Namun dalam Bodhisattva Sila dalam Tibetan Buddhism, yang bersumber pada teks Shikshasamuccaya karya YA Shantideva --......., tidak terdapat sila tentang vegetarian. Ketiga para guru ini `mengumpulkan dan mempelajari’ sila-sila dari berbagai Sutra dalam Sutra Pitaka (Sansekerta).
Anjuran untuk vegetarian tidak terdapat dalam teks berjudul Penuntun Jalan Hidup seorang Bodhisattva. Teks Penuntun Cara Hidup seorang Bodhisattva (Bodhisattvacharyavatara) adalah sebuah teks yang sangat penting dalam silsilah Mahayana, termasuk dalam Buddhisme Tibetan dan sangat populer, baik di India maupun di Tibet --kecuali untuk bab 9 yang cukup sulit biladipraktikkan umat awam-- menjadi pedoman bagi para praktisi Mahayana. Teks ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari, berjuang untuk mencapai pembebasan Agung, pencerahan lengkap sempurna, menjadi Samma Sambuddha. Teks ini berisikan inti sari dari Sutra --kata-kata (ajaran langsung Sang Buddha) Shastra --komentar (ajaran pada Guru Besar India), serta ajaran para Guru Besar Mahayana lainnya, serta tak kalah pentingnya adalah realisasi spritual dari penyusunnya, Acharya Shantideva sendiri.
Saya menolak pernyataan penulis tersebut pada poin ini.
Jelas sekali dalam Sikshasamuccaya karya Acharya Shantideva sangat dianjurkan praktek vegetarian.Dikutip dari karya Siksha Samuccaya oleh Acharya Shantideva (yang juga penulis Bodhisattvacaryavatara):
Mengenai Makan DagingMaka dari itu ia harus menyokong dirinya dengan makanan yang selalu berguna, namun kemudian bukan dengan ikan maupun daging, karena hal tersebut dilarang dalam Lankavatara Sutra. Dikatakan seperti ini: "Tidak ada daging yang harus dimakan, maka dari itu saya berkata pada Bodhisattva yg berwelas asih..... Oleh karena merupakan sesama makhluk hidup[kekerabatan], karena hal tersebut adalah suatu kesalahan, karena terbentuk dari cairan semen (sperma) dan darah rahim, para umat harus menghindari daging [dan memandangnya] sebagai [makanan] yang tidak cocok bagi makhluk hidup. Para umat juga seharusnya selalu menghindari daging, bawang putih, berbagai macam [minuman] yang memabukkan, bawang merah dan sejenisnya. Ia harus menghindari minyak yang digunakan untuk mengurapi, ia seharusnya tidak tidur di ranjang dengan lubang-lubang di mana dapat membahayakan makhluk-makhluk hidup. Untuk mendapat keuntungan, makhluk hidup dibunuh, untuk [mendapatkan] daging uang diberikan: kedua jenis pelaku karma buruk ini [akan] dibakar di neraka Raurava dan neraka-neraka lainnya.”
Dan kemudian: ”Ia yang memakan daging telah melanggar kata-kata Para Suciwan, [ia adalah] manusia dengan pikiran buruk, dengan tujuan menghancurkan dua dunia, setelah memberikan dedikasi [persembahan] di bawah ajaran Sakya, para pelaku karma buruk ini akan pergi ke neraka yang paling menyedihkan, para pemakan daging akan terbakar di neraka-neraka yang kejam seperti Raurava. Daging yang bebas dari tiga syarat, yaitu tidak dipersiapkan, tidak dipesan, tidak diminta, itu [sebenarnya] tidak ada: maka seseorang seharusnya tidak makan daging. Seorang umat seharusnya tidak memakan daging, yang dicela olehku dan oleh para Buddha: anggota keluarga yang memakan daging bangkai, saling memangsa satu sama lain”
Dan kemudian pada hal ini: “Dengan bau busuk yang menjijikkan, gila, ia terlahir di keluarga seorang Candala atau Pukkasa, [terlahir kembali] di antara kasta rendah secara berulang-ulang. Ia akan terlahir dari seorang iblis wanita, di keluarga pemakan daging, ia akan terlahir dari seekor beruang wanita atau seekor kucing, sebagai ia yang celaka dan hina. Dalam Hastikakshya, Nirvana [Sutra], Angulimàlika [Sutra], dan Lankavatara Sutra, Aku telah melarang pangambilan daging sebagai makanan. Oleh para Buddha dan para Bodhisattva dan oleh orang –orang yang religius [tindakan makan daging] tersebut merupakan perbuatan yang dicela, jika seseorang memakan daging, ia akan selalu terlahir kembali dengan keadaan tidak tahu malu dan gila. Tetapi dengan menghindari mereka yang memakan daging, manusia akan terlahir di antara para Brahmana atau di sebuah keluarga umat Buddha, dan seseorang akan menjadi pandai dan kaya. Dengan melihat dan mendengar hal-hal yang mencurigakan seseorang hendaknya menghindari semua macam daging, para filsuf yang jika merupakan anggota keluarga yang memakan daging bangkai, tidak akan dapat memahami apa-apa.
Seperti nafsu yang menjadi rintangan bagi tercapainya pembebasan, maka demikian juga dengan konsumsi-konsumsi seperti daging atau minuman yang memabukkan. Di masa depan, para pemakan daging, para pembabar delusi, akan berkata bahwa daging adalah cocok, tidak dicela dan dipuji oleh para Buddha. Namun mereka yang berkeyakinan hendaknya mengambil sepotong [makanan] dengan tidak berlebihan, menghindari alkohol seperti sebuah obat yang berguna*, [dan memikirkan] seakan-akan [daging adalah] daging anaknya sendiri.
Aku yang berada di dalam kebaikan selalu mencela makanan [daging] ini, seperti seseorang hendaknya melakukan persahabatan dengan singa-singa dan harimau-harimau serta binatang lainnya. Maka dari itu seseorang hendaknya menghindari makan daging, yang dapat mengganggu keadaan batin manusia karena [memakan daging] dapat menghalangi tercapainya pembebasan dan kebenaran: ini adalah tindakan para Arya.”
[Siksha-Samuccaya karya Mahaguru Shantideva]*. menghindari alkohol = minum obat yang berguna, minum alkohol = minum obat beracun.
Just so must he support himself by the physic that is always useful: but even then not with fish or flesh, because it is forbidden in the Lankâvatara Sutra. For thus it is said: "No flesh must be eaten; so I say to the pitiful Bodhisattva . . . . Because of kinship, because of its wrong, because it is produced by semen and uterine blood, the devotee should avoid flesh as improper for living creatures. The devotee should always avoid flesh, onions, intoxicants of different kinds, garlic of all sorts. He should avoid oil for anointing; he should not sleep on beds with hollow posts or holes or where there is danger for living creatures. . . . For gain a living creature is killed, for meat money is given: both these sinners are burnt in the Raurava Hell and other hells. . . .” And so on to this: "He that eats flesh in transgression of the words of a sage, the man of evil mind, for the destruction of the two worlds, after being dedicated under the gospel of Sâkya, those sinners go to the most awful hell; the flesh-eaters are burnt in terrible hells like Raurava. Flesh free from the three objections, not prepared, unasked, unsolicited, there is none: therefore one should not eat flesh. A devotee should not eat flesh, which is blamed by me and by the Buddhas: members of a family that eats carrion flesh, devour each other." . . . And so on to this: “Ill-smelling and abominable, mad, he is born in a Candâla, or Pukkasa family, amongst low-caste again and again. He is born to one sprung of a female imp, in a flesh-eating family, he is born to a she-bear or a cat, the vile wretch. In the Hastikakshya, the Nirvana, the Angulimàlika, and the Lankavatara Sutra, I have reprovedthe eating of flesh. By Buddhas and by Bodhisattvas and by religious persons it has been reprehended; if one eats it, he is always born shameless and mad. But by avoiding those who eat flesh men are born among brahmins or in a family of devotees, and one is intelligent and wealthy. In suspicion touching things seen and heard one should avoid allmeat; philosophers understand nothing if members of a family that eats carrion flesh. As passion would be an obstacle to deliverance, so would be such things as flesh, or intoxicants. In future time, the eaters of flesh, speakers of delusion, will say that flesh is proper, blameless, praised by the Buddhas. But the pious should take his morsel in moderation, against the grain, like a useful physic, as though .it were the flesh of his own son. I who abide in kindliness have always reprehended this food; [such an one] should keep company with lions and tigers and other beasts. Therefore one should not eat flesh, which disturbs men's natures because it hinders deliverance and righteousness: this is the work of the noble. The Siddha Wanderer