note: kalau males baca panjang-panjang, baca tanya-jawabnya aja Sumber: Kompas (Ekstra September - Oktober 2011): Senin, 26 September 2011
Dialog bersama
Sandrayati Moniaga MEMULAI DARI DIRI SENDIRI
Membaca buku “The Limits to Growth” dari Club of Rome membuat Sandra Moniaga merenung. Saat itu ia baru saja lulus sekolah hukum dan mulai bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat bidang advokasi lingkungan. Semangat mudanya untuk menyelamatkan Bumi langsung tergerak. “Saya bisa menyumbang apa?”
Buku yang terbit tahun 1972 itu memang bercerita tentang interaksi Bumi dengan sistem kehidupan umat manusia. Menggunakan lima variabel: populasi, industrialisasi, polusi, produksi, pangan, dan penyusutan sumber daya alam, tim penulis menyimpulkan bahwa Bumi memiliki keterbatasan untuk menyangga kehidupan, kecuali manusia mengembangkan pola hidup berkelanjutan yang mengubah tren pertumbuhan.
Sandra sadar, bergerak di bidang advokasi berarti juga harus bisa menjalaninya sendiri. Tekadnya makin kuat setelah bertemu Ibu Gedong Bagoes Oka, tokoh kemanusiaan dan perdamaian dari Bali. “Ibu Gedong menjalankan ajaran Mahatma Gandhi yang sangat dekat dengan perspektif lingkungan. Ia menunjukkan teladan bagaimana kepedulian itu tidak hanya dilakukan dengan protes dan aksi, tetapi dengan sikap hidup,” kata Sandra.
Kini, setelah lebih dari 20 tahun, sikap hidup yang bersahabat dengan lingkungan itu makin menjadi keseharian. Sandra mempraktikkannya bersama suami, kedua anak, bahkan para asisten di rumah dan sopirnya.
__________________
Apa hal paling dasar yang bisa dilakukan untuk melestarikan lingkungan? Kita perlu meyakini bahwa apa pun yang kita lakukan selalu ada implikasinya. Semakin banyak menggunakan kertas, misalnya, berarti semakin banyak pula pohon yang ditebang.
Berpartisipasi melestarikan lingkungan tidak berarti hidup menjadi susah. Kita bisa memulainya dengan melakukan hal-hal yang membahagiakan. Ada yang menghemat energi dengan bersepeda, ada yang mengoleksi tas lucu-lucu untuk berbelanja.
Hal-hal sederhana itu kemudian ditingkatkan. Tanyakan kepada diri sendiri, apalagi yang bisa dikontribusikan agar lingkungan hidup kita menjadi semakin baik.
___________________
Apa yang sudah anda lakukan? Ada dua tataran, pertama internal dan kedua eksternal. Prinsip yang diterapkan tidak hanya
reduce, reuse, dan
recycle (mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang), tetapi juga mencoba memahami asal-usul produk yang kita butuhkan dan kemudian memilih yang paling tidak merusak lingkungan.
Di rumah, kami mengurangi penggunaan tisu, plastik, sampai listrik. Kami sekeluarga membiasakan diri membawa saputangan, kecuali kalau lagi pilek.
Plastik dalam arti tas keresek tidak ada lagi di rumah. Tetapi saya masih menyimpan plastik gula untuk tamu agar bisa membawa makanan pulang kalau pas ada acara.
Rumah yang kebetulan didesain kakak saya tinggi dan banyak jendelanya. Rumah terang dan sirkulasi udaranya baik, jadi hemat lampu dan AC.
_______________
Ada ideologi dalam memilih makanan?Ha-ha-ha... tentu saja. Beras dan sayur saya beli dari teman petani organik. Kami juga tidak makan daging, jadi protein disuplai dari hasil laut. Saya memesan khusus dari Laut Selatan, yang saya tahu belum overfishing. Ada teman saya, tukang ikan di Palabuhanratu, yang suka membawa ikan lebih untuk saya saat menyuplai ikan ke restoran Jepang di Jakarta.
Makanan di rumah tidak digoreng, tetapi lebih banyak dibakar, direbus, dan dikukus. Kalau sampai terpaksa pakai minyak goreng, saya memakai minyak kelapa, bukan minyak sawit.
____________
Sampai segitunya ya? Begitulah konsekuensinya. Kalau saya tahu ekspansi sawit merusak hutan, membuat orangutan merana, dan jutaan plasma nutfah hilang, mengapa pula saya ikut mengonsumsi produknya. Minyak kelapa jelas lebih bersahabat dengan lingkungan karena sudah puluhan tahun ditanam di kebun-kebun penduduk.
________________
Anda mengolah sampah juga? Tentu saja. Sampah di rumah dipilah menjadi sampah basah dan sampah kering. Tetapi sampah basah sisa sayuran dan buah dipisahkan lagi untuk makanan ikan. Saya punya ikan koi dengan gurami di satu kolam, makanannya kulit pisang ha-ha-ha...
Lalu sampah basah sisanya dibuat kompos. Para asisten dan sopir di rumah sudah jago membuat kompos. Mereka selalu ikut kalau saya kursus pengomposan.
Sampah kering dipilah-pilah lagi. Yang bisa diberikan ke pemulung, seperti kaleng, botol, koran, dan kertas, disisihkan. Jadi, yang dibuang ke pembuangan sampah benar-benar minimal.
_________________
Suami dan anak-anak tak pernah protes? Wah, kalau suami malah lebih gila dari saya. Dia itu paling rajin mengurus sampah. Tetapi, anak-anak memang kadang bingung. Misalnya mereka susah menolak wadah makanan dari
styrofoam di sekolah. Mau bawa dari rumah repot.
Tetapi, persoalan ini berhasil diatasi dengan mengajak sekolah mereka kampanye
“no styrofoam”. Jadi, di sekolah anak-anak tidak ada lagi kemasan
styrofoam.
_________________
Para asisten?Ha-ha-ha... memang ini yang kadang susah. Mereka adakalanya bilang tidak enak makan nasi organik. Belanja di tukang sayur. Tetapi, jangan salah. Mereka sangat andal mengelola sampah.
_________________
Bagaimana dengan program eksternal? Selain di sekolah anak-anak, saya juga mengadvokasi para tetangga. Anak-anak sekolah di Pangudi Luhur yang punya tradisi, lulusan harus meninggalkan “warisan”. Maka, waktu lulus SD dan saya jadi panitia, warisannya adalah pemilahan sampah, penghematan air, dan kampanye
“no styrofoam” itu.
Dengan lingkungan rumah, saya suka mengingatkan, jangan sediakan makanan pakai styrofoam, misalnya saat perayaan kemerdekaan. Tapi, mengenalkan sikap yang sama kepada ibu-ibu arisan tidak selalu mudah. Saya serius menjelaskan pengolahan sampah, ibu-ibunya malah ngobrol.
________________
Tidak frustasi dengan situasi yang tidak banyak berubah? Saya akui memang banyak kesalnya. Tetapi saya menghibur diri dengan melihat titik-titik yang membahagiakan. Saya senang membaca ada sekelompok ibu-ibu mendaur ulang plastik atau orang-orang yang memilih bersepeda ke kantor. Saya bangga, kami sekeluarga ikut berkontribusi.
Selalu ada harapan. Itu yang membuat saya bertahan.