi,” tutur Direktur RSCM Akmal Taher.
Namun, sekali lagi, biaya ekstra harus dikeluarkan untuk menghidupkan genset. Akmal mengatakan, dibutuhkan biaya sekitar Rp 3 juta untuk menghidupkan genset selama satu jam atau Rp 72 juta selama 24 jam penuh. ”Meski mendapat subsidi pemerintah, kami tetap harus bayar untuk solar itu. Sebaiknya kalau ada pemadaman bergilir, rumah sakit jangan ikut dipadamkan. Berilah prioritas karena kami bekerja untuk melayani keselamatan jiwa masyarakat,” ujarnya.
Namun, seboros-borosnya pemakaian genset, masih beruntunglah mereka yang bisa tertolong dengan genset. Ada beberapa sektor yang sama sekali tidak bisa berkutik saat listrik PLN mati. ”Industri pengolahan ikan atau udang yang dibekukan 100 persen bergantung pada listrik. Tanpa listrik, mesin pendingin tak bisa beroperasi,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Coldstorage Indonesia Jawa Timur Johan Suryadarma.
Mesin ruang pendingin (coldstorage) sama sekali tak bisa mengandalkan genset karena kebutuhan listriknya terlalu besar. Menurut Johan, untuk menjaga ikan atau udang tetap beku, dibutuhkan suhu ruangan minimal minus 25 derajat Celsius. Untuk proses pembekuannya dibutuhkan suhu yang lebih dingin lagi, yakni minimal minus 40 derajat Celsius. ”Kalau listrik padam satu jam saja, suhu udara akan naik, produk bisa berubah bentuk dan mutunya kurang. Negara pengimpor akan sulit menerima produk seperti itu, bahkan bisa ditolak atau dikembalikan,” ujarnya.
Itu baru bicara sektor spesifik. Belum lagi bicara tentang penerangan jalan umum yang ikut mati dan meningkatnya kriminalitas yang akan mengikutinya.
Di tahun yang dicanangkan sebagai Visit Indonesia Year ini, lupakan penggunaan lampu untuk pertunjukan cahaya semacam A Symphony of Lights yang menarik wisatawan di Hongkong atau untuk menerangi keindahan gunung pada malam hari seperti di Table Mountain, Cape Town. Kepada para tamu dari mancanegara, marilah kita sambut dengan ucapan ”Selamat Datang di Republik Gulita!” sambil membawa lampu teplok.