Klo gk ada rujukan (selain pengalaman pribadi), kt gmn tau tuh orang benar apa cuma bullshit?
pertama, janganlah kita selalu menempatka diri dalam posisi "percaya" atau "tidak percaya". kita dapat menanggap sebuah informasi sebagai informasi saja yang mengandung dua kemungkinan, yaitu "mungkin benar" atau "mungkin salah" tanpa memposisikan diri dalam posisi "percaya" atau "tidak percaya"
Percaya begitu saja adalah hal yang salah, karena kalau orang itu ternyata bulshit, maka celakalah kita.
tidak percaya begitu saja juga salah, karena kalau ternyata orang itu benar, celakalah kita.
sikap menghargai setiap informasi yang mengandung dua kemungkinan atau yang sudah pasti benar salahnya, itu adalah sikap terbaik.
kedua, di dalam diri kita ada alat yang mampu memahami hal benar sebagai benar dan hal salah sebagai salah. hal tersebut adalah akal (bukan pikiran), atau istilah lainnya adalah citta (kesadaran)
ketika, fahamilah semua teknik "uji kebenaran". menguji kebenaran karya tulis ilmiah dengan memeriksa rujukan-rujukannya adalah hal yang benar. itulah salah satu cara pengujiannya. jika seseorang berkata, "sang buddha berkata begini dan begitu". lalu tnayakan pada diri sendiri, kebenaran semacam apa yang ingin kita uji? kebenaran ilmiah, kebenaran logis atau kebenaran empiris? jika sesuatu ternyata tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, mungkin dapat dibuktika secara empiris, dll. jangan semua-muanya harus dibuktikan secara referensi. karena kebenaran referensi itu adalah kebenaran yang dangkal. pencerhaan-pencerhaan yang bisa dicapai oleh seseorang dalam meditasi, itu adalah kebenaran empirik yang sangat berharga.