//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - K.K.

Pages: [1] 2 3 4 5 6
1
Studi Sutta/Sutra / Pattidāna, Makanan Hantu, dan Transfer Kamma.
« on: 20 June 2019, 01:45:31 AM »
Pelimpahan jasa atau pattidāna/pariṇāmanā adalah ritual yang melibatkan perbuatan baik dilakukan atas nama leluhur dan keluarga yang telah meninggal dengan tujuan agar mereka mendapatkan kondisi yang lebih baik. Ritual ini cukup umum dijumpai dalam masyarakat Buddhis dan dalam Tradisi Theravada prinsip dan sumber teks yang digunakan sebagai dasar adalah Tirokudda Sutta (Kp7), Petavatthu (kitab ke 7 di KN ini memberikan aneka kisah kelahiran sebagai peta karena perbuatan yang tidak baik), Janussoni Sutta (AN10.177), beserta komentar dari sutta bersangkutan. Semua kisah dari sumber-sumber tersebut menggambarkan ritual yang dilakukan oleh kerabat dari orang yang meninggal dan dalam Janussoni Sutta terdapat pernyataan bahwa ritual tersebut hanya bermanfaat bagi mereka yang terlahir di alam peta, bukan lainnya. Komentar dari Petavatthu memberikan 4 kategori peta (Paramatthajotikā memberikan daftar lebih panjang yang intinya jenis peta bersesuaian dengan kamma buruk yang dilakukan) dan hanya jenis Paradattūpajīvīka (“hidup dari pemberian orang lain”) yang dapat menerima manfaat ritual pattidāna ini. Sebagian dari sumber-sumber tersebut mengisahkan bagaimana setelah ritual dilakukan, maka para kerabat yang telah meninggal tersebut mendapatkan kondisi yang lebih baik.

Permasalahan timbul di sini berkenaan dengan prinsip utama dari Buddhisme di mana kamma tidak dapat ‘dipindah-tangan’, seperti dalam kutipan yang terkenal bahwa setiap makhluk memiliki, mewarisi, terlahir dari, berhubungan dengan, dan terlindung oleh kammanya sendiri (AN 5.57; MN 135). Pattidāna terlihat seperti memindahkan kamma baik yang dilakukan oleh pelaku ritual kepada leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal, yang tidak melakukannya, sehingga terjadi kontradiksi.

Salah satu solusi yang dikemukakan adalah bahwa tidak ada transfer kamma di sini, namun sanak saudara yang telah meninggal tersebut diajak untuk ikut berbahagia atas kebaikan yang dilakukan atas nama mereka oleh kerabat yang masih hidup. Kebahagiaan simpatik atau muditā adalah juga bentuk kamma baik melalui pikiran (AN 5.36) dan buah dari perbuatan baik ini, yang dilakukan oleh kerabat yang telah meninggal itu sendiri, yang berbuah dan mengondisikan hal baik. Solusi ini menimbulkan permasalahan baru: mengapa muditā tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terlahir di alam peta? Bukankah alam lebih tinggi, terutama Brahma yang utama dalam 4 Brahmavihārā justru (jauh sekali) lebih berpotensi dalam ber-muditā? Selain itu, mengapa perbuatan baik itu hanya bermanfaat bagi seorang yang berhubungan keluarga? Bagaimana jika dilakukan oleh anak angkat atau mereka yang berbudi namun tidak berhubungan darah?



Solusi lainnya adalah bahwa ritual Pattidāna ini bukan merupakan transfer kamma, juga bukan ajakan muditā, namun sebuah ritual untuk mengondisikan kamma baik dari kerabat yang telah meninggal berbuah. Namun ini juga tidak menjawab permasalahan eksklusifitas alam peta dan hubungan keluarga dalam melakukan ritual di samping menimbulkan pertanyaan lain: apakah ada ritual yang dapat memanipulasi kamma agar lebih cepat (atau mungkin menghambat) berbuah? Apakah Buddha ada mengajarkannya? Bukankah dalam Devadaha Sutta (MN 101) Buddha mengkritik para Nigaṇṭha yang dikisahkan dalam sutta melakukan ritual penyiksaan-diri untuk mengondisikan kamma buruk mereka berbuah, sementara mereka sendiri tidak tahu apa perbuatan mereka di masa lampau, dan perbuatan apa mematangkan kamma yang mana? 

Berdasarkan pengalaman pribadi, diskusi dan argumentasi topik ini biasanya buntu atau berkembang terlalu luas, dan akhirnya kembali pada Acinteyya Sutta (AN 4.77). Dan selesailah diskusi. Namun menurut saya, sebenarnya permasalahan ini tidak terlalu rumit jika saja pemahaman teks menggunakan konteks yang sesuai: latar belakang budaya, tempat, waktu, kepada siapa teks ditujukan.


Janussoni Sutta biasa dikutip untuk menguatkan konsep pattidāna hanya berlaku untuk alam peta, namun apakah benar sutta tersebut membahas pattidāna atau hal lain?

“Dānāni dema, saddhāni karoma – ‘idaṃ dānaṃ petānaṃ ñātisālohitānaṃ upakappatu, idaṃ dānaṃ petā ñātisālohitā paribhuñjantū’ti. Kacci taṃ, bho gotama, dānaṃ petānaṃ ñātisālohitānaṃ upakappati; kacci te petā ñātisālohitā taṃ dānaṃ paribhuñjantī”

“Memberikan dana, menjalankan saddhā – ‘semoga pemberian ini bermanfaat bagi kerabat yang telah pergi, semoga pemberian ini dinikmati oleh kerabat yang telah pergi.’ Seberapakah, Gotama yang baik, pemberian ini bermanfaat ... dinikmati oleh kerabat yang telah pergi?”


Saddhā atau keyakinan adalah istilah familiar bagi umat Buddhis, namun di sini merujuk pada ritual yang dilakukan untuk orang meninggal. Istilah “peta” dalam kosmologi Buddhis adalah makhluk penghuni petaloka, sebuah alam sengsara akibat dari kamma buruk yang dilakukannya, namun bagi umat Hindu adalah hal yang berbeda.

Antyeshti – ritual kremasi dilaksanakan dalam sehari setelah kematian. Setelah jasad hancur, maka orang yang meninggal dianggap memiliki tubuh ‘halus’ tersusun atas unsur angin (vayu) dan ruang (akasha), dan kondisi ini yang disebut peta/preta (“yang telah pergi”). Kemudian prosesi saddha/śrāddha dilakukan oleh sanak-saudara: anak lelaki sulung, atau jika memiliki lebih dari satu anak lelaki yang tinggal terpisah, semuanya wajib melakukannya. Jika tidak memiliki anak lelaki, maka kakak atau adik lelaki, menantu lelaki, atau cucu lelaki yang cukup umur dapat melakukannya, dan seterusnya sesuai aturan yang berlaku. Selama 10 hari pertama dibuat bola nasi pinda yang adalah pembentuk tubuh bagi peta. Pada hari ke sebelas, dilakukan ritual dana makanan bagi para leluhur dan peta, juga secara simbolis diwakili sebelas Brahmana khusus. Pada hari ke duabelas, dilakukan ritual sapiṇḍikaraṇa yang melambangkan bersatunya peta dengan para leluhur (pitr) dan merupakan lengkapnya ritual. Kesalahan ritual ini dianggap menyebabkan gagalnya transformasi peta menjadi pitr dan sebagai akibatnya akan mengembara tak menentu sebagai hantu. (Ini adalah proses umum, namun jumlah hari dan tata cara pelaksanaan bervariasi tergantung banyak hal seperti waktu meninggal, siapa yang meninggal, penyebabnya, kastanya, dan lain-lain.) Ritual inilah yang dimaksud dengan saddhā dalam Janussoni Sutta. (Salah satu kondisi untuk memperoleh kekayaan dalam  AN 5.41 adalah melakukan persembahan (bali) menggunakan kekayaan yang diperoleh dengan benar kepada 'ñāti, atithi, pubbapeta, rāja, devatā', 'sanak saudara, tamu/orang asing, yang telah meninggal, raja, dewa', yang juga mengindikasikan pemberian fisik, bukan bentuk 'transfer'.) 

Konsep tumimbal lahir yang dikemukakan Buddha berbeda dan tidak mengalami fase peta tersebut, melainkan terlahir kembali langsung sesuai alam tujuannya masing-masing. Namun demikian, dinyatakan bahwa ketika seseorang terlahir sebagai peta, maka ia dapat menerima dan menikmati dana tersebut. Tidak ada apapun di sini yang mengindikasikan transfer kamma, muditā, atau manipulasi kamma baik. Di sini makhluk peta secara langsung menerima makanan yang diberikan, yang juga sesuai dengan Tirokudda Sutta di mana pemberian diberikan kepada peta: “Adāsi me akāsi me, ñātimittā sakhā ca me;Petānaṃ dakkhiṇaṃ dajjā, pubbe katamanussaraṃ.”

Spoiler: ShowHide
[Kv 7.6 mencatat perbedaan penafsiran pemberian kepada peta ini. KvA dan Paramatthajotikā merincikan sekte Rājagiriya dan Siddhatthika berpendapat bahwa pemberian diberikan kepada sangha dan manfaatnya adalah menyokong kehidupan peta. Sekte (proto-)Theravāda membantah dan menjelaskan pemberian kepada peta adalah dengan menyajikan langsung untuk dimanfaatkan peta, bukan untuk sangha, mirip dengan śrāddha. Suatu hal yang menarik mengingat ritual yang dilaksanakan sekarang lebih condong pada pendapat non-Theravāda.]


Kisah-kisah dalam Petavatthu memiliki pola yang hampir sama: seorang yang berkelakuan buruk meninggal dan terlahir dalam kondisi buruk sebagai peta. Kemudian ia muncul di hadapan kerabatnya dan menjelaskan secara spesifik bagaimana perbuatan buruknya di masa lampau mengakibatkannya terlahir dalam kondisi demikian. Sebagian dari kisah tersebut berlanjut dengan pola menasihati kerabatnya untuk melakukan perbuatan baik, khususnya ke sangha, yang kemudian dilaksanakan, mengakibatkan peta tersebut terlahir kembali di alam baik, muncul kembali di hadapan kerabat yang sama dan menceritakan bagaimana perbuatan baik tersebut membebaskannya dari kondisi buruk sebelumnya dan mencapai kondisi baik.

Pola ritual di Petavatthu memiliki kemiripan dengan pattidāna yang kita kenal karena sama-sama melibatkan sangha sebagai penerima dana, bukan merupakan pemberian langsung ke peta. Perbedaan utamanya adalah pencetus dana bukanlah oleh kerabat yang masih hidup, namun peta itu sendiri. Karena niat baik itu memang muncul dari si peta, maka ia sendiri melakukan kamma baik dan ketika perbuatan baik itu terpenuhi, maka kamma baiknya juga menjadi lengkap. Tidak terlihat pola transfer kamma di sini.

Buddhisme berkembang di masyarakat di mana pelaksanaan ritual untuk membantu keluarga yang meninggal adalah sebuah bakti, suatu keharusan. Tidaklah mengherankan jika Buddhisme juga mengadopsi ritual tersebut, yang tentu saja dengan penyesuaian doktrin, untuk menjadi substitusi bagi kebutuhan umat dalam budaya tersebut, sementara masih terlihat sifat-sifat warisan pendahulunya. Prasyarat hubungan keluarga pelaku ritual masuk akal jika dilihat sebagai warisan dari peraturan Veda, sementara tidak relevan dalam konsep Buddhisme. Pelaksanaan ritual yang segera bagi kerabat yang meninggal juga merupakan kewajaran dibanding menunggu yang bersangkutan muncul sebagai peta seperti dalam Petavatthu. Konsekwensinya, inisiatif ritual dari kerabat yang masih hidup tanpa niat dari si peta membuatnya terlihat seperti ritual transfer kamma.

Berdasarkan pertimbangan di atas, tampaknya ‘problem’ dalam konsep pattidāna ini lebih condong pada alasan tradisi dan budaya praktis ketimbang ‘perubahan’ doktrin, yang sebenarnya menjadi tidak masalah ketika dilihat lewat perspektif berbeda.

2
Konsili Buddhis pertama adalah peristiwa menurut berbagai tradisi Buddhis di mana tidak lama setelah Buddha parinibbana (beberapa minggu atau pada vassa berikutnya) para bhikkhu arahant berkumpul di Rājagaha dan merumuskan apa saja yang merupakan Ajaran dan Disiplin Buddha. Kisah ini tercatat dalam sutta tentang akhir kehidupan Buddha dan dalam Vinaya berbagai sekte awal; dalam tradisi Theravāda adalah DN16. Mahāparinibbāṇa Sutta dan Khandaka, Culavagga XI. Sama seperti Vinaya Mahīśāsaka, hanya sebagian kecil sutta, yang berhubungan dengan awal dari konsili, dimasukkan ke Vinaya. Vinaya Sarvāstivāda, Dharmaguptaka, dan Haimavata mengambil sebagian besar sutta; sementara Mūlasarvāstivāda dan Mahāsāṅghika memasukkan keseluruhan isi sutta ke dalam Vinaya. Selain dari teks Pali Theravāda, sumber yang digunakan adalah terjemahan Mandarin dan pada tulisan ini menggunakan rangkuman dari karya Teitaro Suzuki yang sangat kaya informasi. Sumber yang digunakan antara lain: Pancavarga Vinaya (Mahīśāsaka), Caturvarga Vinaya (Dharmagupta), Vinaya Mahāsāṅghika, Samyuktavastu (Mūlasarvāstivāda), Sudarsana Vinaya Vibhasa (padanan Mandarin dari Pāḷi Samantapasadika), Mahāprajñāpāramitā Sastra, Catatan Transmisi Dharmapitaka.

Berbagai narasi ini memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam kejadian, pelaku, kronologis, dan detail minor lainnya, maka narasi dari Tradisi Theravāda digunakan sebagai tolok ukur strukturnya, karena kisah ini adalah yang paling umum dikenal.



I. Motivasi pelaksanaan konsili

Theravāda: ketika tersebar kabar bahwa Buddha telah wafat, seorang bhikkhu bernama Subhadda merasa senang karena ia bisa bebas dari peraturan-peraturan Buddha yang terlalu ketat. Mahākassapa yang mengetahui hal itu, merasakan perlunya melestarikan ajaran, dan setelah selesai dengan upacara kremasi Buddha, ia memutuskan untuk menggelar persamuhan untuk mengukuhkan aturan dan ajaran Buddha.

Mahīśāsaka-Dharmagupta & Mahāsāṅghika sama dengan Theravāda, namun nama bhikkhu tersebut adalah Bhananda/Mahallaka.

Sarvāstivāda & Mahāprajñāpāramitā: Para Deva khawatir akan hilangnya Ajaran dan meminta Mahākassapa untuk menyusunnya.

Dharmapitaka: Tidak ada sosok Subhadda ataupun Deva, namun atas inisiatif Mahākassapa.



II. Pemilihan anggota konsili dan pencapaian Arahatta Ananda

Theravāda: Mahākassapa memilih 499 Arahant dan kemudian mereka menganjurkan agar mengikutsertakan Ānanda, sebab walaupun belum mencapai kesempurnaan, Ānanda paling dekat dan banyak menghafal khotbah-khotbah Buddha, dan Mahākassapa menyetujuinya. Sudarsana Vibhasa menjelaskan Mahākassapa ingin melindungi persamuhan dari ketidak-murnian. Ānanda dikatakan mencapai Arahatta pada malam sebelum konsili dalam posisi unik yang tidak dalam Iriyapatha: ketika ia akan berbaring, kakinya telah terangkat dari tanah namun kepalanya belum menyentuh bantal.

Dalam Sumaṇgalavilāsini tercatat: Majjhimabhaṇāka mengatakan Ānanda menunjukkan pencapaiannya dengan keluar dari tanah muncul di tempat duduknya, sementara menurut lainnya dengan terbang di udara; Dīghabhaṇāka mengatakan Ānanda datang terakhir dengan tubuh bersinar dan wajah yang cerah seolah menyatakan pencapaiannya. Komentar Theragatha mengatakan bahwa pencapaian Ānanda disampaikan oleh Brahma dari Suddhāvāsā kepada anggota konsili.

Mahīśāsaka & Dharmagupta: Ānanda tidak mengetahui bahwa konsili akan digelar tanpa dirinya, kemudian bhikkhu yang membaca pikiran Mahākassapa memberitahu Ananda untuk berlatih dan mencapai pembebasan.

Sarvāstivāda: Mahākassapa mempertimbangkan apakah cara keras atau halus yang akan diterapkan untuk memacu Ānanda dan menetapkan cara keras sebagai yang tepat. Mahākassapa kemudian mengusir Ānanda dari perkumpulan dengan mengatakan bahwa ia tidak pantas. Ananda memohon agar tidak diusir dengan berkata bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun. Di sini Mahākassapa kemudian memberikan delapan kesalahan Ānanda. Kemudian seperti narasi Dharmaguptaka, namun bukan oleh seorang bhikkhu, melainkan seorang anak misterius yang menjadi pelayannya, mendorongnya untuk berlatih.

Mahāsāṅghika: Ketika para bhikkhu menganjurkan mengikutsertakan Ānanda, Mahākassapa menolak dan berkata bahwa mencampurkan seorang yang masih berlatih ke dalam perkumpulan orang yang melampaui latihan adalah seperti anjing/hyena/rase (?) kusta di kumpulan singa. Ananda sedang dalam perjalanan menuju Rājagaha dan diberitahukan oleh sesosok Deva mengenai hal ini dan membuatnya tidak senang. Ketika ia sedang merenung, ia mencapai Arahatta dan terbang menuju persamuhan. Mahākassapa kemudian menjelaskan ia sengaja menggunakan kata-kata keras  itu dengan tujuan untuk memacunya mencapai Arahatta.

Mahāprajñāpāramitā: seperti Sarvāstivāda, Ānanda diusir dengan tuduhan 6 kesalahan, dan pintu gerbang ditutup. Ketika Ānanda telah mencapai Arahatta, ia meminta diizinkan masuk dan Mahākassapa menyuruhnya masuk melalui lubang kunci, dan Ānanda melakukannya.



III. Pelaksanaan konsili dan penyusunan Ajaran

Theravāda: Mahākassapa menanyakan kepada Upali tentang Vinaya, dimulai dari Parajika pertama, dan seterusnya. Kemudian kepada Ānanda tentang Sutta, dimulai dari Brahmajala Sutta, Samaññaphala Sutta dan seterusnya. Dengan cara yang sama 5 nikaya diulang. Pembahasan mengenai peraturan minor (Khuddhanukhuddakasikkhapada) yang dikatakan boleh dihapus, dan disepakati tidak ada yang diubah. Kemudian tuduhan 5 kesalahan terhadap Ānanda berikut pembelaan dari Ānanda.

Dharmagupta: Ānanda dituduhkan 7 kesalahan terlebih dahulu. Upali kemudian mengulang Vinaya mulai dari Parajika. Ānanda mengulang khotbah dimulai dari Brahmajala Sutta dan lainnya yang menyusun Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Anguttara Nikaya, dan Samyutta Nikaya. Terakhir sutta seperti Jataka, Itivuttaka, Apadana, Dhammapada, dan lain-lain dimasukkan ke dalam Khuddaka Pitaka. Kemudian 6 kitab (yang kemungkinan adalah padanan Abhidhamma Theravāda) dimasukkan ke dalam Abhidhamma Pitaka.

Mahīśāsaka: Upali mengulang vinaya dimulai dari Parajika. Ānanda mengulang khotbah dimulai dari Ekuttara Sutta, Dasuttara Sutta, Mahanidana Suttta, dan seterusnya. Mahākassapa menyatakan khotbah yang panjang dimasukkan ke dalam Digha Nikaya, menengah ke dalam Majjhima, ... Samyutta Nikaya... Anguttara Nikaya. Ajaran lainnya yang tidak termasuk, dikumpulkan ke dalam Khuddaka Pitaka.

Sarvāstivāda: Ānanda mengulang khotbah dimulai dari Dhammacakkapavatthana. Aññā-Kondañña kemudian mengonfirmasi dan menjelaskan bagaimana ia mendapatkan mata-dhamma. Khotbah-khotbah berikutnya diulang dan juga dikonfirmasi oleh para Arahant dalam konsili. Kemudian Upali mengulang vinaya, dimulai dari sekkhiya, yang pertama dan ke dua adalah untuk Pañcavaggiyā bhikkhu. Kemudian sekkhiya ke tiga adalah parajika ke bhikkhu Sudinna, dan seterusnya. Kemudian Mahākassapa sendiri mengulang Matika/Abhidharma dimulai dari 5 sila.

Mahāsāṅghika: Ānanda diminta untuk mengulang “Dharmapitaka” dan kemudian mengulang khotbah-khotbah Buddha ke dalam 4 kelompok: Digha...Majjhima...Anguttara...Samyutta. Kemudian Upali menuduhkan 7 kesalahan kepada Ānanda, dan kemudian mengulang Vinaya. Setelah kompilasi selesai, 1000 bhikkhu di luar diundang masuk dan membahas mengenai peraturan minor. Terjadi perdebatan mengenai apa yang akan dihapus namun Mahākassapa memutuskan untuk tidak mengubah apa yang telah ditetapkan.

Catatan:
*Mahāsāṅghika menjelaskan Abhidharma sebagai 9 kategori sutta/anga, bukan teks tersendiri. Dengan demikian, Theravāda, Mahīśāsaka, dan Mahāsāṅghika menyebutkan 2 pitaka, sedangkan Dharmaguptaka dan Sarvāstivāda 3.

*Berbeda dengan catatan Theravāda di mana Kondañña lebih dahulu wafat daripada Buddha, menurut Sarvāstivāda ia masih hidup dan kemungkinan adalah sebagai pimpinan sidang berdasarkan senioritas. Mahīśāsaka memberikan daftar senioritas dimulai dari Ājñāta Kauṇḍinya, Purāṅa, Dharmika, Daśabala Kāśyapa, Bhadra Kāśyapa, Mahākāśyapa, Upāli, Anuruddha.



IV. 10 Kesalahan Ānanda

1.   Meminta penahbisan Bhikkhuni (Semua sekte)
2.   Menginjak jubah Buddha ketika mencuci/menjahitnya. (Semua sekte)
3.   Tidak memohon Buddha memperpanjang usia (Semua sekte)
4.   Memberikan Buddha air minum berlumpur/tidak memberikan air ketika diminta 3x (Semua kecuali Theravāda)
5.   Tidak bertanya mengenai Peraturan Minor (Semua sekte, kecuali Mahāprajñāpāramitā)
6.   Memperlihatkan bagian pribadi Buddha kepada para wanita (Sarvāstivāda, Mahāsāṅghika, Mahāprajñāpāramitā)
7.   Memperlihatkan tubuh emas Buddha kepada para wanita (Sarvāstivāda, Dharmaguptaka, Mahāsāṅghika)
8.   Mengizinkan wanita untuk menghormati relik Buddha lebih dahulu (Mahīśāsaka, Theravāda)
9.   Mengomentari perumpamaan Buddha di depan Buddha (Sarvāstivāda)
10.   Menolak menjadi pelayan pribadi Buddha ketika diminta sampai 3x (Dharmaguptaka)



V. Purāṇa (dan Gavāmpati)

Catatan Theravāda hanya menyinggung singkat: Bhikkhu Purāṇa yang menetap di bagian selatan bersama lebih dari 500 bhikkhu bertemu dengan para tetua yang menghadiri konsili membabarkan hasilnya dan meminta persetujuan Purāṇa, yang kemudian menolaknya dengan sopan. “Yang Mulia, Dhamma dan Disiplin telah dibacakan dengan baik, namun sebagaimana yang saya dengar dari Bhagavā, yang saya terima langsung, demikianlah yang akan saya ingat.”

Dalam catatan Mahīśāsaka dan Dharmagupta, perbedaan yang dimaksud adalah mengenai 7 atau 8 aturan: menyimpan makanan di dalam tempat tinggal; memasak di dalam; memasak sesuai kehendak; makan sesuai kehendak; menerima makanan ketika bangun awal di pagi hari; membawa pulang makanan menuruti keinginan pemberi; menerima berbagai buah-buahan; memakan yang tumbuh di kolam. Walaupun Mahāvagga Theravāda memuat peraturan ini, namun tidak disebutkan sebagai perbedaan yang dimaksud oleh Purāṇa.

Gavāmpati merupakan bhikkhu yang menyendiri dan menolak ketika diundang untuk mengikuti persamuhan. Menurut Mahāsāṅghika ia tidak menyetujui kepemimpinan Mahākassapa, sementara menurut Dulvā (Tibet) adalah karena mengetahui kematiannya tidak lama lagi, maka ia mengirimkan mangkuk dan tiga jubah ke sangha.

Kisah bhikkhu Purāṇa dan Gavāmpati ini menunjukkan perbedaan pendapat paling awal mengenai Dhamma-Vinaya.



VI. Brahmadaṇḍa

Sepertinya ini hanya ada di tradisi Mahīśāsaka & Theravāda.
Bareau: “Adalah mudah di sini untuk merekonstruksi versi primitif yang hanya mungkin disisipkan dalam pembacaan sama dari Mahīśāsaka-Theravāda sebelum mereka pecah menjadi dua sekte yang berbeda. Di Kauśāmbī terdapat bhikkhu bernama Caṇḍa atau Channa yang sifat kasar dan pemarahnya meresahkan komunitas.Pada akhir konsili, Ānanda diutus untuk memberitahunya, atas nama sangha, hukuman Brahmadaṇḍa diterapkan terhadapnya. Ketika Ānanda menjelaskan detailnya, yang bersalah merasa tergugah dan segera menjadi Arahant. Pembacaan kemungkinan dibuat oleh komunitas Mahīśāsaka-Theravāda di Kauśāmbī dengan tujuan untuk memberikan dasar kanonikal untuk prosedur Brahmadaṇḍa. Nama sanskrit dari bhikkhu tersebut, Caṇḍa, yang menyatakan kekerasan, kekejaman, tanpa diragukan lagi, pada pembacaan primitif, hanya sebagai julukan, atau setidaknya nama panggilan.”

Palikanon menjelaskan bahwa hukuman dikenakan karena ketika terjadi perdebatan antara para bhikkhu dan bhikkhuni, Channa memihak bhikkhuni; atau menurut komentar Dhammapada karena ia berulang kali mencaci Sāriputta dan Moggallāna, walau sudah diperingatkan.



---

Dari perbedaan mengenai kompilasi kitab suci, kemungkinan besar pada masa konsili pertama belum dilakukan pengategorian berdasarkan Digha, Majjhima, dan seterusnya. Setiap sekte berusaha memasukkan komposisi kanon mereka masing-masing ke dalam narasi konsili pertamanya. Perbedaan ketegori "Khuddaka" sebagai nikaya/agama atau pitaka juga menambah kerumitan. Perbedaan kronologi dan detail lainnya yang kadang sangat jauh juga mengindikasikan pengembangan kisah yang terjadi setelah masa perpecahan sekte. Namun di samping perbedaan-perbedaan, juga terdapat gambaran umum yang sama seperti pertemuan dilakukan segera setelah wafat Buddha, Ananda mencapai Arahatta, dan tuduhan terhadap Ananda. Kemungkinan ini adalah catatan tradisi sangha awal sebelum perpecahan.


Sumber bacaan:
Teitaro Suzuki, The First Buddhist Council, 1904.
J. Przyluski, Le Concile De Rajagrha, 1926.
André Bareau, Les premiers conciles bouddhiques, 1955.
Erich Frauwallner, The Earliest Vinaya and the Beginnings of Buddhist Literature, 1956.
C.S. Prebish, A Review of Scholarship on The Buddhist Councils, 1974.
La Valée Poussin, The Buddhist Councils, 1976.
Amarnath Thakur, Buddha and Buddhist Synods in India and Abroad, 1996.
Anālayo, The Dawn of Abhidharma, 2014.


3
Sesuai tagnya, pembahasan ini menggunakan sudut pandang historis, bukan teologis atau tradisi. Historical-criticism adalah pendekatan sekuler yang juga digunakan dalam studi Early Buddhist Texts, di mana semua teks diperlakukan secara netral, non-sektarian, sebagai dokumen sejarah. Post ini bertujuan untuk memberi gambaran sekilas mengenai proses penentuan tanggal (dating) suatu teks kuno.


I. Tradisi

Injil Markus yang merupakan Injil ke 2 dari Kanon Perjanjian Baru, ditulis dalam bahasa Yunani dialek umum (Koine Greek, dari "ἡ κοινὴ διάλεκτος"). Seperti 3 Injil lainnya, Injil ini juga bersifat anonim (penulis tidak memberi informasi mengenai siapa dirinya) dan penyematan "Markus" merupakan Tradisi: dijelaskan oleh Papias dari Hierapolis bahwa Injil ini adalah ditulis oleh Markus, penerjemah dari Petrus. Kutipan Papias (c. 130 CE) ini sekaligus juga menjadi petunjuk batas atas tahun penulisan Injil Markus tidak lebih telat dari 130 CE. Tradisi ini juga kemudian diteruskan misalnya oleh Irenaeus dalam Adversus Haereses bahwa Markus, murid dan penerjemah Petrus sendiri yang mewarisi ajaran Petrus lewat Injil tersebut.

Secara tradisi, mayoritas Patristik (Bapak Gereja) seperti Clement dari Alexandria, Origen, Eusebius, Tertullian, Jerome berpendapat bahwa Injil Markus ini ditulis pada masa Petrus masih hidup. Papias juga berpendapat sama, namun berpendapat bahwa Petrus tidak terlibat langsung dalam penulisannya dan Markus hanya mengandalkan ingatannya. Hanya Irenaeus yang berpendapat bahwa penulisan terjadi setelah Petrus meninggal. Mayoritas Patristik memberikan tahun 38-43 CE.


II. Radiocarbon-dating & Palaeography

Radiocarbon-dating adalah metode penanggalan untuk benda-benda organik yang berdasarkan isotop radioaktif Karbon 14. Secara prinsipnya, semua makhluk hidup mengalami pertukaran atom karbon dengan lingkungan—apakah melalui respirasi ataupun makanan, sehingga proporsi antara atom karbon 12 (non-radioaktif)/karbon 14 (radioaktif) adalah sama dengan lingkungan. Namun ketika makhluk tersebut meninggal, proses tersebut berhenti. Karena Karbon 14 tidak stabil, maka dengan berlalunya waktu akan berubah menjadi Nitrogen 14. Tingkat perubahan Karbon 14 ini adalah konstan, dengan half-life (waktu yang dibutuhkan untuk peluruhan separuh jumlah atomnya) adalah sekitar 5,730 tahun. Perhitungan ini menghasilkan tingkat keyakinan dalam rentang ± 50 tahun {misalkan hasil perhitungannya adalah 100 CE, berarti dalam rentang (100-50) sampai (100+50)}.

Palaeography adalah studi mengenai bentuk tulisan kuno untuk membaca, memecahkan sandi, juga menentukan tanggal dari manuskrip kuno. Tulisan tangan mengalami perubahan bentuk dari waktu ke waktu. Dengan mempelajari tulisan tangan dengan penanggalan yang telah diketahui sebelumnya, perubahannya, maka dapat dibandingkan dengan manuskrip yang belum diketahui penanggalannya. Namun karena kebanyakan orang tidak mengubah kebiasaannya menulis, maka mungkin saja penulis tua dan muda menulis di waktu sama, namun memberikan gaya penulisan yang secara analisis berbeda waktu, maka tingkat keyakinan ini adalah 1 generasi atau sekitar ± 25-35 tahun.

Kedua metode ini dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil independen. Mayoritas hasil dari kedua metode yang dilakukan oleh para ahli profesional adalah sesuai. Namun karena Carbon-dating memerlukan sebagian kecil dari manuskrip untuk diambil (dan dibakar), maka kebanyakan naskah-naskah kuno ini sudah tidak diperbolehkan untuk diuji demikian.

Manuskrip tertua yang memuat salinan Injil Markus adalah P45 dari kumpulan Chester Beatty Papyri, yang dibeli oleh seorang insinyur pertambangan bernama Alfred Chester Beatty pada tahun 1930 di Mesir. P45 (berarti manuskrip dari bahan papirus; 45 adalah urutan penemuannya) memuat Injil Markus pasal 4-9; 11-12 dan penanggalannya sekitar 250 CE.


III. Bahasa

Mengenai penggunaan bahasa, Catholic Encyclopedia menuliskan bahwa Injil Markus
Quote
“memiliki 1,330 kata unik (60 di antaranya nama). Delapan puluh, tidak termasuk nama, tidak terdapat di tempat lain di Perjanjian Baru; namun ini adalah jumlah kecil dibandingkan dengan lebih dari 250 kata-kata unik dari Injil Lukas. Kata-kata yang ditemukan hanya sekali di PB (apax legomena) sedikit, namun seringkali luar biasa, langka di bahasa Yunani belakangan (eiten, paidiothen, dengan istilah sehari-hari seperti kenturion, xestes, spekoulator), dan dengan transliterasi seperti korban, taleitha koum, ephphatha, rabbounei (cf. Swete, op. cit., p. xlvii). Dari kata-kata khas Markus, sekitar seperempat non-klasik, sementara di Matius atau Lukas, proporsinya hanya sekitar sepertujuh (cf. Hawkins, "Hor. Synopt.", 171). Secara keseluruhan, perbendaharaan kata-kata dari Markus menunjukkan bahwa penulis sebagai orang asing yang mengenal baik bahasa Yunani sehari-hari, namun lumayan asing dengan penggunaan bahasa literal.”


Khas lain dari Injil Markus adalah Latinism (pengaruh bahasa Latin ke dalam Yunani) yang cukup signifikan. Robert Gundry (Mark: A Commentary on His Apology for the Cross, pp 1043-1044) memberi perincian kata individual:
Quote
“... (μόδιον = modius [4:21]; χόρτος = herba in the sense of a blade of grass [4:28]; λεγιών = legio [5:9, 15]; αἰτία = causa [5:33 v.1.]; σπεκουλάτωρ = speculator [6:27]; δηνάριον = denarius [6:37]; ξέστης = sextarius [7:4]; κη̂νσος = census [12:14]; κοδράντης = quadrans [12:42]; φραγελλόω = fragello [15:15]; πραιτώριον = praetorium [15:16]; κεντυρίων = centurio [15:39, 44, 45]), turns of phrase (ο̒δὸν ποιει̂ν = iter facere [2:23]; Ἡρῳδιανοί = Herodiani, like praetoriani [3:6; 12:13]; συμβούλιον ἐδίδουν = consilium dederunt [3:6]; ο̒́ ἐστιν = hoc est [3:17; 7:11, 34; 12:42; 15:16, 42]; ἐσχάτως ἔχει = in extremis esse [5:23]; εἰ̂πεν δοθη̂ναι αὐτῃ̂ φαγει̂ν = similar to duci eum iussit [5:43]; πυγμῃ̂ = pugnus [? — 7:3]; ἐκράτησεν = [memoria] tenere [? — 9:10]; κατακρινου̂σιν αὐτὸν θανάτω = capite damnare [? — 10:33]; ει̂χον... ο̒́τι = habere [11:32]; ρ̒απίσμασιν αὐτὸν ἔλαβον = verberibus eum acceperunt [14:65]; συμβούλιον ποιήσαντες = consilium capere [15:1]; τὸ ι̒κανὸν ποιη̂σαι = satisfacere [15:15]; τίθεντες τὰ γόνατα = genua ponentes [15:19]) ...”

Kata-kata ini berkenaan dengan militer, yudisial, dan ekonomi, yang memang menyebar-luas seiring Roma mengembangkan pengaruhnya, dan memang muncul pada literatur Aramaic dan Ibrani belakangan. Karakteristik ini mengarahkan pada hipotesis bawa Injil Markus ditulis di Roma, Syria, atau Galilea.

Bas van Iersel (Mark: A Reader-Response Commentary) mengemukakan dua Latinism lainnya yaitu sintaksis/penyusunan kalimat yang berbeda di bahasa Yunani di mana akusatif/datif umumnya mengikuti kata kerjanya, dan sebaliknya berlaku di Latin. Urutan Latin ini terjadi 37 kali dalam Injil Markus, kontras dibandingkan dengan Matius/Lukas yang hanya terjadi dua kali saja. Hal lainnya adalah penggunaan kata “ἵνα” seperti “ut” dalam kalimat Latin yang mengikuti kata kerja meminta, mengajak, berbicara, atau memerintah. Terjadi 31 kali dalam Injil Markus, hanya dipertahankan 8 kali dalam Matius, dan 4 kali dalam Lukas. (Sesuai hipotesis yang diterima mayoritas, sebagai sumbernya Matius & Lukas menggunakan Markus, Q [sumber hipotesis lain di mana materi tidak ada di Markus namun ada di Matius & Lukas], serta sumber unik M & L yang tidak ditemukan di injil lainnya.)  Gaya penulisan ini yang menunjukkan kecenderungan penulis menulis di Roma, bukan tempat lainnya, juga kepada audiens non-Yahudi (dilihat dari penjelasan kata-kata Aramaic).


IV. Deskripsi Kondisi Sosial-Politik

Deskripsi dalam pasal 13 merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan penanggalan. Pasal ini mengisahkan ramalan mengenai kemegahan dan hancurnya Bait Allah. Seperti tulisan dengan genre serupa mengenai “ramalan masa depan” dengan berbagai detail yang akan terjadi, yang sebenarnya merupakan tulisan yang ditulis setelah kejadian (ex eventu) namun ditempatkan ke masa sebelumnya, sehingga menjadi ramalan yang terjadi. Penghancuran Bait Allah di Yerusalem terjadi pada tahun 70 CE ketika terjadi perang (besar) pertama antara Yahudi dengan Roma tahun 66-73 CE. Ayat 14 menyebutkan tentang “desolating sacrilege” (Yun: τὸ βδέλυγμα τῆς ἐρημώσεως; Ibr: הַשִּׁקּוּץ מְשׁוֹמֵֽם‬) yang mengutip kitab Daniel 9:27; 11:31; 12:11, yang maksudnya adalah penodaan terhadap hal yang suci. Penghancuran Bait Allah ini diikuti dengan penjarahan isi Bait Allah. Beberapa pendapat mengemukakan hal ini merujuk pada kejadian yang lebih awal: perintah Caligula untuk membangun patung dirinya di Bait Allah pada tahun 40 CE. Namun dugaan ini kurang kuat karena Caligula dibunuh duluan sebelum perintahnya dijalankan, juga tidak berhubungan dengan penghancuran Bait Allah itu sendiri. Deskripsi lain yang sesuai adalah mengenai kelaparan yang parah (ayat 8 ) ketika terjadi pengepungan dan banyak warga yang lari ke pegunungan (ayat 14). Persekusi dan pembunuhan karena mengikuti Yesus (ayat 12-13) kemungkinan menggambarkan penindasan Nero (64-68 CE). Berdasarkan pengetahuan penulis Injil Markus mengenai hal ini, maka diperkirakan penulisannya tidak lebih awal dari masa hancur atau menjelang hancurnya Bait Allah, 68-70 CE.

Posisi kaum Farisi dalam Injil Markus juga digambarkan sebagai pihak yang berpengaruh dan mayoritas adalah anakronistik, sementara menurut sumber-sumber lain pada masa sebelum hancurnya Bait Allah, kekuatan politik kaum Yahudi didominasi oleh Saduki yang bertanggungjawab atas operasional Bait Allah, mendukung pemerintahan Romawi dan terbuka akan pengaruh Hellenistik. Setelah hancurnya Bait Allah ini, kaum Saduki hilang tidak terdengar lagi, dan kemudian urusan adminstrasi tradisi Yahudi (bukan pemerintahan) diberikan ke kaum Farisi yang kemudian berkembang dan berpengaruh. Hal lain seperti posisi Yesus bahwa "makanan kosher/treif tidak menyucikan/mengotori, namun ucapan seseorang" (7:1-23), menggambarkan posisi doktrin sekte Kr1sten non-Yahudi (Gentile) yang dipimpin oleh Rasul Paulus yang berseberangan dengan penganut tradisi yang dipimpin Rasul Petrus. Hal ini menjadi topik perdebatan dalam Konsili Yerusalem sekitar 50 CE, yang adalah tidak mungkin terjadi jika Injil Markus telah ditulis dan menggambarkan sangat jelas posisi Yesus.


V. Rangkuman & Kesimpulan

  • Secara tradisi gereja, mayoritas menganggap Injil Markus ini ditulis pada saat Petrus masih hidup, oleh sekretaris dan penerjemahnya yang bernama Yohanes Markus pada tahun 38-43 CE.
  • Manuskrip tertua yang ditemukan adalah P45 dengan perkiraan tahun 250 CE
  • Latinism dalam gaya penulisannya, walaupun tidak definitif, cenderung pada penanggalan belakangan di atas 50 CE; ditulis di Roma, dan untuk audiens non-Yahudi
  • Pasal 13 (yang disebut juga “Little Apocalypse”) menggambarkan situasi menjelang penghancuran Bait Allah sekitar 68-70 CE
  • Kisah-kisah Anakronistik lebih menggambarkan penulisan pasca 50 CE ketimbang situasi masa Yesus (20-30 CE)

Berdasarkan analisis di atas, maka mayoritas sejarawan menyimpulkan tahun penulisan Injil Markus sekitar 65-70 CE, berbeda dengan tradisi yang menempatkannya 3 dekade lebih awal. Demikian secara sekilas penanggalan Injil Markus. Silahkan ditanggapi, dilengkapi, dikoreksi, dan dibantah, namun sesuai koridor historis.
Tidak melayani argumen berbasis otoritas tradisi, bersifat teologis, atau hermeneutikal; apalagi debat kusir. Di sini wilayah netral, promosi atau menjelekkan agama apapun adalah terlarang.


4
Namo Buddhaya Bp Ibu Sdr Sdri & teman2 se-Dhamma.. :)

Bersama ini kami menginformasikan / mengundang Bpk/Ibu dan teman2 sekalian utk menghadiri Puja Bakti umum di Ratana Graha, Pondok Cabe dgn jadwal ceramah bulan August 2015 sbb :

02/08/2015 YM. B. Saddhaviro 
09/08/2015 YM. B. Virasilo
16/08/2015 YM. B. Gunasilo 
23/08/2015 YM. B. Silayatano
30/08/2015 YM. B. Uggaseno

Mulai Pkl. 16.00 WIB - selesai
Tempat: Vihara Ratana Graha cabang Pondok Cabe,
Jl. Kunir no: 42, RT: 02, RW: 05, Kel. Pondok Cabe, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan.

Mohon disampaikan kepada keluarga/teman yg berminat, anumodana.. Semoga bermanfaat.. :)

Arah denah jalan nya sbb :
Masuk tol ambil arah Simatupang keluar Pd Pinang, lurus terus krg lbh 1.5 km ketemu lampu merah, belok kanan arah Lebak Bulus, ambil jln plg kiri arah Pd Labu -Cirendeu, krg lbh 800m belok kiri trus ambil kanan arah Cirendeu. Lurus terus krg lbh 3km ketemu lapangan terbang, terus lg sampe ketemu Universitas Terbuka ada jln. Kemiri belok kiri, ikutin jln sampe ketemu jln kunir,,,

Utk info jalan silahkan hubungi :
Sdr Herson hp no +628161924240

5
Namo Buddhaya Bp Ibu Sdr Sdri & teman2 se-Dhamma.. :)

Memperingati Hari Raya Asadha 2559 BE/2015,
Ratana Graha mengundang Bpk/Ibu dan teman2 sekalian utk menghadiri Puja Bakti Asadha pada :

Hari Minggu, 2 Agustus 2015
Waktu : Pkl. 16.00 WIB - selesai
Tempat : Vihara Ratana Graha cabang Pondok Cabe,
Jl. Kunir no: 42, RT : 02, RW : 05, Kel. Pondok Cabe, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan.

Dihadiri oleh 3 orang Bhikkhu Sangha yaitu :
 
YM Bhikkhu Saddhaviro, M.T
YM Bhikkhu Gunasilo.
YM Bhikkhu Santadhiro

Mohon disampaikan kpd keluarga / teman yg berminat, anumodana.. Semoga bermanfaat.. :)

Arah denah jalan nya sbb :
Masuk tol serpong, keluar / ambil arah tol Simatupang keluar Pondok Pinang, lurus terus krg lbh 1.5 km ketemu lampu merah, belok kanan arah Lebak Bulus, ambil jln plg kiri arah Pd Labu - Cirendeu, krg lbh 800m belok kiri trus ambil kanan arah Cirendeu. Lurus terus krg lbh 3km ketemu lapangan terbang, terus lg sampe ketemu Universitas Terbuka ada jln. Kemiri belok kiri, ikutin jln sampe ketemu jln kunir,,,

Terima kasih

6
Buddhisme Awal / Tahun Wafat Buddha
« on: 16 December 2014, 03:04:16 PM »
Terdapat beberapa macam anggapan tahun ketika Buddha wafat.

Tradisi yang umum di Korea dan Jepang adalah 949 BC, tapi juga terdapat tradisi yang menganut tahun 878 dan 686 BC sebagai tahun wafat Buddha.

Berdasarkan Purana yang mencatat Mahabarata (asumsi 3138 BC) dan generasi raja-raja sesudahnya, didapatkan Raja Kshemajit dan Bimbisara yang sejaman dengan Suddhodhana, dan peralihannya ke Ajatasattu adalah tahun Buddha meninggalkan keduniawian. Didapatkan tahun wafat yaitu 1880 atau 1807 BC.

Ada juga pencarian berdasarkan deskripsi-deskripsi di literatur Buddhis, dicocologi dengan astronomi, dan didapatkan 1807 atau 1510 BC.

Di Indonesia, Vietnam dan World Fellowship of Buddhist menggunakan 544 - 543 BC, sehingga 2014 ini kita rayakan Waisak ke 2558. Perhitungan ini berdasarkan sumber dari Srilanka yaitu Dipavamsa, Mahavamsa, dan Samantapasadika dengan menghitung mundur tahun Asoka naik takhta pada akhir 326 BC masehi yang adalah 218 tahun sejak Buddha Parinibbana. Perhitungan ini disebut sebagai Long Chronology.

Tahun 1836, G. Turnour, seorang penerjemah Mahavamsa menemukan kesalahan perhitungan ini sebab telah diketahui secara sejarah bahwa Asoka naik takhta tahun 263, sehingga perhitungan semula adalah meleset sekitar 60 tahun. Jadi perhitungan awal dimajukan 63 tahun jadi 486 BC, dan ini disebut Corrected Long Chronology.

Dari sumber-sumber Sarvastivada, Samayabhedoparacanacakra (T 2032. 十八部論 & 2033. 部執異論) di India, terdapat berbagai variasi 116, dan 160 tahun sejak Buddha  wafat sampai jaman Asoka, jadi didapat 386 dan 368 BC. Perhitungan ini disebut Short Chronology. Ditinjau dari 5 generasi pewaris vinaya, jarak waktu yang lebih pendek ini lebih masuk akal ketimbang 218 tahun. Secara arkeologis, tahun belakangan ini juga lebih mendukung karena terdapat berbagai tempat yang dikatakan dikunjungi oleh Buddha baru dibangun belakangan. G. Erdosy yang meninjau dari ekonomi moneter juga memberi hipotesis iklim politik yang digambarkan adalah lebih belakangan daripada 400 BC.

Selain ini juga ada penanggalan berdasarkan catatan titik (Dotted Record), yaitu jumlah titik yang diimbuhkan setiap akhir pavarana setelah wafat Buddha oleh para pewaris vinaya, dan didapatkan tahun 486 BC. Namun karena diketahui bahwa sutta-vinaya diturunkan secara oral maka kisah meletakkan titik pada masa awal kurang kredibel. Selain itu karena berasal dari sumber yang sama (terjemahan Samantapasadika), maka tidak dianggap sebagai sumber independen untuk komparasi.

Tahun 1988, diadakan simposium bernama “The Dating of the Historical Buddha” di Gottingen, Jerman. Terdapat aneka hipotesis dengan rentang 486 BC sampai 261 BC, namun memang sampai sekarang masih belum dapat ditentukan secara pasti.


Jika rekan-rekan memiliki pendapat berdasar sumber lain, silahkan tambahkan untuk memperluas pengetahuan kita semua.


7
Diskusi Umum / Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 21 April 2014, 02:01:10 PM »
Di sutta kadang disinggung tentang 3 pandangan salah: ahetukavada (paham tanpa sebab) yang menyatakan makhluk terlahir bahagia atau menderita karena kebetulan, bukan karena ada sebab/akar perbuatan; akiriyavada (paham tanpa perbuatan) yang menyatakan perbuatan apapun tidak memiliki akibat; dan natthikavada (paham tidak ada apa-apa) yang menyatakan setelah meninggal maka tidak ada apa-apa lagi.

Tiga ini disebut niyata-micchaditthi yaitu pandangan yang jika masih dianut pada saat kematian, memiliki tujuan pasti yaitu alam neraka atau binatang; juga termasuk dalam satu kamma berat tak terhindarkan (anantarika kamma). (Istilah "niyata-micchaditthi" ini juga belum bisa saya temukan referensinya. Beberapa sumber mengatakan dari Abhidhammatasangaha dan ada yang mengatakan dari Visuddhimagga, tapi saya cari-cari belum dapat juga bagian mana. Yang punya referensi bisa tolong bantu.) Jadi terlepas dari perbuatannya, asalkan menggenggam pandangan salah ini, tujuannya adalah pasti neraka atau binatang.

Di lain pihak, para atheis yang tidak percaya pada kehidupan lampau dan kehidupan setelah kematian, juga ada yang menganggap karena ini adalah kehidupan kita satu-satunya, maka kita harus menghargainya, memaksimalkan, dan berjuang meningkatkan kualitasnya, bertolak-belakang dengan, misalnya, orang religius yang cenderung apatis dan "menyerahkan" nasib (diri dan orang lain) pada karma atau rencana Tuhan, dll.

Spoiler: ShowHide

Lompat ke 2:55 untuk mendengar komentarnya tentang hidup yang hanya sekali.


Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah bagi mereka yang memeluk "niyata-micchaditthi" ini dan memandang hidup saat ini bagi diri sendiri dan orang lain harus dihargai dan dijalani sebaik-baiknya, ketika meninggal tanpa meninggalkan pandangannya, menurut pendapat member di sini akan terlahir di neraka/alam binatang?

2. Sebetulnya yang menentukan kelahiran seseorang adalah akibat dari perbuatan ataukah pandangannya?


8
Dihadiri lebih kurang 20 Bhikkhu STI

Minggu 16 Maret 2014
Green Ville Blok AL no 2-3
560 4728

  8.45: Upacara peresmian purna pugar
10.00: Pujabakti Abhisekha Buddha Rupang
10.45: Sykuran dan peluncuran buku renungan "Sedikit Tapi Banyak"
11.40: Ramah-tamah

13.00 - 15.00: Talk Show "Rumah Bahagia dari Alam Lain" oleh Y.M. Dhammasubho Mahathera.
Moderator: Yani Dharma.




9
Diskusi Umum / Tentang Membunuh
« on: 28 February 2014, 11:53:31 AM »
Yang umum beredar tentang uraian pembunuhan (panatipata) adalah:
1. Ada makhluk hidup
2. Mengetahui adanya makhluk tersebut
3. Niat untuk membunuh
4. Tindakan membunuh dilakukan
5. Makhluk yang dimaksud mati oleh tindakan pembunuhan itu
NB: Referensinya lupa, kalau ada yang tahu mungkin bisa bantu

Yang ingin saya tanyakan apakah istilah "membunuh" ini mencakup semua tindakan sadar mengetahui konsekwensi 'jika saya lakukan tindakan ini, maka makhluk ini akan mati', ataukah ada pengecualian yang berdasarkan faktor lain?


10
Diskusi Umum / [POLL] Buddhisme & Sains
« on: 15 January 2014, 09:27:34 AM »
Silahkan diisi sekaligus komentar singkat.


NB: Hanya jajak pendapat saja, tidak untuk diskusi/debat. Terima kasih.

11
Namo Buddhaya Bp/Ibu/Sdr/i Se-Dhamma :)


Sdh kah Anda punya planning u/malam Tahun baru 31 Des, 2013 ini?

Mari Rayakan Malam Pergantian Tahun Old & New dgn Puja Bakti bersama di Vhr Ratana Graha. Akan diadakan juga acara keakraban, tukar kado & makan malam bersama loh
Dicatat ya & jangan lupa kehadirannya pada:
Hari/Tanggal    : Selasa, 31 Des,2013
Mulai Pukul      : 19.00 WIB - selesai
Susunan Acara:
19.00-20.30 Puja Bakti, Meditasi & Dhammadesana o/Bhikkhu Sangha
20.30-21.00 Makan Malam Bersama
21.00-22.00 Acara Keakraban + Tukar Kado
Syarat Tukar Kado:
1. Setiap peserta diwajibkan membawa 1 buah kado.
2. Kado dibungkus kertas koran.
3. Harga Kado minimal Rp. 30.000,-

Ayo ajak teman-teman/saudara-saudara Anda sekalian. Mari meriahkan malam pergantian tahun di Vihara Ratana Grha sambil menanam kebajikan dlm Buddha Dhamma.. Mohon diteruskan/di-fwd kpd umat yg lainnya..
Anumodana, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta O:)

-Dayaka Sabbha, Ratana Graha

12
Buddhisme Awal / Aneka Mitos Pengukuhan Sekte-sekte Buddhisme
« on: 12 November 2013, 09:11:38 AM »
Post-nya Bang Shinichi di sebelah yang mengutip B. Sujato mengingatkan saya betapa menariknya mitos-mitos yang muncul untuk mengukuhkan kebenaran masing-masing sekte. Untuk itu, mungkin bisa dikumpulkan dan didiskusikan di sini kisah-kisah itu.

Untuk mengenali mana mitos sektarian dan mana yang bukan, mungkin sementara kita bisa menduga dari tidak adanya pendukung kisah itu di literatur awal dan juga literatur dari sekte kontemporer lainnya. Singkatnya: tambahan belakangan dan hanya ada khusus di sekte tersebut.
(Ini hanya kriteria sementara, mungkin bisa berubah sejalan diskusi.)


13
Buddhisme Awal / Pengenalan Singkat Buddhisme Awal [Q & A]
« on: 11 November 2013, 12:18:22 PM »
Apa itu Buddhisme Awal?

Buddhisme awal merujuk pada ajaran Buddha sebelum adanya sekte/aliran (pra-sektarian) yang bertahan sejak masa Buddha parinibbana sampai sekitar 150 tahun kemudian yang ditandai dengan perpecahan awal antara Sthaviravada dan Mahasanghika.


Apakah ajaran khas Buddhisme Awal?

Suatu ajaran disebut "Aliran Buddhisme" karena memiliki persamaan doktrin dasar sehingga bisa disebut "Buddhisme", sekaligus perbedaan doktrin lainnya sehingga dibedakan antara satu aliran dengan lainnya.

E.g. Theravada dan Mahayana sama-sama disebut Buddhisme karena menganut 4 Kebenaran Mulia dan 12 Kemunculan Bergantungan. Namun Theravada dan Mahayana memiliki perbedaan dalam doktrin Arahant dan Bodhisatva, maka dikenali sebagai aliran yang berbeda.

Buddhisme Awal dikenali dengan membandingkan aliran-aliran, kemudian mengesampingkan doktrin-doktrin khas pembedanya, dan menitik-beratkan pada persamaan-persamaannya. Mungkin yang menjadi ciri khas dalam mempelajari Buddhisme Awal hanyalah sikap memprioritaskan catatan sejarah di atas literatur sektarian.


Apakah bedanya pra-sektarian, non-sektarian, dan sinkretisme?

Pra-sektarian merujuk pada masa belum adanya perpecahan aliran.

Non-sektarian memahami adanya beragam aliran namun mewadahi berbagai aliran dalam kategori tertentu. Misalnya DC ini sendiri mewadahi berbagai aliran, atau MBI yang mengayomi sangha aneka sekte.

Sinkretisme adalah ajaran campur aduk berbagai aliran yang memang berbeda secara mendasar sehingga menghasilkan doktrin-doktrin yang kontradiktif atau sama sekali berbeda dengan ajaran-ajaran pembentuknya.

Sebagai gambaran, misalnya kol, kembang kol, brokoli, dan kailan adalah spesies tanaman yang sama yaitu Brassica oleracea yang dibudi-daya dengan cara yang berbeda sehingga memiliki ciri khas dan manfaatnya masing-masing.

Pra-sektarian bisa diumpamakan sebagai Brassica oleracea itu sendiri sebelum berubah.
Spoiler: ShowHide


Non-sektarian seperti tukang sayur yang jual kol, brokoli, kembang kol, dll.

Sedangkan bagi sinkretisme, ini adalah kailan cah udang
Spoiler: ShowHide



Sejauh ini, ajaran apakah yang bisa dikategorikan sebagai Buddhisme Awal?

Secara sederhana dari sudut pandang waktu kemunculannya, dengan mudah kita abaikan ajaran-ajaran yang muncul belakangan, misalnya sistem pendeta tertinggi yang muncul sekitar abad 14 di Tibet, sistem transmisi langsung guru-murid tanpa perlu teks pada abad 5 di China, sampai gerakan kharismatik emanasi bodhisatva sekitar abad 1 di India. Hal-hal ini adalah contoh mudah ajaran dan doktrin yang muncul pada periode jauh belakangan, dan bukan berarti salah atau sesat, tapi adalah konsekwensi dari kehidupan yang dinamis dan juga pengaruh asimilasi kebudayaan yang beragam.

Sedikit mundur ke belakang lagi, bisa ditemukan aliran-aliran Buddhis awal yang bermunculan sekitar 300 BCE (atau sekitar 150 tahun setelah mahaparinirvana). Otoritas tekstual yang mereka gunakan nyaris persis, namun interpretasinya saja yang berbeda dan kebanyakan tertuang dalam sistem abhidharma masing-masing. Teks-teks yang diakui bersama itu adalah apa yang sekarang dikenal sebagai Āgama dalam bahasa China (lengkap), Sanskrit (sebagian), dan Tibet (sebagian); serta Nikāya dalam bahasa Pāḷi. Peraturan monastik (vinaya) antara aliran Buddhis awal juga tidak ada perbedaan mendasar yang berarti, bertolak-belakang dengan tuduhan sekte tertentu bahwa sekte "tandingan" berusaha melonggarkan vinaya untuk hura-hura. Selain itu ada juga teks Gandhāra yang mengacu pada Buddhisme awal, tapi dalam keadaan rusak sehingga sulit diketahui isinya.


Apa manfaatnya mempelajari Buddhisme Awal?

Yang utama adalah mencari pendekatan terhadap ajaran Buddha sebelum tambahan interpretasi-interpretasi belakangan. Selain itu sedikitnya jadi lebih melek sejarah, bersikap objektif, dan berpikiran terbuka tanpa bias sektarianisme dan dogma.

-------

Demikian sekilas tentang Buddhisme Awal, silahkan koreksi, tambah, atau diskusi.

14
Theravada / Suddhavasa & Jhana
« on: 13 May 2013, 12:06:33 PM »
Saya mau tanya pendapat rekan-rekan di sini.
Dalam tradisi Theravada, kita ketahui bahwa untuk terlahir di alam materi halus (Rupaloka) atau biasa disebut alam Brahma, seseorang harus memiliki jhana. Sesuai dengan tingkat konsentrasinya maka seseorang akan terlahir di alam yang bersesuaian, untuk refresh sedikit, urutannya dari konsentrasi lemah ke kuat adalah sebagai berikut:

Jhana I: Brahma parisajja, Brahma purohita, Maha Brahma
Jhana II: Parittabha, Appamanabha, Abhassara
Jhana III: Parittasubha, Appamanasubha, Subhakinha
Jhana IV: Vehapphala & Asannasatta (tingkat konsentrasinya sama)

Alam Suddhavasa adalah alam khusus para Anagami dan bersesuaian dengan indriya dominan, dan digolongkan dalam Alam Brahma Jhana IV, di atas Vehapphala & Asannasatta. Berikut adalah indriya dominan, nama alam, dan umurnya.
Saddha - Aviha (1,000 MK)
Viriya - Atappa (2,000 MK)
Sati - Sudassa (4,000 MK)
Samadhi - Sudassi (8,000 MK)
Panna - Akanittha (16,000 MK)

Seorang anagami yang meninggal, bisa terlahir di salah satu alam dan mencapai Arahatta seketika. Namun jika sampai umur kehidupan di alam itu habis dan belum mencapainya, maka ia meninggal dari sana dan naik ke alam di atasnya lagi (mis: dari Sudassa ke Sudassi), sampai ke Akanittha, ia pasti akan mencapai Arahatta. Seseorang yang terlahir dari Aviha, kemudian naik ke atas sampai ke Akanittha, disebut Uddhamsota-akanitthagāmī, jadi total umur 31,000 MK.


Tingkat pencapaian kesucian adalah berdasarkan belenggu yang dihancurkan menurut sutta adalah: 
1. sakkāya-diṭṭhi, paham tentang diri
2. vicikicchā, keraguan akan dhamma
3. sīlabbata-parāmāso, kemelekatan pada ritual
4. kāmacchando, keinginan indria
5. vyāpādo, permusuhan
6. rūparāgo, keinginan terlahir di alam materi halus
7. arūparāgo, keinginan terlahir di alam tanpa materi
8. māna, kesombongan
9. uddhacca, kegelisahan
10. avijjā, ketidaktahuan

Pencapaian sotapanna menghancurkan 3 pertama, sakadagami melemahkan 4 & 5, anagami menghancurkan 4 & 5, arahant menghancurkan semuanya.

Spoiler: ShowHide
menurut Abhidhamma:
1. diṭṭhi, pandangan
2. vicikicchā, keraguan
3. sīlabbata-parāmāsa, kemelekatan ritual
4. issā, dengki
5. macchariya, ketamakan
6. kāma-rāga, nafsu indria
7. paṭigha, kebencian
8. māna, kesombongan
9. bhava-rāga, keinginan pada kelahiran
10. avijjā, ketidak-tahuan

Pencapaian sotapanna menghancurkan 5 pertama, sakadagami melemahkan 6 & 7, anagami menghancurkan 6 & 7, arahant melenyapkan semuanya.


AN 3.2.4.7. Dutiyasikkhāsuttaṃ menjelaskan ada 3 jenis sotapanna:
1. sattakkhattuparamo: yang mengembara dalam alam deva & manusia paling banyak 7x, kemudian mencapai pembebasan
2. kolaṃkolo: yang mengembara di antara kula (keluarga/klan) sebanyak 2 atau 3 kali, lalu mencapai pembebasan
3. ekabījī: sekali terlahir sebagai manusia, lalu mencapai pembebasan

Sakadagami dikatakan sekali lagi kembali ke alam ini (kamaloka), dan mencapai pembebasan.


Pertanyaan saya:
1. Jika seorang puthujjana memiliki jhana, apakah ia bisa mencapai sotapanna *saja* dan jika bisa, akan terlahir di manakah dia ketika meninggal dan belum mencapai pembebasan akhir?

2. Kecepatan penembusan kesucian adalah bergantung ketajaman indriya seseorang, namun mengapa seorang Ekabija sotapanna, yang masih terbelenggu nafsu dan permusuhan, hanya perlu satu kelahiran di alam manusia yang sangat pendek untuk mencapai pembebasan, sementara seorang Uddhamsota-akanitthagami, yang sudah menghancurkan belenggu nafsu dan permusuhan, memerlukan 31,000 Maha Kappa untuk mencapai pembebasan?

3. Dengan logika bahwa seorang harus memiliki jhana untuk terlahir di alam Brahma, maka untuk terlahir di Suddhavasa, yang lebih tinggi dari alam Brahma jhana IV, tentu harus memiliki jhana yang jauh lebih kuat. Dengan demikian, seorang Anagami pasti memiliki jhana. Lalu mengapa seorang Anagami yang baru menghancurkan 5 belenggu pasti memiliki jhana, sedangkan Arahant (Sukkhavipassako) yang sudah menghancurkan 10 belenggu, bisa tidak memiliki jhana.


Itu saja, terima kasih untuk jawabannya.

15
Studi Sutta/Sutra / Macchabhandasutta [AN VI.1.2.8]
« on: 26 April 2013, 05:01:06 PM »
Cuplikan:

‘‘Taṃ kiṃ maññatha, bhikkhave, api nu tumhehi diṭṭhaṃ vā sutaṃ vā – ‘macchiko macchabandho macche vadhitvā vadhitvā vikkiṇamāno tena kammena tena ājīvena hatthiyāyī vā assayāyī vā rathayāyī vā yānayāyī vā bhogabhogī vā mahantaṃ vā bhogakkhandhaṃ ajjhāvasanto’’’ti?
‘‘No hetaṃ, bhante’’ .


"Pernahkah, para bhikkhu, kalian melihat atau mendengar - 'nelayan yang membunuh dan menjual ikan, dengan melakukan hal itu, berpenghidupan begitu, mengendarai gajah, mengendarai kuda, mengendarai kereta, mengendarai kendaraan, kaya, terkenal, karena kekayaan yang dikumpulkannya'?"
"Tidak, bhante".


‘‘Sādhu, bhikkhave! Mayāpi kho etaṃ, bhikkhave, neva diṭṭhaṃ na sutaṃ – ‘macchiko macchabandho macche vadhitvā vadhitvā vikkiṇamāno tena kammena tena ājīvena hatthiyāyī vā assayāyī vā rathayāyī vā yānayāyī vā bhogabhogī vā mahantaṃ vā bhogakkhandhaṃ ajjhāvasanto’ti. Taṃ kissa hetu? Te hi so, bhikkhave, macche vajjhe vadhāyupanīte pāpakena manasānupekkhati, tasmā so neva hatthiyāyī hoti na assayāyī na rathayāyī na yānayāyī na bhogabhogī, na mahantaṃ bhogakkhandhaṃ ajjhāvasati.

"Demikianlah para bhikkhu. Aku pun, para bhikkhu, tidak melihat ataupun mendengar - ''nelayan yang membunuh dan menjual ikan, dengan melakukan hal itu, berpenghidupan begitu, mengendarai gajah, mengendarai kuda, mengendarai kereta, mengendarai kendaraan, kaya, terkenal, karena kekayaan yang dikumpulkannya'. Apakah sebabnya? Di sini, para bhikkhu, ia membunuh ikan, menghancurkan kehidupan, melakukan perbuatan buruk dengan niat, karenanya ia tidak mengendarai gajah, mengendarai kuda, mengendarai kereta, mengendarai kendaraan, kaya, terkenal, karena kekayaan yang dikumpulkannya."




Terjemahan seadanya, rentan kesalahan (= disclaimer), tapi intinya di sini dikatakan yang menjadi nelayan (dan dalam sutta dilanjutkan dengan penjagal ternak, penjagal domba, penjagal babi, penjebak burung, pemburu hewan liar) tidak ada yang jadi kaya. Sedangkan pada kenyataannya, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang berpenghidupan demikian tapi menjadi kaya raya.

Bagaimana pendapat rekan-rekan DC tentang sutta yang tidak sesuai dengan kenyataan sekarang ini?


Pages: [1] 2 3 4 5 6