Renungan .... pelacur atau Pejuang
Posted by: "JuanEk Halim" juan.halim [at] yahoo.com juan.halim
Wed Mar 25, 2009 4:49 pm (PDT)
--- On Wed, 3/25/09, Juan Ek Halim <juan.halim [at] gmail. com> wrote:
From: Juan Ek Halim <juan.halim [at] gmail. com>
Subject: Renungan .... pelacur atau Pejuang
To:
Date: Wednesday, March 25, 2009, 7:25 PM
** filmnya belum diputar di bioskop2 di Jakarta tapi udah rame di
bicarakan di festival film internasional. Kalo ngga salah kemaren di bawa
ke
Berlin. Merinding bacanya...tragis. .**
Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya
yang
tebal ia seorang pelacur.
Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia
seorang
isteri yang ditinggalkan suami, (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu
dari lima anak yang praktis yatim.
Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke
sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut
batu, kemudian memecah-mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova,
empat tahun, anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam
sampai tengah hari.
Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur
bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.
Matahari sudah mulai turun, ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat
penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan:
memasang lipstik tebal, berpupur, mengenakan baju terbaik. Lepas manghrib,
ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya
dengan sepeda motor.
Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur
menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.
Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan
perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu di
tahun
1992 dalam bis ke Trenggalek. Mereka saling tertarik, dan Sutrisno
menemukan
lowongan buat Nur di Pabrik Rokok "Semanggi" di Kediri. Pekerjaan
mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus
menikah.
Ia pun jadi isteri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi
dan
botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang
kelima lahir, dalam keadaan putus-asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang
pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di
tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah
hampir
separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka
mencari
konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.
"Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika
melayani tamu?"
"Ah, ya ndak ada," jawabnya.
Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam
film dokumenter yang dibuat Ucu Agustina - salah satu dari *Pertaruhan* ,
empat karya dokumenter tentang perempuan yang layak beredar luas di
Indonesia kini -- kedua pelacur itu berbicara tentang hidup mereka seperti
seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang
kerja mereka sehari-hari.
Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalayna Shira Foundation yang
memproduksi *Pertaruhan* , duduk bersama peserta Jakarta International Film
Festival di sebuah kafe di Grand Indonesia - seakan-akan *mall megah *itu
bukan negeri ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui
mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk seperti di warung
yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus menyala (tapi ia menolak
minum
bir) dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke Jakarta.
Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis
perempuan yang menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh.
Bahkan Tegar dan Nova diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri - dan
dengan kagum saya melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap
orang
tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke neraka, di
mana pun neraka itu. Ucu Agustina, 32 tahun, sutradara dokumenter ini,
telah
berjalan jauh. Ia lulus dari di IAIN di tahun 2000 setelah enam tahun di
pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang
membaca Majalah *femina*. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur
dan
kaumnya.
Di Tulungagung terdapat sekitar 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal,
yang tiap Ramadhan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para
pelacur yang kehilangan tempat kerja datang antara lain ke Gunung Bolo.
Pekerja di tempat itu bertambah 50%.
Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke
wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup
anak-anaknya? "Mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup
emak
mereka", Nur berkata, berkali-kali.
Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia
rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke
sebuah TK ka****k sambil membantu hidup anak-anaknya yang lain yang ia
titipkan di rumah seorang saudara.Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia
contoh yang baik "dialektika" yang disebut Walter Benjamin: seorang
pelacur
-- seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri,
seorang penjaja (*Verkäuferin* ) dan barang yang dijajakan (*Ware*) dalam
satu tubuh. Ia buruh; ia bukan pelacur.
Bagi saya ia "Ibu Indonesia Tahun 2008".
Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang
tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan
para
preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur
tahu bagaimana tabah. Kebaikan-hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan
membayar uang sekolah di TK ka****k itu. Tiap bulan ke Gunung Bolo, seperti
ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim dari CESMID,
organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke
rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar
berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.
Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya) . Ia
menyebut-Nya "Yang di Atas". Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang
jauh -
tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap
berharga: bernilai dalam kerelaannya.
*Goenawan Mohamad*