Nian-fo, tulisan Mandarinnya 唸佛(melafalkan [nama] Buddha) atau 念佛 (mengingat-ingat Buddha). Jadi, pada saat seseorang mengucapkan “Buddho, Buddho” atau “Arahaṃ, Arahaṃ” berulang-ulang dalam hati maka boleh dikatakan orang tersebut melakukan唸佛. Kemudian pada saat seseorang melakukan perenungan terhadap sifat/kualitas Sang Buddha, membaca Buddhānussati, maka kita bisa mengatakan orang tersebut sedang念佛. (Walaupun dewasa ini acapkali diterjemahkan sebagai 佛随念.)
Dalam masyarakat, nian-fo biasanya selalu diasosiasikan dengan praktik penganut aliran Sukhavati (净土宗, aliran Tanah Suci), yakni mereka yang berhasrat untuk terlahir di alam Sukhavati (setelah meninggal), mereka yang yakin bahwa dengan terus menerus melafal nama Buddha Amitabha maka sepeninggal mereka, akan terlahir di alam Sukhavati. Jadi, kalau dikatakan ada umat Theravada melakukan nian-fo maka sekilas akan kedengaran aneh. Namun kalau ditelaah lebih jauh, dengan mencermati makna nian-fo secara harafiah, maka sah-sah saja kalau umat Theravada melakukan nian-fo dengan tujuan untuk mengembangkan konsentrasi?. Bukankah salah satu metode meditasi yang berasal dari Thailand ada pengucapan “Buddho, Buddho” secara berulang-ulang? Bukankah di Myanmar juga ada sebagian umat yang suka melafalkan “Arahaṃ, Arahaṃ”? Bukankah hampir setiap kali umat Theravada melakukan kebaktian di vihara juga membaca Buddhānussati?
Ya, memang tentu saja kedengaran aneh kalau ada umat Theravada berhasrat dilahirkan di alam Sukhavati.