Haha tidak masalah bro mau mempraktikkan kedua-duanya juga boleh, ajaran Sang Buddha tidaklah ada yang benar-benar bertentangan satu sama lainnya. Menurut sudut pandang Mahayana, kalau anda mulai on progress ke jalan Mahayana, itu bagus,
keep it going on bro....
...
Para sesepuh Mahayana juga mempelajari ajaran Theravada (kitab" Nikaya dan Agama) dan mengenali pula tahapan-tahapannya, bahkan ditahbiskan pula secara Vinaya kebhiksuan dalam aliran" Shravakayana seperti Theravada, Sarvastivada, Mahasanghika dsb.
Istilah "Theravada Mahayanis" bahkan dikenali oleh bhiksu Xuanzang dari Dinasti Tang ketika berkelana ke Lanka, di mana banyak bhiksu bersisilah Theravada Abhayagiri mempraktikkan jalan Mahayana. Jadi kalau disebut aliran baru, sebenarnya bukan aliran baru, tetapi apa yang memang terjadi dalam sejarah Buddhis dunia di mana sekelompok penganut tradisi Shravakayana tertentu mempraktikkan jalan Mahayana.
Mengenai Nirvana, dalam hal ini memnag berbeda antara Theravada dan Mahayana. Tetapi perbedaan ini menurut Mahayana seperti layaknya perbedaan SMP dan SMA di mana keduanya tidak saling bertentangan, tetapi yang satu (Nirvana Mahayana) merupakan "kelanjutan" dari Nirvana Shravakayana atau Theravada.
Dalam memahami Saddharmapundarika Sutra, seringkali orang keliru dengan mengartikannya semata bahwa sebenarnya dari zaman dahulu Buddha Sakyamuni telah tercerahkan terus jadi aktor drama pura" dan menipu blm tercerahkan. Pengambilan makna sutra secara salah kaprah ini sebenarnya dapat dihapus ketika anda membaca penjelasan Saddharmapundarika Sutra dari Ven. Thich Nhat Hanh, komentar Ven. Hsuan Hua dan komentar" dari Nichiren.
Menurut ketiga master tersebut, dapat disimpulkan bahwa "Buddha Shakyamuni yang Telah Tercerahkan sejak Berkalpa-kalpa Lalu" merujuk pada HAKEKAT Ke-Buddhaan dalam diri semua makhluk yang tanpa awal dan tanpa akhir. Berkalpa-kalpa lalu menunjukkan suatu waktu yang tanpa awal, tidak terbatas, aspek dari Dharmakaya para Buddha. "Telah Tercerahkan" merujuk pada bahwa sebenarnya Hakekat pencerahan itu sudah ada dalam batin setiap makhluk, Tathagatagarbha atau Dharmakaya.
Menurut dharmadesana Nichiren dalam
Ongi Kuden, perkataan Shakyamuni Buddha di Lotus Sutra yaitu: "
SAYA telah mencapai ke-Buddhaan ratusan kalpa-kalpa yang lalu" memiliki makna tertentu.
Kata "SAYA" merujuk pada "SEMUA MAKHLUK" dan "Buddha Shakyamuni Abadi yang berdiam di dalam batin para makhluk di 10 Alam", Jadi kata "SAYA" tersebut BUKAN berarti semata" diri Nirmanakaya Shakyamuni saja, tetapi lebih merujuk pada Diri Buddha dalam setiap makhluk. Buddha Shakyamuni mengatakan Diri Buddha tersebut sebagai "SAYA" untuk menunjukkan bahwa manusia dapat membangkitkan potensi tertingginya menjadi Buddha seperti layaknya Beliau sebagai bukti nyatanya.
Di Ongi Kuden, Nichiren juga menjelaskan bahwa "mencapai Ke-Buddhaan beratus-ratus kalpa lalu" memiliki makna MEMBUKA tabir klesha dan fenomena sehingga terlihatlah Ke-Buddhaan sejati dalam diri kita. "Beratus-ratus kalpa" memiliki makna bahwa hakekat Ke-Buddhaan sebenarnya selalu eksis baik di masa lampau ataupun masa depan, bahkan sampai beratus-ratus alam yang sebenarnay berada dalam pikiran semua makhluk. Jadi di sini sesuia dengan perkataan Sang Buddha dalam Dhammapada: Pikiran adalah PELOPOR.
Tiada kepura-puraan dalam diri Sang Buddha, seperti dalam kitab Mahayana Jatakamala yaitu beliau tidak mungkin berbohong karena Ia menyayangi KEBENARAN seperti menyayangi hidupnya sendiri.
Namun apakah makna Lotus Sutra yang mengatakan bahwa "beliau menunjukkan dirinya terlahir, tinggal di istana, mencapai pencerahan dan berbagai "pertunjukan duniawi" lainnya pdhl sebenarnya beliau telah Tercerahkan berkalpa-kalpa lalu?"
Sang Buddha TIDAK menipu para makhluk, tetapi Sang Buddha ingin menunjukkan bahwa semua "aktivitas duniawi" yang beliau jalani ini sebenarnya tidaklah berbeda dengan aktivitas duniawi dalam samsara, semuanya hanyalah "pertunjukan magis", semua fenomena luar dalah "drama", semua fenoemna luar terikat dengan anitya, dukkha, anatman. Demikianlah jelas Thich Nhat Hanh.
Dalam penjelasannya tentang Lotus Sutra, Thich Nhat Hanh juga menjelaskan bahwa dedaunan emas di musim gugur sebenarnya hanya bermain sulap atau drama saja kepada kita. Pertama daun muncul di musim semi, kemudian gugur dan layu. Setiap daun tumbuh dan layu, semua fenomena muncul dan lenyap.
Namun dalam dimensi ultimit, kelahiran dan kematian, muncul dan lenyap semuanyalah hanyalah pertunjukan drama, sebuah penampakan luar yang merupakan ciri khas samsara, karena pada hakekat dasarnya tidak ada itu muncul dan lenyap, semi dan gugur itu tidak ada, manis dan asin itu tidak ada, SEMUANYA hanyalah PROSES PERUBAHAN atau AS IT IS. Tetapi karena klesha kita, PROSES ini menjadi berwarna warni bak drama kehidupan bagi kita.Jadi di sini Sang Buddha hendak mengatakan bahwa dalam penampakan luar ini sebenarnya ada HAKEKAT Ke-Buddhaan dan dilihat dari Ke-Buddhaan itu sendiri, penampakan luar tampak bagai drama, sebuah magical show yang tampak bagi kita sebagai "muncul dan lenyap, lahir dan mati" padahal sebenarnya hanyalah sebuah PROSES dan AS IT IS. Sebagai manusia yang bertekad mencapai pencerahan, ia harus menembus penampakan luar untuk mengenali ke-Buddhaan dalam dirinya.
Lebih lanjut Thich Nhat Hanh mengatakan,
"Apakah kita butuh untuk menjadi Buddha? Apakah kamu butuh untuk mengejar pencerahan? Aliran tidaklah perlu mencari untuk menjadi air - aliran adalah air, saat ini dan di sini. Dalam cara yang sama, engkau sebenarnya telah mencapai Nirvana, engkau sebenarnya telah menjadi seorang Buddha. Engkau telah menjadi apa yang engkau inginkan. Apa yang penting adalah untuk memasujki jalan praktek untuk MENYADARI kebenaran ini dan membantu yang lain menyadarinya." (Insights on Lotus Sutra)Jadi pencerahan bukanlah kita menjadis eseorang yang berbeda dengan diri kita sehingga kita harus mencarinya, tetapi NIRVANA harus kita realisasikan dengan MENYADARINYA dalam batin kita sendiri, MENYADARI sesosok Buddha yang telah tercerahkan sejak berkalpa-kalpa yang lalu dalam batin kita sendiri.
The Siddha Wanderer