//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM  (Read 9178 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« on: 19 May 2013, 07:01:13 PM »
[1] BUKU KELOMPOK ENAM

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #1 on: 19 May 2013, 07:02:26 PM »
[279] BUKU KELOMPOK ENAM

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


LIMA PULUH PERTAMA

[/I]I. LAYAK MENERIMA PEMBERIAN

1 (1) Layak Menerima Pemberian (1)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? (1) Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.<1251> (2) Setelah mendengar suatu suara dengan telinga, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (3) Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (4) Setelah mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (5) Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (5) Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu puas mendengar pernyataan Sang Bhagavā. [280]

2 (2) Layak Menerima Pemberian (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?<1252>

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.

(2) “Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

(3) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan.

(4) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(5) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan  yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(6) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

3 (3) Indria

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [282] Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

4 (4) Kekuatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Kekuatan keyakinan, Kekuatan kegigihan, Kekuatan perhatian, Kekuatan konsentrasi, Kekuatan kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

5 (5) Berdarah Murni (1)

Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kecantikan. Dengan memiliki keenam faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.<1253>

“Demikian pula dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [283] Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

6 (6) Berdarah Murni (2)

Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kekuatan. Dengan memiliki keenam faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

7 (7) Berdarah Murni (3)

Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kecepatan. [284] Dengan memiliki keenam faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

8 (8 ) Hal-Hal yang Tidak Terlampaui

“Para bhikkhu, ada enam hal yang tidak terlampaui ini. Apakah enam ini? Penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui, perolehan yang tidak terlampaui, latihan yang tidak terlampaui, pelayanan yang tidak terlampaui, dan pengingatan yang tidak terlampaui. Ini adalah keenam hal yang tidak terlampaui itu.”<1254>

9 (9) Subjek Pengingatan

“Para bhikkhu, ada enam subjek pengingatan ini. Apakah enam ini? pengingatan pada Sang Buddha, pengingatan pada Dhamma, pengingatan pada Saṅgha, pengingatan pada perilaku bermoral, pengingatan pada kedermawanan, dan pengingatan pada dewata. Ini adalah keenam subjek pengingatan itu.”<1255>


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #2 on: 19 May 2013, 07:02:55 PM »

10 (10) Mahānāma

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, bagaimanakah seorang siswa mulia yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam?”<1256>

“Mahānāma, seorang siswa mulia [285] yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam dengan cara ini:<1257>

(1) “Di sini, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Sang Tathāgata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang,<1258> yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma,<1259> ia mengembangkan pengingatan pada Sang Buddha.

(2) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Dhamma. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. [286] Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Dhamma.

(3) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Saṅgha. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Saṅgha.

(4) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada perilaku bermoral. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenimatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. [287] Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada perilaku bermoral.

(5) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada kedermawanan. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.  Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada kedermawanan.

(6) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini.<1260> Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika [288] seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada para dewata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.  Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada para dewata.

“Mahānāma, seorang siswa mulia yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam dengan cara ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #3 on: 19 May 2013, 07:03:23 PM »
II. KERUKUNAN

11 (1) Kerukunan (1)

“Para bhikkhu, ada enam prinsip kerukunan ini.<1261> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui jasmani terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah satu prinsip perukunan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui ucapan terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan. [289]

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berbagi tanpa merasa enggan<1262> segala perolehan yang baik yang diperoleh dengan baik, termasuk bahkan isi mangkuknya sendiri, dan menggunakan benda-benda itu secara bersama dengan teman-temannya para bhikkhu yang bermoral. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki perilaku bermoral yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki pandangan yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan, seseorang yang bertindak berdasarkan pada pandangan itu, menuju kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

“Ini, para bhikkhu adalah keenam prinsip kerukunan itu.”

12 (2) Kerukunan (2)

“Para bhikkhu, ada enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengarah pada kebersamaan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan kesatuan. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui jasmani terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengarah pada kebersamaan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan kesatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berbagi tanpa merasa enggan segala perolehan yang baik yang diperoleh dengan baik, termasuk bahkan isi mangkuknya sendiri, dan menggunakan benda-benda itu secara bersama [290] dengan teman-temannya para bhikkhu yang bermoral. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki perilaku bermoral yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki pandangan yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan, seseorang yang bertindak berdasarkan pada pandangan itu, menuju kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam prinsip kerukunan itu yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengarah pada kebersamaan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan kesatuan.”

13 (3) Jalan Membebaskan Diri

“Para bhikkhu, ada enam elemen jalan membebaskan diri ini.<1263> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun niat buruk masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun [291] niat buruk masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari niat buruk, yaitu, kebebasan pikiran melalui cinta kasih.’

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun pikiran mencelakai masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun pikiran mencelakai masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari pikiran mencelakai, yaitu, kebebasan pikiran melalui belas kasihan.’

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun ketidak-puasan masih menguasai pikiranku.’<1264> Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun ketidak-puasan masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari ketidak-puasan, yaitu, kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik.’

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui keseimbangan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun nafsu masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui keseimbangan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, [292] namun nafsu masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari nafsu, yaitu, kebebasan pikiran melalui keseimbangan.’<1265>

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran tanpa gambaran,<1266> menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun kesadaranku masih mengikuti gambaran-gambaran.’<1267> Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran tanpa gambaran, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, [292] namun kesadarannya masih mengikuti gambaran-gambaran. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari gambaran-gambaran, yaitu, kebebasan pikiran tanpa gambaran.’

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah meninggalkan [gagasan] “Aku,” dan aku tidak menganggap [apa pun sebagai] “Ini adalah aku,” namun anak panah keragu-raguan dan kebingungan masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa ketika [gagasan] “aku” telah ditinggalkan, dan seseorang tidak menganggap [apa pun sebagai] “Ini adalah aku,” namun anak panah keragu-raguan dan kebingungan masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari anak panah keragu-raguan dan kebingungan, yaitu, tercabutnya keangkuhan “aku.”’<1268>

“ini, para bhikkhu, adalah keenam elemen jalan membebaskan diri itu.”

14 (4) Kematian yang Baik

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu [293] menjawab. Yang Mulia Sārputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya<1269> sedemikian sehingga ia tidak mendapatkan kematian yang baik.<1270> Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia tidak mendapatkan kematian yang baik?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bersenang-senang dalam pekerjaan, bergembira dalam pekerjaan, menikmati kesenangan dalam pekerjaan;<1271> (2) ia bersenang-senang dalam berbicara, bergembira dalam berbicara, menikmati kesenangan dalam berbicara; (3) ia bersenang-senang dalam tidur, bergembira dalam tidur, menikmati kesenangan dalam tidur; (4) ia bersenang-senang dalam perkumpulan, bergembira dalam perkumpulan, menikmati kesenangan dalam perkumpulan; (5) ia bersenang-senang dalam ikatan, bergembira dalam ikatan, menikmati kesenangan dalam ikatan; (6) ia bersenang-senang dalam proliferasi, bergembira dalam proliferasi, menikmati kesenangan dalam proliferasi.<1272> Ketika seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian maka ia tidak mendapatkan kematian yang baik. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam eksistensi diri,<1273> yang belum meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia mendapatkan kematian yang baik. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia mendapatkan kematian yang baik?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bergembira dalam pekerjaan, tidak menikmati kesenangan dalam pekerjaan; (2) ia tidak bersenang-senang dalam berbicara, tidak bergembira dalam berbicara, tidak menikmati kesenangan dalam berbicara; (3) ia tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bergembira dalam tidur, tidak menikmati kesenangan dalam tidur; (4) ia tidak bersenang-senang dalam perkumpulan, tidak bergembira dalam perkumpulan, tidak menikmati kesenangan dalam perkumpulan; (5) ia tidak bersenang-senang dalam ikatan, tidak bergembira dalam ikatan, tidak menikmati kesenangan dalam ikatan; (6) ia tidak bersenang-senang dalam proliferasi, tidak bergembira dalam proliferasi, tidak menikmati kesenangan dalam proliferasi. Ketika seorang bhikkhu [294] melewatkan waktunya sedemikian maka ia mendapatkan kematian yang baik. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam nibbāna, yang telah meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”

   Makhluk-makhluk<1274> yang menikmati proliferasi,
   Yang bersenang-senang pada proliferasi,
   Telah gagal mencapai nibbāna,
   Keamanan tertinggi dari keterikatan.

   Tetapi seseorang yang telah meninggalkan proliferasi,
   Yang bersenang-senang dalam tanpa-proliferasi,
   Telah mencapai nibbāna,
   Keamanan tertinggi dari keterikatan.

15 (5) Menyesal

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu …

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia dengan menyesal. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia dengan menyesal?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bersenang-senang dalam pekerjaan, bergembira dalam pekerjaan, menikmati kesenangan dalam pekerjaan … [seperti pada 6:14] … (6) ia bersenang-senang dalam proliferasi, bergembira dalam proliferasi, menikmati kesenangan dalam proliferasi. Ketika seorang bhikkhu melewatkan waktunya dengan cara demikian maka ia meninggal dunia dengan menyesal. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam eksistensi diri, yang belum meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia tanpa menyesal. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia tanpa menyesal?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bergembira dalam pekerjaan, tidak menikmati kesenangan dalam pekerjaan … [295] … (6) ia tidak bersenang-senang dalam proliferasi, tidak bergembira dalam proliferasi, tidak menikmati kesenangan dalam proliferasi. Ketika seorang bhikkhu melewatkan waktunya dengan cara demikian maka ia meninggal dunia tanpa menyesal. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam nibbāna, yang telah meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”

[Syairnya identik dengan syair pada 6:14]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #4 on: 19 May 2013, 07:04:42 PM »
16 (6) Nakula

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragiar, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Pada saat itu perumah tangga Nakulapitā sedang sakit, menderita, sakit parah. Kemudian sang istri Nakulamātā berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan,<1275> perumah tangga. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.<1276>

(1) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Setelah aku pergi, Nakulamātā tidak akan mampu menyokong anak-anak kami dan memelihara rumah tangga.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku mahir dalam memintal kapas dan merajut wol. Setelah engkau pergi, aku akan mampu menyokong anak-anak [296] dan memelihara rumah tangga. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(2) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Setelah aku pergi, Nakulamātā akan menikah lagi.’<1277> Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Engkau tahu, perumah tangga, dan aku juga tahu, bahwa selama enam belas tahun terakhir ini kita telah menjalani kehidupan selibat umat awam.<1278> Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(3) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Setelah aku pergi, Nakulamātā tidak ingin lagi pergi bertemu dengan Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Setelah engkau pergi, perumah tangga, aku bahkan akan lebih giat lagi pergi menemui Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(4) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Nakulamātā tidak memenuhi perilaku bermoral.’<1279> Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku adalah salah satu siswi awam Sang Bhagavā yang berjubah putih yang memenuhi perilaku bermoral. Jika siapa pun memiliki keragu-raguan atau kebimbangan sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Mereka dapat pergi dan bertanya kepada Beliau. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. [297] Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(5) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Nakulamātā tidak memperoleh ketenangan pikiran internal.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku adalah salah satu siswi awam Sang Bhagavā yang berjubah putih yang memperoleh ketenangan pikiran internal. Jika siapa pun memiliki keragu-raguan atau kebimbangan sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Mereka dapat pergi dan bertanya kepada Beliau. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(6) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Nakulamātā belum mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin ini; ia belum menyeberangi keragu-raguan, belum melenyapkan kebingungan, belum mencapai kepercayaan-diri, dan belum menjadi tidak tergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku adalah salah satu siswi awam Sang Bhagavā yang berjubah putih yang telah mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin ini; aku telah menyeberangi keragu-raguan, telah melenyapkan kebingungan, telah mencapai kepercayaan-diri, dan telah menjadi tidak tergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru. Jika siapa pun memiliki keragu-raguan atau kebimbangan sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Mereka dapat pergi dan bertanya kepada Beliau. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.”

Kemudian, sewaktu perumah tangga Nakulapitā [298] sedang dinasihati demikian oleh sang istri Nakulamātā, penyakitnya seketika mereda. Nakulapitā sembuh dari penyakit itu, dan demikianlah penyakitnya ditinggalkan.

Kemudian, tidak lama setelah ia sembuh, perumah tangga Nakulapitā, dengan bertumpu pada sebatang tongkat, mendatangi Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Sungguh suatu keberuntungan bagimu, perumah tangga, bahwa istrimu Nakulamātā berbelas kasihan padamu, menginginkan kebaikanmu, dan menasihati dan mengajarimu. Nakulamātā adalah salah satu siswa awamKu yang berjubah putih yang memenuhi perilaku bermoral. Ia adalah salah satu siswa awamKu yang berjubah putih yang memperoleh ketenangan pikiran internal. Ia adalah salah satu siswa awamKu yang berjubah putih yang telah mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin ini, yang telah menyeberangi keragu-raguan, telah melenyapkan kebingungan, telah mencapai kepercayaan-diri, dan telah menjadi tidak tergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru. Sungguh suatu keberuntungan bagimu, perumah tangga, bahwa istrimu Nakulamātā berbelas kasihan padamu, menginginkan kebaikanmu, dan menasihati dan mengajarimu.”

17 (7) Bermanfaat

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Savatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu malam hari, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Pada malam itu, Yang Mulia Sāriputta juga, keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana [299] ia bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Yang Mulia Mahāmoggallāna … Yang Mulia Mahākassapa … Yang Mulia Mahākaccāyana … Yang Mulia Mahākoṭṭhita … Yang Mulia Mahācunda … Yang Mulia Mahākappina … Yang Mulia Anuruddha … Yang mulia Revata … Yang Mulia Ānanda juga, keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi.

Kemudian, setelah melewatkan sebagian besar malam itu dengan duduk, Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Segera setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga, bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing. Tetapi para bhikkhu itu yang baru ditahbiskan, yang belum lama meninggalkan keduniawian dan baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini tidur dan mendengkur hingga matahari terbit. Dengan mata-dewaNya, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat para bhikkhu itu tidur dan mendengkur hingga matahari terbit. Kemudian Beliau mendatangi aula pertemuan, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, di manakah Sāriputta? Di manakah Mahāmoggallāna? Di manakah Mahākassapa? Di manakah Mahākaccāyana? Di manakah Mahākoṭṭhita? Di manakah Mahācunda? Di manakah Mahākappina? Di manakah Anuruddha? Di manakah Revata? Di manakah Ānanda? Ke mana para bhikkhu senior itu pergi?”

“Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing.”

“Para bhikkhu, ketika para bhikkhu senior itu pergi, megapa kalian para bhikkhu yang baru ditahbiskan tidur dan mendengkur hingga matahari terbit?

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang raja khattiya yang sah, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya [300] jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”<1280>

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang petugas kerajaan … (3) … seorang putra tersayang … (4) … seorang jenderal … (5) … seorang kepala desa … (6) … seorang pemimpin serikat kerja, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian.

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Misalkan ada seorang petapa atau brahmana yang menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur; seorang yang tidak menjaga pintu-pintu indria, yang makan berlebihan, dan tidak menekuni keawasan; yang tidak memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat; yang tidak berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari. Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang yang demikian, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau [301] mendengar hal demikian.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami, makan secukupnya, dan menekuni keawasan; kami akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat, dan akan berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari.’<1281> Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

18 (8 ) Pedagang Ikan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, selagi berjalan di sepanjang jalan raya, di suatu tempat tertentu Sang Bhagavā melihat seorang pedagang ikan sedang membunuh ikan dan menjualnya. Beliau meninggalkan jalan raya, duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya di bawah sebatang pohon, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat pedagang ikan itu yang sedang membunuh ikan dan menjualnya?”

“Ya, Bhante.”

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang pedagang ikan, yang membunuh ikan-ikan [302] dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada ikan yang ditangkap ketika ikan-ikan itu dibawa ke tempat pemotongan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang penjagal sapi, yang membunuh sapi-sapi dan menjualnya … [303] (3) … seorang penjagal domba … (4) … seorang penjagal babi … (5) seorang penyembelih unggas … (6) … seorang penjagal rusa, yang membunuh rusa-rusa dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada rusa yang ditangkap ketika rusa-rusa itu dibawa ke tempat penjagalan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.

“Para bhikkhu, seseorang yang melihat dengan kejam pada binatang-binatang yang ditangkap ketika binatang-binatang itu dibawa ke tempat penjagalan tidak akan bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan. Apalagi yang dapat dikatakan tentang seorang yang melihat dengan kejam pada seorang manusia terhukum yang dibawa menuju tempat pembantaian? Ini akan mengarah menuju bencana dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #5 on: 19 May 2013, 07:04:50 PM »
19 (9) Perhatian pada Kematian (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [304] “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, perhatian pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.<1282> Tetapi apakah kalian, para bhikkhu, mengembangkan perhatian pada kematian?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.<1283> Dan aku berhasil sejauh itu!’<1284> Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(2) Seorang bhikkhu lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’<1285> Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(3) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan<1286> sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(4) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. [305] Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(5) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”
   
(6) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, (1) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (2) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (3) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (4) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.  Dan aku berhasil sejauh itu!’: [306] mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan lengah. Mereka mengembangkan perhatian pada kematian dengan lambat demi hancurnya noda-noda.

“Tetapi (5) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ ; dan (6) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’: mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan waspada. Mereka mengembangkan perhatian pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.
   
20 (10) Perhatian pada Kematian (2)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, perhatian pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, dengan tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya. Dan bagaimanakah hal ini demikian?

“Di sini, para bhikkhu, ketika siang hari berlalu dan malam menjelang,<1287> seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. (1) Seekor ular mungkin menggigitku, atau seekor kalajengking atau seekor lipan mungkin menyengatku; itu akan menjadi rintangan bagiku. (2) Aku mungkin tersandung dan jatuh, atau (3) makananku mungkin tidak cocok bagiku, atau (4) empeduku [307] mungkin menjadi terganggu, atau (5) dahakku mungkin menjadi terganggu, atau (6) angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Tetapi ketika malam hari berlalu dan pagi menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. Seekor ular mungkin menggigitku …  atau angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: [308] ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Adalah, para bhikkhu, ketika perhatian pada kematian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka akan berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.” [309]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #6 on: 19 May 2013, 07:05:12 PM »
III. HAL-HAL YANG TIDAK TERLAMPAUI

21 (1) Sāmaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Sakya di Sāmagāmaka di dekat kolam teratai. Kemudian, pada larut malam, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh kolam teratai, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada tiga kualitas ini yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Bersenang-senang dalam bekerja, (2) bersenang-senang dalam berbicara, dan (3) bersenang-senang dalam tidur. Ini adalah ketiga kualitas itu yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, dengan berpikir: “Sang Guru setuju denganku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, pada larut malam, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh kolam teratai, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada tiga kualitas ini yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? Bersenang-senang dalam bekerja, bersenang-senang dalam berbicara, dan bersenang-senang dalam tidur. Ini adalah ketiga kualitas itu yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu. Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Setelah mengatakan ini, dewata itu memberi hormat kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.

“Para bhikkhu, adalah kemalangan dan kehilangan bagi kalian yang bahkan para dewata mengetahui sedang mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.<1288>

“Aku akan mengajarkan, para bhikkhu, tiga kualitas lainnya yang mengarah pada kemunduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [310] “Dan apakah, para bhikkhu, ketiga kualitas [lainnya] yang mengarah pada kemunduran? (4) bersenang-senang dalam perkumpulan, (5) sulit dikoreksi, dan (6) pertemanan yang buruk. Itu adalah ketiga kualitas [lainnya] yang mengarah pada kemunduran.

“Para bhikkhu, mereka semua di masa lalu yang telah mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa depan yang akan mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat akan menjadi mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa sekarang yang sedang mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi mundur karena keenam kualitas ini.”

22 (2) Ketidak-munduran

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang enam kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab.

 “Dan apakah, para bhikkhu, enam kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran? Tidak bersenang-senang dalam bekerja, tidak bersenang-senang dalam berbicara, dan tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bersenang-senang dalam perkumpulan, mudah dikoreksi, dan pertemanan yang baik. Ini adalah keenam kualitas itu yang mengarah pada ketidak-munduran.

“Para bhikkhu, mereka semua di masa lalu yang tidak mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi tidak mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa depan yang tidak akan mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat akan menjadi tidak mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa sekarang yang tidak sedang mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi tidak mundur karena keenam kualitas ini.”

23 (3) Bahaya

(1) “Para bhikkhu, ‘bahaya’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (2) ‘Penderitaan’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (3) ‘Penyakit’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (4) ‘Bisul’ [311] adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (5) ‘Ikatan’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (6) ‘Rawa’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria.

“Dan mengapakah, para bhikkhu, ‘bahaya’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria? Seseorang bergairah karena nafsu indria, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebaskan dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘bahaya’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria.

“Dan mengapakah ‘penderitaan’ … ‘penyakit’ … ‘bisul’ … ‘ikatan’ … ‘rawa’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria? Seseorang bergairah karena nafsu indria, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebaskan dari rawa yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan dari rawa yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘rawa’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria.”

   Bahaya, penderitaan, dan penyakit,
   Bisul, ikatan, dan rawa:
   Hal-hal ini menggambarkan kenikmatan indria
   Yang padanya kaum duniawi terikat.

   Setelah melihat bahaya dalam kemelekatan
   Sebagai asal-mula kelahiran dan kematian,
   Dengan terbebaskan melalui ketidak-melekatan
   Dalam padamnya kelahiran dan kematian,
   Mereka yang berbahagia itu telah mencapai keamanan;
   Mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.
   Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya,
   Mereka telah melampaui segala penderitaan.<1289>

24 (4) Himalaya

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu dapat membelah Himalaya, raja pegunungan,<1290> apalagi ketidak-tahuan yang busuk! Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu (1) terampil dalam pencapaian konsentrasi; (2) terampil dalam durasi konsentrasi; (3) terampil dalam keluar dari konsentrasi; (4) terampil dalam kenyamanan untuk konsentrasi; (5) terampil dalam wilayah konsentrasi; (6) terampil dalam tekad sehubungan dengan konsentrasi.<1291> [312] Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu dapat membelah Himalaya, raja pegunungan, apalagi ketidak-tahuan yang busuk!”

25 (5) Pengingatan

“Para bhikkhu, ada enam subjek pengingatan ini.<1292> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan,<1293> beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.
 
(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, …  beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika [313] seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva [314] pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini. Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan juga, beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah enam subjek pengingatan.”

26 (6) Kaccāna

Yang Mulia Mahākaccāna berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab.

Yang Mulia Mahākaccāna berkata sebagai berikut:

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan bukaan di tengah-tengah kurungan bagi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna, yaitu, enam subjek pengingatan.<1294> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, teman-teman, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, [315] atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ teman-teman, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Siswa mulia ini berdiam dengan pikiran yang sepenuhnya bagaikan angkasa: luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.<1295>
 
(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, …  beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … [316] … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran … bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva … [317] … Keyakinan demikian juga ada padaku … perilaku bermoral demikian … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ teman-teman, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan juga, beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan bukaan di tengah-tengah kurungan bagi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna, yaitu, enam subjek pengingatan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #7 on: 19 May 2013, 07:06:16 PM »
27 (7) Kesempatan (1)

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, berapa banyakkah kesempatan  yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat?”<1296>

“Ada, bhikkhu, enam kesempatan yang layak ini untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indriawi yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi, [318] dan aku tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indriawi yang telah muncul itu. Sudilah mengajariku Dhamma untuk meninggalkan nafsu indriawi.’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan nafsu indriawi. Ini adalah kesempatan pertama yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(2) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh niat buruk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh niat buruk …’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan niat buruk. Ini adalah kesempatan ke dua yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(3) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari ketumpulan dan kantuk yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk …’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan ketumpulan dan kantuk. Ini adalah kesempatan ke tiga yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(4) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan …’ [319] … Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan kegelisahan dan penyesalan. Ini adalah kesempatan ke empat yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(5) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan dan aku tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul itu. Sudilah mengajariku Dhamma untuk meninggalkan keragu-raguan.’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan keragu-raguan. Ini adalah kesempatan ke lima yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(6) “kemudian, ketika seorang bhikkhu tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengandalkan dan memperhatikan objek apa untuk segera mencapai hancurnya noda-noda,<1297> maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, aku tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengandalkan dan memperhatikan objek apa untuk segera mencapai hancurnya noda-noda. Sudilah mengajariku Dhamma demi hancurnya noda-noda.’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma demi hancurnya noda-noda. Ini adalah kesempatan ke enam yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

“Ini, bhikkhu, adalah keenam kesempatan yang layak itu untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.” [320]

28 (8 ) Kesempatan (2)

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu senior sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa di Isipatana. Kemudian, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, para bhikkhu senior itu berkumpul dan sedang duduk bersama di pendopo ketika perbincangan ini muncul di antara mereka: “Kapankah, teman-teman, kesempatan yang layak itu untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat?”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada para bhikkhu senior itu: “Teman-teman, setelah ia makan, ketika seorang bhikkhu terhormat telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, telah mencuci kakinya, dan sedang duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya: itu adalah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya.”

Ketika ia telah selesai berbicara, bhikkhu lainnya berkata kepadanya: “Teman, itu bukanlah kesempatan yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. setelah ia makan, ketika seorang bhikkhu terhormat telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, telah mencuci kakunya, dan sedang duduk bersila,  menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya, kelelahannya karena berjalan [untuk menerima dana makanan] dan karena makan belum mereda. Oleh karenanya itu bukanlah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya, tetapi di malam hari, ketika seorang bhikkhu terhormat telah keluar dari keterasingan dan sedang duduk bersila di bawah keteduhan tempat kediamannya, menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya: itu adalah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya.”

Ketika ia telah selesai berbicara, bhikkhu lainnya berkata kepadanya: “Teman, itu bukanlah kesempatan yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. [321] Di malam hari, ketika seorang bhikkhu terhormat telah keluar dari keterasingan dan sedang duduk bersila di bawah keteduhan tempat kediamannya, menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya, objek konsentrasi yang ia perhatikan selama siang hari masih ada padanya.<1298> Tetapi ketika seorang bhikkhu terhormat telah bangun ketika malam hampir berakhir dan sedang duduk bersila, menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya: itu adalah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahākaccāna berkata kepada para bhikkhu senior itu: “Teman-teman, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari hal ini:

“’Ada, bhikkhu, enam kesempatan yang layak ini untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. Apakah enam ini? (1) “Di sini, bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi … [seperti pada 6:27] [322] … (2) … dikuasai dan ditindas oleh niat buruk … (3) … dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk … (4) … dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan … (5) … dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan … (6) … ketika seorang bhikkhu tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengandalkan dan memperhatikan objek apa untuk segera mencapai hancurnya noda-noda … Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma demi hancurnya noda-noda. Ini adalah kesempatan ke enam yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.’

“Teman-teman, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari hal ini:: ‘Ini, bhikkhu, adalah keenam kesempatan yang layak itu untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.’”

29 (9) Udāyī

Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, ada berapakah subjek pengingatan itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berdiam diri. Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, ada berapakah subjek pengingatan itu?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Sang Guru sedang berbicara denganmu, teman Udāyī.”

“Aku mendengarNya, teman Ānanda. [323]

“Di sini, Bhante seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 6:2] … Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya. Ini, Bhante, adalah sebuah subjek pengingatan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku tahu, Ānanda, bahwa manusia kosong Udāyī ini tidak menekuni pikiran yang lebih tinggi.<1299> ada berapakah subjek pengingatan itu, Ānanda?”

“Ada, Bhante, lima subjek pengingatan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, Bhante, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju kediaman yang berbahagia dalam kehidupan ini.<1300>

(2) “Kemudian, Bhante, seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya; ia berfokus pada persepsi siang sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang, demikian pula malam; seperti halnya malam, demikian pula siang.’ Demikianlah, dengan pikiran yang terbuka dan tidak tertutup, ia mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan cahaya.<1301> Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju pengetahuan dan penglihatan.

(3) “Kemudian, Bhante, seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ke atas dari telapak kaki, ke bawah dari ujung rambut, terbungkus oleh kulit, penuh dengan kotoran: ‘Ada dalam tubuh ini rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, lambung, kotoran, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju ditinggalkannya nafsu indriawi.

(4) “Kemudian, Bhante, misalkan seorang bhikkhu melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, satu, dua, [324] atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan membusuk. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’<1302> Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, sedang dilahap oleh burung-burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis makhluk hidup. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulang-belulang dengan daging dan darah, yang terikat oleh urat … tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terikat oleh urat … tulang-belulang yang berserakan di segala penjuru: di sini tulang tangan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, dan ada tengkorak. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulang-belulang yang memutih, berwarna kulit kerang … tulang-belulang yang menumpuk, lebih dari setahun … tulang-belulang yang melapuk, remuk menjadi debu. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: [325] ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju tercabutnya keangkuhan ‘aku.’

(5) “Kemudian, Bhante, Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju penembusan banyak elemen.<1303>

“Ini, Bhante, adalah kelima subjek pengingatan itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Oleh karena itu, Ānanda, ingatlah subjek pengingatan ke enam ini juga.

(6) “Di sini, dengan senantiasa penuh perhatian seorang bhikkhu berjalan pergi, dengan senantiasa penuh perhatian ia berjalan kembali, dengan senantiasa penuh perhatian ia berdiri, dengan senantiasa penuh perhatian ia duduk, dengan senantiasa penuh perhatian ia berbaring tidur, dengan senantiasa penuh perhatian ia melakukan pekerjaan. Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju perhatian dan pemahaman jernih.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #8 on: 19 May 2013, 07:06:24 PM »

30 (10) Hal-Hal yang Tidak Terlampaui

“Para bhikkhu, ada enam hal yang tidak terlampaui ini. Apakah enam ini? (1) Penglihatan yang tidak terlampaui, (2) pendengaran yang tidak terlampui, (3) perolehan yang tidak terlampaui, (4) latihan yang tidak terlampaui, (5) pelayanan yang tidak terlampaui, dan (6) pengingatan yang tidak terlampaui.<1304>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, penglihatan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang pergi melihat permata-gajah, permata-kuda, permata-perhiasan, atau melihat berbagai jenis pemandangan; atau mereka pergi melihat seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada penglihatan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi penglihatan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; penglihatan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan [326] nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, pergi melihat Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: penglihatan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut penglihatan yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui.

(2) “Dan bagaimanakah pendengaran yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang pergi mendengar suara tambur, suara kecapi, suara nyanyian, atau mendengar berbagai jenis suara; atau mereka pergi mendengar Dhamma dari seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada pendengaran demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi pendengaran ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; pendengaran ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, pergi mendengar Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pendengaran yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pendengaran yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui dan pendengaran yang tidak terlampaui.

(3) “Dan bagaimanakah perolehan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang memperolah seorang putra, seorang istri, atau kekayaan; atau mereka memperoleh berbagai jenis [327] barang; atau mereka memperoleh keyakinan pada seorang demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi perolehan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; perolehan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, pergi mendengar Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pendengaran yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pendengaran yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui dan perolehan yang tidak terlampaui.

(4) “Dan bagaimanakah latihan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang berlatih dalam keterampilan menunggang gajah, dalam keterampilan menunggang kuda, dalam keterampilan mengendarai kereta, dalam keterampilan memanah, dalam keterampilan berpedang; atau mereka berlatih dalam berbagai bidang keterampilan; atau mereka berlatih di bawah seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada latihan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi latihan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; latihan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata: latihan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan [328] nibbāna. Ini disebut latihan yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui, perolehan yang tidak terlampaui, dan latihan yang tidak terlampaui.

(5) “Dan bagaimanakah pelayanan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang melayani seorang khattiya, seorang brahmana, seorang perumah tangga; atau mereka melayani berbagai orang lainnya; atau mereka mereka melayani seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada jenis pelayanan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi jenis pelayanan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; jenis pelayanan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, melayani Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pelayanan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pelayanan yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui, perolehan yang tidak terlampaui, latihan yang tidak terlampaui, dan pelayanan yang tidak terlampaui.

(6) “Dan bagaimanakah pengingatan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang mengingat perolehan seorang putra, seorang istri, atau kekayaan; atau mereka mengingat berbagai jenis perolehan; atau mereka mengingat seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada jenis pengingatan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi jenis pengingatan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; jenis pengingatan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang [329] kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, mengingat Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pengingatan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pengingatan yang tidak terlampaui.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam hal yang tidak terlampaui itu.”

   Setelah memperoleh penglihatan terbaik,
   Dan pendengaran yang tidak terlampaui,
   Setelah mendapatkan perolehan yang tidak terlampaui,
   Bersenang dalam latihan yang tidak terlampaui,
   Dengan penuh perhatian dalam pelayanan,
   Mereka mengembangkan pengingatan
   Yang berhubungan dengan keterasingan,
   Yang aman, mengarah menuju keabadian.

   Dengan bergembira dalam kewaspadaan,
   Berhati-hati, terkendali oleh moralitas,
   Pada waktunya mereka akan merealisasikan
   Di mana penderitaan itu lenyap.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #9 on: 19 May 2013, 07:06:48 PM »
IV. PARA DEWATA

31 (1) Yang Masih Berlatih

“Para bhikkhu, enam kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih. Apakah enam ini? [330] Bersenang-senang dalam pekerjaan, bersenang-senang dalam berbicara, bersenang-senang dalam tidur, bersenang-senang dalam pergaulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, dan makan berlebihan. Keenam kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih. Apakah enam ini? Tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bersenang-senang dalam berbicara, tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bersenang-senang dalam pergaulan, menjaga pintu-pintu indria, dan makan secukupnya. Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih.

32 (2) Ketidak-munduran (1)

Ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan pada Sang Guru, penghormatan pada Dhamma, penghormatan pada Saṅgha, penghormatan pada latihan, penghormatan pada kewaspadaan, dan penghormatan pada keramahan.<1305> Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu, Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, dengan berpikir,”Sang Guru setuju denganku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan pada Sang Guru, penghormatan pada Dhamma, penghormatan pada Saṅgha, penghormatan pada latihan, penghormatan pada kewaspadaan, dan penghormatan pada keramahan. [331] Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Kemudian dewata itu memberi hormat kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

   Penuh penghormatan kepada Sang Guru,
   Penuh penghormatan kepada Dhamma,
   Sangat menghormati Saṅgha,
   Penuh penghormatan pada kewaspadaan,
   Menghargai keramahan: bhikkhu ini
   Tidak dapat jatuh, melainkan mendekat pada nibbāna.

33 (3) Ketidak-munduran (2)

“Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan pada Sang Guru, penghormatan pada Dhamma, penghormatan pada Saṅgha, penghormatan pada laihan, penghormatan pada rasa malu bermoral, dan penghormatan pada rasa takut bermoral. Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Kemudian dewata itu memberi hormat kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

   Penuh penghormatan kepada Sang Guru,
   Penuh penghormatan kepada Dhamma,
   Sangat menghormati Saṅgha,
   Memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral:
   Seorang yang sopan dan bersikap hormat
   Tidak dapat jatuh, melainkan mendekat pada nibbāna

34 (4) Moggallāna

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang sendirian dalam keterasingan, suatu pemikiran berikut ini muncul padanya: “Para deva manakah yang mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan’?” [332]

Pada saat itu, seorang bhikkhu bernama Tissa baru saja meninggal dunia dan telah terlahir kembali di suatu alam brahmā tertentu. Di sana juga mereka mengenalnya sebagai “Brahmā Tissa, yang kuat dan perkasa.” Kemudian, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā itu. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Mahāmoggallāna, Brahmā Tissa berkata kepadanya:

“Mari, Moggallāna yang terhormat! Selamat datang, Moggallāna yang terhormat! Telah lama sejak engkau berkesempatan datang ke sini. Silakan duduk, Moggallāna yang terhormat. Tempat duduk ini telah disediakan.” Yang Mulia Mahāmoggallāna duduk di tempat yang telah disediakan. Brahmā Tissa bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Para deva manakah, Tissa,  yang mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan’?”

(1) “Para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva memiliki pengetahuan demikian, Moggallāna yang terhormat.”

“Apakah semua deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva memiliki pengetahuan demikian, Tissa?”

“Tidak semua, Moggallāna yang terhormat. Mereka yang tidak memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang tidak memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, tidak memiliki pengetahuan [333] demikian. Tetapi mereka yang memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan.’”

(2) “Apakah hanya para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva yang memiliki pengetahuan demikian, atau apakah para deva Tāvatiṃsa … (3) … para deva Yāma … (4) … para deva Tusita … (5) … para deva yang bersenang dalam penciptaan … (6) … para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain juga memilikinya?”

“Para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain juga memiliki pengetahuan demikian, Moggallāna yang terhormat.”

“Apakah semua yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain memiliki pengetahuan demikian, Tissa?”

“Tidak semua, Moggallāna yang terhormat. Mereka yang tidak memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang tidak memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, tidak memiliki pengetahuan demikian. Tetapi mereka yang memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan.’”

Kemudian, dengan merasa senang dan gembira mendengar pernyataan Brahmā Tissa, bagaikan [334] seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari alam brahmā dan muncul kembali di Hutan Jeta.

35 (5) Berhubungan dengan Pengetahuan Sejati

“Para bhikkhu, enam hal ini berhubungan dengan pengetahuan sejati. Apakah enam ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam ketidak-kekalan, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan, dan persepsi lenyapnya.<1306> Keenam hal ini berhubungan dengan pengetahuan sejati.”

36 (6) Perselisihan

“Para bhikkhu, ada enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan. Ketika seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan, maka ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidak-bahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. [335] Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan dan kurang ajar … (3) … bersikap iri dan kikir … (4) … licik dan munafik … (5) … seorang yang memiliki keinginan jahat dan pandangan salah … (6) … seorang yang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Ketika seorang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, maka ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidak-bahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam akar perselisihan itu.” [336]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #10 on: 19 May 2013, 07:07:25 PM »
37 (7) Memberi

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu umat awam perempuan bernama Veḷukaṇṭakī Nandamātā telah mempersiapkan suatu persembahan yang memiliki enam faktor untuk Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna. Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat umat awam perempuan Veḷukaṇṭakī Nandamātā sedang mempersiapkan persembahan ini dan Beliau kemudian berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, umat awam perempuan Veḷukaṇṭakī Nandamātā sedang mempersiapkan persembahan yang memiliki enam faktor untuk Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna. Dan bagaimanakah suatu persembahan memiliki enam faktor? Di sini, si penyumbang memiliki tiga faktor dan si penerima memiliki tiga faktor.

“Apakah tiga faktor dari si pemberi? (1) Si pemberi bergembira sebelum memberi; (2) ia memiliki pikiran yang tenang, dan penuh kepercayaan dalam tindakan memberi; dan (3) ia bersukacita setelah memberi. Ini adalah ketiga faktor dari si pemberi.

“Apakah tiga faktor dari si penerima? Di sini, (4) si penerima hampa dari nafsu atau berlatih untuk melenyapkan nafsu; (5) Mereka hampa dari kebencian atau berlatih untuk melenyapkan kebencian; (6) Mereka hampa dari delusi atau berlatih untuk melenyapkan delusi. Ini adalah ketiga faktor dari si penerima.

“Demikianlah si pemberi memiliki tiga faktor, dan si penerima memiliki tiga faktor. Dengan cara inilah persembahan itu memiliki enam faktor. Tidaklah mudah untuk mengukur jasa dari suatu persembahan demikian sebagai berikut: ‘Ini adalah arus jasa, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah kepada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang’; melainkan, ini hanya dianggap sebagai kumpulan jasa yang besar, tidak terhitung, tidak terukur. Seperti halnya tidaklah mudah untuk mengukur air di samudera raya sebagai berikut: ‘Ada berapa galon air,’ atau ‘ Ada berapa ratus galon air,’ atau ‘Ada berapa ribu galon air,’ atau ‘Ada berapa ratus ribu galon air,’ melainkan ini hanya dianggap kumpulan air yang banyak, tidak terhitung, tidak terukur; demikian pula, adalah tidak mudah untuk mengukur jasa dari suatu persembahan demikian  … melainkan,  ini hanya dianggap sebagai kumpulan jasa yang besar, tidak terhitung, tidak terukur.”

   Sebelum memberi seseorang bergembira;
   Sewaktu memberi ia mengokohkan pikirannya dalam kepercayaan;
   Setelah memberi ia bersukacita:
   Ini adalah keberhasilan dalam tindakan memberi.

   Ketika mereka yang hampa dari nafsu dan kebencian,
   Hampa dari delusi, tanpa noda,
   Terkendali, menjalani kehidupan spiritual,
   Maka lahan persembahan menjadi lengkap.

   Setelah membersihkan dirinya sendiri<1307>
   Dan memberi dengan tangannya sendiri,
   Tindakan derma menjadi sangat berbuah
   Bagi dirinya sendiri dan sehubungan dengan orang lain.

   Setelah melakukan perbuatan derma demikian
   Dengan pikiran yang bebas dari kekikiran,
   Orang bijaksana, kaya dalam keyakinan,
   Terlahir kembali di alam bahagia, tanpa kesusahan.

38 (8 ) Inisiatif Sendiri

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku menganut dalil dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada inisiatif sendiri; tidak ada inisiatif makhluk lain.’”<1308>

“Brahmana, aku belum pernah melihat atau mendengar siapa pun yang menganut dalil dan pandangan demikian. Karena bagaimanakah [338] seseorang yang datang sendiri dan pergi sendiri dapat berkata: ‘Tidak ada inisiatif sendiri; tidak ada inisiatif makhluk lain’?

(1) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen dorongan?”<1309>

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen dorongan, apakah makhluk-makhluk terlihat memulai aktivitas?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat memulai aktivitas karena adanya elemen dorongan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(2) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen kegigihan?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen kegigihan, apakah makhluk-makhluk terlihat gigih dalam aktivitas?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat gigih dalam aktivitas karena adanya elemen kegigihan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(3) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen pengerahan usaha?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen pengerahan usaha, apakah makhluk-makhluk terlihat mengerahkan usaha dalam aktivitas?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat mengerahkan usaha dalam aktivitas karena adanya elemen pengerahan usaha, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(4) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen tenaga?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen tenaga, apakah makhluk-makhluk terlihat memiliki tenaga?”<1310>

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat memiliki tenaga karena adanya elemen tenaga, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(5) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen keberlangsungan?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen keberlangsungan, apakah makhluk-makhluk terlihat melangsungkan [suatu perbuatan]?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat melangsungkan [suatu perbuatan]karena adanya elemen keberlangsungan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(6) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen kekuatan?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen kekuatan, apakah makhluk-makhluk terlihat bertindak dengan kakuatan?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat bertindak dengan kakuatan karena adanya elemen kekuatan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

“Brahmana, aku belum pernah melihat atau mendengar siapa pun yang menganut dalil dan pandangan [seperti dalil dan pandanganmu]. Karena bagaimaakah seseorang yang datang sendiri dan pergi sendiri dapat berkata: ‘Tidak ada inisiatif sendiri; tidak ada inisiatif makhluk lain’?

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

39 (9) Asal-mula

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab ini bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? (1) Keserakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (2) kebencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (3) delusi adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

“Bukanlah ketidak-serakahan yang berasal-mula dari keserakahan; melainkan, adalah keserakahan yang berasal-mula dari keserakahan. Bukanlah ketidak-bencian yang berasal-mula dari kebencian; melainkan, adalah kebencian yang berasal-mula dari kebencian. Bukanlah ketanpa-delusian yang berasal-mula dari delusi; melainkan, adalah delusi yang berasal-mula dari delusi.

“Bukanlah [339] [alam] para deva dan manusia – atau alam tujuan yang baik lainnya – yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari keserakahan, kebencian, dan delusi; melainkan, adalah neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita – serta alam tujuan yang buruk lainnya – yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari keserakahan, kebencian, dan delusi. Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.

“Ada, para bhikkhu,  tiga penyebab [lainnya] ini bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? (4) Ketidak-serakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (5) ketidak-bencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (6) ketanpa-delusian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

“Bukanlah keserakahan yang berasal-mula dari ketidak-serakahan; melainkan, adalah ketidak-serakahan yang berasal-mula dari ketidak-serakahan. Bukanlah kebencian yang berasal-mula dari ketidak-bencian; melainkan, adalah ketidak-bencian yang berasal-mula dari ketidak-bencian. Bukanlah delusi yang berasal-mula dari ketanpa-delusian; melainkan, adalah ketanpa-delusian yang berasal-mula dari ketanpa-delusian.

“Bukanlah  neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita – serta alam tujuan yang buruk lainnya –yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan ketanpa-delusian; melainkan, adalah [alam] para deva dan manusia – atau alam tujuan yang baik lainnya –yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan ketanpa-delusian. Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.

40 (10) Kimbila <1311>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kimbilā di hutan nicula. Kemudian Yang Mulia Kimbila mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata: [340]

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“Di sini, Kimbila, setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, (1) para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki, para umat awam perempuan berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap kewaspadaan. (6) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap keramahan. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.”

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“Di sini, Kimbila, setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, (1) para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki, para umat awam perempuan berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap kewaspadaan. (6) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap keramahan. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.”

41 (11)  Balok Kayu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang berdiam di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan menuruni Gunung Puncak Nasar bersama dengan sejumlah para bhikkhu. Di suatu tempat tertentu ia melihat sepotong balok kayu yang besar di hutan dan berkata kepada para bhikkhu: “Apakah kalian melihat, teman-teman, balok kayu yang besar itu?”

“Ya, teman.”

(1) “Jika ia menghendaki, teman-teman, seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu seagai tanah. Apakah [341] landasan untuk ini? Karena elemen tanah terdapat dalam balok kayu itu. Dengan berdasarkan atas ini seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai tanah.

(2) – (4) “Jika ia menghendaki, teman-teman, seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu seagai air … sebagai api … sebagai udara. Apakah landasan untuk ini? Karena elemen udara terdapat dalam balok kayu itu. Dengan berdasarkan atas ini seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai udara.

(5) – (6) “Jika ia menghendaki, teman-teman, seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai indah … sebagai tidak menarik. Karena alasan apakah? Karena elemen keindahan … elemen ketidak-menarikan terdapat dalam balok kayu itu. Dengan berdasarkan atas ini seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai tidak menarik.”

42 (12) Nāgita <1312>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Icchānaṅgala. Di sana Sang Bhagavā menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Para brahmana perumah tangga di Icchānaṅgala mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari keluarga Sakya, telah tiba di Icchānaṅgala dan sekarang menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pemimpin terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah dengan pengetahuan langsungNya sendiri merealisasikan dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para deva dan manusianya, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Ia mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menemui Arahant demikian.”

Kemudian, ketika malam telah berlalu, para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala membawa banyak makanan berbagai jenis dan mendatangi hutan belantara Icchānaṅgala. Mereka berdiri di luar pintu masuk membuat kegaduhan dan keributan. Pada saat itu Yang Mulia Nāgita adalah pelayan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nāgita: [342] “Siapakah yang membuat kegaduhan dan keributan demikian, Nāgita? Seseorang akan berpikir bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Bhante, mereka adalah para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala yang membawa makanan berlimpah berbagai jenis. Mereka berdiri di luar pintu masuk, [ingin mempersembahkannya] kepada Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan ini, kebahagiaan kedamaian ini, kebahagiaan pencerahan ini yang kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.”

“Sudilah Sang Bhagavā menerimanya sekarang, Bhante, sudilah Yang Berbahagia menerimanya. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk menerima. Ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Seperti halnya, ketika tetesan besar air hujan turun, airnya akan mengalir turun di sepanjang lereng, demikian pula, ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Karena alasan apakah? Karena perilaku bermoral dan kebijaksanaan dari Sang Bhagavā.”
 
“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini …  boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.

(1) “Di sini, Nāgita, Aku melihat seorang bhikkhu berdiam di pinggiran sebuah desa [343] duduk dalam keadaan konsentrasi. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang seorang pelayan vihara atau seorang samaṇera atau atau sesama penganut-religius akan menyebabkan yang mulia itu jatuh dari konsentrasi itu.’<1313> Karena alasan ini, Aku tidak bergembira dengan kediaman bhikhu ini di pinggiran sebuah desa.

(2) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang sedang duduk dan mengantuk di dalam hutan. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan menghalau kantuk dan kelelahan ini dan hanya memperhatikan persepsi hutan, [suatu keadaan] kemanunggalan.’<1314> Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(3) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang sedang duduk di dalam hutan dengan pikiran tidak terkonsentrasi. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan mengkonsentrasikan pikirannya yang tidak terkonsentrasi atau menjaga pikirannya yang terkonsentrasi.’ Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(4) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang sedang duduk di dalam hutan dalam keadaan konsentrasi. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan membebaskan pikirannya yang belum terbebaskan atau menjaga pikirannya yang telah terbebaskan.’ Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(5) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu berdiam di pinggiran sebuah desa yang memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Karena menginginkan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, ia mengabaikan keterasingan; ia mengabaikan tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. [344] Setelah memasuki desa, pemukiman, dan kota besar, ia menetap di sana. Karena alasan ini, Aku tidak bergembira dengan kediaman bhikhu ini di pinggiran sebuah desa .

(6) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Setelah menghalau perolehan, kehormatan, dan pujian itu, ia tidak mengabaikan keterasingan; ia tidak mengabaikan tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

“Ketika, Nāgita, Aku sedang berjalan di sepanjang jalan raya dan tidak melihat siapa pun di depanKu atau di belakangKu, bahkan jika itu hanya untuk buang air besar atau buang air kecil, maka pada saat itu Aku merasa nyaman.”<1315>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #11 on: 19 May 2013, 07:07:51 PM »
V. DHAMMIKA

43 (1) Nāga

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, para pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah melakukan perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke istana Migāramātā di Taman Timur [345] untuk melewatkan hari.”

”Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke Istana Migāramātā di Taman Timur.

Kemudian pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke gerbang timur untuk mandi.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke gerabng timur untuk mandi. Setelah mandi di gerbang timur dan keluar dari sana, Beliau berdiri dengan mengenakan satu jubah untuk mengeringkan badan. Pada saat itu, Gajah besar<1316> milik Raja Pasenadi Kosala bernama “Seta” sedang mendekat melalui gerbang timur diiringi oleh musik dan instrumental dan tabuhan gendering. Orang-orang melihatnya dan berkata: “Gajah besar milik raja berpenampilan cantik! Gajah besar milik raja berpenampikan indah! Gajah besar milik raja berpenampilan anggun! Gajah besar milik raja sangat besar! Ia adalah seekor nāga, benar-benar seekor nāga.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, apakah hanya ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat besar maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ atau apakah orang-orang juga mengatakan hal ini ketika mereka melihat benda-benda [lain] yang memiliki tubuh yang sangat besar?”

“(1) Udāyī, ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (2) Ketika orang-orang melihat seekor kuda yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (3) Ketika orang-orang melihat seekor sapi jantan yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (4) Ketika orang-orang melihat seekor ular yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (5) Ketika orang-orang melihat sebatang pohon [346] yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (6) ketika orang-orang melihat sesosok manusia yang memiliki batang yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga bagi siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.”<1317>

‘Betapa menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā:  ‘Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga bagi siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.’ Aku bergembira, Bhante, mendengar pernyataan yang baik dari Sang Bhagavā melalui syair-syair ini:<1318>

   “Seorang manusia yang tercerahkan sempurna,
   Jinak dan terkonsentrasi,
   Menapaki jalan brahmā,
   Ia bersenang dalam kedamaian pikiran.

   “Aku telah mendengar dari Sang Arahant
   Yang bahkan para deva menghormatiNya,
   Kepada orang yang sama umat manusia menghormat,
   Seorang yang telah melampaui segalanya.

   “Beliau telah melampaui segala belenggu
   Dan keluar dari belantara menuju ruang terbuka;<1319>
   Bersenang dalam pelepasan kenikmatan indria,
   Beliau bagaikan emas murni yang bebas dari bijih besi.

   “Beliau adalah nāga yang mengalahkan segalanya,
   Bagaikan Himalaya di tengah-tengah pegunungan lainnya.
   Di antara segala sesuatu yang bernama nāga,
Beliau, yang tidak terlampaui, adalah seorang yang sungguh benar dinamai demikian.<1320>

   “Aku akan memuji sang nāga untuk kalian:
   Sesungguhnya, Beliau tidak melakukan kejahatan.
   Lembut dan tidak berbahaya
   Adalah kedua kaki sang nāga.

   “pertapaan keras dan hidup selibat
   Adalah kedua kaki lainnya dari sang nāga.<1321>
   Keyakinan adalah belalai besar sang nāga,
   Dan keseimbangan adalah taring gadingnya.

   “Perhatian adalah lehernya, kepalanya adalah kebijaksanaan,
   Penyelidikan, dan refleksi atas fenomena-fenomena.<1322>
   Dhamma adalah panas seimbang dalam perutnya,
   Dan keterasingan adalah ekornya.<1323>

   “Meditator ini, bersenang dalam penghiburan,<1324>
   Terkonsentrasi baik dalam pikiran.
   Ketika berjalan, sang nāga terkonsentrasi;
   Ketika berdiri, sang nāga terkonsentrasi.

   “Ketika berbaring, sang nāga terkonsentrasi;
   Ketika duduk juga, sang nāga terkonsentrasi. [347]
   Di mana-mana, sang nāga terkendali:
   Ini adalah kesempurnaan sang nāga.

   “Beliau memakan makanan tanpa cela,
   Tetapi tidak memakan apa yang tercela.
   Ketika Beliau memperoleh makanan dan jubah,
   Beliau menghindari menyimpannya.

   “Setelah memotong semua belenggu dan ikatan,
   Apakah yang kasar maupun yang halus,
   Ke arah mana pun Beliau pergi,
   Beliau pergi tanpa cemas.

   “Bunga teratai
   Tumbuh dan besar dalam air,
   Namun tidak terkotori oleh air
   Melainkan tetap harum dan indah.

   “Demikian pula Sang Buddha, terlahir dengan baik di dunia,
   Berdiam di dunia,<1325>
   Namun tidak terkotori oleh dunia
   Bagaikan teratai [yang tidak terkotori] oleh air.

   “Api besar menyala berkobar
   Menjadi tenang ketika kehabisan bahan bakar,
   Dan ketika semua bara telah berhenti menyala,
   Maka dikatakan sebagai padam.<1326>

   “Perumpamaan ini, yang menyampaikan makna,
   Diajarkan oleh Sang Bijaksana.
   Para nāga agung akan mengenali nāga
   Yang diajari oleh sang nāga.<1327>

   “Hampa dari nafsu, hampa dari kebencian,
   Hampa dari delusi, tanpa noda,
   Sang nāga, meninggalkan jasmaniNya,
   Tanpa noda, padam sepenuhnya
   Dan mencapai nibbāna akhir.”<1328>

44 (2) Migasālā

Pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Migasālā, di mana ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya. Kemudian umat awam perempuan Migasālā mendekati Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran Sang Bhagavā ini dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan yang persis sama di masa depan mereka? [348] Ayahku Purāṇa menjalani kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali<1329> dan telah terlahir kembali dalam kelompok [para deva] Tusita.’ Pamanku<1330> dari pihak ayah tidak menjalani kehidupan selibat melainkan menjalani kehidupan menikah yang menyenangkan. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali dan telah terlahir kembali dalam kelompok [para deva] Tusita.’ Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran Sang Bhagavā ini dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan yang peris sama di masa depan mereka?

“Persis demikianlah, Saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.”<1331>

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah menerima dana makanan di rumah Migasālā, ia bangkit dari duduknya dan pergi. Setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Bhante, di pagi hari, aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahku, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Migasālā … [349] [seluruhnya seperti di atas, hingga] … Ketika ia menanyakan hal ini kepadaku, aku menjawab: ‘“Persis demikianlah, Saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.’”

[Sang Bhagavā berkata:] “Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan?<1332> Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?<1333>

“Ada, Ānanda, enam jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, Ānanda, ada seseorang yang lembut, seorang teman yang menyenangkan, yang dengannya teman-temannya para bhikkhu menetap dengan gembira. Tetapi ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan tidak menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara.<1334> Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(2) “Kemudian, Ānanda, ada seseorang yang lembut, seorang teman yang menyenangkan, yang dengannya teman-temannya para bhikkhu menetap dengan gembira. Dan ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian<1335> sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang lembut, seorang teman yang menyenangkan, yang dengannya teman-temannya para bhikkhu menetap dengan gembira, yang telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan yang mencapai kebebasan sementara, [350] melampaui dan menggungguli yang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya.<1336> Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini kecuali Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(3) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu kondisi-kondisi keserakahan<1337> muncul padanya. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan tidak menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(4) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu kondisi-kondisi keserakahan muncul padanya. Tetapi ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.<1338>

(5) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu ia terlibat dalam perbincangan.<1339> Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan tidak menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(6) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu ia terlibat dalam perbincangan. Tetapi ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, [351] ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang padanya terdapat kemarahan dan keangkuhan, dan yang dari waktu ke waktu ia terlibat dalam perbincangan, tetapi ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara, melampaui dan menggungguli yang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya. Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini kecuali Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

“Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan? Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?

“Ini adalah keenam jenis orang yang terdapat di dunia.

“Ānanda, jika Isidatta memiliki perilaku bermoral yang sama dengan yang dimiliki oleh Purāṇa, maka Purāṇa bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan Isidatta. Dan jika Purāṇa memiliki kebijaksanaan yang sama dengan yang dimiliki oleh Isidatta, maka Isidatta bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan Purāṇa.<1340> demikianlah, Ānanda, kedua orang ini masing-masing kurang dalam satu aspek.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #12 on: 19 May 2013, 07:08:25 PM »
45 (3) Hutang

(1) “Para bhikkhu, bukankah kemiskinan adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Jika seorang yang miskin, [352] melarat, dan papa berhutang, bukankah hutangnya juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang telah berhutang berjanji untuk membayar bunga, bukankah bunganya juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(4) “Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang telah berjanji untuk membayar bunga tidak mampu membayarnya ketika jatuh tempo, maka mereka menegurnya. Bukankah menjadi ditegur ini juga adalah adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(5) “Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang ditegur tidak membayar, maka mereka menggugatnya. Bukankah gugatan juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(6) Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang digugat tidak membayar, maka mereka memenjarakannya. Bukankah penjara juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

“Demikianlah, para bhikkhu, bagi seseorang yang menikmati kenikmatan indria, maka kemiskinan adalah penderitaan di dunia; berhutang adalah penderitaan di dunia; kewajiban membayar bunga adalah penderitaan di dunia; ditegur adalah penderitaan di dunia; gugatan adalah penderitaan di dunia; dan penjara adalah penderitaan di dunia.

(1) “Demikian pula, para bhikkhu, ketika seseorang tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka dalam disiplin Yang Mulia ini ia disebut seorang yang miskin, melarat, dan papa.

(2) “Karena tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, tidak memiliki rasa takut bermoral, tidak memiliki kegigihan, tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka orang yang miskin, melarat, dan papa itu melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ini, aku katakan, adalah ia berhutang.

(3) “Untuk menyembunyikan perbuatan buruk melalui jasmaninya, ia memelihara keinginan jahat. Ia berharap: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia berkehendak [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; [353] ia mengucapkan pernyataan [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia melakukan usaha secara jasmani [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku.’

“Untuk menyembunyikan perbuatan buruk melalui ucapannya … Untuk menyembunyikan perbuatan buruk melalui pikirannya, ia memelihara keinginan jahat. Ia berharap: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia berkehendak [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia mengucapkan pernyataan [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia melakukan usaha secara jasmani [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku.’

(4) “Para bhikkhu yang berperilaku baik berkata sebagai berikut tentangnya: ‘Yang mulia ini bertindak seperti ini, berperilaku seperti ini.’ Ini, Aku katakan, adalah ia ditegur.

(5) “Ketika ia pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke tempat tinggal yang kosong, pikiran-pikiran yang tidak bermanfaat yang disertai dengan penyesalan menyerangnya. Ini, Aku katakan, adalah ia digugat.

(6) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, orang yang miskin, melarat, dan papa itu yang melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran dibelenggu di dalam penjara neraka atau penjara alam binatang. Aku tidak melihat, para bhikkhu, penjara lainnya yang begitu mengerikan dan ganas, [dan] begitu merintangi dalam mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, seperti halnya penjara neraka atau penjara alam binatang.”

   Kemiskinan disebut penderitaan di dunia;
   Demikian pula dengan berhutang.
   Seorang miskin yang berhutang
   Mengalami kesusahan sewaktu ia bersenang-senang.

   Kemudian mereka menggugatnya
   Dan ia juga mengalami dipenjara
   Penjara ini sesungguhnya adalah penderitaan
   Bagi seseorang yang merindukan perolehan dan kenikmatan indria.

   Demikian pula dalam disiplin Yang Mulia ini,
   Seseorang yang tidak berkeyakinan, [354]
   Yang tanpa rasa malu dan kurang ajar,
   Menimbun kumpulan kamma buruk.

   Setelah melakukan perbuatan buruk
   Melalui jasmani, ucapan, dan pikiran,
   Ia membentuk keinginan:
   “Semoga tidak ada orang yang mengetahui tentang aku.”

   Ia berputar dengan jasmaninya,
   [berputar] melalui ucapan atau pikiran;
   Ia menumpuk perbuatan jahatnya,
   Dalam satu atau lain cara, berulang-ulang.

   Pelaku kejahatan yang dungu ini, yang mengetahui
   Perbuatan buruknya sendiri, adalah seorang miskin
   Yang jatuh dalam hutang,
   Mengalami kesusahan sewaktu ia bersenang-senang.

   Kemudian pikirannya menggugatnya;
   Kondisi pikiran yang menyakitkan yang muncul dari penyesalan
   [mengikutinya ke mana pun ia pergi]
   Apakah ke desa atau hutan.

   Pelaku kejahatan yang dungu ini,
   Yang mengetahui perbuatan buruknya sendiri,
   Pergi ke alam [binatang] tertentu
   Atau bahkan terbelenggu di neraka.

   Ini sesungguhnya adalah penderitaan dari belenggu<1341>
   Yang mana orang bijaksana terbebaskan darinya,
Yang memberikan [pemberian] dengan kekayaan yang diperoleh dengan benar,
   Yang mengokohkan pikirannya dalam keyakinan.

   Perumah tangga yang memiliki keyakinan
   Telah melakukan lemparan beruntung dalam kedua kasus:
   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.
   Demikianlah bagi para penghuni rumah
   Jasa ini meningkat melalui kedermawanan.<1342>

   Demikian pula, dalam disiplin Yang Mulia,
   Seorang yang memiliki keyakinan kokoh,
   Yang memiliki rasa malu, rasa takut,
   Bijaksana, dan terkendali oleh perilaku bermoral,
   Dikatakan hidup berbahagia
   Dalam disiplin Yang Mulia.

   Setelah memperoleh kebahagiaan spiritual,
   Kemudian ia bertekad pada keseimbangan.
   Setelah meninggalkan kelima rintangan,
   Selalu membangkitkan kegigihan,
   Ia masuk ke dalam jhāna-jhāna,
   Menyatu, waspada, dan penuh perhatian.

   Setelah mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya,
   Melalui ketidak-melekatan sepenuhnya
   Pikirannya dengan benar terbebaskan
   Dengan hancurnya semua belenggu.

   Dengan hancurnya belenggu-belenggu penjelmaan,
   Bagi seorang yang stabil, yang terbebaskan dengan benar,
   Maka pengetahuan muncul:
   “Kebebasanku tak tergoyahkan.”

   Ini adalah pengetahuan tertinggi;
   Ini adalah kebahagiaan yang tak terlampaui.
   Tanpa dukacita, bebas dari debu, dan aman,
   Ini adalah kebebasan tertinggi dari hutang. [355]

46 (4) Cunda

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahācunda sedang menetap di tengah-tengah penduduk Ceti di Sahajāti. Di sana Beliau berkata kepada para bhikkhu:

“Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahācunda berkata sebagai berikut:

(1) “Di sini, teman-teman, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma<1343> meremehkan para bhikkhu lain yang adalah para meditator, dengan mengatakan: ‘Mereka bermeditasi dan merenung, [mengaku]: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!”<1344> mengapakah mereka bermeditasi? Dalam cara seperti apakah mereka bermeditasi? Bagaimanakah mereka bermeditasi?’ Dalam hal ini, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma tidak senang, dan para bhikkhu yang adalah para meditator tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(2) “Tetapi para bhikkhu yang bermeditasi itu juga meremehkan para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma, dengan mengatakan: ‘Mereka gelisah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur, [mengaku]: “Kami adalah ahli Dhamma, kami adalah ahli Dhamma!” mengapakah mereka menjadi ahli Dhamma? Dalam cara seperti apakah mereka menjadi ahli Dhamma? Bagaimanakah mereka menjadi ahli Dhamma?’ Dalam hal ini, para meditator tidak senang, dan ahli-ahli Dhamma tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(3) “Teman-teman, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma memuji hanya para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma, bukan mereka yang adalah para meditator. Dalam hal ini, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma [356] tidak senang, dan dan para bhikkhu yang adalah para meditator tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(4). “Tetapi para bhikkhu yang adalah para meditator memuji hanya dan para bhikkhu yang adalah para meditator, bukan mereka yang adalah ahli-ahli Dhamma. Dalam hal ini, dan para bhikkhu yang adalah para meditator tidak senang, dan mereka yang adalah ahli-ahli Dhamma tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(5) “Oleh karena itu, teman-teman, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami yang adalah ahli-ahli Dhamma akan memuji para bhikkhu yang adalah para meditator.’ Demikianlah kalian harus berlatih. Karena alasan apakah? Karena, teman-teman, orang-orang ini adalah menakjubkan dan jarang terdapat di dunia ini yang berdiam setelah menyentuh elemen keabadian dengan jasmani.<1345>

(5) “Oleh karena itu, teman-teman, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami yang adalah para meditator akan memuji para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma.’ Demikianlah kalian harus berlatih. Karena alasan apakah? Karena, teman-teman, orang-orang ini adalah menakjubkan dan jarang terdapat di dunia ini yang melihat persoalan yang mendalam dan tajam setelah menembusnya dengan kebijaksanaan.”<1346>

47 (5) Terlihat Langsung (1)

Pengembara Moliyasīvaka mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau.<1347> Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, dikatakan: ‘Dhamma yang terlihat langsung, Dhamma yang terlihat langsung.’ Dalam cara bagaimanakah, Bhante, Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana’?”<1348> [357]

“Baiklah, Sīvaka, Aku akan bertanya kepadamu sebagai jawaban atas hal ini. Jawablah seperti yang engkau anggap benar. Bagaimana menurutmu, Sīvaka? (1) Ketika ada keserakahan dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada keserakahan dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keserakahan dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Tidak ada keserakahan dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, Sīvaka, ketika ada keserakahan dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada keserakahan dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keserakahan dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada keserakahan dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

“Bagaimana menurutmu, Sīvaka? (2) Ketika ada kebencian dalam dirimu … (3) … delusi, dalam dirimu … (4) … suatu keadaan yang berhubungan dengan keserakahan dalam dirimu<1349> … (5) … suatu keadaan yang berhubungan dengan kebencian dalam dirimu … (6) … suatu keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, Sīvaka, ketika ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #13 on: 19 May 2013, 07:10:34 PM »
48 (6) Terlihat Langsung (2)

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Dhamma yang terlihat langsung, Dhamma yang terlihat langsung.’ Dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, [358] Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana’?”

“Baiklah, brahmana, Aku akan bertanya kepadamu sebagai jawaban atas hal ini. Jawablah seperti yang engkau anggap benar. Bagaimana menurutmu, brahmana? (1) Ketika ada nafsu dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada nafsu dalam diriku,’ dan ketika tidak ada nafsu dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Tidak ada nafsu dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, brahmana, ketika ada nafsu dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada nafsu dalam diriku,’ dan ketika tidak ada nafsu dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada nafsu dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

“Bagaimana menurutmu, brahmana? (2) Ketika ada kebencian dalam dirimu … (3) … delusi dalam dirimu … (4) … suatu pelanggaran melalui jasmani dalam dirimu<1350> … (5) … suatu pelanggaran melalui ucapan dalam dirimu … (6) … suatu pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada suatu pelanggaran melalui pikiran dalam diriku,’ dan ketika tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, brahmana, ketika ada pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada pelanggaran melalui pikiran dalam diriku,’ dan ketika tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

49 (7) Khema

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Khema dan Yang Mulia Sumana sedang menetap di Sāvatthī [359] di Hutan Orang Buta. Kemudian mereka mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Khema berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ketika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia tidak berpikir: (1) ‘Ada seseorang yang lebih baik dariku,’ atau (2) ‘Ada seseorang yang setara denganku,’ atau (3) ‘Ada seseorang yang lebih rendah dariku.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khema. Sang Guru menyetujui. Kemudian Yang Mulia Khema, dengan berpikir, ‘Sang Guru setuju denganku,’ bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, persis setelah Yang Mulia Khema pergi, Yang Mulia Sumana berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, ketika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia tidak berpikir: (4) ‘Tidak ada orang yang lebih baik dariku,’ atau (5) ‘Tidak ada orang yang setara denganku,’ atau (6) ‘Tidak ada orang yang lebih rendah dariku.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sumana. Sang Guru menyetujui. Kemudian Yang Mulia Sumana, dengan berpikir, ‘Sang Guru setuju denganku,’ bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.<1351>

Kemudian, segera setelah kedua bhikkhu itu pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, dengan cara inilah anggota-anggota keluarga menyatakan pengetahuan akhir. Mereka menyatakan maknanya tetapi tidak membawa diri mereka ke dalam gambaran itu.<1352> Tetapi ada beberapa orang dungu di sini, tampaknya, menyatakan pengetahuan akhir sebagai sebuah lelucon. Mereka akan menemui kesusahan kelak.”

Mereka [tidak memposisikan diri mereka] sebagai lebih tinggi atau lebih rendah,
   Juga mereka tidak memposisikan diri mereka sebagai setara.<1353>
   Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani;
   Mereka berlanjut, terbebas dari belenggu-belenggu. [360]

50 (8 ) Organ-Organ Indria <1354>

“Para bhikkhu, (1) Ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang tidak memiliki pengendalian organ-organ indria, maka (2) perilaku bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada perilaku bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka (3) konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, maka (4) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (5) kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan, pada seorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang tidak tidak memiliki pengendalian organ-organ indria, maka perilaku bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada perilaku bermoral … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) Ketika ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang mengerahkan pengendalian atas organ-organ indria, maka (2) perilaku bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada perilaku bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, maka (3) konsentrasi benar memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, maka (4) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (5) kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kekecewaan dan kebosanan, pada seorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang mengerahkan pengendalian atas organ-organ indria, maka perilaku bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada perilaku bermoral … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.” [361]

51 (9) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Teman Sāriputta, bagaimanakah agar seorang bhikkhu dapat mendengar ajaran yang belum pernah ia dengar sebelumnya, agar tidak melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar, agar mengingat ajaran-ajaran yang telah akrab baginya,<1355> dan memahami apa yang belum ia pahami?”

“Yang Mulia Ānanda terpelajar. Sudilah engkau menjelaskan persoalan ini.”

“Maka dengarkanlah, teman Sāriputta, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman Sāriputta, (1) seorang bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. (2) Ia mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (3) Ia menyuruh orang lain agar mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang telah mereka dengar dan pelajari. (4) Ia melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (5) Ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (6) Ia memasuki musim hujan dalam suatu kediaman di mana menetap para bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris pusaka, ahli dalam Dhamma, ahli dalam disiplin, ahli dalam kerangka. Dari waktu ke waktu ia mendatangi mereka dan bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Para mulia itu kemudian menungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghalau kebingungannya atas berbagai hal yang membingungkan. Adalah dengan cara ini, [362] teman Sāriputta, maka seorang bhikkhu dapat mendengar ajaran yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tidak melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar,  mengingat ajaran-ajaran yang telah akrab baginya, dan memahami apa yang belum ia pahami.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman, beatpa baiknya hal ini dinyatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Dan kami menganggap Yang Mulia Ānanda sebagai seorang yang memiliki keenam kualitas ini: (1) Karena Yang Mulia Ānanda telah mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. (2) Ia mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (3) Ia menyuruh orang lain agar mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang telah mereka dengar dan pelajari [darinya]. (4) Ia melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (5) Ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (6) Ia memasuki musim hujan dalam suatu kediaman di mana menetap para bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris pusaka, ahli dalam Dhamma, ahli dalam disiplin, ahli dalam kerangka. Dari waktu ke waktu ia mendatangi mereka dan bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Para mulia itu kemudian menungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghalau kebingungannya atas berbagai hal yang membingungkan.”

52 (10) Khattiya

Brahmana Jāṇussonī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: [363]

(1) “Guru Gotama, apakah tujuan kaum khattiya? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?<1356>

“Kekayaan, brahmana, adalah tujuan kaum khattiya; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah kekuatan; mereka menggemari teritori; dan tujuan akhir mereka adalah kekuasaan.”

(2) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum brahmana? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Kekayaan, brahmana, adalah tujuan kaum brahmana; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah hymne-hymne Veda; mereka menggemari pengorbanan; dan tujuan akhir mereka adalah alam brahmā.”

(3) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum perumah tangga? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Kekayaan, brahmana, adalah tujuan kaum perumah tangga; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah keterampilan mereka; mereka menggemari pekerjaan; dan tujuan akhir mereka adalah menyelesaikan pekerjaan mereka.”

(4) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum perempuan? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Laki-laki, brahmana, adalah tujuan kaum perempuan; pencarian mereka adalah perhiasan; penyokong mereka adalah anak-anak mereka; mereka menggemari keadaan tanpa saingan; dan tujuan akhir mereka adalah kekuasaan.”

(5) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum pencuri? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Perampasan, brahmana, adalah tujuan kaum pencuri; pencarian mereka adalah hutan belantara; penyokong mereka adalah muslihat mereka;<1357> mereka menggemari tempat-tempat gelap; dan tujuan akhir mereka adalah agar tetap tidak terlihat.”

(6) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum petapa? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Kesabaran dan kelembutan, brahmana, adalah tujuan kaum petapa; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah perilaku bermoral; mereka menggemari kekosongan;<1358> dan tujuan akhir mereka adalah nibbāna.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama mengetahui tujuan, pencarian, penyokong, kegemaran, dan pengetahuan akhir dari para khattiya, para brahmana, para perumah tangga, para perempuan, para pencuri, [364] dan para petapa.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #14 on: 19 May 2013, 07:11:04 PM »
53 (11) Kewaspadaan

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, adakah satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat mencapai kedua jenis kebaikan, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang?”

“Ada hal demikian, brahmana.”

“Apakah itu?”

“Yaitu kewaspadaan.”

(1) “Seperti halnya, brahmana, jejak kaki semua binatang yang berjalan dapat masuk ke dalam jejak kaki gajah, dan jejak kaki gajah dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya dalam hal ukuran, demikian pula kewaspadaan yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat mencapai kedua jenis kebaikan, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

(2) “Seperti halnya kasau-kasau sebuah rumah beratap lancip condong ke arah puncak atap, miring ke arah puncak atap, bertemu di puncak atap, dan puncak atap dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, demikian pula [365] kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(3) “Seperti halnya seorang pemotong buluh, setelah memotong serumpun buluh, meṃegang bagian atasnya, mengguncang bagian bawahnya, mengguncang kedua ujungnya, dan memukulnya, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(4) “Seperti halnya, ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga yang melekat pada tangkau rumpun itu akan mengikuti, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(5) “Seperti halnya semua pangeran rendah adalah bawahan dari seorang raja pemutar-roda; dan raja pemutar-roda dinyatakan sebagai yang terunggul di antara mereka, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(6) “Seperti halnya cahaya semua bintang tidak sebanding dengan seper-enam-belas bagian dari cahaya rembulan, dan cahaya rembulan dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

“Ini, brahmana, adalah satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat mencapai kedua jenis kebaikan, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” [366]

54 (12) Dhammika

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu Yang Mulia Dhammika adalah bhikkhu tuan rumah di daerah asalnya, dalam seluruh tujuh vihara di daerah asalnya.<1359> Di sana Yang Mulia Dhammika menghina para bhikkhu tamu, mencerca mereka, membahayakan mereka, menyerang mereka, dan menghardik mereka, dan kemudian para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara.

Kemudian para umat awam yang adalah penduduk asli di daerah itu berpikir: “Kami melayani Saṅgha para bhikkhu dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perbekalan bagi yang sakit, tetapi para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara. Mengapa demikian?”

Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Dhammika ini menghina para bhikkhu tamu, mencerca mereka, membahayakan mereka, menyerang mereka, dan menghardik mereka, dan kemudian para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara. Mari kita mengusir Yang Mulia Dhammika.”

Kemudian para umat awam itu mendatangi Yang Mulia Dhammika dan berkata kepadanya: “Bhante, tinggalkanlah vihara ini. Engkau telah menetap di sini cukup lama.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika pergi dari vihara itu menuju vihara lainnya, di mana sekali lagi ia menghina para bhikkhu tamu, mencerca mereka, membahayakan mereka, menyerang mereka, dan menghardik mereka, dan kemudian para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap [367] melainkan meninggalkan vihara.

Kemudian para umat awam itu berpikir … [seluruhnya seperti di atas] … dan berkata kepadanya: “Bhante, tinggalkanlah vihara ini. Engkau telah menetap di sini cukup lama.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika pergi dari vihara itu menuju vihara lainnya, di mana sekali lagi ia menghina para bhikkhu tamu … Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara.

Kemudian para umat awam yang adalah penduduk asli di daerah itu berpikir: “Kami melayani Saṅgha para bhikkhu dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perbekalan bagi yang sakit, tetapi para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara. Mengapa demikian?”

Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Dhammika ini menghina para bhikkhu tamu …  Mereka tidak menetap [368] melainkan meninggalkan vihara. Mari kita mengusir Yang Mulia Dhammika dari seluruh tujuh vihara di daerah ini.”

Kemudian para umat awam itu mendatangi Yang Mulia Dhammika dan berkata kepadanya: “Bhante, tinggalkanlah seluruh tujuh vihara di daerah ini.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika berpikir: “Aku diusir oleh para umat awam dari seluruh tujuh vihara di sini. Kemana aku harus pergi?”

Kemudian ia berpikir: “Biarlah aku mendatangi Sang Bhagavā.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika membawa mangkuk dan jubahnya dan pergi ke Rājagaha. Secara bertahap ia sampai di Rājagaha, dan kemudian pergi ke Gunung Puncak Nasar, di mana ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Dari manakah engkau datang, Brahmana Dhammika?”<1360>

“Bhante, para umat awam di daerah asalku mengusirku dari seluruh tujuh vihara di sana.”

“Cukup, Brahmana Dhammika! Sekarang setelah engkau mendatangiKu, mengapa mencemaskan bahwa engkau telah diusir dari tempat-tempat itu? Di masa lalu, Brahmana Dhammika, para pedagang yang melakukan perjalanan melalui laut berlayar di laut dalam sebuah kapal, membawa serta seekor burung pelacak daratan. Ketika kapal masih belum melihat daratan mereka melepaskan burung itu. Burung itu terbang ke timur, ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, dan ke arah-arah di antaranya. Jika burung itu melihat daratan di mana pun, maka ia akan terbang mendatangi daratan itu. Tetapi jika ia tidak melihat daratan, maka ia kembali ke kapal. Dengan cara yang sama, ketika engkau telah diusir dari tempat-tempat itu, Engkau mendatangiKu.” [369]

“Di masa lampau, Brahmana Dhammika, Raja Koravya memiliki sebatang pohon banyan besar bernama ‘Tertanam Kokoh,’ yang memiliki lima dahan, memberikan keteduhan yang menyejukkan, dan memberikan kesenangan. Kanopinya menjulur hingga dua belas yojana; jaringan akarnya hingga lima yojana. Buahnya sebesar panci memasak dan semanis madu murni. Raja dan selir-selirnya menggunakan satu bagian pohon itu, bala tentara menggunakan bagian lainnya, para penduduk pemukiman dan desa menggunakan bagian lainnya lagi, para petapa dan brahmana menggunakan bagian lainnya lagi, dan binatang-binatang liar dan burung-burung menggunakan bagian lainnya lagi. Tidak ada yang menjaga buah-buahan pohon itu, namun tidak ada yang mengambil buah milik yang lainnya.

“Kemudian, Brahmana Dhammika, seseorang memakan buah-buahan pohon itu sebanyak yang ia inginkan, mematahkan satu dahan, dan pergi. Dewa yang menghuni pohon itu berpikir: ‘Sungguh menakjubkan dan mengagumkan betapa jahatnya orang ini! Ia memakan buah-buahan pohon itu sebanyak yang ia inginkan, mematahkan satu dahan, dan pergi! Aku akan memastikan bahwa di masa depan pohon banyan besar ini tidak lagi berbuah.’ Maka di masa depan pohon banyan besar itu tidak lagi berbuah. Setelah itu [370] Raja Koravya mendatangi Sakka penguasa para deva dan berkata kepadanya: ‘Dengarkanlah, Tuan yang terhormat, engkau harus tahu bahwa pohon banyan besar itu tidak lagi berbuah.’

“Kemudian Sakka penguasa para deva mengerahkan kekuatan batin sedemikian sehingga hujan badai yang kencang datang dan berpusar<1361> dan mencabut pohon banyan besar itu.

“Kemudian, Brahmana Dhammika, dewa yang menghuni pohon itu berdiri di satu sisi, sedih dan sengsara, menangis dengan wajah basah oleh air mata. Sakka mendatangi dewa itu dan berkata: ‘Mengapakah, dewa, engkau berdiri di satu sisi, sedih dan sengsara, menangis dengan wajah basah oleh air mata?’ – ‘Tuan, karena hujan badai kencang datang dan berpusar dan mencabut tempat tinggalku.’ – ‘Tetapi, dewa, apakah engkau menuruti tugas sebatang pohon ketika hujan badai kencang datang dan berpusar dan mencabut tempat tinggalmu?’ – ‘Tetapi, bagaimanakah, Tuan, sebatang pohon menuruti tugas sebatang pohon?’ – ‘Di sini, dewa, mereka yang memerlukan akar mengambil akarnya; mereka yang memerlukan kulit kayu mengambil kulit kayunya; mereka yang memerlukan dedaunan mengambil dedaunannya; mereka yang memerlukan bunga mengambil bunganya; dan mereka yang memerlukan buah mengambil buahnya. Namun karena hal ini sang dewa tidak menjadi tidak senang atau tidak puas. Itu adalah bagaimana sebatang pohon menuruti tugas pohon.’ – ‘Tuan, aku tidak menuruti tugas sebatang pohon ketika hujan badai kencang datang dan berpusar dan mencabut tempat tinggalku.’ – ‘Jika, dewa, engkau mau menuruti tugas sebatang pohon, maka tempat tinggalmu akan kembali seperti semula.’ – ‘Tuan, aku mau menuruti [371] tugas sebatang pohon. Semoga tempat tinggalku kembali seperti semula.’

“Kemudian, Brahmana Dhammika, Sakka penguasa para deva mengerahkan kekuatan batin sedemikian sehingga hujan badai yang kencang datang dan menegakkan kembali pohon banyan besar itu dan akar-akarnya ditutupi dengan kulit kayu. Demikian pula, Brahmana Dhammika, apakah engkau menuruti tugas seorang petapa ketika para umat awam di daerah sana mengusirmu dari seluruh tujuh vihara?”

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, seorang petapa menuruti tugas seorang petapa?”

“Di sini, Brahmana Dhammika, seorang petapa tidak menghina orang yang menghinanya, tidak menghardik orang yang menghardiknya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Itu adalah bagaimana seorang petapa menuruti tugas seorang petapa.”

“Bhante, aku tidak menuruti tugas seorang petapa ketika para umat awam mengusirku dari seluruh tujuh vihara itu.”

(1) “Di masa lampau, Brahmana Dhammika, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri sebuah sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan indria. Guru Sunetta memiliki ratusan siswa. Ia mengajarkan Dhamma kepada para siswanya demi perkumpulan dengan alam brahmā.<1362> Ketika ia sedang mengajarkan Dhamma itu, mereka yang tidak berkeyakinan padanya, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi mereka yang berkeyakinan padanya terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

(2) “Di masa lampau, terdapat seorang guru bernama Mūgapakkha … (3) … seorang guru bernaam Aranemi … (4) … seorang guru bernama Kuddālaka … (5) … seorang guru bernama Hatthipāla … (6) … [372] seorang guru bernama Jotipāla, pendiri sebuah sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan indria … Ketika ia sedang mengajarkan Dhamma itu, mereka yang tidak berkeyakinan padanya, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi mereka yang berkeyakinan padanya terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

“Bagaimana menurutmu, Brahmana Dhammika? Keenam guru ini yang adalah para pendiri sekte-sekte spiritual, orang-orang yang tanpa nafsu pada kenikmatan indria yang memiliki pengikut ratusan siswa. Jika, dengan pikiran kebencian, seseorang menghina dan mencerca mereka dan komunitas para siswa mereka, bukankah orang itu menghasilkan banyak keburukan?”

“Benar, Bhante.”

“Jika, dengan pikiran kebencian, seseorang menghina dan mencerca mereka dan komunitas para siswa mereka, maka orang itu menghasilkan banyak keburukan. Tetapi jika, dengan pikiran kebencian, seseorang mencerca dan menghina satu orang yang sempurna dalam pandangan,<1363> maka ia menghasilkan lebih banyak keburukan lagi. Karena alasan apakah? Aku katakan, Brahmana Dhammika tidak ada luka<1364> melawan pihak luar<1365> seperti jika melawan teman-teman[mu] para bhikkhu. Oleh karena itu, Brahmana Dhammika, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan membiarkan kebencian muncul dalam pikiran kami terhadp teman-teman kami para bhikkhu.’<1366> Demikianlah, Brahmana Dhammika, engkau harus berlatih.” [373]

   Sunetta, Mūgapakkha,
   Brahmana Aranemi,
   Kuddālaka, dan Hatthipāla,
   Pemuda brahmana, adalah guru-guru.

   Dan Jotipāla [yang dikenal sebagai] Govinda
   Brahmana kerajaan dari tujuh [raja]:
   Mereka ini adalah orang-orang yang tidak berbahaya di masa lampau,
   Enam guru yang memiliki kemasyhuran.

   Murni, terbebaskan melalui belas kasihan,
   Orang-orang ini telah melampaui belenggu indriawi.
   Setelah menghapuskan nafsu indria,
   Mereka terlahir kembali di alam brahmā.

   Para siswa mereka juga
   Yang berjumlah ratusan
   Murni, terbebaskan melalui belas kasihan,
   Orang-orang yang telah melampaui belenggu indriawi.
   Setelah menghapuskan nafsu indria,
   Mereka terlahir kembali di alam brahmā.

   Orang itu yang, dengan pikiran kebencian,
   Mencerca para petapa luar ini yang hampa dari nafsu
   [yang pikirannya] terkonsentrasi,
   Menghasilkan keburukan berlimpah.

   Tetapi orang yang, dengan pikiran kebencian
   Mencerca seorang siswa Sang Buddha,
   Seorang bhikkhu yang sempurna dalam pandangan,
   Menghasilkan lebih banyak keburukan lagi.

   Seseorang tidak boleh menyerang seorang suci
   Seorang yang telah meninggalkan sudut-sudut pandangan.
   Orang ini disebut orang ke tujuh
   Dari Saṅgha para mulia,
   Seorang yang tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan indria,
   Yang kelima indrianya lemah:
   Keyakinan, perhatian, kegigihan,
   Ketenangan, dan pandangan terang.

   Jika seseorang menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Maka ia membahayakan dirinya sendiri;
   Kemudian, setelah membahayakan dirinya sendiri,
   Selanjutnya ia membahayakan orang lain.

   Ketika seseorang melindungi dirinya sendiri,
   Maka orang lain juga terlindungi.
   Oleh karena itu seseorang harus melindungi dirinya sendiri;
   Orang bijaksana selalu tidak terluka. [374]

 

 

anything