//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Membaca Sutta secara kritis  (Read 51552 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Membaca Sutta secara kritis
« on: 24 August 2008, 06:46:12 PM »
4.8. ‘Seandanya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. [/b] Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Mahaparinibbana Sutta)
saya agak tidak mengerti maksud dari kutipan sutta ini di sini, terlebih bagian yg di bold...
jika sdr. Semit ingin membahas isi sutta, silahkan dilanjutkan ke bagian Studi Sutra/Sutta
kemudian bagian yg saya bold merah kan...
Sutta atau disiplin
sutta di-sini saya yakini adalah dhamma kotbah2 Sang Buddha yg terjadi sekitar 2500 tahun yg lalu, bukan Sutta Pitaka. Sutta-Pitaka disusun setelah Sang Buddha parinibbana, jadi jelas itu bukan mengacu kepada Sutta Pitaka... apa terjemahannya seharusnya dhamma(kebenaran) & vinaya(aturan kedisplinan)? CMIIW
ini terjemahan bahasa inggrissnya:
Quote
"In such a case, bhikkhus, the declaration of such a bhikkhu is neither to be received with approval nor with scorn. Without approval and without scorn, but carefully studying the sentences word by word, one should trace them in the Discourses and verify them by the Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
kata yg ditemukan hanyalah 'Dhamma and the Discipline' :)

Terjemahan Indonesia (dari Maurice O'Connell Walshe): "... Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin...."

Terjemahan Inggris (Thanissaro Bhikkhu): "... Without approval and without scorn, but carefully studying the sentences word by word, one should trace them in the Discourses and verify them by the Discipline. .."

Teks aslinya: "... Anabhinanditvaa appa.tikkositvaa taani padabya~njanaani saadhuna.m uggahetvaa sutte otaaretabbaani vinaye sandassetabbaani. ..."

Jadi, ternyata terjemahan Indonesia (dari M.O.Walshe) maupun terjemahan Inggris (Thanissaro Bhikkhu) di atas cocok dengan teks aslinya. (Kalau tidak cocok tentu sudah lama diprotes oleh pembaca yang teliti. :) )

*****

Jadi bagaimana kita harus menganalisis dan menafsirkan kejanggalan dalam Mahaparinibbana-sutta yang terlihat oleh Rekan Tesla di atas?

Bagian Mahaparinibbana-sutta yang dipermasalahkan ini mempunyai subjudul bernama "Cattari Maha-upadesa" (Empat Rujukan Besar, the Four Great References). Maksudnya, ada empat rujukan yang masing-masing mengklaim sebagai rujukan dari ajaran Sang Buddha, yaitu:
(1) bhikkhu yang mengaku mendengar sendiri dari mulut Sang Buddha;
(2) suatu komunitas bhikkhu dengan seorang ketua;
(3) beberapa Thera;
(4) seorang Thera.
Menghadapi keempat rujukan tersebut, kata-kata mereka harus dicek dulu, apakah sesuai atau tidak dengan "sutta" dan "vinaya". ... Demikianlah ditampilkan dalam Mahaparinibbana-sutta.

Nah, di sinilah kejelian Rekan Tesla: ia melihat kejanggalan dalam istilah "sutta" dan "vinaya" yang digunakan di sini. Saya pun melihat kejanggalan itu. ...

Dalam puluhan sutta, Sang Buddha selalu menamakan ajarannya sebagai "dhamma-vinaya", bukan "sutta" & "vinaya". Bahkan di paragraf ini pun istilah "dhamma-vinaya" muncul:
- "Inilah Dhamma, inilah Disiplin, inilah Ajaran Sang Guru" (Indonesia/dari M.O.Walshe)
- "This is the Dhamma and the Discipline, the Master's Dispensation" (Thanissaro Bhikkhu)
- "Aya.m dhammo, aya.m vinayo, ida.m satthusaasanan'ti" (teks asli).

Jadi, di zaman Sang Buddha masih hidup, beliau selalu menamakan ajarannya 'dhamma-vinaya'. ... Kok, tiba-tiba di bagian Mahaparinibbana-sutta ini muncul istilah "sutta" dan "vinaya". ... Apa artinya itu?

Kita tahu, setelah Sang Buddha meninggal dunia, para bhikkhu berkumpul dalam Konsili I, lalu menyusun khotbah-khotbah Sang Buddha dan mengumpulkannya (menghafalkannya) dalam keranjang yang dinamakan "Sutta Pitaka", sedangkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kehidupan kebhikkhuan dikumpulkan/dihafalkan dalam keranjang yang dinamakan "Vinaya Pitaka". (Abhidhamma Pitaka baru muncul dalam Konsili III, tiga ratus tahun setelah Sang Buddha meninggal dunia.)

Menurut hemat saya, dari sinilah asal istilah 'sutta' dan 'vinaya' yang terlihat oleh Rekan Tesla itu. ... Dengan kata lain, kesimpulan saya: di sini telah terjadi ANAKRONISME (kerancuan berhubungan dengan waktu) ... Istilah 'sutta' & 'vinaya' telah menyusup masuk ke dalam Mahaparinibbana-sutta dan ditampilkan seolah-olah datang dari mulut Sang Buddha sendiri!

Para penghafal Mahaparinibbana-sutta menyisipkan, seolah-olah Sang Buddha mengatakan bahwa di kemudian hari semua klaim ajaran Buddha harus dicek keotentikannya berdasarkan "Sutta Pitaka" dan "Vinaya Pitaka". ... Jadi "Sutta Pitaka" & "Vinaya Pitaka" sudah diangkat menempati kedudukan MUTLAK, menggantikan kebenaran sesungguhnya dari 'dhamma-vinaya, ajaran Sang Guru'. ... Inilah klaim dari bhikkhu-bhikkhu Theravada yang menyusup masuk ke dalam Mahaparinibbana-sutta ...

Mungkin ini terjadi di zaman ketika agama Buddha di India pada waktu itu mulai terpecah menjadi Maha-sanghika (Mahayana) dan sekte-sekte Hinayana (yang di dalamnya terdapat Sthaviravada, cikal bakal Theravada), kira-kira dua ratus tahun setelah zaman Sang Buddha. ... Untuk menjamin survival sektenya, maka bhikkhu-bhikkhu Sthaviravada mengklaim Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka sebagai satu-satunya kriteria bagi keabsahan ajaran Sang Buddha, dengan menampilkan klaim itu seolah-olah datang dari mulut Sang Buddha sendiri. ... Memang tidak ada maksud jelek di sini ... hanya keinginan untuk menjunjung tinggi dan memutlakkan sekte yang dianut sendiri.

Bahwa suatu kitab suci (apa pun) harus digunakan sebagai kriteria dari kebenaran, hal itu harus saya tolak sebagai datang dari mulut Sang Buddha! Ini sangat bertentangan dengan ajaran Sang Buddha tentang bagaimana kita menilai suatu ajaran yang benar, sebagaimana tercantum dalam Kalama-sutta ...

Ini salah satu contoh lagi bagaimana sisipan-sisipan yang tidak otentik telah masuk ke dalam Mahaparinibbana-sutta. Dulu saya pernah menyoroti apa yang ditampilkan dalam Mahaparinibbana-sutta seolah-olah sebagai "kata Sang Buddha", yakni bahwa hanya dalam ajaran Sang Buddha terdapat pembebasan, sedangkan dalam ajaran-ajaran lain tidak ada pembebasan.

Semua itu tidak mengherankan, mengingat Mahaparinibbana-sutta dari Digha Nikaya ini termasuk salah satu sutta yang relatif "muda", yang memperoleh bentuknya yang final jauh setelah Sang Buddha wafat.

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 27 August 2008, 08:48:23 PM by Sumedho »

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #1 on: 24 August 2008, 06:50:22 PM »
hehehe... barusan pengen menulis yg senada mengenai "sutta dan vinaya", tau2 pak hudoyo sudah membahasnya 10x lebih jelas beserta palinya pula  ^:)^
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #2 on: 24 August 2008, 07:38:17 PM »
Wah terima kasih analisis sutta nya... _/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #3 on: 24 August 2008, 08:06:40 PM »
Quote from: tesla link=topic=3803.msg70802#msg70802
Sutta atau disiplin
sutta di-sini saya yakini adalah dhamma kotbah2 Sang Buddha yg terjadi sekitar 2500 tahun yg lalu, bukan Sutta Pitaka. Sutta-Pitaka disusun setelah Sang Buddha parinibbana, jadi jelas itu bukan mengacu kepada Sutta Pitaka... apa terjemahannya seharusnya dhamma(kebenaran) & vinaya(aturan kedisplinan)? CMIIW

ini terjemahan bahasa inggrissnya
Quote
8-11. Then the Blessed One said: "In this fashion, bhikkhus, a bhikkhu might speak: 'Face to face with the Blessed One, brethren, I have heard and learned thus: This is the Dhamma and the Discipline, the Master's Dispensation'; or: 'In an abode of such and such a name lives a community with elders and a chief. Face to face with that community, I have heard and learned thus: This is the Dhamma and the Discipline, the Master's Dispensation'; or: 'In an abode of such and such a name live several bhikkhus who are elders, who are learned, who have accomplished their course, who are preservers of the Dhamma, the Discipline, and the Summaries. Face to face with those elders, I have heard and learned thus: This is the Dhamma and the Discipline, the Master's Dispensation'; or: 'In an abode of such and such a name lives a single bhikkhu who is an elder, who is learned, who has accomplished his course, who is a preserver of the Dhamma, the Discipline, and the Summaries. Face to face with that elder, I have heard and learned thus: This is the Dhamma and the Discipline, the Master's Dispensation.'
kata yg ditemukan hanyalah 'Dhamma and the Discipline' :)

Anda benar Rekan Tesla, namun demikian, jika merujuk pada definisi Sutta,
sutta (sutta; Skt. sutra): Literally, "thread"; a discourse or sermon by the Buddha or his contemporary disciples.

Ini berarti bahwa: Sutta=khotbah Sang Buddha=Dhamma. Penggunaan kata Dhamma atau Sutta, adalah bermakna sama.

Mengenai kebiasaan Sang Buddha menggunakan istilah "Dhamma & Vnaya". apakah Sang Buddha telah mencapai Kebebasan sempurna atau tidak? mengapa Sang Buddha harus terikat pada kebiasaan-kebiasaan?
« Last Edit: 24 August 2008, 08:10:17 PM by Semit »

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Kejanggalan Maha Parinibbana Sutta
« Reply #4 on: 24 August 2008, 08:39:21 PM »
Anda benar Rekan Tesla, namun demikian, jika merujuk pada definisi Sutta,
sutta (sutta; Skt. sutra): Literally, "thread"; a discourse or sermon by the Buddha or his contemporary disciples.

Ini berarti bahwa: Sutta=khotbah Sang Buddha=Dhamma. Penggunaan kata Dhamma atau Sutta, adalah bermakna sama.

Mengenai kebiasaan Sang Buddha menggunakan istilah "Dhamma & Vnaya". apakah Sang Buddha telah mencapai Kebebasan sempurna atau tidak? mengapa Sang Buddha harus terikat pada kebiasaan-kebiasaan?

saya juga awalnya berpikir demikian, jadi saya artikan sutta itu adalah kotbah, bukan sutta-pitaka.

mengenai keotentikan mahaparinibbana sutta tsb, saya angkat tangan...
terus terang saya sangat sedikit tahu mengenai sutta. saya pernah baca sutta hanya Digha Nikaya kira2 10 bagian berurut, setelah itu stop... hanya baca sutta tergantung ada event yg men-trigger... jadi kalau mau bahas keotentikannya silahkan bahas dg yg lebih ahli, lebih baik lagi dalam bahasa Pali nya.

tapi secara analisa pribadi saya, walau kotbah Buddha dikatakan Dhamma, artinya adalah dalam kotbah Buddha yg dibabarkan adalah kebenaran. sedangkan kebenaran sendiri tidak terbatas pada kotbah Sang Buddha. jadi menilik dari kebijaksanaan Sang Buddha, beliau akan menggunakan kata 'dhamma & vinaya', bukan 'sutta & vinaya'.
ada banyak kasus sang Buddha menunjukkan utk tidak meninggi2kan pahamnya sendiri, dimana hanya ajarannya yg paling benar... yah, kecuali maha-parinibbana sutta ini lagi...

cari suttanya dulu yach...
« Last Edit: 24 August 2008, 09:26:51 PM by tesla »
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #5 on: 24 August 2008, 09:52:22 PM »
ini dia... berhubung suttanya pendek, saya kutip lengkapnya saja yah, saya kasih warna juga biar lebih mudah dibaca. :)
semoga bermanfaat bagi sdr. Semit dan yg lainnya.

Quote
Sutta-Nipata
V. Tentang Jalan Menuju Pantai Seberang
7. Pertanyaan Nanda

diambil dari http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=1030


Siswa brahmana berikutnya yang bertanya adalah Nanda. Inilah yang ditanyakannya kepada Sang Buddha:

 
1.    'Banyak orang,' kata Nanda, berbicara tentang manusia-manusia bijaksana yang --kata mereka-- hidup di dunia. Apa pendapat Yang Mulia tentang ini? Bila mereka menyebut seseorang 'bijaksana', apakah mereka berbicara tentang pengetahuannya atau cara hidupnya?'    (1077)

2.    "Bagi para ahli," kata Sang Buddha, "kata 'bijaksana' tidak ada hubungannya dengan cara orang melihat hal-hal, atau dengan apa yang telah diajarkan kepadanya, atau dengan apa yang dia pahami. Bagiku, Nanda, orang bijaksana adalah orang yang telah melepaskan senjatanya: dia hidup dalam kesendirian, tanpa gemetar atau kelaparan akan nafsu."    (1078)

3.    'Kalau demikian, Yang Mulia,' kata Nanda, 'ada pertanyaan lain yang harus saya ajukan. Semua guru agama dan brahmana telah berbicara tentang cara untuk menjadi murni. Beberapa mengatakan bahwa kemurnian datang dari pandangan-pandangan duniawi dan dari ajaran; beberapa mengatakan bahwa kemurnian datang dari perbuatan-perbuatan baik dan ritual-ritual keagamaan; yang lain mengatakan kemurnian datang dari hal-hal lain. Apakah Engkau mengatakan bahwa orang-orang ini, yang hidup di dunia ini, yang telah mengajarkan hal-hal ini, telah pergi melampaui kelahiran dan usia tua?    (1079)

4.    'Akan kukatakan ini tentang pemimpin-pemimpin agama yang mengajarkan bahwa pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran, atau perbuatan serta ritual, atau apa pun lainnya akan membuatmu murni; kukatakan bahwa orang-orang ini, yang hidup di dunia ini, belum pergi melampaui kelahiran dan ketuaan.'    (1080)

5.    'Tetapi Yang Mulia,' kata Nanda, 'orang-orang yang mengajarkan kemurnian yang datang dari pandangan dan ajaran, atau tindakan dan ritual, atau hal-hal lain ini, mereka adalah pemimpin keagamaan. Engkau mengatakan bahwa mereka bukanlah orang yang telah menyeberangi samudera. Saya harus menanyakan satu pertanyaan lagi: Dapatkah Engkau, wahai Yang Bijaksana, mengatakan siapakah orang di dunia ini yang telah pergi melampaui kelahiran dan ketuaan?'    (1081)

6.    'Aku tidak mengatakan bahwa semua guru agama dan brahmana ini terbungkus dalam selubung kelahiran dan ketuaan,' kata Sang Buddha. 'Ada beberapa yang telah melepaskan pandangan-pandangan dunia, melepaskan tradisi-tradisi buah-pikir ajaran. Mereka telah melepaskan praktek-praktek keagamaan dan ritual, mereka telah meninggalkan segala macam bentuk, dan mereka memiliki pemahaman total tentang kemelekatan. Bagi mereka, tidak ada lagi dorongan-dorongan beracun dari dalam. Inilah yang benar-benar merupakan penyeberang samudera.'    (1082)

7.    'Betapa sempurnanya penjelasan Guru Kebijaksanaan mengenai tidak melekat!' kata Nanda. 'Saya merasakan kegembiraan ketika mendengarnya, dan ketika mendengar ada orang-orang yang telah mau melepaskan pandangan, tradisi buah-pikir; praktek-praktek keagamaan dan ritual; serta melepaskan segala macam bentuk. Dan orang-orang ini memiliki pemahaman total tentang kemelekatan -- mereka telah menghapuskan dorongan-dorongan beracun dari dalam! Inilah orang-orang yang akan saya sebut juga penyeberang samudera    (1083)

pada paragraf ke-6, silahkan diteliti baik-baik. Sang Buddha ternyata tidak men-claim dirinya sebagai The Only One pada masa itu :)

bagaimana dg paham tentang kelahiran seorang Bodhisatta & pencerahan SammasamBuddha yg hanya terjadi pada saat dhamma telah hilang? ;)

saya menganjurkan rekan2 lain membaca semua paragraf dalam sutta ini dengan perhatian penuh. sutta ini memiliki penjelasan yg mendalam, walaupun hanya terdiri dari sedikit kata2 dibanding sutta lain. di sini Sang Buddha berbicara secara singkat dan langsung menembus ke inti.

juga sutta ini tidak diawali dg kalimat pembuka, "demikianlah yg telah kami dengar"
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #6 on: 24 August 2008, 10:32:16 PM »
Anda benar Rekan Tesla, namun demikian, jika merujuk pada definisi Sutta,
sutta (sutta; Skt. sutra): Literally, "thread"; a discourse or sermon by the Buddha or his contemporary disciples.

Ini berarti bahwa: Sutta=khotbah Sang Buddha=Dhamma. Penggunaan kata Dhamma atau Sutta, adalah bermakna sama.
kalo memang yg dimaksud sutta adalah kotbah sang buddha, maka kutipan di atas terdengar lebih janggal lagi:

* jika mendengar orang mendengar sesuatu dari mulut sang buddha, jangan diterima dan jangan ditolak dulu
* bandingkan apakah itu selaras dengan kotbah buddha yg lain

pertanyaannya:

* gimana cara bandinginnya? waktu itu blom ada rekaman kotbah buddha. blom ada catatan kotbah buddha.
* gimana kalo si murid hanya pernah dengar 2-3 kotbah buddha? gimana bandingin hal itu dengan kotbah2 yg tidak pernah dia dengar?
* apakah tanya2 dengan orang yg banyak dengar kotbah2 buddha? lah ini kan artinya memperbandingkan "kata si A" dengan "kata si B". gimana tau yg bener yg mana?

kayaknya memang maksud penulis sutta ini kata "sutta" itu berarti sutta2 yg ada di pitaka  :-?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #7 on: 24 August 2008, 10:50:00 PM »
tapi secara analisa pribadi saya, walau kotbah Buddha dikatakan Dhamma, artinya adalah dalam kotbah Buddha yg dibabarkan adalah kebenaran. sedangkan kebenaran sendiri tidak terbatas pada kotbah Sang Buddha. jadi menilik dari kebijaksanaan Sang Buddha, beliau akan menggunakan kata 'dhamma & vinaya', bukan 'sutta & vinaya'.
ada banyak kasus sang Buddha menunjukkan utk tidak meninggi2kan pahamnya sendiri, dimana hanya ajarannya yg paling benar... yah, kecuali maha-parinibbana sutta ini lagi...

cari suttanya dulu yach...

Kalau untuk hal ini, siapakah kita ini yang berani menilai kebijaksanaan Sang Buddha? kita tidak mungkin lebih bijak dari Sang Buddha, bahkan tidak lebih bijak dari para Arahat masa lampau.
Dan pemahaman saya atas Sutta ini adalah bahwa Sang Buddha hanya mengatakan Kebenaran, sama sekali tidak ada kesan meninggikan pahamNya sendiri.

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #8 on: 24 August 2008, 10:58:08 PM »
kalo memang yg dimaksud sutta adalah kotbah sang buddha, maka kutipan di atas terdengar lebih janggal lagi:

* jika mendengar orang mendengar sesuatu dari mulut sang buddha, jangan diterima dan jangan ditolak dulu
* bandingkan apakah itu selaras dengan kotbah buddha yg lain

pertanyaannya:

* gimana cara bandinginnya? waktu itu blom ada rekaman kotbah buddha. blom ada catatan kotbah buddha.
* gimana kalo si murid hanya pernah dengar 2-3 kotbah buddha? gimana bandingin hal itu dengan kotbah2 yg tidak pernah dia dengar?
* apakah tanya2 dengan orang yg banyak dengar kotbah2 buddha? lah ini kan artinya memperbandingkan "kata si A" dengan "kata si B". gimana tau yg bener yg mana?

kayaknya memang maksud penulis sutta ini kata "sutta" itu berarti sutta2 yg ada di pitaka  :-?

Kalau kita membaca Sutta ini dari awal, Sang Buddha juga mengajarkan faktor-faktor yang mendukung kemajuan para bhikkhu, antara lain, sering melakukan pertemuan. pada pertemuan itu tentunya bisa didiskusikan mengenai apa yang sesuai dan yang tidak sesuai. jadi tidak disarankan untuk mengambil kesimpulan secara pribadi. seperti yang baru saja anda lakukan.

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #9 on: 24 August 2008, 11:31:34 PM »
Kalau untuk hal ini, siapakah kita ini yang berani menilai kebijaksanaan Sang Buddha? kita tidak mungkin lebih bijak dari Sang Buddha, bahkan tidak lebih bijak dari para Arahat masa lampau.
Dan pemahaman saya atas Sutta ini adalah bahwa Sang Buddha hanya mengatakan Kebenaran, sama sekali tidak ada kesan meninggikan pahamNya sendiri.

Ini adalah kesalahan penggunaan logika yang disebut circular logic.

Pemikiran seperti ini muncul tiada lain adalah karena anda telah terlebih dahulu mengasumsikan bahwa Tipitaka yang kita kenal sekarang ini adalah benar2 semua perkataan Sang Buddha.
Tentu saja, argumen anda itu tidak valid untuk mempertahankan posisi anda dalam suatu diskusi yang justru mempertanyakan keotentikan beberapa Sutta yang disinyalir telah mengalami pengubahan.

Anda justru harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Tipitaka itu benar2 semua perkataan Sang Buddha, barulah statement itu boleh anda lontarkan untuk mengantisipasi komentar sdr.Tesla.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #10 on: 24 August 2008, 11:35:49 PM »
 (:$ (:$ (:$

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #11 on: 24 August 2008, 11:40:48 PM »
DHAMMA VINAYA ADALAH GURU KITA
Sekarang ini, ajaran-ajaran Sang Buddha sering disebut sebagai Tipitaka atau Tripitaka (Tiga Kumpulan), walaupun mereka disebut “Dhamma-Vinaya” oleh Sang Buddha di dalam khotbah-khotbahnya. Di Sutta Anguttara Nikaya 4.180, Sang Buddha secara khusus merujuk Dhamma sebagai Sutta (khotbah). Vinaya adalah peraturan kedisiplinan bhikkhu/bhikkhuni.

Di dalam Nikaya, juga dinyatakan bahwa Sutta adalah “Saddhamma” yang berarti “Dhamma yang asli”. Dhamma yang asli diwujudkan dalam Sutta kumpulan tertua Sang Buddha yang terdapat di dalam Digha, Majjhima, Samyutta dan Anguttara Nikaya, dan keenam buku dari Khuddaka Nikaya yang disebutkan di atas. Nikaya-Nikaya ini secara umum diterima oleh
semua aliran-aliran Buddhis sebagai ajaran-ajaran asli Sang Buddha, tidak seperti buku-buku lain yang kontroversial karena mereka mengandung beberapa pertentangan dengan Nikaya-Nikaya. Sutta kumpulan tertua di dalam Nikaya-Nikaya adalah sangat konsisten dan mengandung makna kebebasan dari penderitaan.

Di dalam Maha Parinibbana Sutta (Digha Nikaya Sutta 16), yang berisi detail kemangkatan Sang Buddha, Sang Buddha menasehati para bhikkhu: “Dhamma-Vinaya apapun yang telah aku tunjukkan dan rumuskan untuk kalian, itu akan menjadi Guru kalian ketika aku tiada.” Ini adalah pernyataan yang sangat penting dimana maknanya telah diabaikan oleh banyak umat Buddhis. Karena banyak umat Buddhis tidak pernah mendengar nasehat ini atau mengerti maknanya, mereka mencari kemana-mana seorang guru, guru yang bisa dibanggakan dan disombongkan tentang pencapaiannya, dll. Beberapa bahkan berkeliling separuh dunia atau
lebih di dalam pencarian mereka tersebut.

Orang-orang ini menciptakan sesosok kepribadiaan untuk dipuja berdasarkan kebaikan yang dirasakan dari guru tersebut daripada Dhamma-Vinaya itu sendiri. Di dalam beberapa kasus, setelah bertahun-tahun, guru mereka tiada dan meninggalkan mereka sendirian. Meskipun waktu berjalan, pengikut-pengikut tersebut tidak membuat banyak kemajuan dan telah gagal
merasakan intisari/pokok dari Dhamma. Mereka akan merasa kosong, kehilangan. Oleh sebab itu, kita harus selalu mengingat bahwa Dhamma-Vinaya adalah Guru kita yang Terutama.

Selanjutnya, di Digha Nikaya Sutta 16, Sang Buddha berkata: “para bhikkhu, jadilah pelita untuk diri kalian sendiri, jadilah pelindung untuk diri kalian sendiri, dengan tiadanya pelindung yang lain. Jadikan Dhamma sebagai pelita kalian, jadikan Dhamma sebagai pelindungmu, dengan tiadanya pelindung yang lain.“ Dengan kata lain, kita harus semata-mata tergantung pada diri kita sendiri dan pada kata-kata Sang Buddha.

diambil dari :

Artikel ini dialih bahasakan seizin Bhante Dhammavuddho Maha Thera
(Abbot dari Vihara Buddha Gotama, Perak, Malaysia)
www.vbgnet.org
Dipublikasikan secara gratis oleh DPD PATRIA Sumut
Diterjemahkan oleh :
Yuliana Lie Pannasiri, BBA, MBA
Diedit oleh :
Andromeda Nauli, PhD
&
Nyanna Suriya Johnny, S.E
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #12 on: 25 August 2008, 06:20:15 AM »
Anda benar Rekan Tesla, namun demikian, jika merujuk pada definisi Sutta,
sutta (sutta; Skt. sutra): Literally, "thread"; a discourse or sermon by the Buddha or his contemporary disciples.
Ini berarti bahwa: Sutta=khotbah Sang Buddha=Dhamma. Penggunaan kata Dhamma atau Sutta, adalah bermakna sama.
Mengenai kebiasaan Sang Buddha menggunakan istilah "Dhamma & Vnaya". apakah Sang Buddha telah mencapai Kebebasan sempurna atau tidak? mengapa Sang Buddha harus terikat pada kebiasaan-kebiasaan?

Apakah orang yang bebas itu lalu TIDAK KONSISTEN, mencla-mencle, sekali bilang A, lain kali bilang B, agar tidak dikatakan orang "terikat pada kebiasaan"?

FAKTANYA adalah dalam seluruh Tipitaka Pali, Sang Buddha selalu menyebut ajarannya "Dhamma-Vinaya", bukan "Sutta & Vinaya". Ini fakta, jangan diplintir. Ini adalah KONSISTENSI bicara seorang tercerahkan, bukan sekadar "kebiasaan".

Sang Buddha mempunyai jadwal kegiatan sehari-hari yang KONSISTEN, tidur jam berapa, meditasi jam berapa, khotbah jam berapa: apakah itu juga "kebiasaan", yang tidak cocok bagi seorang tercerahkan? Apakah seorang tercerahkan melepaskan "kebiasaannya", sehingga hidup acak-acakan, bicara acak-acakan?

Pahami dulu FAKTA ini baik-baik, jangan bicara hal-hal lain, yang malah menggelikan.
« Last Edit: 25 August 2008, 06:43:41 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #13 on: 25 August 2008, 06:40:16 AM »
ini dia... berhubung suttanya pendek, saya kutip lengkapnya saja yah, saya kasih warna juga biar lebih mudah dibaca. :)
semoga bermanfaat bagi sdr. Semit dan yg lainnya.

Quote
Sutta-Nipata
V. Tentang Jalan Menuju Pantai Seberang
7. Pertanyaan Nanda

diambil dari http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=1030


Siswa brahmana berikutnya yang bertanya adalah Nanda. Inilah yang ditanyakannya kepada Sang Buddha:

 
1.    'Banyak orang,' kata Nanda, berbicara tentang manusia-manusia bijaksana yang --kata mereka-- hidup di dunia. Apa pendapat Yang Mulia tentang ini? Bila mereka menyebut seseorang 'bijaksana', apakah mereka berbicara tentang pengetahuannya atau cara hidupnya?'    (1077)

2.    "Bagi para ahli," kata Sang Buddha, "kata 'bijaksana' tidak ada hubungannya dengan cara orang melihat hal-hal, atau dengan apa yang telah diajarkan kepadanya, atau dengan apa yang dia pahami. Bagiku, Nanda, orang bijaksana adalah orang yang telah melepaskan senjatanya: dia hidup dalam kesendirian, tanpa gemetar atau kelaparan akan nafsu."    (1078)

3.    'Kalau demikian, Yang Mulia,' kata Nanda, 'ada pertanyaan lain yang harus saya ajukan. Semua guru agama dan brahmana telah berbicara tentang cara untuk menjadi murni. Beberapa mengatakan bahwa kemurnian datang dari pandangan-pandangan duniawi dan dari ajaran; beberapa mengatakan bahwa kemurnian datang dari perbuatan-perbuatan baik dan ritual-ritual keagamaan; yang lain mengatakan kemurnian datang dari hal-hal lain. Apakah Engkau mengatakan bahwa orang-orang ini, yang hidup di dunia ini, yang telah mengajarkan hal-hal ini, telah pergi melampaui kelahiran dan usia tua?    (1079)

4.    'Akan kukatakan ini tentang pemimpin-pemimpin agama yang mengajarkan bahwa pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran, atau perbuatan serta ritual, atau apa pun lainnya akan membuatmu murni; kukatakan bahwa orang-orang ini, yang hidup di dunia ini, belum pergi melampaui kelahiran dan ketuaan.'    (1080)

5.    'Tetapi Yang Mulia,' kata Nanda, 'orang-orang yang mengajarkan kemurnian yang datang dari pandangan dan ajaran, atau tindakan dan ritual, atau hal-hal lain ini, mereka adalah pemimpin keagamaan. Engkau mengatakan bahwa mereka bukanlah orang yang telah menyeberangi samudera. Saya harus menanyakan satu pertanyaan lagi: Dapatkah Engkau, wahai Yang Bijaksana, mengatakan siapakah orang di dunia ini yang telah pergi melampaui kelahiran dan ketuaan?'    (1081)

6.    'Aku tidak mengatakan bahwa semua guru agama dan brahmana ini terbungkus dalam selubung kelahiran dan ketuaan,' kata Sang Buddha. 'Ada beberapa yang telah melepaskan pandangan-pandangan dunia, melepaskan tradisi-tradisi buah-pikir ajaran. Mereka telah melepaskan praktek-praktek keagamaan dan ritual, mereka telah meninggalkan segala macam bentuk, dan mereka memiliki pemahaman total tentang kemelekatan. Bagi mereka, tidak ada lagi dorongan-dorongan beracun dari dalam. Inilah yang benar-benar merupakan penyeberang samudera.'    (1082)

7.    'Betapa sempurnanya penjelasan Guru Kebijaksanaan mengenai tidak melekat!' kata Nanda. 'Saya merasakan kegembiraan ketika mendengarnya, dan ketika mendengar ada orang-orang yang telah mau melepaskan pandangan, tradisi buah-pikir; praktek-praktek keagamaan dan ritual; serta melepaskan segala macam bentuk. Dan orang-orang ini memiliki pemahaman total tentang kemelekatan -- mereka telah menghapuskan dorongan-dorongan beracun dari dalam! Inilah orang-orang yang akan saya sebut juga penyeberang samudera    (1083)

pada paragraf ke-6, silahkan diteliti baik-baik. Sang Buddha ternyata tidak men-claim dirinya sebagai The Only One pada masa itu :)

bagaimana dg paham tentang kelahiran seorang Bodhisatta & pencerahan SammasamBuddha yg hanya terjadi pada saat dhamma telah hilang? ;)

saya menganjurkan rekan2 lain membaca semua paragraf dalam sutta ini dengan perhatian penuh. sutta ini memiliki penjelasan yg mendalam, walaupun hanya terdiri dari sedikit kata2 dibanding sutta lain. di sini Sang Buddha berbicara secara singkat dan langsung menembus ke inti.

juga sutta ini tidak diawali dg kalimat pembuka, "demikianlah yg telah kami dengar"

Wah, terima kasih banyak atas sutta ini. Baru sekali ini saya baca. Saya akan pelajari sampai ke teks aslinya. ... Inilah benar-benar ajaran Buddha yang asli, bukan sutta-sutta panjang yang banyak disisipi hal-hal yang tidak otentik. ... Memang kitab Sutta Nipata, Udana dan Itivuttaka yang berisi sutta-sutta pendek merupakan bagian dari Tipitaka Pali yang paling "tua", yang paling dekat dengan zaman Sang Buddha masih hidup. ... Dalam ketiga kitab itu hampir tidak ditemukan Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beraspek Delapan, tiga corak eksistensi (tilakkhana), tujuh bojjhanga, lima bala, lima nivarana, duabelas nidana dll enumerasi (ajaran yang tersusun dalam bentuk deretan dengan jumlah tertentu), yang menunjukkan sistematika yang berkembang belakangan. ... Dalam kitab Sutta Nipata, Udana & Itivuttaka, Sang Buddha bicara secara spontan tentang kehidupan suci & pembebasan tanpa mengesankan suatu ajaran yang spesifik, yang unik, yang berbeda dengan ajaran-ajaran pembebasan lainnya, yang perlu dihafalkan. ... Bagi saya pribadi, membaca Sutta Nipata, Udana & Itivuttaka memberi kesan yang sama seperti membaca ceramah J. Krishnamurti.

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #14 on: 25 August 2008, 06:46:48 AM »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #15 on: 25 August 2008, 07:03:10 AM »
Artikel ini dialih bahasakan seizin Bhante Dhammavuddho Maha Thera
(Abbot dari Vihara Buddha Gotama, Perak, Malaysia)
www.vbgnet.org
Dipublikasikan secara gratis oleh DPD PATRIA Sumut
Diterjemahkan oleh :
Yuliana Lie Pannasiri, BBA, MBA
Diedit oleh :
Andromeda Nauli, PhD
&
Nyanna Suriya Johnny, S.E

Artikel ini ditulis oleh seorang bhikkhu Theravada. Secara tersirat beliau mau menekankan bahwa seluruh Sutta Pitaka berisi ajaran Sang Buddha, dari A sampai Z tidak boleh dikurangi.

Orang bebas untuk menerima atau tidak menerima kata-kata bhikkhu ini. Kalau betul apa yang dikatakan oleh beliau, maka thread ini bisa ditutup saja.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #16 on: 25 August 2008, 07:11:52 AM »
:)) :)) :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #17 on: 25 August 2008, 07:18:19 AM »
DHAMMA VINAYA ADALAH GURU KITA
Sekarang ini, ajaran-ajaran Sang Buddha sering disebut sebagai Tipitaka atau Tripitaka (Tiga Kumpulan), walaupun mereka disebut “Dhamma-Vinaya” oleh Sang Buddha di dalam khotbah-khotbahnya. Di Sutta Anguttara Nikaya 4.180, Sang Buddha secara khusus merujuk Dhamma sebagai Sutta (khotbah). Vinaya adalah peraturan kedisiplinan bhikkhu/bhikkhuni.

Anguttara Nikaya 4.180 ini persis sama dengan bagian "Cattaro Maha-upadesa" dari Mahaparinibbana-sutta yang dipersoalkan. ... Ini menarik: satu bagian dari Mahaparinibbana-sutta ditemukan berdiri sendiri sebagai "Maha-upadesa-sutta" (Anguttara Nikaya 4.180). ... Pertanyaannya: bagaimana prosesnya sampai bisa begitu?

Quote from: Anguttara Nikaya
018.10. At one time The Blessed One was living in the ânanda monument in Bhoganagar. and addressed the bhikkhus:

Bhikkhus, these four are distinct indications, listen carefully, I will tell you.

Bhikkhus, what are the four distinct indications?

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, I have heard this in the presence of The Blessed One and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are not found in the discourses and if there is no proof in the Discipline, it should be concluded these are not the words, of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are wrongly grasped words of that bhikkhu and they should be thrown away.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, I have heard this in the presence of The Blessed One and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are found in the discourses and if there is proof in the Discipline, it should be concluded these are indeed the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are rightly grasped words of that bhikkhu and should be remembered. Bhikkhus, remember this as the first distinct indication.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, in the monastery of this name bhikkhus live. They are eminent elders, leaders. I heard this from them and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are not found in the discourses and if there is no proof in the Discipline, it should be concluded these are not the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are wrongly grasped words of the Community and they should be thrown away.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, in the monastery of this name bhikkhus live. They are eminent elders, leaders. I heard this from them and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are found in the discourses and if there is proof in the Discipline, it should be concluded these are the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are rightly grasped words of the Community and should be remembered. Bhikkhus, remember this as the second distinct indication.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, in the monastery of this name many elder bhikkhus live. They are the bearers of the Teaching and the Discipline with the headings. I heard this from them and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and they should be searched in the discourses and proof looked in the Discipline. If those words and letters are not found in the discourses and if there is no proof in the Discipline, it should be concluded these are not the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are wrongly grasped words of those elders and they should be thrown away.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, in the monastery of this name many elder bhikkhus live. They are the bearers of the Teaching and the Discipline, with the headings. I heard this from them and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and they should be searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are found in the discourses with proof in the Discipline, it should be concluded these are the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are rightly grasped words of those elders and should be remembered. Bhikkhus, remember this as the third distinct indication.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, in the monastery of this name a single bhikkhu lives. He is an eminent elder, a leader. a bearer of the Teaching and Discipline with the headings. I heard this from him and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and should be searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are not found in the discourses and if there is no proof in the Discipline, it should be concluded these are not the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are wrongly grasped words of that elder and they should be thrown away.

Here, bhikkhus, a bhikkhu might say, in the monastery of this name a single bhikkhu lives. He is an eminent elder, a leader a bearer of the Teaching and Discipline with the headings. I heard this from him and it was acknowledged. This is the Teaching, this is the Discipline and this is the dispensation of the Teacher. The words of that bhikkhu should not be disparaged nor accepted, those words and letters should be thoroughly learnt and searched in the discourses and proof should be looked in the Discipline. If those words and letters are found in the discourses and if there is proof in the Discipline, it should be concluded these are the words of that Blessed One, worthy and rightfully enlightened. These are rightly grasped words of that elder and should be remembered. Bhikkhus, remember this as the fourth distinct indication. Bhikkhus, these are the four distinct indications.
« Last Edit: 25 August 2008, 07:29:53 AM by hudoyo »

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #18 on: 25 August 2008, 07:29:46 AM »
Sewaktu sang Buddha mencapai Nibbana akhir di Kusinara, salah seorang murid senior : Maha Kassapa dan sekelompok bhikkhu sedang dalam perjalanan menuju kusinara untuk menjumpai sang Buddha, namun mereka belum mendengar berita kemangkatan Guru mereka. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang pertapa pengembara yang kemudian menyampaikan berita kemangkatan sang Buddha yang telah beberapa hari sebelumnya. Begitu mendengar berita ini beberapa bhikkhu mulai meratap sedih, tapi salah satu dari mereka Subbhadda, yang menjadi bhikkhu pada usianya yang telah lanjut malah berkata :

Sudahlah kawan kawan, tidak usah meratap atau menangis! kita sebenarnya beruntung telah terlepas dari pertapa agung itu, dia selalu saja menjemukan kita dengan berkata "Adalah baik bila engkau berbuat begini atau adalah baik bila engkau tidak berbuat begitu!". Sekarang kita dapat berbuat atau tidak berbuat, sesuka hati kita.

Digha Nikaya II:163

Maha Kassapa kemudian menyadari bahwa andaikata banyak bhikkhu seperti Subbhada, ketidakseuaian paham mengenai Dhamma akan segera muncul. Oleh karena itu diputuskan bahwa tiga bulan kemudian pertemuan besar akan dilaksanakan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #19 on: 25 August 2008, 07:32:50 AM »
Didalam Itivuttaka kan dikelompokkan dari 1-4, kita tidak akan bisa menemukan yg faktornya lebih dari itu

ini ada yang faktor 3,

Quote from: § 59. {Iti 3.10; Iti 50}
This was said by the Blessed One, said by the Arahant, so I have heard: "Endowed with three qualities a monk has passed beyond Mara's domain and shines like the sun. Which three? There is the case where a monk is endowed with the aggregate of virtue of one beyond training [i.e., an arahant], the aggregate of concentration of one beyond training, the aggregate of discernment of one beyond training. Endowed with these three qualities a monk has passed beyond Mara's domain and shines like the sun."

Virtue, concentration, discernment:
one in whom these are well-developed,
passing beyond Mara's domain,
   shines, shines
   like the sun.
There is no place like 127.0.0.1

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #20 on: 25 August 2008, 07:34:38 AM »
 [at] Ryu

Apa relevansinya kutipan Anda itu dengan topik yang sedang didiskusikan? Apakah Anda mau bilang bahwa orang-orang yang mendiskusikan sampai di mana keotentikan bagian-bagian Tipitaka Pali di sini sama dengan Subbhadda dalam kutipan Anda?

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #21 on: 25 August 2008, 07:41:49 AM »
yang membuat kemunduran agama Buddha itu bisa jadi dari dalamnya sendiri bukan dari luar :)
bagaimana bisa disebut agama / ajaran yang baik kalau umatnya sendiri yang menghancurkan Dhamma sang Buddha gitu lho Pak :)

Maaf kalau salah kata yah :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #22 on: 25 August 2008, 08:25:08 AM »
 [at] Ryu

Apa yang Anda maksud "menghancurkan Dhamma sang Buddha dari dalam"? Bisa dijelaskan lagi?

Bagi saya yang disebut "menghancurkan Dhamma Sang Buddha dari dalam" adalah "mengatakan sebagai ajaran Sang Buddha apa yang sesungguhnya bukan ajaran Sang Buddha". ... Nah, cocokkah itu dengan pengertian Anda tentang "menghancurkan Dhamma sang Buddha"?
« Last Edit: 25 August 2008, 08:31:33 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #23 on: 25 August 2008, 08:28:01 AM »
Didalam Itivuttaka kan dikelompokkan dari 1-4, kita tidak akan bisa menemukan yg faktornya lebih dari itu

JUSTRU fakta bahwa dalam Itivuttaka enumerasi itu cuma sampai 4 menunjukkan bahwa kitab itu relatif lebih tua umurnya. :) ... Ini berbeda dengan Anguttara Nikaya, misalnya, di mana enumerasi sampai sebelas. Jelas Anguttara Nikaya jauh lebih "muda" daripada Itivuttaka.
« Last Edit: 25 August 2008, 08:33:39 AM by hudoyo »

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #24 on: 25 August 2008, 09:04:41 AM »
[at] Ryu

Apa yang Anda maksud "menghancurkan Dhamma sang Buddha dari dalam"? Bisa dijelaskan lagi?

Bagi saya yang disebut "menghancurkan Dhamma Sang Buddha dari dalam" adalah "mengatakan sebagai ajaran Sang Buddha apa yang sesungguhnya bukan ajaran Sang Buddha". ... Nah, cocokkah itu dengan pengertian Anda tentang "menghancurkan Dhamma sang Buddha"?

DAN "mengatakan sebagai bukan ajaran Sang Buddha apa yang sesungguhnya ajaran Sang Buddha"

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #25 on: 25 August 2008, 09:07:35 AM »
DAN "mengatakan sebagai bukan ajaran Sang Buddha apa yang sesungguhnya ajaran Sang Buddha"

Bisa diberi contoh?

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #26 on: 25 August 2008, 09:12:29 AM »
KM.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #27 on: 25 August 2008, 09:14:32 AM »
Didalam Itivuttaka kan dikelompokkan dari 1-4, kita tidak akan bisa menemukan yg faktornya lebih dari itu

JUSTRU fakta bahwa dalam Itivuttaka enumerasi itu cuma sampai 4 menunjukkan bahwa kitab itu relatif lebih tua umurnya. :) ... Ini berbeda dengan Anguttara Nikaya, misalnya, di mana enumerasi sampai sebelas. Jelas Anguttara Nikaya jauh lebih "muda" daripada Itivuttaka.

Muda dalam artian diutarakan oleh Sang Buddha atau muda dalam artian ditulis?
There is no place like 127.0.0.1

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #28 on: 25 August 2008, 09:14:52 AM »
Contoh belum bisa diberikan, karena diskusi masih berlangsung dan belum sampai pada kesimpulan, apa yang saya katakan hanya menyambung kalimat Sdr. Hudoyo yang belum lengkap. kalau saya paksakan untuk memberikan contoh, nantinya akan dijawab bahwa, itu bukan berasal dari mulut Sang Buddha, tambahan belakangan, dll. seperti yang sudah sering terjadi. mohon bersabar hingga diskusi ini menghasilkan kesimpulan.

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #29 on: 25 August 2008, 10:00:02 AM »
Contoh belum bisa diberikan, karena diskusi masih berlangsung dan belum sampai pada kesimpulan, apa yang saya katakan hanya menyambung kalimat Sdr. Hudoyo yang belum lengkap. kalau saya paksakan untuk memberikan contoh, nantinya akan dijawab bahwa, itu bukan berasal dari mulut Sang Buddha, tambahan belakangan, dll. seperti yang sudah sering terjadi. mohon bersabar hingga diskusi ini menghasilkan kesimpulan.
tampaknya sama seperti apa yg dikatakan rekan Suchamda, bahwa
dalam diskusi 'kejanggalan sutta', Anda dan beberapa rekan malah menjawab dg pondasi bahwa 'sutta adalah absolut benar'. mungkin ini terjadi secara tanpa disadari yah? :)

fenomenal begini terjadi di agama2 lain juga sementara umat Buddhist begitu bangga dg Kalama Sutta yg dipakai utk meng-counter bahwa kitab suci lain belum tentu benar... menurut saya ini juga berlaku utk kitab suci agama Buddha (Tipitaka/Tripitaka). Alkitab, Alquran belum tentu 100% dari Tuhan/Allah, demikian juga dg Tipitaka/Tripitak belum tentu 100% adalah benar ucapan Sang Buddha. semoga dapat menerima fakta ini...
« Last Edit: 25 August 2008, 10:07:19 AM by tesla »
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #30 on: 25 August 2008, 10:04:15 AM »
Kalau kita membaca Sutta ini dari awal, Sang Buddha juga mengajarkan faktor-faktor yang mendukung kemajuan para bhikkhu, antara lain, sering melakukan pertemuan. pada pertemuan itu tentunya bisa didiskusikan mengenai apa yang sesuai dan yang tidak sesuai. jadi tidak disarankan untuk mengambil kesimpulan secara pribadi. seperti yang baru saja anda lakukan.
kayaknya spekulasi di atas tidak menjawab kejanggalannya :)
sejauh ini saya nilai analisis pak hudoyo jauh lebih sederhana dan masuk akal...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #31 on: 25 August 2008, 10:08:52 AM »
[at] Ryu

Apa yang Anda maksud "menghancurkan Dhamma sang Buddha dari dalam"? Bisa dijelaskan lagi?

Bagi saya yang disebut "menghancurkan Dhamma Sang Buddha dari dalam" adalah "mengatakan sebagai ajaran Sang Buddha apa yang sesungguhnya bukan ajaran Sang Buddha". ... Nah, cocokkah itu dengan pengertian Anda tentang "menghancurkan Dhamma sang Buddha"?
Ibaratnya gini, mau tidak mau ajaran sang Buddha itu tertulis dalam Tipitaka, nah sebagai umat Buddha mau tidak mau mengambil referensi ajaran sang Buddha itu dari sutta khan, apabila dari umatnya sendiri saja tidak yakin isi sutta ini berasal/merupakan ajaran sang Buddha apalagi umat yang lain, gitu lho pak, sekarang yang menyusun sutta khan murid2nya apabila ada kejanggalan2 menurut bapak jadi yang manakah yang benar2 ajaran sang Buddha? Apa hanya referensi sutta yang bapak pakai saja dalam MMD yang lain tidak asli dan tidak berguna?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #32 on: 25 August 2008, 10:26:11 AM »
semoga dapat menerima fakta ini...
Fakta yang mana yang anda maksud? Sutta manakah yang tidak benar menurut fakta yang anda maksudkan? jika memang ada fakta, tentunya saya bisa menerima argumentasi anda.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #33 on: 25 August 2008, 10:32:34 AM »
 [at] Ryu

Jadi menurut jalan pemikiran Anda, ajaran Sang Buddha itu PERSIS SAMA dengan yang tercantum dalam Tipitaka. ... Ini seperti orang Keristen yang tidak boleh menyimpang dari Alkitab yang dipercaya sebagai "firman Tuhan". ... :)

Justru itu yang oleh saya dan beberapa teman-teman di sini mau dibongkar. Ukuran kebenaran ajaran Sang Buddha bukanlah apa yang tercantum dalam Tipitaka secara eksklusif dan mutlak. Masih banyak kitab suci Buddhis lain; dan terhadap mereka pun harus diperlakukan sikap yang sama seperti terhadap Tipitaka, yaitu sikap yang telah diajarkan Sang Buddha sendiri dalam Kalama-sutta.

Salam,
hudoyo

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #34 on: 25 August 2008, 10:33:21 AM »
Sebenernya pernah juga dibahas kok hal yang mirip kek thread ini
Linknya nih  : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=130.0

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #35 on: 25 August 2008, 10:34:34 AM »
[at] Ryu

Jadi menurut jalan pemikiran Anda, ajaran Sang Buddha itu PERSIS SAMA dengan yang tercantum dalam Tipitaka. ... Ini seperti orang Keristen yang tidak boleh menyimpang dari Alkitab yang dipercaya sebagai "firman Tuhan". ... :)

Justru itu yang oleh saya dan beberapa teman-teman di sini mau dibongkar. Ukuran kebenaran ajaran Sang Buddha bukanlah apa yang tercantum dalam Tipitaka secara eksklusif dan mutlak. Masih banyak kitab suci Buddhis lain; dan terhadap mereka pun harus diperlakukan sikap yang sama seperti terhadap Tipitaka, yaitu sikap yang telah diajarkan Sang Buddha sendiri dalam Kalama-sutta.

Salam,
hudoyo
Hehehe, kalo aye sih gak peduli sutta Baik atau Jelek, Jadi inget kata2 ini Objek itu Netral :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #36 on: 25 August 2008, 10:35:33 AM »
Tambahan , Bahkan menurut agama Aye khan dah Jelas Buddha itu SESAT kakakakak :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #37 on: 25 August 2008, 10:39:26 AM »
Sebenernya pernah juga dibahas kok hal yang mirip kek thread ini
Linknya nih  : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=130.0

Thread itu terhenti pada bulan April 2008.
Sekarang, bulan Agustus, "diteruskan" di sini dengan membahas contoh-contoh konkrit dari Tipitaka (Mahaparinibbana-sutta) yang dipermasalahkan.

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #38 on: 25 August 2008, 11:39:09 AM »
semoga dapat menerima fakta ini...
Fakta yang mana yang anda maksud? Sutta manakah yang tidak benar menurut fakta yang anda maksudkan? jika memang ada fakta, tentunya saya bisa menerima argumentasi anda.
fakta bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik dari mulut Sang Buddha :)
mengenai detail pembahasannya sedang dilanjutkan dalam thread ini :)

ooops... saya sudah mengerti saddha Anda yg luar biasa thd sutta... :)
dalam hal ini memang kita tidak sejalan walau bagaimanapun argumentasi yg ada :)
« Last Edit: 25 August 2008, 11:47:04 AM by tesla »
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #39 on: 25 August 2008, 11:44:29 AM »
semoga dapat menerima fakta ini...
Fakta yang mana yang anda maksud? Sutta manakah yang tidak benar menurut fakta yang anda maksudkan? jika memang ada fakta, tentunya saya bisa menerima argumentasi anda.
fakta bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik dari mulut Sang Buddha :)
mengenai detail pembahasannya sedang dilanjutkan dalam thread ini :)
Setidaknya masih masuk akallah dari pada kitab yang diklaim datang dari TUHAN :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #40 on: 25 August 2008, 11:46:53 AM »
kalau fakta, bukankah sudah terbukti?

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #41 on: 25 August 2008, 03:14:19 PM »

5.    'Tetapi Yang Mulia,' kata Nanda, 'orang-orang yang mengajarkan kemurnian yang datang dari pandangan dan ajaran, atau tindakan dan ritual, atau hal-hal lain ini, mereka adalah pemimpin keagamaan. Engkau mengatakan bahwa mereka bukanlah orang yang telah menyeberangi samudera. Saya harus menanyakan satu pertanyaan lagi: Dapatkah Engkau, wahai Yang Bijaksana, mengatakan siapakah orang di dunia ini yang telah pergi melampaui kelahiran dan ketuaan?'    (1081)

6.    'Aku tidak mengatakan bahwa semua guru agama dan brahmana ini terbungkus dalam selubung kelahiran dan ketuaan,' kata Sang Buddha. 'Ada beberapa yang telah melepaskan pandangan-pandangan dunia, melepaskan tradisi-tradisi buah-pikir ajaran. Mereka telah melepaskan praktek-praktek keagamaan dan ritual, mereka telah meninggalkan segala macam bentuk, dan mereka memiliki pemahaman total tentang kemelekatan. Bagi mereka, tidak ada lagi dorongan-dorongan beracun dari dalam. Inilah yang benar-benar merupakan penyeberang samudera.'    (1082)

pada paragraf ke-6, silahkan diteliti baik-baik. Sang Buddha ternyata tidak men-claim dirinya sebagai The Only One pada masa itu :)

bagaimana dg paham tentang kelahiran seorang Bodhisatta & pencerahan SammasamBuddha yg hanya terjadi pada saat dhamma telah hilang? ;)

saya menganjurkan rekan2 lain membaca semua paragraf dalam sutta ini dengan perhatian penuh. sutta ini memiliki penjelasan yg mendalam, walaupun hanya terdiri dari sedikit kata2 dibanding sutta lain. di sini Sang Buddha berbicara secara singkat dan langsung menembus ke inti.

juga sutta ini tidak diawali dg kalimat pembuka, "demikianlah yg telah kami dengar"

Ada yang mungkin Sdr. Tesla dan kita juga perlu tekankan (garis bawahi) dan teliti yaitu kata ‘ada beberapa’ , ‘guru agama’ dan ‘brahmana ini’. Di sini Sang Buddha menjelaskan lebih detail yaitu: Mereka telah melepaskan praktek-praktek keagamaan dan ritual, mereka telah meninggalkan segala macam bentuk, dan mereka memiliki pemahaman total tentang kemelekatan. Bagi mereka, tidak ada lagi dorongan-dorongan beracun dari dalam. Inilah yang benar-benar merupakan penyeberang samudera. - Ini yang penting.

Jadi ‘beberapa’ , ‘guru agama’ dan ‘brahmana ini’ yang dimaksud adalah mereka yang telah lepas dari kemelekatan. Jadi kita perlu melihat ajaran dan penerapan ajaran dari guru agama lain itu seperti apa. Yang jelas, Para Buddha termasuk seorang guru agama yang dimaksud, Para Arahat juga seorang guru agama bahkan ada beberapa yang berasal dari kaum brahmana. Dan jika kita mengacu pada Itivutaka 3.68 (yang di antara kita mengatakan Itivutaka sebagai kitab yang tua) disampaikan bahwa: Tathagatha yang tertinggi. - Jika demikian adakah guru agama lain yang lebih tinggi dari Tathagatha (tidak mengacu pada pribadi Gotama seorang)? Ini pertanyaan pertama.

Bagi saya, jawaban Sang Buddha dalam Pertanyaan Nanda tentang guru agama dan brahmana merupakan jawaban Sang Buddha dengan menggunakan bahasa yang halus, bahasa tidak langsung, yang mengacu pada Para Buddha, Para Arahat yang telah memahami, mempraktikkan Dhamma yang ditemukan. Adalah arogan jika Sang Buddha menjawab langsung untuk pertanyaan sejenis pertanyaan Nanda tersebut. Kita bisa melihat betapa hati-hatinya Sang Buddha dalam menjawab, menunjuk ‘ada beberapa’ tapi ia juga memberikan syarat.

“Ia yang melihat Paticcasamuppada, ia melihat Dhamma” – Ini sudah harga mati (kecuali kita mulai mempermasalahkan pernyataan ini). Jadi guru agama dan para brahmana yang tidak memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada, maka ia tidak melihat Dhamma. Sekarang, guru agama mana yang memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada di luar Para Buddha dan Arahat? Ini pertanyaan kedua.

Dari sudut lain, yang disampaikan Sdr. Tesla juga ada benarnya bahwa Sang Buddha tidak mengklaim sebagai The Only One pada masa itu karena ada Para Arahat  ;), para Arahat juga merupakan mereka yang telah menyeberang, mereka juga bisa menjadi guru agama dan diantara mereka ada yang dari kaum brahmana. Bhakan kalau tisak salah ingat Sang buddha pernah menjelaskan mengenai ciri-ciri brahmana sejati yang tidaka lain mengacu pada mereka yang mempraktikkan ajaran Buddha. 


NB: Ada atau tidaknya kalimat "demikianlah yg telah kami dengar" tidak bisa dijadikan patokan dalam membahas 'kebenaran' dalam sutta.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #42 on: 25 August 2008, 03:39:44 PM »
melihat dari paragraf sebelumnya, Nanda sedang membicarakan para guru yg di luar dan yg berada pada zaman Sang Buddha. yg mana ia ketahui adalah mengajarkan perbuatan, ritual, paham & ajaran.

jadi menurut saya, Sang Buddha tidak menjawab dalam konteks pengikutnya (secara para Arahat adalah muridnya). Sang Buddha akan mengatakan "ada, hanya aku dan murid2kulah yg bla bla bla..." bila yg dimaksud adalah 'hanya pengikutnya'.
menjawab demikian, tidak arogan apabila hal itu memang benar.

Quote
“Ia yang melihat Paticcasamuppada, ia melihat Dhamma” – Ini sudah harga mati (kecuali kita mulai mempermasalahkan pernyataan ini). Jadi guru agama dan para brahmana yang tidak memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada, maka ia tidak melihat Dhamma. Sekarang, guru agama mana yang memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada di luar Para Buddha dan Arahat? Ini pertanyaan kedua.
nah disinilah pointnya, menurut saya, Paticcasamupadda yg dimaksud bukan mengacu pada Paticcasamupadda yg ekslusif dibabarkan oleh Buddha... bisa saja dalam label lain tetapi mengacu ke hal yg sama.
« Last Edit: 25 August 2008, 03:45:26 PM by tesla »
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #43 on: 25 August 2008, 04:00:18 PM »
“Ia yang melihat Paticcasamuppada, ia melihat Dhamma” – Ini sudah harga mati (kecuali kita mulai mempermasalahkan pernyataan ini). Jadi guru agama dan para brahmana yang tidak memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada, maka ia tidak melihat Dhamma. Sekarang, guru agama mana yang memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada di luar Para Buddha dan Arahat? Ini pertanyaan kedua.
maaf... seingat saya 'siapa yg melihat dhamma, ia melihat buddha' :P
mungkin ingatan saya salah... boleh minta referensinya?
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #45 on: 25 August 2008, 04:34:43 PM »
melihat dari paragraf sebelumnya, Nanda sedang membicarakan para guru yg di luar dan yg berada pada zaman Sang Buddha. yg mana ia ketahui adalah mengajarkan perbuatan, ritual, paham & ajaran.

jadi menurut saya, Sang Buddha tidak menjawab dalam konteks pengikutnya (secara para Arahat adalah muridnya). Sang Buddha akan mengatakan "ada, hanya aku dan murid2kulah yg bla bla bla..." bila yg dimaksud adalah 'hanya pengikutnya'.
menjawab demikian, tidak arogan apabila hal itu memang benar.

Quote
“Ia yang melihat Paticcasamuppada, ia melihat Dhamma” – Ini sudah harga mati (kecuali kita mulai mempermasalahkan pernyataan ini). Jadi guru agama dan para brahmana yang tidak memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada, maka ia tidak melihat Dhamma. Sekarang, guru agama mana yang memahami, mempraktikkan, mengajarkan Paticcasamuppada di luar Para Buddha dan Arahat? Ini pertanyaan kedua.
nah disinilah pointnya, menurut saya, Paticcasamupadda yg dimaksud bukan mengacu pada Paticcasamupadda yg ekslusif dibabarkan oleh Buddha... bisa saja dalam label lain tetapi mengacu ke hal yg sama.

Mungkin bisa disebut sebagai paticcasamupadda generik. Tanpa merek Buddhism.  ;D
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #46 on: 25 August 2008, 04:38:44 PM »
Apa ada Kemungkinan sebenarnya sang Buddha itu menyatakan bahwa Hanya ajarannya yang paling Benar, tapi sama murid2nya dirubah jadi seakan2 bersifat universal :))
Karena ajaran Sang Buddha khan harus Exclusive :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #47 on: 25 August 2008, 04:40:06 PM »
semoga dapat menerima fakta ini...
Fakta yang mana yang anda maksud? Sutta manakah yang tidak benar menurut fakta yang anda maksudkan? jika memang ada fakta, tentunya saya bisa menerima argumentasi anda.
fakta bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik dari mulut Sang Buddha :)
mengenai detail pembahasannya sedang dilanjutkan dalam thread ini :)

ooops... saya sudah mengerti saddha Anda yg luar biasa thd sutta... :)
dalam hal ini memang kita tidak sejalan walau bagaimanapun argumentasi yg ada :)

suatu statement yang menakjubkan dari seorang global moderator, pak tesla, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan saddha, harap diingat bahwa kita sedang berdiskusi di sini. ketika anda mengatakan bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik, anda tentunya sudah memiliki bukti-bukti pendukung bukan sekedar dugaan. bukti inilah yang saya inginkan jika anda berkenan memberikan. meminjam istilah yang dipopulerkan oleh salah satu member forum ini, "JANGAN LEMPAR BATU SEMBUNYI TANGAN". namun jika anda sudah menyadari bahwa kita tidak bisa melanjutkan diskusi lagi, agak mengherankan kok anda masih menanggapi?

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #48 on: 25 August 2008, 05:29:59 PM »
melihat dari paragraf sebelumnya, Nanda sedang membicarakan para guru yg di luar dan yg berada pada zaman Sang Buddha. yg mana ia ketahui adalah mengajarkan perbuatan, ritual, paham & ajaran.

jadi menurut saya, Sang Buddha tidak menjawab dalam konteks pengikutnya (secara para Arahat adalah muridnya). Sang Buddha akan mengatakan "ada, hanya aku dan murid2kulah yg bla bla bla..."
menjawab demikian, tidak arogan apabila hal itu memang benar.

Sdr. Tesla memang benar bahwa Nanda membicarakan para guru yang di luar, tapi karena Sang Buddha melihat tidak terdapat guru yang melebihi Tathagatha dan Para Arahat pada masa itu maka Ia menyatakan dengan secara halus bahwa guru agama dan brahamna yang beberapa itu adalah para Tathagatha dan Para Arahat. Justru karena pertanyaan Nanda berhubungan dengan orang luar maka akan menjadi arogan jika Sang Buddha langsung menjawab “tidak ada” atau “hanya saya saja” atau “hanya kami saja”. Coba kita bandingkan dengan Itivutaka 3.68 http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=879  yang merupakan pernyataan dari Sang Buddha yang bukan didasari dari pertanyaan seseorang dan tidak berkaitan dengan orang lain (guru lain), Ia menyatakan dengan tegas bahwa Tathagata yang Tertinggi.

Jika kita pernah membaca mengenai penjelasan Sang Buddha mengenai 4 jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan cara yang berbeda (saya lupa sutta yang mana) maka kita akan menemukan bahwa ada pertanyaan  yang perlu dijawab secara tidak langsung. Pertanyaan Nanda ini adalah salah satunya. Kita juga melihat bahwa situasi ketika Nanda bertanya, hadir disana para siswa brahmana lainnya yang jelas memberikan situasi yang kompleks jika harus dijawab secara langsung. Untuk menjaga situasi agar tetap nyaman Sang Buddha menyampaikan apa adanya dengan menggunakan pergantian kata-kata, syarat-syarat yang tidak merubah maknanya. 

Quote
nah disinilah pointnya, menurut saya, Paticcasamupadda yg dimaksud bukan mengacu pada Paticcasamupadda yg ekslusif dibabarkan oleh Buddha... bisa saja dalam label lain tetapi mengacu ke hal yg sama.

Apa iya ada??
Kalaupun ada dalam lebel lain ( atau genertik, istilah dari Sdr.Suchamda) maka ajaran itu akan terangkat ke permukaan dan akan dikenal baik oleh sekelompok orang karena yang mengajarkan hal itu pastilah orang yang memiliki kualitas yang tinggi termasuk kharismanya. Nah, saya pribadi belum melihat sekelompok orang yang menjunjung suatu ajaran yang merupakan Paticcasamupadda dalam lebel yang berbeda.
Mungkin ada yang bisa menunjuk suatu kelompok yang menjunjung suatu ajaran yang merupakan Paticcasamupadda dalam lebel yang berbeda?? Dipersilahkan untuk menunjuknya agar kita bisa membandingkannya dengan Paticcasamupadda yang dibabarkan oleh Sang Buddha.

Pertanyaan yang sempat terpikir oleh saya, apakah ada yang salah ketika  Paticcasamupadda memang ekslusif dibabarkan oleh Buddha? Bagi saya Paticcasamupadda adalah suatu keunikan (kalau mau dibilang ekslusif). Bagi saya segala sesuatu di dunia ini ada keunikan (keesklusifan) untuk dirinya sendiri meskipun akhirnya anatta. Unsur panas memiliki keunikan (keesklusifan) yaitu membakar, unsur cair memiliki keunikan (keesklusifan) mengair ke bawah., dsb. Kita tidak bisa memaksakan bahwa membakar ada di luar dari unsur panas.

Itu saja yang bisa saya sampaikan.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #49 on: 25 August 2008, 05:40:01 PM »
semoga dapat menerima fakta ini...
Fakta yang mana yang anda maksud? Sutta manakah yang tidak benar menurut fakta yang anda maksudkan? jika memang ada fakta, tentunya saya bisa menerima argumentasi anda.
fakta bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik dari mulut Sang Buddha :)
mengenai detail pembahasannya sedang dilanjutkan dalam thread ini :)

ooops... saya sudah mengerti saddha Anda yg luar biasa thd sutta... :)
dalam hal ini memang kita tidak sejalan walau bagaimanapun argumentasi yg ada :)

suatu statement yang menakjubkan dari seorang global moderator, pak tesla, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan saddha, harap diingat bahwa kita sedang berdiskusi di sini. ketika anda mengatakan bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik, anda tentunya sudah memiliki bukti-bukti pendukung bukan sekedar dugaan. bukti inilah yang saya inginkan jika anda berkenan memberikan. meminjam istilah yang dipopulerkan oleh salah satu member forum ini, "JANGAN LEMPAR BATU SEMBUNYI TANGAN". namun jika anda sudah menyadari bahwa kita tidak bisa melanjutkan diskusi lagi, agak mengherankan kok anda masih menanggapi?
forum ini kan bukan milik kita berdua om... :)
soal tidak melanjutkan yg saya maksud, bukan saya berhenti meragukan sutta
tetapi berhenti menganjurkan Anda utk "berKalama sutta" thd tipitaka... itu yg saya give up

global moderator juga manusia kok, ga ada apa apanya
bisa salah & bahkan sering salah juga ;)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #50 on: 25 August 2008, 05:54:36 PM »
Quote from: tesla link=topic=4226.msg71086#msg71086
forum ini kan bukan milik kita berdua om... :)
soal tidak melanjutkan yg saya maksud, bukan saya berhenti meragukan sutta
tetapi berhenti menganjurkan Anda utk "berKalama sutta" thd tipitaka... itu yg saya give up

global moderator juga manusia kok, ga ada apa apanya
bisa salah & bahkan sering salah juga ;)


Adakah dari postingan saya yang mengindikasikan kalau forum ini milik kita berdua? baiklah, karena anda menyebutkan kalama sutta, bagaimana kalau kita back to topik dengan memberikan bukti ketidak-otentikan sutta-sutta seperti yang anda nyatakan, ini tentunya sesuai dengan pemahaman anda atas kalama sutta.

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #51 on: 25 August 2008, 06:38:54 PM »
ini lho:
Quote
namun jika anda sudah menyadari bahwa kita tidak bisa melanjutkan diskusi lagi, agak mengherankan kok anda masih menanggapi?
sekalian meluruskan, bahwa saya bukan bilang kita tidak bisa berdiskusi lagi
dan pada saat Anda mem-posting kata 'kok Anda masih menanggapi',
sejauh itu saya belum ada menanggapi Anda... itulah yg membuat saya berpikir bahwa anda menganggap kalau saya berhenti dg Anda, artinya berhenti dari forum ini :)
hehehe... sama seperti sebelumnya, saya bisa saja salah. tidak ada maksud utk sembunyi tangan.
mo sembunyi tangan atau nampakin tangan juga ga ada pengaruhnya dalam kehidupan saya kan? :)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #52 on: 25 August 2008, 06:49:25 PM »
Tesla,
Dalam berdiskusi tentunya kita sebaiknya tidak memikirkan kepentingan hidup sendiri, tetapi juga mempertimbangkan mafaat untuk member lainnya, saya rasa itulah gunanya forum ini. kalau untuk kehidupan pribadi apa gunanya diskusi?

Back to topic, sepertinya pertanyaan saya masih belum ditanggapi nih, padahal saya lebih memerlukan jawaban itu daripada segala macam diplomasi tidak berguna begini.

Akan ada banyak sekali orang yang akan memperoleh manfaat dari thread ini jika terbukti bahwa Kitab suci memang tidak otentik. jadi for the benefit of the many, silahkan rekan tesla membeberkan bukti-bukti ketidak-otentikan Tipitaka
« Last Edit: 25 August 2008, 06:54:47 PM by Semit »

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #53 on: 25 August 2008, 07:13:31 PM »
Sdr. Tesla memang benar bahwa Nanda membicarakan para guru yang di luar, tapi karena Sang Buddha melihat tidak terdapat guru yang melebihi Tathagatha dan Para Arahat pada masa itu maka Ia menyatakan dengan secara halus bahwa guru agama dan brahamna yang beberapa itu adalah para Tathagatha dan Para Arahat. Justru karena pertanyaan Nanda berhubungan dengan orang luar maka akan menjadi arogan jika Sang Buddha langsung menjawab “tidak ada” atau “hanya saya saja” atau “hanya kami saja”

...
benar, tidak tertutup kemungkinan demikian.
tidak tertutup juga kemungkinan seperti yg saya katakan.
kata `mereka` itu bagi saya merujuk ke luar :)

Quote
Apa iya ada??
Kalaupun ada dalam lebel lain ( atau genertik, istilah dari Sdr.Suchamda) maka ajaran itu akan terangkat ke permukaan dan akan dikenal baik oleh sekelompok orang karena yang mengajarkan hal itu pastilah orang yang memiliki kualitas yang tinggi termasuk kharismanya. Nah, saya pribadi belum melihat sekelompok orang yang menjunjung suatu ajaran yang merupakan Paticcasamupadda dalam lebel yang berbeda.
Mungkin ada yang bisa menunjuk suatu kelompok yang menjunjung suatu ajaran yang merupakan Paticcasamupadda dalam lebel yang berbeda?? Dipersilahkan untuk menunjuknya agar kita bisa membandingkannya dengan Paticcasamupadda yang dibabarkan oleh Sang Buddha.
apa yg ditunjukkan dalam Paticcasamupadda, setelah kita melepaskan labelnya? (dengan demikian baru bisa dicari contoh lainnya).

menurut saya, kalimat di dalamnya pun hanyalah petunjuk akan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri,
sehingga bagi saya kalimat 'Siapa yg melihat Paticcasamupadda, dia melihat dhamma, siapa yg melihat dhamma, dia melihat Paticcasamupadda. terdengar janggal bagi saya.
kalimat tersebut menegaskan bahwa dhamma = paticcasamupadda.
dan saya rasa kita semua setuju, bahwa Paticcasamupadda itu adalah ajaran (ditandai dg sdr. Kelana menandakannya dg kata 'kelompok', 'ajaran'), sementara dalam sutta pertanyaan Nanda tsb, dikatakan kemurnian bukan datang dari ajaran.

Quote
Pertanyaan yang sempat terpikir oleh saya, apakah ada yang salah ketika  Paticcasamupadda memang ekslusif dibabarkan oleh Buddha? Bagi saya Paticcasamupadda adalah suatu keunikan (kalau mau dibilang ekslusif). Bagi saya segala sesuatu di dunia ini ada keunikan (keesklusifan) untuk dirinya sendiri meskipun akhirnya anatta. Unsur panas memiliki keunikan (keesklusifan) yaitu membakar, unsur cair memiliki keunikan (keesklusifan) mengair ke bawah., dsb. Kita tidak bisa memaksakan bahwa membakar ada di luar dari unsur panas.

Itu saja yang bisa saya sampaikan.
menurut saya semua ajaran Buddha itu unik. 'dukkha' & 'anatta'.
dan menurut saya patticasamupadda sama2 menunjuk ke hal yg sama dengan ajaran mengenai 'dukkha' & 'anatta'.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #54 on: 25 August 2008, 07:22:34 PM »
Tesla,
Dalam berdiskusi tentunya kita sebaiknya tidak memikirkan kepentingan hidup sendiri, tetapi juga mempertimbangkan mafaat untuk member lainnya, saya rasa itulah gunanya forum ini. kalau untuk kehidupan pribadi apa gunanya diskusi?
kalimat anda saya rasa agak kacau...
diskusi sebaiknya memikirkan kepentingan sendiri & member lain adalah guna forum?
yah, tapi saya nangkap maksudnya :P anyway, terima kasih atas nasehat sdr. Semit.

Quote
Back to topic, sepertinya pertanyaan saya masih belum ditanggapi nih, padahal saya lebih memerlukan jawaban itu daripada segala macam diplomasi tidak berguna begini.

Akan ada banyak sekali orang yang akan memperoleh manfaat dari thread ini jika terbukti bahwa Kitab suci memang tidak otentik. jadi for the benefit of the many, silahkan rekan tesla membeberkan bukti-bukti ketidak-otentikan Tipitaka
lho... Anda baca semuanya postingan di sini donk... jangan baca yg menyinggung pribadi Anda saja... kita sekarang kan memang lagi bahas kejanggalan TIpitaka :))
btw maaf telah menyinggung pribadi Anda ;D
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #55 on: 25 August 2008, 09:05:00 PM »
lho... Anda baca semuanya postingan di sini donk... jangan baca yg menyinggung pribadi Anda saja... kita sekarang kan memang lagi bahas kejanggalan TIpitaka :))
btw maaf telah menyinggung pribadi Anda ;D

Tentu saya membaca semua postingan, tapi mungkin saja ada yg terlewat oleh mata tua saya, sehingga saya tidak dapat menemukan postingan yang menyebutkan bukti tentang fakta ketidak-otentikan Tipitaka.

Saya tentu saja sadar bahwa dalam thread ini kita memang sedang membahas kejanggalan Sutta, sampai tiba-tiba ada satu postingan yang berusaha mem-bypass diskusi dengan kesimpulan bahwa ada fakta (yang artinya sudah terbukti) bahwa Tipitaka tidak otentik.

fakta bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik dari mulut Sang Buddha :)

Dan rekan Tesla, saya sama sekali tidak tersinggung, karena saya sadar dengan siapa saya berhadapan. ada tipe orang tertentu yang tidak mungkin membuat kita tersinggung dengan apapun yang ia katakan.
« Last Edit: 25 August 2008, 09:15:18 PM by Semit »

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #56 on: 25 August 2008, 09:31:17 PM »
Quote
Siapa yg melihat Paticcasamupadda, dia melihat dhamma, siapa yg melihat dhamma, dia melihat Paticcasamupadda. terdengar janggal bagi saya.
kalimat tersebut menegaskan bahwa dhamma = paticcasamupadda.

nanya... paticcasamupadda itu bagian dari dhamma kan??

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #57 on: 25 August 2008, 09:33:27 PM »
waduh ehipassiko yang jadi buah simalakama ato keblinger... kepinteran... menganggap tidak otentik tp digunakan sebagai acuan...

Offline Arale

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 108
  • Reputasi: 7
  • Kiiiiiiiiin
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #58 on: 25 August 2008, 10:01:27 PM »
tidak jelas nih mana yang tidak otentik. hayo fokus dong! Pake penjelasan juga yah!
"N'cha"

Offline CKRA

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 919
  • Reputasi: 71
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #59 on: 25 August 2008, 10:40:47 PM »
Bila ada yang mempertanyakan keotentikan Tipitaka dengan kondisi "kita" saat ini bukankah seperti seekor anak burung pipit yang baru menetas yang memberi komentar seekor rajawali gagah yang sedang terbang?

Bila dengan sedikit kejelian atau kebetulan atau dengan upaya penuh kesengajaan, ada rekan yang menemukan inkonsistensi penggunaan istilah dalam satu atau dua sutta, lalu apakah berarti sutta tersebut bukan berasal dari mulut Sang Buddha. Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa sutta tersebut bukan dari mulut Sang Buddha? Bagaimana pula kita meminta orang lain untuk membuktikan bahwa sutta tersebut otentik dari mulut Sang Buddha?

Kita hanya menggunakan logika-logika terbatas yang kita miliki? Kalau kita kemudian dengan dalil-dalil kita berhasil meyakinkan orang bahwa sutta itu tidak otentik, kemajuan bathin apa yang kita peroleh? Hanya untuk menunjukkan bahwa kita adalah seorang intelektual buddhis?

Mengapa harus berusaha mensejajarkan diri kita dengan para murid utama, para tipitakadhara, para pencapai kesucian, kalau kita masih seekor anak burung pipit yang menetas saja mungkin juga belum?

Salam,
CKRA

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #60 on: 25 August 2008, 11:30:13 PM »
mempertanyakan keotentikan tipitaka sebenernya bukanlah barang baru. sudah banyak skolar (mulai tahun 18xx sampe 19xx) yg mendalami dan menggali teks2 awal buddhis, dokumen2 sejarah dan kitab2 komentar, bukan saja yg berbahasa pali namun teks2 yg tersebar di berbagai negara dan tempat yg berusia tua dan telah ditelusuri berasal dari buddhism awal (early buddhism).

dari membaca, mengumpulkan dan merangkum seluruh dokumen2 dan teks2 tersebut ternyata ada beberapa pola yg menarik:

* kitab2 yg berasal dari sekte2 awal buddhis yg tersebar di berbagai negara, beragam bahasa tersebut memiliki bagian2 (sutta) yg sangat mirip dan perbedaannya hanya dari segi bahasa yg sepele, namun berintikan ajaran dan pesan yg sama

* kitab2 yg berasal dari sekte2 awal buddhis yg tersebar di berbagai negara, beragam bahasa tersebut masing2nya terdapat bagian2 yg tidak diketemukan pada kitab versi yg lainnya

* kitab2 yg berasal dari sekte2 awal buddhis yg tersebar di berbagai negara, beragam bahasa tersebut memiliki bagian2 yg identik, namun ada yg urut2annya sudah berubah (hasil restrukturisasi untuk mengorganisirnya secara sistematis menurut struktur2 tertentu)

* ttg perkataan di mahaparinibbana sutta yaitu membandingkan kata2 seseorang yg mengaku mendengar dari mulut Sang Buddha dengan beracuan pada sutta (dan vinaya), sebuah kitab komentar yg tua (netti?),  kata "sutta" di sini mengacu pada 4 kebenaran mulia, alias kotbah pertama Sang Buddha yg memuat ajaran paling penting: dhammacakkapavatana sutta

* beberapa kesimpulan menyimpulkan penggolongan teks menjadi 3: sutta, vyarakana dan geyya. sutta yg merupakan bagian yg paling tua (contohnya dhammacakkapavattana sutta, dan sutta2 di samyutta) menjadi sumber utama ajaran yg paling dasar, bersifat deklaratif (artinya bukan tanya jawab panjang, melainkan berupa penjelasan), selalu berisikan ajaran monastik (juga bersifat transcendental / lokuttara), sedangkan vyarakana berbentuk tanya jawab prosa, biasanya tanya jawab yg panjang dengan murid dan biasanya bersifat monastik dan geyya biasanya berbentuk gabungan prosa dan puisi, ditujukan pada umat awam, dewa atau lain2, bersifat inspirasional / devosional.

sudah tentu semuanya ini tetaplah teori dan tidak ada kepastian mutlak mengenai mana yg lebih tua dan lebih otentik, namun jelas sekali bahwa tipitaka itu melalui perkembangan selama ratusan tahun hingga menemukan bentuknya yg sekarang. mayoritas besar (kalo tidak bisa dikatakan semua) skolar buddhis setuju dengan ini...

silakan setuju atau tidak, ini hanya sekadar informasi...
bagaimanapun juga lebih penting praktek dan mengkonfirmasikan apa yg anda baca dengan pengalaman dan praktek anda sendiri, dalam hal ini bermeditasi, bukan hanya membaca secara intelektual...
« Last Edit: 25 August 2008, 11:37:36 PM by morpheus »
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Mengapa harus merasa kerdil? Bukankah SB telah membekali kita Kalama-sutta?
« Reply #61 on: 26 August 2008, 12:25:00 AM »
Bila ada yang mempertanyakan keotentikan Tipitaka dengan kondisi "kita" saat ini bukankah seperti seekor anak burung pipit yang baru menetas yang memberi komentar seekor rajawali gagah yang sedang terbang?
Bila dengan sedikit kejelian atau kebetulan atau dengan upaya penuh kesengajaan, ada rekan yang menemukan inkonsistensi penggunaan istilah dalam satu atau dua sutta, lalu apakah berarti sutta tersebut bukan berasal dari mulut Sang Buddha. Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa sutta tersebut bukan dari mulut Sang Buddha? Bagaimana pula kita meminta orang lain untuk membuktikan bahwa sutta tersebut otentik dari mulut Sang Buddha?
Kita hanya menggunakan logika-logika terbatas yang kita miliki? Kalau kita kemudian dengan dalil-dalil kita berhasil meyakinkan orang bahwa sutta itu tidak otentik, kemajuan bathin apa yang kita peroleh? Hanya untuk menunjukkan bahwa kita adalah seorang intelektual buddhis?
Mengapa harus berusaha mensejajarkan diri kita dengan para murid utama, para tipitakadhara, para pencapai kesucian, kalau kita masih seekor anak burung pipit yang menetas saja mungkin juga belum?
Salam,
CKRA

Mengapa pula kita harus merasa kerdil? Bukankah Sang Buddha sudah wanti-wanti agar kita jangan menerima begitu saja apa yang dikatakan kitab suci, apa yang dikatakan guru-guru? Melainkan mengkaji sendiri, apakah suatu ajaran itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak.

Apa gunanya mengkaji secara kritis Tipitaka? Satu contoh: dalam Mahaparinibbana sutta ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata "pembebasan hanya ada di dalam ajaranku; di dalam ajaran guru-guru lain tidak ada pembebasan". Apakah itu benar? Ternyata tidak. Itu cuma membuat umat Buddha menjadi seperti katak di bawah tempurung, tidak mampu melihat pembebasan di dalam ajaran-ajaran lain. Selain menjadi katak di bawah tempurung, ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddha menjadi arogan di antara penganut berbagai agama. Jelas itu bukan ajaran Sang Buddha, sekalipun tercantum dalam Mahaparinibbana-sutta.

Contoh kedua: di dalam sutta yang sama ditampilkan seolah-olah Sang Buddha mengajarkan bahwa ukuran keabsahan suatu ajaran sebagai ajaran Buddha adalah dengan membandingkan dengan Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Apakah itu benar? Itu sangat bertentangan dengan semangat Kalama-sutta. Kalau ajaran itu dianut secara membuta-tuli, lalu bagaimana dengan ajaran yang terkandung dengan kitab-kitab Mahayana, Vajrayana dsb? Apakah semua itu "ajaran palsu" karena tidak tercantum dalam Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka? Jelas ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddhis Theravada menjadi umat yang arogan di antara sesama umat Buddha. Jelas ajaran itu bukan ajaran Buddha.

Salam,
hudoyo

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #62 on: 26 August 2008, 12:31:16 AM »
Bila ada yang mempertanyakan keotentikan Tipitaka dengan kondisi "kita" saat ini bukankah seperti seekor anak burung pipit yang baru menetas yang memberi komentar seekor rajawali gagah yang sedang terbang?
Bila dengan sedikit kejelian atau kebetulan atau dengan upaya penuh kesengajaan, ada rekan yang menemukan inkonsistensi penggunaan istilah dalam satu atau dua sutta, lalu apakah berarti sutta tersebut bukan berasal dari mulut Sang Buddha. Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa sutta tersebut bukan dari mulut Sang Buddha? Bagaimana pula kita meminta orang lain untuk membuktikan bahwa sutta tersebut otentik dari mulut Sang Buddha?
Kita hanya menggunakan logika-logika terbatas yang kita miliki? Kalau kita kemudian dengan dalil-dalil kita berhasil meyakinkan orang bahwa sutta itu tidak otentik, kemajuan bathin apa yang kita peroleh? Hanya untuk menunjukkan bahwa kita adalah seorang intelektual buddhis?
Mengapa harus berusaha mensejajarkan diri kita dengan para murid utama, para tipitakadhara, para pencapai kesucian, kalau kita masih seekor anak burung pipit yang menetas saja mungkin juga belum?
Salam,
CKRA

Mengapa pula kita harus merasa kerdil? Bukankah Sang Buddha sudah wanti-wanti agar kita jangan menerima begitu saja apa yang dikatakan kitab suci, apa yang dikatakan guru-guru? Melainkan mengkaji sendiri, apakah suatu ajaran itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak.

Apa gunanya mengkaji secara kritis Tipitaka? Satu contoh: dalam Mahaparinibbana sutta ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata "pembebasan hanya ada di dalam ajaranku; di dalam ajaran guru-guru lain tidak ada pembebasan". Apakah itu benar? Ternyata tidak. Itu cuma membuat umat Buddha menjadi seperti katak di bawah tempurung, tidak mampu melihat pembebasan di dalam ajaran-ajaran lain. Selain menjadi katak di bawah tempurung, ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddha menjadi arogan di antara penganut berbagai agama. Jelas itu bukan ajaran Sang Buddha, sekalipun tercantum dalam Mahaparinibbana-sutta.

Contoh kedua: di dalam sutta yang sama ditampilkan seolah-olah Sang Buddha mengajarkan bahwa ukuran keabsahan suatu ajaran sebagai ajaran Buddha adalah dengan membandingkan dengan Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Apakah itu benar? Itu sangat bertentangan dengan semangat Kalama-sutta. Kalau ajaran itu dianut secara membuta-tuli, lalu bagaimana dengan ajaran yang terkandung dengan kitab-kitab Mahayana, Vajrayana dsb? Apakah semua itu "ajaran palsu" karena tidak tercantum dalam Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka? Jelas ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddhis Theravada menjadi umat yang arogan di antara sesama umat Buddha. Jelas ajaran itu bukan ajaran Buddha.

Salam,
hudoyo

ini senada dengan postingan rekan tesla (mungkin merupakan ajaran MMD), dan izinkan saya mengulangi pertanyaan saya, apakah ini asumsi ataukah memang sudah terbukti? kalau sudah terbukti bisa minta referensinya?

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #63 on: 26 August 2008, 12:32:56 AM »
 [at] Semit

Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca.

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #64 on: 26 August 2008, 12:38:16 AM »
[at] Semit

Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca.

Nah... Sdr. Hudoyo yang bijaksana, telah memposisikan diri sebagai wakil dari hati nurani para pembaca. Apakah semua pembaca memiliki hati nurani yang sama dan menyimpulkan dengan cara yang sama? mungkin saja statement ini berlaku bagi sebagian pembaca yang telah terindoktrinasi dengan MMD, tapi ini tetap tidak mewakili "para" pembaca _/\_

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #65 on: 26 August 2008, 12:44:30 AM »
ini senada dengan postingan rekan tesla (mungkin merupakan ajaran MMD), dan izinkan saya mengulangi pertanyaan saya, apakah ini asumsi ataukah memang sudah terbukti? kalau sudah terbukti bisa minta referensinya?

Saya rasa pembahasan ini tidak ada kaitannya dengan ajaran MMD. Anda tidak perlu menggunakan sentimen itu.
Saya sendiri bukan eksponen apa-apa dalam MMD. Tak tahulah rekan Tesla dan Morpheus bagaimana.
Yang jelas, pendapat bahwa Tipitaka tidak semuanya otentik, adalah pendapat banyak orang yang mempelajari Buddhism dengan open minded dan juga para scholar / Buddholoog di dunia internasional.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Nanda-sutta (Sn 5.7) -- deklarasi pluralisme ajaran Sang Buddha
« Reply #66 on: 26 August 2008, 01:00:20 AM »
Saya baru saja mengkaji Nanda-sutta (Suttanipata 5.7) dengan membandingkan dua terjemahan Inggris (Thanissaro & terjemahan dari www.metta.lk) dengan teks aslinya. Sutta ini saya anggap sangat penting karena merupakan pernyataan Sang Buddha tentang pluralitas keyakinan, yang cocok dengan pluralisme keagamaan di zaman modern ini. Di situ Sang Buddha menyatakan bahwa pembebasan bisa tercapai di luar lingkungan Buddha-sasana, yaitu di kalangan petapa & brahmana dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu juga berlaku bagi umat Buddha sendiri; yakni antara lain: "melepaskan pandangan/doktrin, pengajaran, pengalaman, dan dengan memahami sepenuhnya keinginan, menjadi bebas dari kotoran batin." Istilah 'petapa & brahmana' (sama.na-braahma.naa) yang digunakan Sang Buddha dalam sutta ini jelas-jelas merujuk pada para pejalan spiritual di luar Buddha-sasana. Bukan "para arahat" sebagaimana dipahami oleh Rekan Kelana yang mencoba memutarbalik sutta ini untuk memenuhi pandangannya yang eksklusif dan fanatik. ... Mengingat pentingnya sutta ini, saya coba terjemahkan ulang dengan menggunakan kedua terjemahan Inggris dan teks aslinya. Terjemahan Indonesia yang ada terkesan bertele-tele dan tidak tepat.

Salam,
hudoyo


Suttanipata 5.7
Nanda-sutta
Pertanyaan Pemuda Nanda (Nanda-maanava-pucchaa)

YM Nanda bertanya: “Orang bilang, ada orang-orang arif (muni) di dunia. Di antara mereka, manakah yang disebut arif: yang memiliki pengetahuan, ataukah yang memiliki cara-hidup?” (1077)

Sang Buddha menjawab: “Nanda, bukan karena pandangan, pembelajaran, atau pengetahuan, seorang arif menjadi pandai; melainkan mereka yang hidup tanpa senjata, tanpa keinginan, tanpa kesulitan (visenikatvaa aniighaa niraasaa caranti), merekalah yang kunamakan arif (muni).” (1078)

YM Nanda bertanya: “Ada petapa (sama.na) & brahmana (braahma.naa) yang mengaku suci melalui pandangan/doktrin (di.t.thi), melalui sila & ritual (silabatta), dan melalui berbagai cara lain; dengan hidup seperti itu, apakah mereka telah mengatasi kelahiran (jaati) dan usia tua (jara)? Saya bertanya padamu, o Bhagava; jelaskanlah padaku.” (1079)

Sang Bhagava menjawab: “Para petapa & brahmana yang mengaku suci melalui pandangan, melalui sila & ritual, dan melalui berbagai cara lain, dengan hidup seperti itu, tidak seorang pun telah mengatasi kelahiran dan usia tua.” (1080)

YM Nanda bertanya: “Jika Sang Bhagava berkata, para petapa & brahmana yang mengaku suci melalui pandangan, melalui sila & ritual, dan melalui berbagai cara lain, tidak mampu menyeberangi arus banjir (ogha) ini, lalu siapakah di alam manusia & dewa ini (deva-manussa-loke) yang telah mengatasi kelahiran & usia tua? Saya bertanya padamu, o Bhagava; jelaskanlah padaku.” (1081)

Sang Bhagava menjawab: “Saya tidak berkata bahwa semua petapa & brahmana terbelenggu dalam kelahiran & usia tua. Mereka yang melepaskan pandangan/doktrin (di.t.tha.m), pengajaran (suta.m), pengalaman (muta.m) dan berbagai cara lain, dan dengan memahami sepenuhnya keinginan (ta.nha), menjadi bebas dari kotoran batin (anaasavaa), kukatakan padamu, merekalah yang menyeberangi arus banjir (ogha) ini.” (1082)

YM Nanda berkata: “Saya bersuka-cita, o Gotama, dengan kata-kata Sang Mahaarif, yang diutarakan dengan jelas, tanpa pemilikan. Barang siapa melepaskan pandangan/doktrin (di.t.tha.m), pengajaran (suta.m) & pengalaman (muta.m), dan berbagai cara lain (anekaruupa.m), dan dengan memahami sepenuhnya keinginan (ta.nha), menjadi bebas dari kotoran batin (anaasavaa), saya katakan pula, merekalah yang menyeberangi arus banjir (ogha) ini.” (1083)
« Last Edit: 26 August 2008, 01:03:17 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #67 on: 26 August 2008, 01:10:09 AM »
Nah... Sdr. Hudoyo yang bijaksana, telah memposisikan diri sebagai wakil dari hati nurani para pembaca. Apakah semua pembaca memiliki hati nurani yang sama dan menyimpulkan dengan cara yang sama? mungkin saja statement ini berlaku bagi sebagian pembaca yang telah terindoktrinasi dengan MMD, tapi ini tetap tidak mewakili "para" pembaca _/\_

Anda seenaknya membaca tulisan orang. ... Apa yang saya tulis adalah berdasarkan hati nurani saya. ... Saya tidak memaksakan hati nurani saya pada Anda. ... Bagaimana Anda membacanya terserah hati nurani Anda. ... Ada orang yang hati nuraninya fanatik, ada yang tidak fanatik ... Ada yang hati nuraninya melekat erat pada kitab suci, ada yang bebas menggunakan Kalama-sutta.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #68 on: 26 August 2008, 01:15:29 AM »
Apa ada Kemungkinan sebenarnya sang Buddha itu menyatakan bahwa Hanya ajarannya yang paling Benar, tapi sama murid2nya dirubah jadi seakan2 bersifat universal :))
Karena ajaran Sang Buddha khan harus Exclusive :))

Ini ngomong atau nglindur ...

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #69 on: 26 August 2008, 01:32:16 AM »
Sdr. Tesla memang benar bahwa Nanda membicarakan para guru yang di luar, tapi karena Sang Buddha melihat tidak terdapat guru yang melebihi Tathagatha dan Para Arahat pada masa itu maka Ia menyatakan dengan secara halus bahwa guru agama dan brahamna yang beberapa itu adalah para Tathagatha dan Para Arahat. Justru karena pertanyaan Nanda berhubungan dengan orang luar maka akan menjadi arogan jika Sang Buddha langsung menjawab “tidak ada” atau “hanya saya saja” atau “hanya kami saja”.

Seorang yang bebas (arahat/buddha) bukan seorang politikus seperti Anda. Seorang yang bebas bicara apa adanya. Banyak contohnya di dalam sutta-sutta, Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada lawan bicaranya, entah bhikkhu entah orang luar. Yang baik dikatakan baik, yang jelek dikatakan jelek; tidak pernah yang jelek dikatakan baik, atau sebaliknya.


Quote
Coba kita bandingkan dengan Itivutaka 3.68 http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=879  yang merupakan pernyataan dari Sang Buddha yang bukan didasari dari pertanyaan seseorang dan tidak berkaitan dengan orang lain (guru lain), Ia menyatakan dengan tegas bahwa Tathagata yang Tertinggi.


hehe ... ini yang dikatakan oleh Suchamda "argumen yang berputar" (circular). Kalau ada non-Buddhis minta bukti obyektif tentang kebesaran Buddha, Anda menampilkan satu ayat dari Tipitaka. Apa artinya "bukti" seperti itu? ... :)) ... Persis sama kalau saya minta bukti kepada seorang Keristen bahwa "tidak ada keselamatan di luar nama Yesus" lalu ditunjukkannya ayat Alkitab ... atau kalau saya minta bukti kepada seorang Islam bahwa "hanya Islam yang diridhoi Allah", lalu ditampilkannya sebuah ayat Al-Qur'an. ... Apa artinya "bukti" seperti itu? :)) ... Belajarlah logika sedikit.


Quote
Mungkin ada yang bisa menunjuk suatu kelompok yang menjunjung suatu ajaran yang merupakan Paticcasamupadda dalam lebel yang berbeda?? Dipersilahkan untuk menunjuknya agar kita bisa membandingkannya dengan Paticcasamupadda yang dibabarkan oleh Sang Buddha.

Kenapa ribut-ribut soal Paticca-samuppada? Menurut Anda, apakah belajar paticca-samuppada syarat mutlak untuk pembebasan? Menurut saya, pengetahuan tentang paticca-samuppada SAMA SEKALI TIDAK DIPERLUKAN untuk pembebasan. ... Anda pernah bermeditasi vipassana atau tidak? ...

Quote
Pertanyaan yang sempat terpikir oleh saya, apakah ada yang salah ketika  Paticcasamupadda memang ekslusif dibabarkan oleh Buddha? Bagi saya Paticcasamupadda adalah suatu keunikan (kalau mau dibilang ekslusif).

Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #70 on: 26 August 2008, 06:33:52 AM »
Untuk "pengetahuan" paticca samuppada, IMO juga tidak diperlukan.

Quote
Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Termasuk agama Buddha juga Pak Hud?

Jadi kalau eksklusif maka tidak relevan bagi pembebasan. Padahal dari semua agama dan ajaran hanya Buddhisme yang mengajarkan pembebasan (nibbana).

atau definisi pembebasannya berbeda pak?
There is no place like 127.0.0.1

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #71 on: 26 August 2008, 06:59:12 AM »
Apa ada Kemungkinan sebenarnya sang Buddha itu menyatakan bahwa Hanya ajarannya yang paling Benar, tapi sama murid2nya dirubah jadi seakan2 bersifat universal :))
Karena ajaran Sang Buddha khan harus Exclusive :))

Ini ngomong atau nglindur ...

kakakakak, dah jelas ini ngomong pak pak :))
karena saking eklusipnya maka banyak yang meniru ajarannya dan mencomotnya sana sini dan bikin ajaran baru, padahal intinya sama aja dari ajaran sang buddha juga bukan dari guru yang lain :)) sudah terbukti khan memang ajarannya yang paling Bener :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #72 on: 26 August 2008, 07:04:35 AM »
Kalo ajaran anata khan eklusip ajaran Buddha khan :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #73 on: 26 August 2008, 07:05:36 AM »
tumibal lahir eklusip juga khan ajaran Buddha.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #74 on: 26 August 2008, 07:11:07 AM »
Untuk "pengetahuan" paticca samuppada, IMO juga tidak diperlukan.

Di dalam kesadaran vipassana, paling-paling paticca-samuppada disadari/dilihat dalam rumusannya yang paling sederhana, sekalipun di sini masih tercampur pikiran & ingatan akan pengetahuan yang pernah dipelajari di masa lampau:

"Imasmi.m sati, ida.m hoti.
Imass’ uppaadaa, ida.m uppajjati.
Imasmi.m asati, ida.m na hoti.
Imassa nirodhaa, idha.m nirujjhati."

"Bila ini ada, itu ada,
Dengan munculnya ini, muncul pula itu,
Bila ini tidak ada, itu tidak ada,
Dengan lenyapnya ini, lenyap pula itu."

Tidak pernah paticca-samuppada terlihat sebagai 12 nidana dalam kesadaran vipassana yang kuat; kalau muncul ingatan 12 nidana, itu cuma pengetahuan yang malah membuat pemeditasi vipassana tidak 'melihat apa adanya', itu cuma pengetahuan "Agama Buddha" -- berarti pikiran sudah beroperasi lagi tanpa disadari. Demikianlah pengetahuan agama Buddha malah sering kali menjadi penghambat orang 'melihat apa adanya' dalam praktik vipassana oleh seorang Buddhis, seperti juga ajaran agama lain bisa muncul sebagai penghambat bagi pemeditasi yang beragama lain.

Quote
Quote from: hudoyo
Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Termasuk agama Buddha juga Pak Hud?
Jadi kalau eksklusif maka tidak relevan bagi pembebasan. Padahal dari semua agama dan ajaran hanya Buddhisme yang mengajarkan pembebasan (nibbana).
atau definisi pembebasannya berbeda pak?

Ya, dalam kesadaran vipassana tidak ada pikiran "ini agamaku". ...

Tentang 'nibbana', pembebasan adalah suatu pengalaman batin yang terletak di luar pikiran. ... Oleh karena itu, tidak ada deskripsi atau label apa pun yang universal bagi pembebasan. ... Dalam agama Buddha pembebasan itu disebut 'nibbana'. ... Dalam Hinduisme disebut 'moksha'. ... Dalam agama-agama monoteistik disebut 'penyatuan dengan Tuhan', sekalipun istilah ini masih bersifat dualistik, karena masih ada 'aku' yang bersatu dengan 'Tuhan'; di atas 'penyatuan dengan Tuhan', masih ada tingkat kesadaran tertinggi, di mana 'aku' dan 'Tuhan' runtuh bersama-sama. -- Baca pengalaman Bernadette Roberts tentang pengalamannya dalam bukunya "The Experience of No-Self" -- terjemahan buku itu, 150 halaman, sudah saya jadikan e-book yang bisa Anda download dari www.box.net:

"Buku Kehidupan - J Krishnamurti.zip" - http://www.box.net/shared/0b6p7vb9c4
"Pengalaman Tanpa Diri - Bernadette Roberts.pdf" - http://www.box.net/shared/mw7o9fpwc4
"Duduk Diam dengan Batin yang Hening.zip" - http://www.box.net/shared/ws2o0g7i8w

Menurut hemat saya, Bernadette Roberts dan J. Krishnamurti adalah orang-orang yang telah tercerahkan di luar Buddha-sasana.

*****

Apakah benang merah yang menghubungkan 'nibbana' Buddhis, 'moksha' Hindu, "runtuhnya aku dan Tuhan" Bernadette Roberts, dan 'lenyapnya aku' dari Krishnamurti? ... Benang merahnya adalah 'tidak adanya aku lagi' ... 'aku' yang dalam batin puthujjana selalu merasa menjadi pusat (center) dari eksistensinya, sementara orang-orang lain menjadi obyek-obyek di sekeliling dirinya, 'aku' yang selalu berpikir "ini milikku, ini aku, ini diri/atta-ku" (eta.m mama, eso hamasmi, eso me atta 'ti). ... Dengan lenyapnya 'aku' itu, maka orang yang tercerahkan, di dalam atau di luar Buddha-sasana, tidak pernah berpikir lagi seperti itu, melainkan "ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diri/atta-ku" (n'eta.m mama, n'eso hamasmi, n'eso me atta 'ti).

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 26 August 2008, 07:24:00 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #75 on: 26 August 2008, 07:11:59 AM »
Kalo ajaran anata khan eklusip ajaran Buddha khan :)

Baca dengan teliti tanggapan saya pada Suhu Medho di atas.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #76 on: 26 August 2008, 07:16:45 AM »
tumibal lahir eklusip juga khan ajaran Buddha.

Untuk mencapai pembebasan orang tidak perlu percaya pada tumimbal lahir, malah sebaiknya tidak memikir tumimbal lahir. Itu cuma menghalangi orang 'melihat apa adanya' pada SAAT SEKARANG, tanpa memikir ke masa lampau dan ke masa depan.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #77 on: 26 August 2008, 07:19:46 AM »
kakakakak, dah jelas ini ngomong pak pak :))
karena saking eklusipnya maka banyak yang meniru ajarannya dan mencomotnya sana sini dan bikin ajaran baru, padahal intinya sama aja dari ajaran sang buddha juga bukan dari guru yang lain :)) sudah terbukti khan memang ajarannya yang paling Bener :))

Ajaran Buddha bener, begitu pula ajaran guru-guru spiritual lain bener.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #78 on: 26 August 2008, 07:24:23 AM »
Kalo ajaran anata khan eklusip ajaran Buddha khan :)

Baca dengan teliti tanggapan saya pada Suhu Medho di atas.
apa bapak yakin 100% kalau JK sama bernadet tidak terkontaminasi ajaran sang Buddha dalam perjalanan pembebasannya.
Sy tau ajaran sang Buddha tidak mengeklusipkan dirinya, tapi memang ajarannya yang unik lah beda dengan guru2 yang lain gitu lho pak.
BTW masih nyambung gak sama pembahasan thread ini :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #79 on: 26 August 2008, 07:34:54 AM »
apa bapak yakin 100% kalau JK sama bernadet tidak terkontaminasi ajaran sang Buddha dalam perjalanan pembebasannya.
Sy tau ajaran sang Buddha tidak mengeklusipkan dirinya, tapi memang ajarannya yang unik lah beda dengan guru2 yang lain gitu lho pak.
BTW masih nyambung gak sama pembahasan thread ini :))

Membaca biografi atau risalah pembebasan kedua orang itu, saya yakin 100% bahwa J Krishnamurti & Bernadette Roberts tercerahkan tanpa "terkontaminasi" ajaran Buddha--Anda sudah membacanya?; persis sama seperti saya yakin 100% pula bahwa Pangeran Siddhartha Gautama mencapai pembebasan tanpa "terkontaminasi" oleh ajaran pembebasan guru lain sebelumnya.

Ajaran Buddha itu "unik" itu kan menurut kacamata Anda ... menurut kacamata saya, apalagi menurut kacamata teman-teman non-Buddhis, sama sekali tidak unik, karena mengajarkan pembebasan yang sama yang terdapat pula dalam agama-agama lain ... Hanya pengungkapan dan sistematikanya saja yang memang unik, seperti juga masing-masing agama lain unik.

Topik ini memang sudah OOT ... sebaiknya diakhiri saja.

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 26 August 2008, 07:41:08 AM by hudoyo »

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #80 on: 26 August 2008, 07:36:44 AM »
_/\_
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #81 on: 26 August 2008, 08:29:25 AM »
apakah ini asumsi ataukah memang sudah terbukti? kalau sudah terbukti bisa minta referensinya?
silakan baca beberapa buku ini:
* ajahn sujato, the gist: the hidden structure of the buddha's teachings
* yin shun, a sixty years' journey in the ocean of the dhamma
* erich frauwallner, the earliest vinaya and the beginning of buddhist literature
* samuel beal, buddhist literature in china
* ria kloppenborg, the sutra on the foundation of the buddhist order
* choong mun keat, the fundamental teaching of early buddhism
* roderick s. bucknell, the structure of the sagathavagga of the samyutta nikaya
resource2 online:
http://www.library.websangha.org/earlybuddhism/
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #82 on: 26 August 2008, 09:19:13 AM »
saya sangat kagum dengan penjelasan pak hudoyo, di thread ini. anda adalah seorang praktisi sejati..

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #83 on: 26 August 2008, 10:13:56 AM »
[at] Semit

Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca.
Anda seenaknya membaca tulisan orang. ... Apa yang saya tulis adalah berdasarkan hati nurani saya. ... Saya tidak memaksakan hati nurani saya pada Anda. ... Bagaimana Anda membacanya terserah hati nurani Anda. ... Ada orang yang hati nuraninya fanatik, ada yang tidak fanatik ... Ada yang hati nuraninya melekat erat pada kitab suci, ada yang bebas menggunakan Kalama-sutta.

Sdr.Hudoyo, anda menuliskan "Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca." saya kok tidak menangkap bahwa yang dimaksudkan adalah "Hati nurani Sdr. Hudoyo sendiri", tetapi "hati nurani para pembaca, termasuk saya." saya tidak bermaksud memperdebatkan hal ini, jadi tidak perlu diperpanjang, mengingat pesan dari Global Moderator bahwa "forum ini bukan milik kita berdua". jawaban saya ini hanya sekedar menegaskan bahwa saya tidak "asal membaca".

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #84 on: 26 August 2008, 10:36:04 AM »
 [at] semit
pada dasarnya lahir sebagai manusia, memiliki kemampuan untuk menganalisa apa yang baik dan apa yang buruk. tanpa dogma ajaran apapun, manusia sudah memilikinya.  namun sayangnya pandangan tentang baik dan buruk ini kemudian dimanipulasi oleh sebagian penguasa di dunia ini dalam bentuk agama, untuk melanggengkan kekuasaannya.




Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #85 on: 26 August 2008, 10:43:08 AM »
...
benar, tidak tertutup kemungkinan demikian.
tidak tertutup juga kemungkinan seperti yg saya katakan.
kata `mereka` itu bagi saya merujuk ke luar :)

Sdr. Tesla, ketika kita membahas mengenai kemungkinan maka kita perlu melihat indikasi-indikasi, kemungkinan mana yang memiliki indikasi-indikasi yang cukup, dasar-dasar yang kuat. Kemungkinan yang anda ajukan sangat lemah indikasi-indikasinya, dasarnya tidak kuat. Sedangkan apa yang saya ajukan memiliki indikasi yang kuat. Saya memperhatikan situasi dan kondisi yang terkisahkan dalam sutta, anda tidak. Saya memperhatikan tata cara menjawab pertanyaan, anda tidak. Saya mengajukan sutta lain yang mendukung apa yang saya sampaikan anda tidak. Inilah yang membedakan saya dengan anda, yang membedakan kemunginan beralasan dengan kemungkinan yang tidak beralasan.

Quote
apa yg ditunjukkan dalam Paticcasamupadda, setelah kita melepaskan labelnya? (dengan demikian baru bisa dicari contoh lainnya).

menurut saya, kalimat di dalamnya pun hanyalah petunjuk akan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri,
sehingga bagi saya kalimat 'Siapa yg melihat Paticcasamupadda, dia melihat dhamma, siapa yg melihat dhamma, dia melihat Paticcasamupadda. terdengar janggal bagi saya.
kalimat tersebut menegaskan bahwa dhamma = paticcasamupadda.
dan saya rasa kita semua setuju, bahwa Paticcasamupadda itu adalah ajaran (ditandai dg sdr. Kelana menandakannya dg kata 'kelompok', 'ajaran'), sementara dalam sutta pertanyaan Nanda tsb, dikatakan kemurnian bukan datang dari ajaran.

“Siapa yg melihat Paticcasamupadda, dia melihat dhamma”
Penekanannya ada pada kata ‘melihat’. Kata melihat ini sangat dalam, bukan melihat dengan mata fisik. Ketika seseorang melihat Paticcasamupadda maka ia sudah berada dalam Dhamma itu sendiri, berada dalam kebenaran itu sendiri,  dan baginya Paticcasamupadda sudah tidak lagi menjadi suatu bentuk ajaran, teori-teori, dsb. Inilah yang disebut dengan kemurnian bukan datang dari ajaran.

Paticcasamupadda menjadi suatu ajaran ketika ia dinyatakan oleh seseorang. Saya rasa Sdr. Tesla bisa memahami hal ini.

Quote
menurut saya semua ajaran Buddha itu unik. 'dukkha' & 'anatta'.
dan menurut saya patticasamupadda sama2 menunjuk ke hal yg sama dengan ajaran mengenai 'dukkha' & 'anatta'.

Benar Sdr. Tesla, Paticcasamupadda hanya salah satu.
« Last Edit: 26 August 2008, 10:46:14 AM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #86 on: 26 August 2008, 11:01:35 AM »
Tujuan thread ini apa :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #87 on: 26 August 2008, 11:20:06 AM »
saya sangat kagum dengan penjelasan pak hudoyo, di thread ini. anda adalah seorang praktisi sejati..

 _/\_

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #88 on: 26 August 2008, 11:26:55 AM »
Sdr.Hudoyo, anda menuliskan "Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca." saya kok tidak menangkap bahwa yang dimaksudkan adalah "Hati nurani Sdr. Hudoyo sendiri", tetapi "hati nurani para pembaca, termasuk saya." saya tidak bermaksud memperdebatkan hal ini, jadi tidak perlu diperpanjang, mengingat pesan dari Global Moderator bahwa "forum ini bukan milik kita berdua". jawaban saya ini hanya sekedar menegaskan bahwa saya tidak "asal membaca".

 :)

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #89 on: 26 August 2008, 11:28:22 AM »
[at] semit
pada dasarnya lahir sebagai manusia, memiliki kemampuan untuk menganalisa apa yang baik dan apa yang buruk. tanpa dogma ajaran apapun, manusia sudah memilikinya.  namun sayangnya pandangan tentang baik dan buruk ini kemudian dimanipulasi oleh sebagian penguasa di dunia ini dalam bentuk agama, untuk melanggengkan kekuasaannya.

Betul.  _/\_

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #90 on: 26 August 2008, 11:30:37 AM »
Tujuan thread ini apa :)

Ya itu, sesuai judulnya: membahas kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam sutta-sutta. ... Jadi, kalau tidak merasa ada kejanggalan, ya tidak usah masuk ke thread ini. :)

Offline F.T

  • Sebelumnya: Felix Thioris, MarFel, Ocean Heart
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.134
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • • Save the Children & Join with - Kasih Dharma Peduli • We Care About Their Future • There Are Our Next Generation.
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #91 on: 26 August 2008, 11:31:59 AM »
_/\_


Save the Children & Join With :
Kasih Dharma Peduli ~ Anak Asuh
May all Beings Be Happy


Contact Info : Kasihdharmapeduli [at] yahoo.com

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #92 on: 26 August 2008, 11:36:17 AM »
silakan baca beberapa buku ini:
* ajahn sujato, the gist: the hidden structure of the buddha's teachings
* yin shun, a sixty years' journey in the ocean of the dhamma
* erich frauwallner, the earliest vinaya and the beginning of buddhist literature
* samuel beal, buddhist literature in china
* ria kloppenborg, the sutra on the foundation of the buddhist order
* choong mun keat, the fundamental teaching of early buddhism
* roderick s. bucknell, the structure of the sagathavagga of the samyutta nikaya
resource2 online:
http://www.library.websangha.org/earlybuddhism/

Terima kasih banyak untuk link-nya. Sumber informasi yang sangat banyak.  _/\_

Salam,
hudoyo

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #93 on: 26 August 2008, 12:28:40 PM »
Seorang yang bebas (arahat/buddha) bukan seorang politikus seperti Anda. Seorang yang bebas bicara apa adanya. Banyak contohnya di dalam sutta-sutta, Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada lawan bicaranya, entah bhikkhu entah orang luar. Yang baik dikatakan baik, yang jelek dikatakan jelek; tidak pernah yang jelek dikatakan baik, atau sebaliknya.

Wah hebat ya Pak Hud bisa mengatakan saya seorang politikus tanpa ragu-ragu padahal kita belum saling kirim email.  :))
Argumen Pak Hud adalah "argumen yang berputar" (circular) ^-^
Kisah Pertanyaan Nanda saja Pak Hud baru tahu dari Sdr. Tesla, bagaimana mungkin Pak Hud bisa tahu bahwa Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada lawan bicaranya. Menggeneralisasikan sesuatu adalah salah satu sifat buruk manusia.

Di lain sisi, Pertanyaan Nanda tidak berhubungan dengan baik-buruk, tapi mengenai SIAPA dan Sang Buddha menyebutkannya dengan syarat-syaratnya. Saya hanya melihat apa adanya. Toh Pak Hud yang mengajarkan melihat apa adanya. : :)

Quote
hehe ... ini yang dikatakan oleh Suchamda "argumen yang berputar" (circular). Kalau ada non-Buddhis minta bukti obyektif tentang kebesaran Buddha, Anda menampilkan satu ayat dari Tipitaka. Apa artinya "bukti" seperti itu? ... :)) ... Persis sama kalau saya minta bukti kepada seorang Keristen bahwa "tidak ada keselamatan di luar nama Yesus" lalu ditunjukkannya ayat Alkitab ... atau kalau saya minta bukti kepada seorang Islam bahwa "hanya Islam yang diridhoi Allah", lalu ditampilkannya sebuah ayat Al-Qur'an. ... Apa artinya "bukti" seperti itu? :)) ... Belajarlah logika sedikit.

 :))Pak Hud…Pak Hud.. kalau apa yang saya sampaikan ini adalah "argumen yang berputar" (circular)” toh Pak Hud yang memberi teladan kepada saya. ::) :whistle: Coba lihat argumen Pak Hud di awal sekali, bukankah Pak Hud balik lagi mengacu pada sutta dengan mengatakan: “Banyak contohnya di dalam sutta-sutta, Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada…bla..bla..bla.”. ;D

Kita berada dalam sub Forum  Studi Sutta/Sutra bukan Forum perbandingan filsafat bahkan bukan forum MMD, maka pembahasannya perlu hal-hal yang membahas mengenai sutta , sumber-sumbernya, atau referensi luar. Tidak ada referensi luar yang tepat dalam membahas Kebesaran Buddha kecuali ucapan para Yang Tersadarkan Sempurna (saya tidak menggunakan istilah buddh atau arahat, khawatir ada yang anti pati) yang masih hidup sekarang dan sutta lain. Dan jika Pak Hud memiliki referensi lain yang mendukung mendukung pernyataan bahwa “Buddha bukan satu-satunya” ya silahkan.

Bagi saya agama apapun selama ia membahas dalam konteks kitabnya sendiri ia berhak menggunakan isi kitabnya sebagai salah satu pendukung. Tetapi ketika ia atau orang lain mulai membandingkannya dengan pemikiran lain, maka hal itu perlu dipertanyakan.

Terima kasih  Pak Hud sudah menasihati saya untuk belajar logika, tapi maaf logika hanyalah kebijaksanaan duniawi, jadi saya rasa saya tidak perlu belajar logika sedikit lagi karena sudah cukup untuk mengatasi kehidupan duniawi termasuk mengatasi tulisan yang tanpa alasan yang jelas:))

Quote
Kenapa ribut-ribut soal Paticca-samuppada? Menurut Anda, apakah belajar paticca-samuppada syarat mutlak untuk pembebasan? Menurut saya, pengetahuan tentang paticca-samuppada SAMA SEKALI TIDAK DIPERLUKAN untuk pembebasan. ... Anda pernah bermeditasi vipassana atau tidak? ...

Itu menurut Pak Hud. Sedangkan saya pribadi tidak bisa langsung mengatakan demikian.
Apakah saya pernah bermeditasi vipassana atau tidak? Biar sajalah Pak Hud yang menilai toh di atas Pak Hud sudah bisa menilai saya sebagai seorang politikus. ;D

Quote
Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Seperti yang saya sampaikan kepada Sdr. Tesla, Paticca-samuppada akan menjadi ajaran ketika dinyatakan, dan ajarannya menjadi berkualitas tinggi. Pembebasan akan tercapai ketika ajaran berkualitas tinggi itu (ajaran dari mana saja apakah agama K. I. H, dll, kalau ada) tidak lagi dalam bentuk pernyataan, teori, ajaran, dengan kata lain dialami, dijalani, apapun istilahnya.

Emas, perak, perunggu secara universal adalah logam, bisa digunakan untuk perhiasan oleh siapapun (universal). Tapi tetap saja hanya satu yang lebih berkualitas tinggi dari ketiganya, yaitu emas.

Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan, Pak Hud. Selanjutnya No Comment. 8)


Thanks


-------------
(Dahara Sutta; Samyutta Nikaya 3.1 {S 1.68})
« Last Edit: 26 August 2008, 12:38:14 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #94 on: 26 August 2008, 12:51:32 PM »
Yessss Go Go Go Kelana Go :)) aye jadi pendukung Kenalan eh Kelana ahhhh :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #95 on: 26 August 2008, 12:56:05 PM »
fakta bahwa kitab suci agama Buddha tidak 100% otentik dari mulut Sang Buddha :)
oh... sebelumnya saya memang salah menggunakan `fakta` karena fakta berarti benar bagi setiap orang. sedangkan keotentikan adalah bersifat subjektif :)

tapi untung saja saya pakai kata `Tipitaka`, bukan sutta tertentu... hehehe...
Tipitaka merupakan kumpulan susunan yg sudah jelas ada penambahan bertahap.
dan bahkan kisah2 setelah zaman Sang Buddha juga ada... jadi mana mungkin 100% mulut Sang Buddha?

tapi ini OOT deh...
tujuan kita disini memberi ulasan sutta.
pembahasan mengenai kejanggalan adalah isu yg mendukung bahwa Sutta2 tertentu bukan berasal dari mulut Sang Buddha, atau mengalami penambahan, atau mengalami perubahan.
misalnya pembahasan 'Maha-parinibbana sutta' ini...
penggunaan anjuran utk merujuk ke sutta yg belum ada pada waktu itu adalah mengherankan.
tentu saja itu adalah isu ;D yg bagi saya terasa janggal, bagi anda terasa baik2 saja :)

Quote
Dan rekan Tesla, saya sama sekali tidak tersinggung, karena saya sadar dengan siapa saya berhadapan. ada tipe orang tertentu yang tidak mungkin membuat kita tersinggung dengan apapun yang ia katakan.
baguslah... mari kita lanjutkan diskusi :)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #96 on: 26 August 2008, 01:03:05 PM »
ini senada dengan postingan rekan tesla (mungkin merupakan ajaran MMD), dan izinkan saya mengulangi pertanyaan saya, apakah ini asumsi ataukah memang sudah terbukti? kalau sudah terbukti bisa minta referensinya?

:))
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #97 on: 26 August 2008, 01:23:40 PM »
... Banyak contohnya di dalam sutta-sutta, Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada lawan bicaranya, entah bhikkhu entah orang luar. Yang baik dikatakan baik, yang jelek dikatakan jelek; tidak pernah yang jelek dikatakan baik, atau sebaliknya.

Sebenarnya, selain selalu bicara kebenaran, jika kebenaran itu akan mengundang ketidaksenangan dan ketidaksetujuan, seorang Tathagata tahu kapan untuk mengutarakannya. (Abhayarajakumara sutta)

Seperti contohnya seorang bhikkhu yang melakukan kesalahan karena tersenyum pada seorang gadis (karena ia pikir gadis itu tersenyum padanya, dan dia berusaha berlaku sopan), tidak langsung ditegur dan ditunjukkan kesalahannya oleh Buddha, karena bhikkhu itu saat itu sedang dipojokkan oleh orang2 lain. Buddha Gotama bahkan membelanya. Ketika waktunya tepat, maka Buddha kemudian menasihatinya untuk lebih hati2 dalam bertindak, mengingat dirinya seorang bhikkhu. (Dhammapada atthakta, 167).

« Last Edit: 26 August 2008, 01:46:10 PM by Kainyn_Kutho »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #98 on: 26 August 2008, 01:42:51 PM »
tidak jelas nih mana yang tidak otentik. hayo fokus dong! Pake penjelasan juga yah!

Dahulu, di jaman masih ada Buddha saja, sudah ada perdebatan antara Pancakanga dan Udayi yang berargumen mengenai ajaran yang didengar langsung dari mulut Bhagava. Buddha mengatakan bahwa mereka berdua benar tetapi tidak mengerti konteksnya, maka saling mempertahankan argumennya masing2. (Bahuvedaniya Sutta)
Untuk jaman sekarang (yang tidak ada Buddha), menurut saya, mendebatkan "otentik" atau "tidak otentik" merupakan hal sia-sia.
« Last Edit: 26 August 2008, 01:47:26 PM by Kainyn_Kutho »

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #99 on: 26 August 2008, 02:20:06 PM »
Kisah Pertanyaan Nanda saja Pak Hud baru tahu dari Sdr. Tesla, bagaimana mungkin Pak Hud bisa tahu bahwa Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada lawan bicaranya.
mungkin maksudnya seperti contoh di sini:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.4.09.than.html
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #100 on: 26 August 2008, 03:48:07 PM »
Sdr. Tesla, ketika kita membahas mengenai kemungkinan maka kita perlu melihat indikasi-indikasi, kemungkinan mana yang memiliki indikasi-indikasi yang cukup, dasar-dasar yang kuat.
benar... sampai saat ini kita masih membahas dalam taraf "kemungkinan".
namun apakah dasar yg Anda kemukakan memiliki posisi lebih kuat?

Quote
Kemungkinan yang anda ajukan sangat lemah indikasi-indikasinya, dasarnya tidak kuat. Sedangkan apa yang saya ajukan memiliki indikasi yang kuat. Saya memperhatikan situasi dan kondisi yang terkisahkan dalam sutta, anda tidak. Saya memperhatikan tata cara menjawab pertanyaan, anda tidak. Saya mengajukan sutta lain yang mendukung apa yang saya sampaikan anda tidak. Inilah yang membedakan saya dengan anda, yang membedakan kemunginan beralasan dengan kemungkinan yang tidak beralasan.
benar... saya tahu sdr. Kelana jauh lebih memahami sutta dari pada saya.

1. anda lebih tahu situasi & kondisi pada saat Buddha membabarkan. benar
2. adanya cara menjawab secara tidak langsung yg dikatakan Buddha. benar
3. mengajukan sutta lain sebagai pendukung.

tetapi bukan karena adanya alasan pertama (1), Anda dapat menghubungkan dg alasan kedua (2). menurut saya, hal itu tidak berhub sama sekali. Ada situasi dimana SB menjawab langsung, atau tidak langsung, atau diam, tetapi Anda dan saya juga, tidak dapat mematoknya di sini sebagai cara menjawab tidak langsung. oleh karena itu saya membiarkan semua ini masihlah 'misteri'/kemungkinan. :)

& taruhlah SB memikirkan latar belakang audience nya, menurut saya masih banyak cara lain menyampaikan, namun tanpa kehilangan makna.
misalnya: "kami yg telah begini, telah bebas" (tanpa menyinggung yg di luar).

jadi sampai disini perbedaannya bukan indikasi Anda lebih kuat, dan saya lebih lemah. melainkan perbedaannya hanyalah, Anda menganggap SB menjawab secara tidak langsung & saya sebaliknya.
mengenai situasi pada waktu itu adalah upaya penghubungan :)

Quote
Paticcasamupadda menjadi suatu ajaran ketika ia dinyatakan oleh seseorang. Saya rasa Sdr. Tesla bisa memahami hal ini.
Benar Sdr. Tesla, Paticcasamupadda hanya salah satu.

mengenai yg ketiga(3) apa ini mengenai sutta harga mati tsb? berarti Anda tidak bisa menjudge bahwa seseorang yg tercerahkan harus mengungkapkan Paticcasamupadda kan? ini jadi agak susah dibicarakan karena sdr. Kelana menjudge secara apakah orang yg tercerahkan itu nantinya ada mengajarkan paham yg selaras dg Paticcasamupadda, sementara menurut saya ini tidak bisa menjadi tolak ukur.
bila menilik dari jawaban atas pertanyaan Nanda, seseorang yg tercerahkan, bukan mengajarkan sesuatu lagi, melainkan mendorong pendengarnya utk 'melepas' ajaran/paham, perbuatan dan ritual. lalu apa yg dia ajarkan? seharusnya tidak ada... kitalah yg menganggap kalimatnya sebagai ajaran (yg ingin kita miliki)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #101 on: 27 August 2008, 02:57:35 AM »
oh... sebelumnya saya memang salah menggunakan `fakta` karena fakta berarti benar bagi setiap orang. sedangkan keotentikan adalah bersifat subjektif :)

tapi untung saja saya pakai kata `Tipitaka`, bukan sutta tertentu... hehehe...
Tipitaka merupakan kumpulan susunan yg sudah jelas ada penambahan bertahap.
dan bahkan kisah2 setelah zaman Sang Buddha juga ada... jadi mana mungkin 100% mulut Sang Buddha?

tapi ini OOT deh...
tujuan kita disini memberi ulasan sutta.
pembahasan mengenai kejanggalan adalah isu yg mendukung bahwa Sutta2 tertentu bukan berasal dari mulut Sang Buddha, atau mengalami penambahan, atau mengalami perubahan.
misalnya pembahasan 'Maha-parinibbana sutta' ini...
penggunaan anjuran utk merujuk ke sutta yg belum ada pada waktu itu adalah mengherankan.
tentu saja itu adalah isu ;D yg bagi saya terasa janggal, bagi anda terasa baik2 saja :)


Rekan Tesla,
kalimat anda "merujuk ke sutta yang belum ada pada waktu itu..." adalah tidak tepat. Mahaparinibbana Sutta adalah khotbah terakhir Sang Buddha yang disampaikan menjelang Parinibbana, dan oleh karena itu maka Sutta-sutta lainnya tentu saja sudah ada (dengan mengambil definisi Sutta=khotbah).

mengenai "100% dari mulut Sang Buddha", saya yakin sekali bahwa tidak ada satupun isi dari Tipitaka yang berasal dari mulut Sang Buddha, seperti yang tertulis di awal Sutta "evamme suttam..." yang menyiratkan bahwa sutta itu adalah diucapkan oleh Bhikkhu Ananda. tetapi fakta bahwa 500 Arahat pada konsili pertama sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh Bhikkhu Ananda adalah benar, membuktikan bahwa Sutta itu adalah benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. ini tentu saja jika anda percaya pada kebenaran kisah Konsili pertama itu.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #102 on: 27 August 2008, 05:19:08 AM »
Sebenarnya, selain selalu bicara kebenaran, jika kebenaran itu akan mengundang ketidaksenangan dan ketidaksetujuan, seorang Tathagata tahu kapan untuk mengutarakannya. (Abhayarajakumara sutta)
Seperti contohnya seorang bhikkhu yang melakukan kesalahan karena tersenyum pada seorang gadis (karena ia pikir gadis itu tersenyum padanya, dan dia berusaha berlaku sopan), tidak langsung ditegur dan ditunjukkan kesalahannya oleh Buddha, karena bhikkhu itu saat itu sedang dipojokkan oleh orang2 lain. Buddha Gotama bahkan membelanya. Ketika waktunya tepat, maka Buddha kemudian menasihatinya untuk lebih hati2 dalam bertindak, mengingat dirinya seorang bhikkhu. (Dhammapada atthakta, 167).

Yang Anda sampaikan itu memang tepat dilakukan oleh siapa saja, puthujjana atau samma-sambuddha ... karena situasi itu menyangkut hal-hal yang sangat pribadi sifatnya. ...

Tapi yang dipersoalkan di sini, Sang Buddha ditanya oleh seorang bhikkhu, "siapakan yang telah mengatasi kelahiran dan usia tua". Sang Buddha menjawab, "tidak semua sama.na & braahma.naa tetap terbelenggu dalam kelahiran dan usia tua." ... Di sini tidak perlu Sang Buddha berdiplomasi, sebagaimana mau dikatakan oleh Rekan Kelana. Yang dikatakan oleh Sang Buddha itu adalah KEBENARAN FAKTUAL, yang sekarang bisa kita lihat di sekeliling kita.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #103 on: 27 August 2008, 05:26:55 AM »
Untuk jaman sekarang (yang tidak ada Buddha), menurut saya, mendebatkan "otentik" atau "tidak otentik" merupakan hal sia-sia.

Menurut saya, mempermasalahkan keotentikan suatu ajaran tidak sia-sia. Hal itu dilakukan oleh banyak pakar kitab suci, baik kitab suci Keristen maupun kitab suci Buddhis. Sekalipun tidak bisa dicapai kesepakatan obyektif dasn definitif, namun situasi modern ini membuka wawasan kita bahwa tidak semua lapisan-lapisan Tipitaka mempunyai bobot keotentikan yang sama, sebagaimana diasumsikan oleh umat Buddha secara tradisional. Pencerahan ini membuat kita merasa lega menghadapi bagian-bagian sutta yang bertentangan dengan hati nurani, misalnya ketika ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata, "hanya dalam ajaranku terdapat pembebasan, dalam ajaran guru-guru lain tidak terdapat pembebasan", atau ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata, "keotentikan ajaranku harus dirujuk kepada Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka". Orang yang memiliki pemahaman baru mengenai proses historis Tipitaka, bisa merasa lega, bahwa bagian-bagian seperti itu kemungkinan besar merupakan sisipan dari para bhikkhu penghafal Tipitaka di zaman Tipitaka masih diturunkan dari mulut ke mulut.

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #104 on: 27 August 2008, 07:13:06 AM »
Rekan Tesla,
kalimat anda "merujuk ke sutta yang belum ada pada waktu itu..." adalah tidak tepat. Mahaparinibbana Sutta adalah khotbah terakhir Sang Buddha yang disampaikan menjelang Parinibbana, dan oleh karena itu maka Sutta-sutta lainnya tentu saja sudah ada (dengan mengambil definisi Sutta=khotbah).
baiklah rekan Semit, saya menghormati kesimpulan Anda :)

Quote
mengenai "100% dari mulut Sang Buddha", saya yakin sekali bahwa tidak ada satupun isi dari Tipitaka yang berasal dari mulut Sang Buddha, seperti yang tertulis di awal Sutta "evamme suttam..." yang menyiratkan bahwa sutta itu adalah diucapkan oleh Bhikkhu Ananda. tetapi fakta bahwa 500 Arahat pada konsili pertama sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh Bhikkhu Ananda adalah benar, membuktikan bahwa Sutta itu adalah benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. ini tentu saja jika anda percaya pada kebenaran kisah Konsili pertama itu.
ini sekedar info saja, bahwa penyusunan tipitaka tidak hanya terjadi pada konsili pertama :)
dan juga pada waktu konsili pertama, tipitaka belum ditulis, artinya masih memerlukan perjalanan waktu utk membentuk suatu tulisan (yg tetap) di daun/kulit (saya tidak tahu pastinya nama bahannya). mengenai tidak 100% dari mulut Buddha dan hanya merupakan kesepakatan dari konsili pertama, saya memandangnya berbeda. Ada sutta yg diawali dg
~"Demikianlah yg kami dengar" (pihak ke3 yg mungkin tidak mendengar langsung dari SB)
~"Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha, diucapkan oleh seorang Arahat (Yang Maha Suci); yang telah saya dengar" (pendengar langsung)
~tanpa ada kalimat pembuka demikian (??)
jadi saya pun tidak menganggap tipitaka 'hanya merupakan kesepakatan saja'.
utk pembahasan yg detail, jika rekan Semit berminat, boleh buka topik baru... mungkin masukan dari rekan lain yg lebih mengenal Tipitaka dapat memberi informasi yg lebih tepat kepada rekan Semit

_/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Magandiya Sutta (Sn 4.9) membuat hati saya bergetar
« Reply #105 on: 27 August 2008, 07:16:06 AM »
mungkin maksudnya seperti contoh di sini:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.4.09.than.html

Lagi-lagi, terima kasih banyak saya ucapkan kepada Rekan Morpheus yang telah membagi sutta ini di forum ini. Begitu membaca sutta ini, hati saya langsung bergetar ... dan memutuskan untuk menerjemahkannya.

Suttanipata 4.9

Magandiya Sutta

Translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Hudoyo Hupudio


[Magandiya menawarkan putrinya kepada Buddha; Sang Buddha menjawab:]

"Melihat [putri-putri Mara]
--Ketidakpuasan (Arati), Keinginan (Ta.nha) & Nafsu (Raga)--
sama sekali tidak ada keinginan terhadap seks.
Jadi, apakah yang kuinginkan dari [wanita] ini,
yang penuh dengan air kencing & kotoran?
Saya bahkan tidak mau menyentuhnya dengan kakiku."

Magandiya:
"Jika Anda tidak menghendaki
permata kaum wanita ini,
yang diinginkan oleh banyak raja dan manusia,
lalu apakah pandangan (di.t.thi), sila,
latihan, kehidupan,
pencapaian kehidupan yang akan datang,
yang Anda dalihkan?"

Sang Buddha:
" 'Saya berdalih begini',
tidak terpikir olehku
ketika merenungkan apa yang dilekati
dalam ajaran-ajaran.
Melihat apa yang tidak dilekati
dalam pandangan-pandangan,
dan menemukan kedamaian batin,
Aku melihat."

Magandiya:
"Sang Arif, Anda bicara
tanpa melekat
pada suatu penilaian yang sudah ada lebih dulu.
'Kedamaian batin' ini,
apakah artinya?
Bagaimana itu dinyatakan
oleh seorang tercerahkan?"

Sang Buddha:
"Ia tidak bicara tentang kemurnian
dalam kaitan dengan pandangan,
pembelajaran,
pengetahuan,
sila atau latihan.

Juga itu tidak ditemukan oleh orang
melalui tidak adanya pandangan,
pembelajaran,
pengetahuan,
sila atau latihan.

Melepaskan semua ini, tanpa melekat,
damai,
bebas,
ia tidak mendambakan kelahiran kembali."

Magandiya:
"Jika ia tidak bicara tentang kemurnian
dalam kaitan dengan pandangan,
pembelajaran,
pengetahuan,
sila atau latihan,

Juga itu tidak ditemukan oleh orang
melalui tidak adanya pandangan,
pembelajaran,
pengetahuan,
sila atau latihan,

Maka bagi saya tampaknya ajaran ini
membingungkan,
oleh karena sementara orang berpegang
pada kemurnian
dalam kaitan dan melalui suatu pandangan."

Sang Buddha:
"Mengajukan pertanyaan
dengan bergantung pada pandangan,
Anda bingung,
karena Anda melekat.
Oleh karena itu Anda tidak melihat
bahkan sedikit pun apa yang saya katakan.
Itulah sebabnya Anda berpikir
'Itu membingungkan'.

Barang siapa berpikir
'sama',
'lebih tinggi',
'lebih rendah',
dengan itu ia berdebat;
sedangkan bagi orang yang tak terpengaruh
oleh tiga hal ini,
'sama',
'lebih tinggi',
tidak muncul.

Tentang apa sang brahmana (orang suci) berkata
'benar' atau 'salah',
berdebat dengan siapa:
ia yang tidak lagi berpikir
'sama', 'tidak sama'.

Setelah meninggalkan rumah,
hidup bebas dari masyarakat,
orang arif (muni) itu
tidak mencari kawan
di desa-desa.

Bebas dari nafsu indra,
bebas dari pendambaan,
ia tidak akan berdebat dengan orang
memperebutkan kalah-menang.

Hal-hal duniawi
tidak dilekatinya lagi
ia mengembara di dunia:
Sang Maha Agung tidak akan mengambilnya
dan memperdebatkannya.

Seperti bunga teratai berduri
tidak ternoda oleh air & lumpur,
begitulah orang arif,
pendukung kedamaian,
tanpa keserakahan,
tidak ternoda oleh nafsu indra & dunia.

Sang pencapai kearifan tidak mengukur
tidak bangga
dengan pandangan-pandangan atau apa yang dipikirkan,
oleh karena ia tidak terbentuk dari itu.

Ia tidak didorong
oleh perbuatan, pembelajaran;
tidak menarik kesimpulan
dalam kotak-kotak perdebatan.

Bagi dia yang tidak tertarik pada persepsi
tidak ada lagi ikatan;
bagi dia yang bebas karena melihat,
tidak ada lagi penglihatan sesat.

Mereka yang melekat pada persepsi-persepsi &
pandangan-pandangan
di dunia ini berjalan dengan
selalu terantuk kepalanya."

*****

Perhatikan bahwa dalam sutta ini sama sekali tidak ada doktrin-doktrin agama Buddha. Malah sutta ini terkesan mengesampingkan segala macam doktrin. Sutta ini sangat cocok bagi seorang pemeditasi vipassana. ...

Dengan hati bergetar saya menerjemahkan sutta ini pada pukul 5 pagi hari ini, 27 Agustus 2008. ... Sutta yang tercantum dalam kitab Suttanipata ini (salah satu kitab yang paling tua dari Tipitaka Pali) jauh lebih mampu menggetarkan hati saya dibandingkan doktrin-doktrin agama Buddha seperti ariya atthangika magga, paticca-samuppada, satta-sambhojjanga, panca-khandha, satipatthana, citta-vithi dsb dsb ... yang semuanya tidak lebih daripada pengetahuan intelektual/teoretis belaka. ...

Terasa oleh saya bahwa inilah kata-kata Sang Buddha yang asli ... inilah daun Bodhi yang asli ... di tengah-tengah rumput ilalang yang memenuhi Tipitaka Pali. ...

Seperti ini pula yang diucapkan oleh J. Krishnamurti ... yang sama-sama menggetarkan hati saya.

Salam,
hudoyo

PS: Di sini pula terdapat contoh bagaimana Sang Buddha berbicara blak-blakan, juga di depan orang yang menawarkan putrinya kepada beliau: "Melihat [putri-putri Mara] --Ketidakpuasan (Arati), Keinginan (Ta.nha) & Nafsu (Raga)--
sama sekali tidak ada keinginan terhadap seks. Jadi, apakah yang kuinginkan dari [wanita] ini, yang penuh dengan air kencing & kotoran? Saya bahkan tidak mau menyentuhnya dengan kakiku."

Kira-kira bagaimana ya perasaan Magandiya, putrinya dikatakan seperti itu oleh Sang Buddha? ... Tapi Sang Buddha tidak peduli ... kebenaran harus diungkapkan, betapa pun menyakitkan bagi orang yang belum melihat.

« Last Edit: 27 August 2008, 07:35:07 AM by hudoyo »

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #106 on: 27 August 2008, 07:42:09 AM »
      
 
 
 

MAGANDIYA SUTTA

(Sumber: Aneka Sutta, Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma,
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992)

Pada suatu hari Sang Bhagava bersemayam di daerah suku Kuru, di kota yang bernama Kammasadamma, di rumah seorang yang brahmana dari keluarga Bharadvaja.

Pagi-pagi sekali Sang Bhagava berkemas-kemas dan dengan membawa jubah serta patta (mangkok untuk mengumpulkan makanan) menuju ke Kammasadamma untuk mengumpulkan makanan.

Setelah mengumpulkan makanan dan selesai bersantap, Beliau lalu menuju ke sebuah hutan terdekat untuk melewati tengah hari. Di hutan ini Beliau kemudian duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon yang rindang sampai matahari terbenam.

Ketika itu datanglah seorang pertapa bernama Magandiya di rumah brahmana Bharadvaja. Ia melihat sebuah tikar yang tergelar. Ia kemudian bertanya kepada Bharadvaja : "Untuk siapakah tikar itu digelar? Tampaknya seperti disediakan untuk seorang samana (pertapa)."

Tikar itu disediakan untuk Sang Samana Gotama, putera suku Sakya yang menjadi seorang pertapa. Beliau dihormati orang dan dimana-mana terdengar pekik kegembiraan dan pujian terhadap-Nya. Itulah Sang Bhagava, Yang Maha Suci dan Yang Maha Bijaksana, Sempurna Pengetahuan Serta Tindak-tanduk-Nya, Sang Sugata, Pengenal Semua Alam, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, itulah Sang Buddha, Sang Bhagava. Untuk Sang Bhagava inilah tikar itu disediakan."

"Sesungguhnya, Bharadvaja, kita telah melihat sesuatu yang tidak baik, yaitu tempat tidur dari si Perusak."

"Jangan berkata demikian, Magandiya, jangan bicara demikian Magandiya! Banyak pangeran yang cerdik pandai, brahmana yang cendikiawan, rakyat yang terpelajar dan pertapa yang arif bijaksana menghormat sekali kepada Sang Bhagava, sebab, setelah diberi bimbingan dan latihan, mereka semua dapat mengerti dengan baik dan menembus arti yang sesungguhnya dari Ajaran Suci (Dhamma) Sang Bhagava."

"Andaikata aku dapat kesempatan untuk bertemu muka dengan muka dengan pertapa Gotama itu, maka dihadapannya aku akan juga berkata : "Pertapa Gotama adalah seorang Perusak." Mengapa demikian? Karena hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam ajaran agama kita."

"Aku tidak ingin Anda mendapat kesukaran. Tetapi, baiklah, ceritakanlah hal ini kepada Samana Gotama."

Pembicaraan di atas ternyata dapat didengar oleh Sang Bhagava melalui telinga dewa yang dimiliki seorang Buddha.

Menjelang malam hari Sang Bhagava mengakhiri meditasi-Nya dan kembali ke rumah brahmana Bharadvaja. Setelah tiba Beliau kemudian duduk di atas tikar yang khusus disediakan untuk keperluan Beliau. Brahmana Bharadvaja menghampiri Sang Bhagava, memberi hormat sebagaimana layaknya dan menyapa Sang Bhagava dengan kata-kata lemah lembut dan penuh rasa hormat.

Setelah itu Bharadvaja duduk bersimpuh di samping Sang Bhagava.

Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada brahmana Bharadvaja : "Oh Bharadvaja, apakah engkau dan pertapa Magandiya berbincang-bincang mengenai tikar yang Kududuki ini?"

Mendengar pertanyaan ini, brahmana Bharadvaja dengan badan gemetar menjawab dengan khidmat : "Hal itulah yang hamba ingin ceritakan kepada Sang Bhagava, tetapi Sang Bhagava ternyata telah membungkamkan hamba."

Baru saja percakapan ini dimulai, tiba-tiba pertapa Magandiya, yang sebelumnya sudah melanjutkan perjalannya, memasuki rumah brahmana Bharadvaja. Magandiya memberi hormat kepada Sang Bhagava dan saling menyapa dengan kata-kata yang lemah lembut. Kemudian Magandiya mengambil tempat duduk di samping Sang Bhagava.

"Magandiya, mata menyenangi bentuk-bentuk, menyukai bentuk-bentuk dan menikmati bentuk-bentuk. Sang Tathagata telah menaklukkannya, memperhatikannya dengan seksama, menjaganya dan mengendalikannya. Untuk itulah Sang Tathagata membabarkan Ajarannya. Apakah engkau memikirkan hal ini, Magandiya, ketika engkau mengatakan : 'Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.'?"

"Memang aku telah memikirkan hal itu ketika aku berkata : 'Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.' Mengapa aku berkata demikian? Karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama kami."

"Telinga, Magandiya, menyenangi suara yang merdu; hidung, Magandiya, menyenangi wewangian; lidah, Magandiya, menyenangi rasa yang lezat; tubuh, Magandiya, menyenangi sentuhan-sentuhan yang lembut; batin, Magandiya, menyenangi bentuk-bentuk pikiran, menyukainya dan menikmatinya.

Sang Tathagata telah menaklukannya, memperhatikannya dengan seksama, menjaganya dan mengendalikannya. Untuk itulah Sang Tathagata membabarkan Ajarannya. Apakah engkau memikirkan hal ini, Magandiya, ketika engkau mengatakan : 'Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.'?"

"Memang aku telah memikirkan hal itu ketika aku berkata : 'Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.' Mengapa aku berkata demikian? Karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama kami."

"Bagaimanakah pendapatmu, Magandiya, andai kata terdapat seorang yang dulu menikmati bentuk-bentuk melalui mata, bentuk yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan, yang merangsang dan memuaskan nafsu-nafsunya; namun kemudian mengerti bagaimana bentuk-bentuk itu muncul dan lenyap kembali, tentang suka duka yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap berbagai macam bentuk, dapat mengusir kerinduan akan bentuk-bentuk, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang demikian itu, Magandiya?"

"Aku tidak mempunyai pendapat apa-apa."

"Bagaimana pendapatmu, Magandiya, andaikata terdapat seorang yang dulu menikmati suara melalui telinga, wangi-wangian melalui hidung, rasa melalui lidah, sentuhan-sentuhan lembut melalui tubuh, hal-hal yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan, yang merangsang dan memuaskan nafsu-nafsunya; namun kemudian mengerti akan muncul dan lenyapnya kembali, tentang suka-duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang demikian itu, Magandiya?"

"Aku tidak mempunyai pendapat apa-apa."

"Dan mengenai diriku sendiri, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga. Akupun menikmati rangsangan-rangsangan yang memabukkan dari indria-indriaku, bentuk-bentuk yang menggiurkan melalui mata, wangi-wangian melalui hidung, rasa-rasa melalui lidah, sentuhan-sentuhan lembut melalui tubuh; hal-hal yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan dan yang memberi kepuasan kepada nafsu-nafsu, dan Aku, Magandiya, dahulu memiliki tiga buah istana. Satu istana untuk musim hujan, satu istana untuk musim dingin, satu istana untuk musim panas. Empat bulan selama musim hujan Aku berdiam di istana musim hujan. Di tempat itulah Aku dilayani oleh gadis-gadis cantik yang memainkan alat musik, menyanyi serta menari.

Namun di kemudian hari, ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.

Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu-keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu-keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?

Karena kebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Magandiya, seperti juga seorang kepala keluarga, atau putera seorang kepala keluarga, kaya-raya, memiliki banyak harta dan menikmati kesenangan indrianya. Selain itu ia berkelakuan baik dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Ketika badan jasmaninya hancur setelah meninggal dunia ia akan bertumimbal lahir di alam sorga Tavatimsa (sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa). Di sana ia berdiam di sebuah hutan Nandana yang indah, dikelilingi para bidadari dan dapat menikmati kesenangan sorgawi. Sekiranya orang ini melihat seorang kepala keluarga atau putera seorang kepala keluarga sedang menikmati kesenangan indrianya di dunia. Bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah putera dewata itu yang menghuni hutan indah dengan dikelilingi bidadari-bidadari cantik dan sedang menikmati kesenangan sorgawi, akan iri terhadap kepala keluarga atau putera seorang kepala keluarga yang sedang menikmati kesenangan duniawi, sehingga ia akan meninggalkan alam sorga agar dapat menikmati kesenangan di dunia?"

"Pasti tidak Pertapa Gotama."

"Mengapa?"

"Karena kesenangan di sorga, pertapa Gotama, lebih baik dan lebih agung dari kesenangan di dunia."

"Akupun demikian, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga dan masih mencari kesenangan duniawi melalui rangsangan-rangsangan indria. Namun di kemudian hari ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.

Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?

Karena KebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Karena Aku menikmati kesenangan sorgawi, maka wajarlah bahwa tidak ada perasaan iri sedikitpun dalam diriKu terhadap mahkluk-mahkluk itu. Magandiya, seperti juga halnya dengan seorang penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.

Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter ini lalu memberi si sakit obat dan setelah memakai obat dokter itu, si sakit kemudian menjadi sembuh kembali, sehat, tidak lagi tergantung kepada orang lain dan dapat pergi ke mana saja yang ia kehendaki.

Kemudian ia melihat seorang penderita kusta lain yang tubuhnya penuh luka dan bisul sedang menggaruk-garuk luka dan bisulnya itu hingga berdarah untuk kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.

Bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah ia akan iri kepada penderita kusta yang sedang menggarang badannya itu?"

"Pasti tidak, pertapa Gotama."

"Mengapa tidak?"

"Jika orang itu sakit, pertapa Gotama, sudah seyogyanya ia minum atau memakai obat, jika orang itu sehat tentu saja ia tidak memerlukan obat."

"Akupun demikian, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga dan masih mencari kesenangan duniawi melalui rangsangan-rangsangan indria.

Namun di kemudian hari ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.

Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?

Karena KebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Karena Aku menikmati kesenangan sorgawi, maka wajarlah bahwa tidak ada perasaan iri sedikitpun dalam diriKu terhadap mahkluk-mahkluk itu. Magandiya, seperti juga halnya dengan seorang penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.

Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter ini lalu memberi si sakit obat dan setelah memakai obat dokter itu, si sakit kemudian menjadi sembuh kembali, sehat, tidak lagi tergantung kepada orang lain dan dapat pergi ke mana saja yang ia kehendaki.

Andaikata, kemudian dua orang kuat memegang tangannya serta menyeretnya ke perapian dengan bara api yang menyala-nyala. Bagaimana pendaptmu, Magandiya, apakah ia tidak akan menggunakan segala daya dan tenaganya untuk meloloskan diri?"

"Pasti, pertapa Gotama."

"Mengapa?"

"Api itu, pertapa Gotama, sangat menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya."

"Dan Magandiya, apakah baru sekarang saja api itu menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya; atau apakah api itu dahulu juga menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya?"

"Sekarang dan juga sejak dahulu kala api memang menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya. Tetapi si penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah mungkin seperti orang yang terkena obat bius, sehingga secara tidak sadar menganggap sentuhan api yang menyakitkan sebagai sentuhan yang menyenangkan."

bersambung..
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #107 on: 27 August 2008, 07:42:24 AM »
"Demikian juga halnya dengan nafsu-nafsu indria, Magandiya. Dahulu nafsu-nafsu itu menyakitkan, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya, namun sekarang juga nafsu-nafsu itu tetap menyakitkan, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya. Tetapi mahkluk-mahkluk, Magandiya, yang dirangsang oleh nafsu, dicengkeram oleh nafsu, dibakar oleh nafsu seakan-akan terbius dan secara tidak sadar menganggap rangsangan hawa nafsu itu sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Seperti halnya dengan si penderita kusta, Magandiya, yang badannya penuh luka dan bisul menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarangnya di perapian dengan bara api yang menyala-nyala. Lukanya akan membesar dan sakitnya akan bertambah parah, meskipun ia telah mengalami sensasi serta 'kenikmatan' tertentu, sewaktu ia menggaruk pecah luka dan bisul di badannya.
Demikian pula halnya, Magandiya, dengan orang-orang yang dirangsang oleh nafsu, dicengkeram oleh nafsu, dibakar oleh nafsu. Makin ia menyerah kepada tuntutan nafsu-nafsu keinginan untuk diberi kepuasan, makin kuat pula ia akan dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan dan dibakar oleh nafsu keinginan dan mereka merasai suatu kepuasan tertentu, suatu kenikmatan tertentu, sewaktu ia menyerah kepada tuntutan-tuntutan nafsu keinginan itu.
Bagaimana pendapatmu mengenai hal yang berikut ini, Magandiya?
Apakah engkau pernah melihat atau mendengar tentang seorang raja atau seorang perdana menteri yang mengumbar dan mendapat kepuasan dari nafsu-nafsunya, telah memperoleh atau akan memperoleh ketenangan batin?"

"Tidak, pertapa Gotama."

"Betul, Magandiya. Juga Aku belum pernah melihat atau mendengar tentang seorang raja atau seorang perdana menteri yang mengumbar dan mendapat kepuasan dari nafsu-nafsunya, memperoleh atau akan memperoleh ketenangan batin."

Kemudian Sang Bhagava mengucapkan syair di bawah ini :
Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi,
Delapan Jalan Utama adalah yang terbaik untuk mencapai kebebasan yang abadi.

Mendengar syair di atas pertapa Magandiya berkata : "Sungguh mengagumkan, sungguh luar biasa, pertapa Gotama, sungguh tepat ucapan Anda yaitu :
Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi."

"Akan tetapi, Magandiya, mengenai apa yang engkau dengar, telah diucapkan oleh para pertapa di jaman dulu dan oleh guru-guru mereka tentang : 'Kesehatan adalah keuntungan terbesar, Nibbana adalah berkah tertinggi', apakah engkau tahu kesehatan apakah yang dimaksud dan Nibbana apakah yang dimaksud?"

Mendengar pertanyaan ini, pertapa Magandiya mengusap-usap anggota badannya dan menjawab : "Inilah, Gotama yang dimaksud dengan kesehatan dan ini juga merupakan Nibbana. Karena pada saat ini, Gotama, aku merasa sehat sekali dan tidak menderita sakit apapun juga."

"Seperti juga seorang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Ada seorang yang melek (tidak buta) berkata kepadanya : 'Sebenarnya, sahabat, alangkah baiknya bila engkau memiliki pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.' Dan orang itu kemudian pergi untuk mencari pakaian putih tersebut. Bertemulah ia dengan seorang penipu yang menawarkan pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak : 'Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.'
Ia menerima dan memakai pakaian itu, berjalan pergi dan dengan bangga mengucapkan kata-kata sebagai berikut : 'Sungguh pakaian putih yang bagus, baik potongannya, tanpa noda dan bersih.'
Bagaimana pendapatmu, Magandiya, misalnya orang buta itu dapat melihat serta mengetahui, apakah ia sudi menerima dan memakai pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak dan dengan bangga mengucapkan kata-kata : 'Sungguh pakaian putih yang bagus, baik potongannya, tanpa noda dan bersih.' Atau mungkin juga karena ia percaya kepada kata-kata dari si penipu yang melek (tidak buta)?"

"Tanpa mengetahui dan tanpa melihatnya sendiri, Gotama, orang yang dilahirkan buta itu telah menerima dan memakai pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak dan merasa gembira dan bangga, karena ia percaya kepada orang yang melek."

"Demikianpun, Magandiya, pertapa-pertapa itu yang buta, tidak dapat melihat, tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan, tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan Nibbana, turut mengucapkan syair ini : 'Kesehatan adalah keuntungan terbesar, Nibbana adalah berkah tertinggi'
Tetapi, Magandiya, sejak dahulu kala syair di bawah ini diucapkan oleh para Buddha yang memiliki Penerangan Sempurna : 'Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi,
Delapan Jalan Utama adalah yang terbaik untuk mencapai kebebasan yang abadi.'

Syair ini lambat-laun menjadi peribahasa rakyat.
Meskipun tubuh ini, Magandiya, dapat menimbulkan penderitaan, tidak kekal, menyedihkan dan mudah terkena penyakit, namun tentang tubuh ini yang menimbulkan penderitaan, tidak kekal, menyedihkan dan mudah terkena penyakit engkau berkata : 'Tubuh ini adalah kesehatan dan tubuh ini adalah Nibbana.'
Magandiya, engkau pasti belum memiliki mata suci, karena bila engkau memiliki mata suci engkau dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan dan dapat melihat apa yang dimaksud dengan Nibbana."

"Sekarang aku mempunyai keyakinan yang kuat terhadap pertapa Gotama dan besar harapanku agar pertapa Gotama dapat memberikan Ajarannya kepadaku sehingga aku dapat mengenal kesehatan dan dapat melihat Nibbana."

"Magandiya, seperti juga orang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter itu membuat obat untuknya dan setelah dipakai obat itu ternyata tidak berhasil membuat orang buta itu bisa melihat kembali, bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah dokter itu tidak kecewa karena jerih payahnya telah sia-sia?"

"Tentu, pertapa Gotama."

"Demikian pula halnya, Magandiya, jika Aku mengajarmu Dhamma : 'Inilah yang dinamakan kesehatan dan inilah yang disebut Nibbana', namun engkau tetap tidak dapat mengenal kesehatan dan tidak dapat melihat Nibbana, dapat membuat Aku kecewa dan merasa bahwa jerih payahKu telah sia-sia."

"Aku mempunyai keyakinan kuat terhadap pertapa Gotama dan besar harapanKu agar pertapa Gotama dapat meberikan Ajarannya kepadaku sehingga aku dapat mengenal kesehatan dan dapat melihat Nibbana."

"Seperti juga orang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari.
Ada seorang melek (tidak buta) berkata kepadanya : 'Sebenarnya, sahabat, alangkah baiknya bila engkau memiliki pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.' Dan orang itu kemudian pergi untuk mencari pakaian putih tersebut. Bertemulah ia dengan seorang penipu yang menawarkan pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak : 'Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.'
Dan ia menerimanya serta memakainya.
Dan jika sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya membawanya ke seorang dokter dan dokter ini memberinya obat, obat muntah, obat urus-urus, obat mata, salep dan obat hidung. Setelah memakai obat-obat ini ternyata manjur dan ia lalu dapat melihat lagi. Setelah penglihatannya pulih dengan jemu ia melihat pakaian yang dikenakan, yaitu pakaian tukang jagal yang kotor dan penuh lemak. Ia marah kepada orang yang menipunya dan sekarang ia menganggap orang itu sebagai musuh, bahkan mungkin sampai ingin membunuhnya.
Ia berpikir : "Lama aku telah ditipu, didustai, dipermainkan oleh orang dengan pakaian kotor dan berlemak dari si tukang jagal dengan mengatakan : 'Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.' Dengan cara yang sama, Magandiya, bila Aku mengajarmu Dhamma kelak engkau akan mengerti apa yang dimaksud dengan kesehatan dan Nibbana. Dengan penglihatanmu yang berangsur-angsur menjadi terang, kamu akan berusaha untuk melepaskan diri dari keinginan dan kemelekatan kepada Lima Kelompok Kegemaran dan engkau akan berpikir : 'Lama aku telah ditipu, didustai, dipermainkan oleh batinku yang melekat, yaitu melekat kepada bentuk-bentuk, melekat kepada perasaan, melekat kepada pencerapan, melekat kepada pikiran dan melekat kepada kesadaran.
Dengan adanya kemelekatan (upadana) maka terjadilah proses tumimbal lahir (bhava); dengan adanya proses tumimbal lahir maka terjadilah kelahiran kembali (jati); dengan adanya kelahiran kembali maka terjadilah kelapukan, keluh-kesah, sakit dan mati (jaramarana). Itulah sebab-musabab dari rangkaian penderitaan manusia."

"Aku mempunyai keyakinan yang kuat terhadap pertapa Gotama dan aku harap dapat diberi pelajaran Dhamma sehingga aku dapat bangkit dari tempat ini tanpa terus-menerus buta."

"Carilah persahabatan dengan para bijaksana, Magandiya. Sebab jika berhubungan dengan para bijaksanaan, engkau akan mendengar Ajaran (Dhamma) yang benar. Jika engkau mendengar Ajaran yang benar, engkau akan hidup sesuai dengan Ajaran itu. Jika engkau hidup sesuai dengan Ajaran yang benar, engkau nanti akan mengetahui sendiri, akan melihat sendiri : 'Inilah dukkha (penderitaan) yang dapat dimusnahkan dalam kehidupan ini juga. Dengan tidak adanya kemelekatan maka tidak akan terjadi proses tumimbal lahir; dengan tidak adanya proses tumimbal lahir maka tidak akan ada kelahiran kembali; dengan tidak adanya kelahiran kembali maka tidak akan ada kelapukan, keluh kesah, sakit dan mati. Dengan demikian penderitaan manusia itu akan berhenti."

Setelah mendengar sabda Sang Bhagava, Magandiya lalu berkata :
"Sungguh indah, Bhante, sungguh indah! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : 'Siapa yang punya mata, silakan melihat.' Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Sang Bhagava. Dan aku ingin mencari perlindungan kepada Sang Buddha, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga aku dapat diterima sebagai murid oleh Sang Bhagava dan ditahbiskan di hadapan Sang Bhagava sendiri."

"Magandiya, mereka yang sebelumnya menuntut ajaran dari sekte lain dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu diharuskan untuk menjalani masa percobaan selama empat bulan. Setelah masa empat bulan berlalu dan mereka dianggap memenuhi syarat, maka para bhikkhu senior dapat mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Tetapi dalam hal ini Aku dapat melihat ada perbedaan dalam kesanggupanmu."

"Bhante yang mulia, jika mereka yang sebelumnya menuntut ajaran dari sekte lain dan ingin ditahbiskan menjadi bhikkhu harus menjalani masa percobaan selama empat bulan; dan setelah masa empat bulan berlalu dan dianggap memenuhi syarat, maka para bhikkhu senior dapat mentahbiskannya menjadi bhikkhu; mengenai diriku sendiri aku bersedia untuk menjalani masa percobaan selama empat tahun. Setelah masa percobaan empat tahun berlalu dan dianggap memenuhi syarat para bhikkhu senior baru mentahbiskan aku menjadi bhikkhu."

Tetapi pertapa Magandiya pada hari itu juga diterima dan ditahbiskan di hadapan Sang Bhagava.

Tidak lama setelah Bhikkhu Magandiya diterima di dalam Sangha, dengan selalu menyendiri, mengasingkan diri, rajin dan tekun maka dalam waktu tidak terlalu lama beliau mencapai tujuan yang menjadi idam-idaman dari mereka yang meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang pertapa; yaitu tujuan yang tertinggi dari penghidupan suci.

Beliau telah memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi sehingga dapat melihat dengan jelas hakekat yang sesungguhnya dari benda-benda. Beliau tahu bahwa : "Tumimbal lahir sudah dimusnahkan, penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak ada sesuatu lagi yang masih tertinggal."

Dan bhikkhu Magandiya menjadi salah satu diantara para Arahat.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #108 on: 27 August 2008, 08:10:23 AM »
Terima kasih buat Magandiya Sutta dari Majjhima Nikaya ini ... sutta ini pernah saya baca sekitar 40 tahun lalu, ketika pertama kali saya belajar agama Buddha. ...

Bagi saya, saya melihat ada perbedaan antara Magandiya Sutta dari Majjhima Nikaya ini dengan Magandiya Sutta dari Suttanipata ... bukan perbedaan dalam arti yang satu benar dan yang lain salah ... tapi perbedaan dalam cara penyajian kebenaran yang sama:

Bagi saya, yang di Suttanipata terasa langsung, spontan, tanpa melalui sistematika doktrin, sehingga terkesan otentik ... sedangkan yang di Majjhima Nikaya terasa disusun dan direkayasa agar sesuai dengan doktrin ... dengan kata lain, hasil rekayasa pikiran, bukan spontanitas ... di samping penuh dengan ungkapan-ungkapan klise. ...

Saya lebih tersentuh oleh yang di Suttanipata daripada yang di Majjhima Nikaya. ... Ini pengalaman batin saya pribadi ... yang belum tentu sama dengan pengalaman batin rekan-rekan lain. :)

Salam,
hudoyo

« Last Edit: 27 August 2008, 08:18:31 AM by hudoyo »

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #109 on: 27 August 2008, 08:35:25 AM »
fokus teman2x, fokus ;D

:backtotopic:
There is no place like 127.0.0.1

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #110 on: 27 August 2008, 08:37:36 AM »
Mengapa semasa BUDDHA masih hidup, tidak ada usaha untuk mendokumentasikan khotbah khotbah BUDDHA ? Apakah ini dilarang oleh BUDDHA atau bagaimana ? Mengapa harus sampai pada waktu BUDDHA telah parinibbana barulah Kassapa memimpin konsili untuk "mengumpulkan" kembali ajaran/khotbah BUDDHA ?

Dalam buku komentar dikatakan bahwa dengan menyerahkan jubah BUDDHA kepada MahaKassapa, BUDDHA tahu persis bahwa MahaKassapa lah salah seorang siswa senior yang akan memiliki umur yang panjang, dan di tangan MahaKassapa lah akan didokumentasikan ajaran/khotbah BUDDHA sehingga BUDDHASASANA (ajaran) bisa bertahan lebih lama (katanya "5000" tahun).
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #111 on: 27 August 2008, 08:51:24 AM »
Menurut hemat saya, karena di zaman itu belum ada teknologi untuk mendokumentasikan ajaran. ... Kedua, pada zaman Sang Buddha, ajaran beliau belum dipersepsikan sebagai agama, yang perlu dijaga kelestariannya; ajaran Sang Buddha adalah ajaran pembebasan, yang diberikan secara individual atau berkelompok kepada bhikkhu-bhikkhu, kadang-kadang kepada umat awam, tetapi semua itu dilihat sebagai ajaran personal. ... Ketiga, Sang Buddha beserta para bhikkhu, sekalipun berhubungan dengan beberapa raja, tapi ajarannya tidak sampai menjadi ajaran resmi dari kerajaan mana pun (sampai pada zaman Asoka), sehingga tidak ada raja yang berminat melestarikan ajaran Sang Buddha, atau membuat prasasti untuk Sang Buddha. ... Kempat, Sang Buddha dan para bhikkhu hidup mengembara, bermeditasi untuk mencapai pembebasan ... bukan seperti kehidupan di vihara-vihara besar beberapa ratus tahun kemudian, ketika bhikkhu-bhikkhu hidup lebih santai, dan punya lebih banyak waktu untuk menuliskan apa yang diterima turun-temurun melalui hafalan.

Peristiwa Konsili I itu sendiri dipertanyakan oleh beberapa pakar Buddhisme ... sebagian menganggap Konsili I itu tdak lebih daripada sebuah legenda.

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 27 August 2008, 08:58:26 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #112 on: 27 August 2008, 08:53:10 AM »
fokus teman2x, fokus ;D

Saya rasa, diskusi tentang perbedaan antara kedua Magandiya-sutta masih termasuk on topic.

Salam,
hudoyo

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #113 on: 27 August 2008, 09:09:21 AM »
Yang Anda sampaikan itu memang tepat dilakukan oleh siapa saja, puthujjana atau samma-sambuddha ... karena situasi itu menyangkut hal-hal yang sangat pribadi sifatnya. ...

Tapi yang dipersoalkan di sini, Sang Buddha ditanya oleh seorang bhikkhu, "siapakan yang telah mengatasi kelahiran dan usia tua". Sang Buddha menjawab, "tidak semua sama.na & braahma.naa tetap terbelenggu dalam kelahiran dan usia tua." ... Di sini tidak perlu Sang Buddha berdiplomasi, sebagaimana mau dikatakan oleh Rekan Kelana. Yang dikatakan oleh Sang Buddha itu adalah KEBENARAN FAKTUAL, yang sekarang bisa kita lihat di sekeliling kita.
Kalau untuk berdiplomasi memang tidak pernah. Apa yang menurut Buddha benar tetap dikatakan benar, salah tetap dikatakan salah. Yang saya maksud adalah "blak-blakan"-nya itu tidak selalu terjadi, tergantung kondisi. Bahkan kadang didiamkan atau ditolak sampai ditanya 3x.




Menurut saya, mempermasalahkan keotentikan suatu ajaran tidak sia-sia. Hal itu dilakukan oleh banyak pakar kitab suci, baik kitab suci Keristen maupun kitab suci Buddhis. Sekalipun tidak bisa dicapai kesepakatan obyektif dasn definitif, namun situasi modern ini membuka wawasan kita bahwa tidak semua lapisan-lapisan Tipitaka mempunyai bobot keotentikan yang sama, sebagaimana diasumsikan oleh umat Buddha secara tradisional ...
Memang menurut saya pribadi, semua kitab suci (baik Buddhist ataupun umat lain) tidak ada yang 100% otentik, terutama kalau mau dilihat dari data historis. Tetapi keotentikan ataupun ketidakotentikan suatu bagian tidak menjamin isinya cocok dengan kita masing2. Jadi kalau memang mau meneliti secara historis, mungkin memang bisa memperluas wawasan. Namun untuk realisasi isi kitab2 itu, tidak masalah otentik atau tidak. Jika kembali kepada kalama sutta, dianjurkan agar memiliki pola pikir "semua kitab suci tidak otentik, tidak perlu ditelan mentah-mentah, kecuali sudah dibuktikan sendiri kebenarannya".


Quote
... Pencerahan ini membuat kita merasa lega menghadapi bagian-bagian sutta yang bertentangan dengan hati nurani, misalnya ketika ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata, "hanya dalam ajaranku terdapat pembebasan, dalam ajaran guru-guru lain tidak terdapat pembebasan", atau ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata, "keotentikan ajaranku harus dirujuk kepada Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka". Orang yang memiliki pemahaman baru mengenai proses historis Tipitaka, bisa merasa lega, bahwa bagian-bagian seperti itu kemungkinan besar merupakan sisipan dari para bhikkhu penghafal Tipitaka di zaman Tipitaka masih diturunkan dari mulut ke mulut.

Kalau ini, terpulang pada penafsiran masing2. Bisa ditafsirkan bahwa itu memiliki konteks yang berbeda, ataupun menganggap itu tidak otentik. Seperti saya katakan bahwa "hati nurani" Udayi dan Pancakanga waktu berdebat, tentu saja berbeda, karena mereka masing2 benar2 mendengar itu dari mulut Buddha sendiri (yang biasanya berbeda uraian karena disesuaikan dengan bathin masing2 orang yang diajak bicara).

Contoh gampangnya adalah Jataka, di mana banyak sekali kisah binatang bisa bicara pada manusia. Ini sih sama sekali tidak sesuai dengan pengalaman saya sekarang  ;D, tetapi banyak dari kisah2 itu menginspirasi. Saya rasa tidak perlu 'membuang' kitab jataka ini dan menganggap sebagai tidak otentik karena tidak bersesuaian dengan hati nurani/pengalaman kita. Diambil "isi"-nya saja, tanpa perlu mempermasalahkan "bungkus"-nya.


Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #114 on: 27 August 2008, 07:36:22 PM »
Kalau untuk berdiplomasi memang tidak pernah. Apa yang menurut Buddha benar tetap dikatakan benar, salah tetap dikatakan salah. Yang saya maksud adalah "blak-blakan"-nya itu tidak selalu terjadi, tergantung kondisi. Bahkan kadang didiamkan atau ditolak sampai ditanya 3x.

Saya rasa, untuk menjawab "Apakah ada sama.na & braahma.naa yang bebas dari kelahiran dan usia tua", Sang Buddha tidak perlu menunda-nunda, sebagaimana dikhayalkan oleh Rekan Kelana.

Quote
Memang menurut saya pribadi, semua kitab suci (baik Buddhist ataupun umat lain) tidak ada yang 100% otentik, terutama kalau mau dilihat dari data historis. Tetapi keotentikan ataupun ketidakotentikan suatu bagian tidak menjamin isinya cocok dengan kita masing2. Jadi kalau memang mau meneliti secara historis, mungkin memang bisa memperluas wawasan. Namun untuk realisasi isi kitab2 itu, tidak masalah otentik atau tidak. Jika kembali kepada kalama sutta, dianjurkan agar memiliki pola pikir "semua kitab suci tidak otentik, tidak perlu ditelan mentah-mentah, kecuali sudah dibuktikan sendiri kebenarannya".

Keotentikan atau ketidakotentikan bagian-bagian tertentu dari Tipitaka tetap penting untuk dipertimbangkan. Lebih-lebih lagi dalam suasana umat Buddha sekarang ini di mana sebagian besar menganggap Tipitaka itu otentik 100%. Ini berbeda sekali dengan kondisi dunia Keristen pada dewasa ini, di mana bahkan para pemuka agamanya sendiri sudah banyak yang mengakui bahwa Alkitab bukan 'firman Tuhan'.

Quote
Contoh gampangnya adalah Jataka, di mana banyak sekali kisah binatang bisa bicara pada manusia. Ini sih sama sekali tidak sesuai dengan pengalaman saya sekarang  ;D, tetapi banyak dari kisah2 itu menginspirasi. Saya rasa tidak perlu 'membuang' kitab jataka ini dan menganggap sebagai tidak otentik karena tidak bersesuaian dengan hati nurani/pengalaman kita. Diambil "isi"-nya saja, tanpa perlu mempermasalahkan "bungkus"-nya.

Ketidakotentikan cerita Jataka tidak mengurangi nilainya sebagai ajaran moral/etika; sekalipun masih banyak umat Buddha yang menganggap Sang Bodhisatta benar-benar pernah lahir sebagai binatang. Cerita-cerita semacam Jataka juga terdapat dalam Panchatantra Hindu; di mana kisah-kisah dongeng binatang digunakan untuk pengajaran moral/etika.

Yang menjadi masalah adalah bagian-bagian tertentu dari Sutta-Pitaka di mana ditampilkan seolah-olah Sang Buddha mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Kalau dibilang semua khotbah Sang Buddha yang kita terima sekarang ini 100% otentik, atau dibilang bahwa keotentikan bagian-bagian itu tidak perlu dipermasalahkan, maka hal itu menimbulkan keraguan dalam batin umat Buddha yang kritis. Konflik yang hanya bisa diatasi dengan menyadari bahwa keotentikan bagian-bagian tersebut patut dipertanyakan, tanpa mengurangi kekaguman atas ajaran Sang Guru secara keseluruhan.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #115 on: 27 August 2008, 07:38:24 PM »
 [at] Admin

Saya rasa judul thread ini terkesan negatif dan membatasi. ... Sebaiknya diganti saja dengan "Membaca Sutta secara kritis" ... terkesan lebih positif dan luas.

Salam,
hudoyo

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #116 on: 27 August 2008, 08:48:06 PM »
thanks pak hud atas idenya, saya sudah ganti awal thread ini judulnya
There is no place like 127.0.0.1

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #117 on: 28 August 2008, 09:25:38 AM »
Loh sudah ganti toh judulnya?? :o

Karena judulnya baru maka saya perlu mengomentari judul baru ini.
Singkat saja. Adalah hal yang percuma mengharapkan kekritisan ketika kita sudah terdogma oleh yang dianggap sebagai "pengalaman sendiri" . begitu juga sebaliknya terdogma oleh sutta.Topik awal dari Thread ini yaitu "Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta" sudah merupakan indikasi bahwa pikiran si pembuat thread tidak dalam keadaan netral, tidak MELIHAT APA ADANYA  ^-^ :whistle: ironis... ^-^
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #118 on: 28 August 2008, 09:29:30 AM »
Loh sudah ganti toh judulnya?? :o

Karena judulnya baru maka saya perlu mengomentari judul baru ini.
Singkat saja. Adalah hal yang percuma mengharapkan kekritisan ketika kita sudah terdogma oleh yang dianggap sebagai "pengalaman sendiri" . begitu juga sebaliknya terdogma oleh sutta.Topik awal dari Thread ini yaitu "Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta" sudah merupakan indikasi bahwa pikiran si pembuat thread tidak dalam keadaan netral, tidak MELIHAT APA ADANYA  ^-^ :whistle: ironis... ^-^
Betul betul, ketika melihat apa adanya itu khan artinya Tidak ada yang namanya benar maupun salah :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #119 on: 28 August 2008, 09:29:54 AM »
Tidak ada kejanggalan atau ketidakjanggalan, yang ada hanyalah gerak-gerik pikiran. Bila pikiran berhenti maka tidak ada yang janggal atau tidak janggal.

Bila membaca, maka pikiran tidak berhenti.

;D ;D ;D
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #120 on: 28 August 2008, 09:42:13 AM »
Tidak ada kejanggalan atau ketidakjanggalan, yang ada hanyalah gerak-gerik pikiran. Bila pikiran berhenti maka tidak ada yang janggal atau tidak janggal.

Bila membaca, maka pikiran tidak berhenti.

;D ;D ;D
Setuju setuju, seperti orang membicarakan bendera yang berkibar, berdebat yang satu mengatakan angin yang bergerak, yang satu lagi mengatakan bendera yang bergerak :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #121 on: 28 August 2008, 09:55:44 AM »
Loh sudah ganti toh judulnya?? :o

Karena judulnya baru maka saya perlu mengomentari judul baru ini.
Singkat saja. Adalah hal yang percuma mengharapkan kekritisan ketika kita sudah terdogma oleh yang dianggap sebagai "pengalaman sendiri" . begitu juga sebaliknya terdogma oleh sutta.Topik awal dari Thread ini yaitu "Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta" sudah merupakan indikasi bahwa pikiran si pembuat thread tidak dalam keadaan netral, tidak MELIHAT APA ADANYA  ^-^ :whistle: ironis... ^-^

^:)^ maaf...
TS & Pembuat judul beda...

pembuat judul "kejangalan2 dalam sutta" adalah saya, tesla
maaf jika membuat rekan2 merasa tidak nyaman

deep bow


Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #122 on: 28 August 2008, 10:50:33 AM »
Apapun judulnya bisa dilihat seperti apa isinya dan pemirsa sendiri yg bisa menilai... ;D
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #123 on: 28 August 2008, 12:06:17 PM »
Topik awal dari Thread ini yaitu "Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta" sudah merupakan indikasi bahwa pikiran si pembuat thread tidak dalam keadaan netral, tidak MELIHAT APA ADANYA  ^-^ :whistle: ironis... ^-^

Ketika batin berdasarkan pengalaman sendiri melihat dalam sutta ada yang tidak cocok dengan pengalamannya, baru muncul pengertian 'kejanggalan' apabila ia berhadapan dengan dogma bahwa sutta identik dengan ajaran Buddha. ... Kalau dogma itu bisa diatasi, maka tidak ada lagi yang 'janggal' ... semuanya bisa dimengerti dari perjalanan historis sutta itu.

Memang tidak ada batin yang netral bila pikiran bergerak. ... Batin netral hanya terjadi bila pikiran berhenti. Di situlah orang 'melihat apa adanya', tanpa terpengaruh kitab suci.
« Last Edit: 28 August 2008, 12:13:24 PM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #124 on: 28 August 2008, 12:06:45 PM »
Apapun judulnya bisa dilihat seperti apa isinya dan pemirsa sendiri yg bisa menilai... ;D

setuju

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #125 on: 28 August 2008, 12:08:13 PM »
Betul betul, ketika melihat apa adanya itu khan artinya Tidak ada yang namanya benar maupun salah :))

Wah, bagus ... Ini teori atau pengalaman pribadi?

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #126 on: 28 August 2008, 12:09:24 PM »
Betul betul, ketika melihat apa adanya itu khan artinya Tidak ada yang namanya benar maupun salah :))

Wah, bagus ... Ini teori atau pengalaman pribadi?
Nyontek pak :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #127 on: 28 August 2008, 12:09:44 PM »
Tidak ada kejanggalan atau ketidakjanggalan, yang ada hanyalah gerak-gerik pikiran. Bila pikiran berhenti maka tidak ada yang janggal atau tidak janggal.
Bila membaca, maka pikiran tidak berhenti.
;D ;D ;D

Setuju ... tampaknya terjadi juga pendekatan ya? ... Atau semakin pintar? :))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #128 on: 28 August 2008, 12:11:06 PM »
Setuju setuju, seperti orang membicarakan bendera yang berkibar, berdebat yang satu mengatakan angin yang bergerak, yang satu lagi mengatakan bendera yang bergerak :))

Ini nyontek jugakah? :))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #129 on: 28 August 2008, 12:19:44 PM »
Setuju setuju, seperti orang membicarakan bendera yang berkibar, berdebat yang satu mengatakan angin yang bergerak, yang satu lagi mengatakan bendera yang bergerak :))

Ini nyontek jugakah? :))
iye iye, cerita zen tuh :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #130 on: 28 August 2008, 12:24:40 PM »
:))

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #131 on: 28 August 2008, 12:44:09 PM »
Betul betul, ketika melihat apa adanya itu khan artinya Tidak ada yang namanya benar maupun salah :))
Tidak ada kejanggalan atau ketidakjanggalan, yang ada hanyalah gerak-gerik pikiran. Bila pikiran berhenti maka tidak ada yang janggal atau tidak janggal.

Bila membaca, maka pikiran tidak berhenti.
belakangan di beberapa thread yg hot, saya banyak melihat celetukan2 seperti di atas yg menurut saya agak mengganggu clarity dari thread yg bersangkutan. bukan bermaksud mengusulkan forum ini menjadi kaku dan dingin, tapi main sindir2 dan bercanda ada batasnya. kalo sampe celetukan2 dan sindir2annya bertebaran mengisi lebih dari 50% threadnya, kayaknya gak bener tuh...

tambahan lagi, menurut saya celetukan2 itu sifatnya kurang jujur. kalo emang punya pendapat, mengapa tidak ikutan diskusinya aja? tunjukkan posisi anda di mana. walaupun berbeda pendapat, saya sangat menghargai mereka yg berani mengemukakan pendapatnya di forum ini karena itu artinya mereka jujur dan berani bertanggung jawab...

maaf kalo tersinggung...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #132 on: 28 August 2008, 12:51:45 PM »
Maksudnya perkataan seperti itu hanya bisa dikatakan oleh para praktisi?
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Arale

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 108
  • Reputasi: 7
  • Kiiiiiiiiin
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #133 on: 28 August 2008, 12:56:35 PM »
ganti judul yah. pantes tidak ketemu tadi.

baca sutta kritis. susahnya sutta yang sama bisa di artikan berbeda, tergantung keinginan yang baca.

seperti kata ajahn brahmvamso. bend, bend-an itu cuma beda kata-kata

bend the sutta to pengalaman. or bend the pengalaman to the sutta. :))
"N'cha"

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #134 on: 28 August 2008, 01:13:43 PM »
Maksudnya perkataan seperti itu hanya bisa dikatakan oleh para praktisi?
wow... sama sekali saya gak menyangka reaksinya seperti ini.
silakan lakukan apa yg anda anggap baik deh...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #135 on: 28 August 2008, 01:16:39 PM »
seperti kata ajahn brahmvamso. bend, bend-an itu cuma beda kata-kata
bend the sutta to pengalaman. or bend the pengalaman to the sutta. :))

Kalau orang sudah mengalami sendiri, maka tidak perlu bend-bend-an. ... Dia tahu bahwa sutta tidak relevan lagi.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #136 on: 28 August 2008, 02:16:00 PM »
Betul betul, ketika melihat apa adanya itu khan artinya Tidak ada yang namanya benar maupun salah :))
Tidak ada kejanggalan atau ketidakjanggalan, yang ada hanyalah gerak-gerik pikiran. Bila pikiran berhenti maka tidak ada yang janggal atau tidak janggal.

Bila membaca, maka pikiran tidak berhenti.
belakangan di beberapa thread yg hot, saya banyak melihat celetukan2 seperti di atas yg menurut saya agak mengganggu clarity dari thread yg bersangkutan. bukan bermaksud mengusulkan forum ini menjadi kaku dan dingin, tapi main sindir2 dan bercanda ada batasnya. kalo sampe celetukan2 dan sindir2annya bertebaran mengisi lebih dari 50% threadnya, kayaknya gak bener tuh...

tambahan lagi, menurut saya celetukan2 itu sifatnya kurang jujur. kalo emang punya pendapat, mengapa tidak ikutan diskusinya aja? tunjukkan posisi anda di mana. walaupun berbeda pendapat, saya sangat menghargai mereka yg berani mengemukakan pendapatnya di forum ini karena itu artinya mereka jujur dan berani bertanggung jawab...

maaf kalo tersinggung...
Kalo aye menerima apa yang bisa diterima, menolak apa yang bisa diltolak itu saja :)
Maaf saja kalo ada yang merasa tersindir :))

Aye ikutan diskusi juga blom nyampe lmunya juga dah disuruh melepas kok ilmunya, jadi aye tanpa ilmu kok diskusinya :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #137 on: 28 August 2008, 02:24:01 PM »
Aye ikutan diskusi juga blom nyampe lmunya juga dah disuruh melepas kok ilmunya, jadi aye tanpa ilmu kok diskusinya :))

Bukannya ryu ilmunya dari John 3:16  :))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #138 on: 28 August 2008, 02:28:46 PM »
Aye ikutan diskusi juga blom nyampe lmunya juga dah disuruh melepas kok ilmunya, jadi aye tanpa ilmu kok diskusinya :))

Bukannya ryu ilmunya dari John 3:16  :))
Itu mah bukan ilmu itu IMAN !! :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Centy

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 175
  • Reputasi: -6
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #139 on: 29 August 2008, 01:30:01 PM »
Wah... kayaknya threat ini bakalan seru, dimana ada bro semit dan pak hudoyo maka disitulah forum dc ini menjadi sangat menarik.

Daripada memperdebatkan sesuatu yang sama2 tidak bisa buktikan, mendingan diselesaikan dengan voting lagi yuk  ;D ;D ;D

1. Setuju
2. Tidak Setuju

Wakakaka......  ;D ;D ;D

Offline dark_angel

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 148
  • Reputasi: -26
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #140 on: 30 August 2008, 11:23:25 AM »
 :-?

coba sang buddha masi ada, maka semua pertanyaan anda akan terjawab...

 _/\_

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #141 on: 30 August 2008, 11:44:50 AM »
kapok deh pakai vote :))
There is no place like 127.0.0.1

Offline F.T

  • Sebelumnya: Felix Thioris, MarFel, Ocean Heart
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.134
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • • Save the Children & Join with - Kasih Dharma Peduli • We Care About Their Future • There Are Our Next Generation.
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #142 on: 30 August 2008, 11:48:07 AM »
Vote? Noo waaayyy :hammer:

:))


Save the Children & Join With :
Kasih Dharma Peduli ~ Anak Asuh
May all Beings Be Happy


Contact Info : Kasihdharmapeduli [at] yahoo.com

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #143 on: 07 October 2008, 11:15:18 PM »
Komentar tentang tulisan pak Hudoyo:
Saya salut dengan usaha dari pak Hudoyo dan teman-teman untuk bersikap kritis. Menyambutnya saya ingin sedikit urun rembug:

Bagaimana kalau ternyata arti kata "sutta" dalam Mahaparinibbana tidak berarti seperti yang dimaksud atau dikira penerjemahnya. Kita seringkali berasumsi bahwa kata "sutta" atau "sutra" selalu sinonim dengan "Sutta pitaka", padahal kata "sutta" itu sendiri di jaman pra-konsili sangha memiliki arti yang berbeda.

Untuk jelasnya, saya kutipkan etimologi kata sutra/sutta dalam bahasa sansekerta di bawah:

] Etymology

From Sanskrit सूत्र (sū́tra), “‘thread, yarn, string; rule’”).

[edit] Pronunciation

    * IPA: /ˈsuːtrə/

[edit] Noun

Singular
sutra
      

Plural
sutras

sutra (plural sutras)

   1. A rule or thesis in Sanskrit grammar or Hindu law or philosophy.
   2. (Buddhism, Hinduism) A scriptural narrative, especially a discourse of the Buddha.

(sumber: http://en.wiktionary.org/wiki/sutra)

Jika menilik pada akar kata sutra di atas, pengertiannya dapat berarti dua hal: 1. aturan; 2. teks yang berisi narasi atau percakapan

Bagaimana kalau kata "sutta/sutra" dalam Mahaparinibbana Sutra ternyata berarti "aturan", yang dalam hal ini hanya merupakan pelengkap bagi kata "vinaya" yang disebutkan setelahnya. Mungkin terjemahannya dalam bahasa Inggris bisa dirubah menjadi:

"... Without approval and without scorn, but carefully studying the sentences word by word, one should trace them in the Rules and verify them by the Discipline. .."

Bagaimana menurut teman-teman?

Selain itu, sepengetahuan saya kata "sutra" (dalam arti "teks tentang narasi atau wacana") juga tidak eksklusif digunakan oleh pengikut agama Buddha saja. Kata sutra juga digunakan oleh kaum Jain dan terakhir digunakan juga dalam penganut Yoga. 

Mohon maaf jika saya melakukan kesalahan, saya hanya bermaksud menawarkan alternatif penjelasan yang mungkin. Saya berpendapat, sebelum menyimpulkan bahwa sutta ini telah disisipi, perlu dipelajari dulu penggunaan kata "sutra/sutta" di jaman hidup Sang Buddha.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #144 on: 08 October 2008, 02:41:37 PM »
^jika itu adalah "aturan"/rule... maka otoritas tertinggi pindah ke vinaya :))
secara vinaya = aturan (kebhikkuan)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #145 on: 08 October 2008, 04:12:42 PM »
sutta [sutta; Skt. sutra]: Literally, "thread"; a discourse or sermon by the Buddha or his contemporary disciples.
There is no place like 127.0.0.1

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #146 on: 09 October 2008, 01:39:45 AM »
Tentang jainisme yang juga menggunakan istilah "sutra", lihat link ini:

http://www.sacred-texts.com/jai/index.htm
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #147 on: 09 October 2008, 01:44:54 AM »
Untuk ajaran Hindu yang menggunakan istilah "sutra", lihat link berikut:

http://www.sacred-texts.com/hin/sbe48/index.htm

http://www.sacred-texts.com/hin/ysp/index.htm
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #148 on: 09 October 2008, 02:01:28 AM »
Tidak juga kawan Tesla,
ingat di sini ada istilah "sutta" dan "vinaya" yang dipakai bersama. Mungkin saja rules/aturan yang dimaksud pada kata "sutta" lebih luas daripada sekadar "vinaya"; atau juga mungkin sebaliknya: merupakan bagian dari vinaya.- kalau yang terakhir benar, maka dalam Sutta  ini vinaya diutamakan.

Namun interpretasi untuk masalah ini harus memperhatikan bagian yang lain dari sutta ini. Pada dasarnya apa yang saya ungkapkan hanyalah asumsi-asumsi semata, tidak berbeda  dengan yang diungkapkan oleh Pak Hudoyo tentang kemungkinan pemalsuan dalam Sutta oleh kelompok tertentu dalam Buddhisme.   

Perlu juga dipetimbangkan di sini juga, istilah sutta/sutra digunakan untuk menamai kumpulan sutta/sutra pitaka justru dikarena istilah ini pernah digunakan secara kurang lebih oleh Sang Buddha sendiri dalam salah satu teks. Sebelum ada bukti lain, hal ini harus dipertimbangkan juga...

Salah satu fakta yang paling penting adalah: Kata Sutta/sutra tidak harus berarti HANYA sebagai kumpulan ajaran Buddha dalam bentuk percakapan sebagaimana yang disalahmengerti selama ini. Walaupun kemudian kumpulan ajaran Buddha dalam bentuk percakapan disebut sebagai Sutta/sutra, namun istilah tersebut pastilah diadopsi dari kata yang sudah ada dalam bahasa pali/sansekerta itu sendiri. Agak aneh jika kata sutta/sutra dimengerti hanya sebagai bagian Tri Pitaka tanpa ada arti tersendiri; seolah-olah sebelum ada Tri Pitaka tidak ada istilah tersebut. Saya hanya menyarankan, bahwa dengan mempelajari etimologi kata "sutta/sutra" lebih mendalam, kita dapat menemukan penggunaannya yang lebih beragam di masa sang Buddha hidup dan mengajar.

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Jayanto Putra

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 17
  • Reputasi: -1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Membaca Sutta secara kritis
« Reply #149 on: 13 June 2010, 10:30:44 PM »
diambil dari Tipitaka Tematik hal 110.

"Sudah sepantasnya kalian bingung, wahai, kaum Kalama, sudah sepantasnya kalian ragu. Keragian telah timbul dalam diri kalian mengenai suatu hal yang membingungkan. Mari, kaum Kalama. Janganlah menuruti tradisi lisan, silsilah ajaran, desas-desus, himpunan teks, logika, penyimpulan, renungan bernalar, penerimaan suatu pandangan setelah menimbangnya, kemampuan yang mengesankan dari seorang pembicara, atau karena kalian berikiran, 'Sang petapa adalah guru kami.'. Namun bila kalian mengetahui sendiri, 'Hal-hal ini buruk; hal-hal ini salah; hal-hal ini dicela para bijaksana; hal-hal ini, jika dilakukan dan dipraktikkan, menimbulkan kerugian dan penderitaan,' maka kalian seharusnya menjauhinya."

*Ehipassiko
Segala yang berkondisi akan hancur.
Berjuanglah dengan kesadaran penuh.
(Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya 16)