^ ^ ^
[at] Rico: soalnya saya memang biasanya liat tas bhikkhu, selimut, penutup kepala, dst, biasanya warnanya mirip jubah.. Penasaran aja, apa memang ada aturannya atau tidak
[at] Morph: thanks... nanti saya baca dulu pelan-pelan (soalnya inggris) hehe..
______________________
Mungkin rada OOT, tapi saya teringat tentang salah satu ebook DC, judulnya Otobiografi Phra Ajahn Lee Dhammadharo.
http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/biografi/Otobiografi%20Phra%20Ajahn%20Lee%20Dhammadharo.pdfini saya copas sedikit..
____________________________________
Saat masa penahbisan tiba, ayahku mempersiapkan semua yang diperlukan. Aku ditahbiskan di bulan purnama, hari ke enam penanggalan bulan, saat Visakha Puja. Seluruhnya berjumlah sembilan orang termasuk aku yang ditahbiskan pada hari itu. Dari jumlah tersebut, beberapa meninggal dunia, beberapa orang lepas jubah. Hanya tinggal dua orang saja yang masih sebagai bhikkhu, yaitu aku sendiri dan seorang sahabatku.
Setelah penahbisan, aku menghafalkan parita-parita, mempelajari Dhamma dan Vinaya. Membandingkan dengan apa yang kupelajari dalam kehidupan dan dengan bhikkhu-bhikhu yang ada membuatku sangat tidak nyaman, karena selain merenungkan mengenai kehidupan, kami keluar untuk bersenang-senang: main catur, bergulat, bermain-main dengan wanita, memelihara burung, menyabung ayam, terkadang makan di malam hari.
[...]Ini yang terjadi selama dua tahun. Kapan pun aku mempelajari buku vinaya yang berhubungan dengan biara, aku merasa gelisah. Aku merenung,
“Jika kamu tidak ingin meninggalkan kehidupan kebhikkhuan, kamu harus meninggalkan vihara ini.” Pada permulaan masa vassa yang ke dua, aku bertekad, “Saat ini, aku bertekad melaksanakan ajaran-ajaran Sang Buddha dengan tekun. Semoga dalam tiga bulan yang akan datang, aku bertemu dengan seorang guru yang mempraktikkan Dhamma Sang Buddha dengan benar dan
mulia.”
singkat cerita, Ajahn Lee akhirnya bertemu dengan Ajahn Mun.__________________________________
Aku melaksanakan latihan yang tetap bersama dengan Ajaan Mun selagi kami pergi berpindapatta. Sepanjang perjalanan, beliau terus-menerus memberikan aku pelajaran-pelajaran bermeditasi. Jika lewat di depan seorang gadis cantik, beliau berkata, “Lihat ke sana. Apakah kamu pikir dia cantik? Lihat lebih teliti. Lihat sampai ke dalamnya.” Apa pun yang kita lewati – rumah atau jalanan – beliau selalu menjadikannya obyek pembelajaran.
Pada waktu itu, aku berusia dua puluh enam tahun. Saat itu adalah masa vassa ke limaku dan aku merasa masih muda, beliau selalu memberi aku pelajaran-pelajaran dan peringatan-peringatan. Beliau memerhatikan kemajuanku. Tetapi ada satu hal yang membuatku bingung, yang berhubungan dengan jubah-jubah dan keperluan-keperluan lain yang biasa didanakan oleh umat awam. Kadang-kadang beliau meminta apa pun barang bagus yang aku dapat dan diberikan kepada orang lain. Aku tidak mengerti mengenai hal ini. Kapan pun aku mendapat barang bagus atau baru, beliau memerintahkan aku untuk mencuci dan mencelupnya dalam air dengan tujuan untuk membuang warna aslinya. Katakan aku mendapat saputangan atau handuk putih baru yang bagus: beliau memerintahkan aku untuk mencelupnya dengan warna coklat dari cairan inti kayu pohon nangka. Kadang-kadang beliau sampai harus memerintahku beberapa kali, dan jika aku tidak mematuhinya, beliau mencelupnya sendiri. Beliau lebih suka mencarikan jubah-jubah yang tua, lapuk, menambalnya sendiri, dan kemudian memberikannya kepadaku untuk dipakai.
Pada suatu pagi, aku pergi berpindapatta bersama-sama dengan beliau, melewati kantor polisi. Kami melewati seorang wanita yang sedang membawa barang-barang ke pasar, tetapi pikiranku dalam kondisi yang baik: pikiranku tidak menyimpang dari jalur yang kami telusuri. Aku mengendalikannya dengan baik. Lain waktu, ketika aku berjalan sedikit di belakang beliau – beliau berjalan cepat, tetapi aku berjalan pelan-pelan – aku melihat beliau mendatangi, celana panjang polisi bekas yang dibuang di sisi jalan. Beliau menendang celana panjang itu sepanjang jalan – aku berpikir sepanjang jalan mengenai hal ini.
Akhirnya ketika beliau mencapai pagar di sekitar kantor polisi, ia membungkuk, mengambil celana panjang dan mengikatkan di bawah jubahnya. Aku bingung. Apa yang ingin ia lakukan dengan sampah bekas seperti itu? Setelah kami kembali ke gubuk, ia meletakan celana panjang itu di tali jemuran. Aku menyapu dan lalu menyiapkan tempat duduk. Setelah kami selesai makan, aku memasuki kamarnya dan merapikan tempat tidurnya. Suatu hari beliau menegurku, beliau mengatakan aku tidak rapi dan tidak pernah menaruh barang di tempat yang tepat – tetapi beliau tidak pernah berkata kepadaku di mana tempat yang tepat itu.
Meskipun aku berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan beliau, ia masih bersikap keras kepadaku selama masa vassa itu. Beberapa hari kemudian celana panjang itu telah menjadi tas pundak dan ikat pinggang: aku melihatnya tergantung di tembok. Dan beberapa hari sesudahnya, beliau memberikan barang itu kepadaku untuk digunakan. Aku ambil dan melihatnya, banyak tambalan dan sulaman. Dengan semua barang bagus yang tersedia di sini, mengapa ia memberikan aku barang seperti ini?