c. Perbedaan pandangan lainnya antara Daoisme dan Konfusianisme
Penganut Daoisme dan Konfusianisme memiliki perbedaan pandangan dalam hal keadilan. Untuk memperjelas hal ini kita akan mengutip apa yang diungkapkan Alan Watts dalam bukunya Tao of Philosophy:
Ada kata lain bagi keadilan (justice), atau hukum. Dalam bahasa Tionghua, istilah ini berarti ketel beserta sebilah pisau untuk memasak korban persembahan. Dalam peradaban Tiongkok kuno, kaisar menuliskan hukum-hukum negara dengan sebilah pisau di samping ketel, sehingga ketika korban di bawa untuk dimasukkan dalam ketel itu, mereka yang membawa korban dapat membaca dan mengerti maksudnya. Walaupun demikian, penasihat kaisar mengatakan bahwa tindakan itu sangat buruk, karena pada saat hukum itu dibaca, muncullah keinginan untuk melanggarnya. Mereka yang membaca hukum tadi justru memikirkan cara-cara untuk melanggarnya, dan itulah yang kita lakukan selama ini. Tatkala kongres mengesahkan sebuah undang-undang – khususnya undang-undang pajak – semua penasihat hukum berkumpul dan mencari celah-celah untuk melanggarnya. Mereka mengatakan, “Undang-undang pajak ini ternyata tidak mendefinisikan ini dan itu.” Demikian juga dengan sebagian pengikut Konfusius yang ingin menertibkan bahasa dan membuat semua kata mempunyai arti setepat-tepatnya, tetapi para penganut Daois mentertawakan mereka dan berkata, “Jika Anda mendefinisikan kata-kata, dengan kata-kata apa Anda akan mendefinisikan kata-kata yang mendefinisikan kata-kata itu?” Sehingga, penganut Daoisme menyatakan bahwa kaisar jangan menuliskan hukum karena rasa keadilan bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dengan kata-kata. Para penasihat hukum menyebutnya “keadilan” (equity). Jika Anda membicarakan beragam hakim dengan penasihat hukum manapun, ia akan berkata, “Hakim Smith lebih mengacu pada hukum secara harafiah, namun hakim Jones mempunyai rasa keadilan. Hakim Jones tahu dalam kasus khusus apa suatu hukum ternyata tidak dapat diterapkan. Ia mempunyai kecenderungan untuk “bermain sportif,” dan figur seperti itulah yang dipercaya menjadi hakim.”
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Konfusianisme berusaha menuangkan hal-hal yang sesungguhnya abstrak seperti halnya “keadilan,” ke dalam kata-kata atau hukum tertulis. Sedangkan Daoisme mengatakan bahwa “keadilan” yang sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata. Menurut hemat penulis kedua-duanya tidak ada yang salah. Meskipun benar bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata dan hukum masih dapat dicari celahnya, tetapi hukum tetap saja diperlukan. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu negara tidak memiliki hukum. Jadi semuanya memiliki proporsi kebenaran sendiri-sendiri.
3.Berdirinya Daoisme sebagai lembaga keagamaan pada zaman Dinasti Han
Daoisme baru menjelma menjadi suatu agama yang terorganisasi pada masa Zhang Daoling yang hidup semasa Dinasti Han Timur. Meskipun demikian proses transformasi ini tidak akan terjadi begitu saja tanpa faktor-faktor pendukungnya. Berikut ini kita akan mempelajari hal-hal apa saja yang menjadi pendorong bagi proses tersebut.
Pada masa akhir Dinasti Zhou yang terpecah menjadi beberapa negara, banyak orang yang terpelajar yang berkeliling untuk menjajakan kemampuan mereka sebagai ahli ketata-negaraan maupun penasehat politik. Mereka berkeliling untuk mencari raja atau penguasa yang bersedia memanfaatkan jasa mereka. Profesi mereka pada masa sekarang dapat disamakan dengan para konsultan dari berbagai bidang. Dengan penyatuan Tiongkok di bawah Dinasti Qin, praktis jasa mereka tidak diperlukan lagi. Dinasti Han yang merupakan kelanjutan dari Dinasti Qin juga memerintah seluruh Tiongkok. Sama dengan Dinasti Qin, mereka menerapkan sistim pemerintahan yang terpusat serta membatasi kekuasaan para bangsawan. Dengan demikian persatuan negara menjadi kuat. Sistim pemerintahan terpusat tersebut menjadikan kaum terpelajar yang sebelumnya berkeliling menjajakan jasa mereka tidak diperlukan lagi keberadaannya.
Sebelumnya banyak dari mereka yang juga menguasai kemampuan gaib, seperti meramal nasib, penyembuhan, dan memperpanjang usia. Karena pengetahuan mereka dalam bidang ketata-negaraan serta politik tidak diperlukan lagi, dilakukanlah alih profesi dengan memanfaatkan kemampuan lain tersebut. Pada masa Dinasti Qin dan Han awal, mereka membentuk suatu kelompok masyarakat tersendiri yang disebut dengan fangshi. Kata ini sendiri berarti “ahli ilmu gaib” (masters of formulae). Secara umum mereka terbagi menjadi dua, yakni yang mengkhususkan diri pada ilmu gaib, peramalan serta penyembuhan dan mereka yang mengkhususkan diri pada ilmu pemanjang usia serta rahasia hidup abadi. Masing-masing golongan ini hadir guna memenuhi harapan kedua kelompok masyarakat yang berbeda. Kaum kaya lebih menginginkan umur panjang serta hidup abadi, sedangkan kaum miskin tidak memerlukannya. Kehidupan mereka diliputi kesengsaraan, sehingga memperpanjang hidup bagi mereka sama saja dengan memperpanjang penderitaan. Sebaliknya kaum miskin yang antara lain terdiri dari petani, lebih menghendaki jaminan panen yang baik dan kesehatan diri beserta anggota keluarganya, sehingga dapat bekerja di ladang dengan lancar. Para fangshi memenuhi segenap dambaan mereka dengan menuliskan jimat yang berisikan simbol-simbol tertentu serta kata-kata yang dipercaya mengandung kekuatan gaib. Tujuannya adalah untuk mengundang roh-roh suci agar memberikan kesembuhan dari penyakit, perlindungan, serta mengabulkan setiap harapan. Jadi kaum fangshi ini kemudian menjadi semacam kelas pendeta di tengah-tengah masyarakat pada zaman itu, dimana kelas kependetaan semacam ini sebelumnya belum dikenal dalam Daoisme.
Faktor pendorong lain, adalah ajaran seorang ahli filsafat bernama Mozi (± 480 – 390 SM). Beliaulah yang mengawali tradisi suatu agama terorganisasi dengan mendirikan altar-altar guna memuja roh-roh halus lokal. Para pengikut Mozi yang disebut kaum Mohis, mengajak rakyat untuk memuja altar-altar itu. Meskipun Ajaran Mozi (Mohisme) kehilangan pengaruhnya pada masa Dinasti Han, tetapi tetap saja rakyat masih melakukan pemujaan semacam itu, yang kemudian diambil alih oleh Daoisme.
Faktor ketiga yang mendorong perubahan Daoisme menjadi suatu agama, adalah melemahnya upacara ritual kerajaan yang dilakukan oleh para shaman. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, para raja Dinasti Zhou memanfaatkan jasa para shaman untuk melakukan upacara keagamaan bagi mereka. Lambat laun makna dari upacara keagamaan tersebut menjadi tidak dikenal lagi, sehingga upacara tersebut merosot menjadi semacam rutinitas belaka. Karenanya upacara semacam itu tidak dapat lagi memuaskan kebutuhanan spiritual pada masa itu. Akhir upacara-upacara kuno yang diorganisasi kerajaan terjadi semasa Dinasti Han, di mana kaisar memutuskan untuk menganut Daoisme, dengan mendirikan altar pada tahun 150 M guna menghormati Lao Zi. Posisi para shaman penyelenggaran upacara ritual kerajaan digantikan oleh para fangshi.
Demikianlah tiga prasyarat untuk menjadikan Dao suatu agama tersedia sudah: kelas kaum pendeta, sistim pemujaan, dan dukungan kerajaan. Pada masa inilah Zhang Daoling tampil ke panggung sejarah. Semasa mudanya, Zhang Daoling mempelajari kitab-kitab klasik Konfusianisme, namun kemudian beralih pada ajaran-ajaran Lao Zi serta ilmu memperpanjang umur. Ia lalu pindah ke wilayah Shu (Yunnan sekarang), yang pada masa itu merupakan daerah terpencil serta bergunung-gunung. Daerah tersebut didiami oleh suku-suku yang mempraktekkan kepercayaan shamanistik kuno. Bagi orang yang tinggal di desa-desa terpencil semacam itu, roh-roh adalah sesuatu yang nyata dan ilmu gaib adalah pusat kehidupan mereka. Zhang Daoling menyatakan bahwa ia menerima ajaran langsung dari Lao Zi, yang juga memberikannya kekuatan guna menyembuhkan penyakit serta menaklukkan roh-roh jahat. Karena keampuhan air yang telah dibubuhi abu hasil pembakaran jimatnya, Zhang berhasil menarik banyak pengikut. Jimat tersebut adalah sehelai kertas kuning yang ditulisi simbol-simbol tertentu dengan warna merah. Kebanyakan simbol-simbol tersebut merupakan sarana untuk memanggil roh-roh atau makhluk suci. Zhang menciptakan suatu agama yang berpusat pada dirinya sendiri, ia memberikan gelar Lao Zi sebagai Taishang Laoqun (Penguasa Agung nan Tinggi). Zhang Daoling dan keturunannya kemudian menjadi pemimpin gerakan keagamaan itu. Gerakan keagamaan ini disebut dengan wudoumidao atau “Jalan Lima Gantang Beras,” karena orang yang ingin bergabung diharuskan membayar sumbangan sejumlah lima gantang beras. Pujaan utama aliran keagaman ini adalah Lao Zi yang dipandang sebagai pendiri Daoisme (kendati Zhang Daoling yang mentransformasikan Daoisme menjadi suatu agama). Zhang Daoling dan keturunannya menyebut diri mereka sebagai “Guru-guru Langit” (Tianshi) dan menjadi perantara antara para dewa dan umat awam. Namun, hal terpenting di atas semua itu adalah agama baru ini dapat memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Zhang Daoling dan pengikutnya menciptakan suatu sistim keagamaan lengkap dengan kaum pendeta, kitab suci, upacara ritual, dan ilmu gaibnya. Mereka memerintah bagaikan paus atas sistim keagamaan baru tersebut.
Karya Daois yang ditulis pada zaman ini adalah Taipingjing (Kitab Perdamaian dan Keseimbangan), yang membahas berbagai hal, seperti penciptaan dunia, pentingnya upacara ritual, aturan moralitas, pahala-pahala, hukuman, serta ilmu menambah kesehatan dan umur panjang. Kitab penting lainnya adalah Huainanzi yang ditulis pada pertengahan abad ke-2 SM oleh seorang pangeran wilayah Huainan (inilah yang menyebabkan mengapa ia juga disebut Huainanzi) yang bernama Liu An – cucu Liu Bang. Isinya mengisahkan legenda para dewa gunung yang memiliki kepala manusia dan tubuh naga. Selain itu disebutkan mengenai Gunung Kunlun tempat seseorang dapat mencapai keabadian. Para kaisar lalu berusaha menghubungkan dirinya dengan dewa-dewa melalui upacara rumit yang dipimpin oleh pendeta Daois. Pada zaman ini tidak hanya kaisar saja yang memiliki harapan untuk meminta bantuan kekuatan kosmis dan meramalkan masa depan, karena hal ini juga dipraktekkan oleh rakyat jelata. Timbul peningkatan minat terhadap hal-hal gaib keagamaan.
Pada zaman Dinasti Han ini pula timbul kultus pemujaan terhadap seorang dewi bernama Xiwang Mu atau Xiwang Shengmu (Hokkian: See Ong Bo atau See Ong Seng Bo) yang berarti Ibu Suci dari Barat. Ia dikabarkan memiliki surga yang diliputi keajaiban. Di sana tumbuh pohon dan sungai keabadian. Terdapat pula hewan-hewan ajaib seperti gagak dengan tiga kaki, kura-kura ajaib, serigala berekor sembilan, dan lain sebagainya yang menghasilkan obat-obatan panjang usia. Rakyat yang berasal dari berbagai kalangan memohon berkahnya dan kuil pemujaannya-pun didirikan di seantero negeri. Bersamaan dengan itu, muncul pula ramalan akan segera berakhirnya Dinasti Han yang benar-benar terjadi dengan perebutan kekuasaan oleh Wang Mang.
4. Perkembangan semasa Zaman Tiga Negara
Pada bagian sebelumnya kita telah menyinggung mengenai Zhang Daoling beserta organisasi keagamaan yang didirikannya. Kita telah mengetahui pula bahwa Dinasti Han berakhir pada tahun 220 dan terpecah menjadi tiga negara, yakni: Wei, Wu, dan Shu. Organisasi keagamaan yang didirikan oleh Zhang Daoling itu, kini dipimpin oleh Zhang Lu, cucu Zhang Daoling dan diakui oleh Kerajaan Wei sebagai Zhengyi Mengwei (Aliran Ortodoks Utama) dari Taoisme. Belakangan, aliran tersebut juga disebut dengan Tianshi Dao (Aliran Para Guru Kedewaan).
Kitab Daois penting yang ditulis pada zaman ini adalah Taishang Lingbao Wufujing (Kitab Pewahyuan Tertinggi Lima Jimat dari Roh Suci). Ini merupakan kitab pertama dari kumpulan kitab-kitab Lingbao (Roh Suci). Di dalam kitab ini dapat dijumpai mengenai jimat untuk melindungi serta memanggil roh-roh suci, penggambaran kosmologi alam kedewaan, teknik meditasi, serta resep-resep untuk meramu obat hidup abadi.
Aliran filosofi Daois lainnya berkembang adalah apa yang dinamakan Aliran Misteri. Tokoh-tokohnya adalah He Yan (wafat tahun 249), yang mengarang sebuah karya berjudul Wuminglun (Risalah Mengenai yang Tak Bernama), Wang Bi (226 – 249), seorang ahli filsafat cendekia yang wafat pada usia 23 tahun dan telah menulis komentar terhadap kitab Laozi dan Yijing, Xiang Xiu (223? – 300), pengarang komentar terhadap kitab Zhuangzi, Guo Xiang (wafat 312) yang menambahkan komentarnya sendiri pada kitab karangan Xiang Xiu, dan Pei Wei (267 – 300) yang mengarang Chongyoulun (Risalah Mengenai Keberadaan). Aliran Misteri membahas masalah-masalah metafisika yang rumit, seperti masalah Keberadaan dan Ketidak-beradaan, yang dipandang bukan sebagai sesuatu yang berlawanan, melainkan sesuatu yang tak terpisahkan satu sama lain.